Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Beberapa hari setelah pelajaran Bahasa Inggris Vania, ketiga siswa-siswi SMA Garuda Nusantara yang terikat karena humor bobrok pembuat takdir –begitulah Bari melihatnya, memiliki sebuah rutinitas baru setiap harinya. Sepulang sekolah, Aditya dan Vania akan membantu Bari bekerja di Indomarket, sekaligus membubuhkan pelajaran tambahan untuk Bari secara bergantian. Vania akan bertanggung jawab mengajari Bari pelajaran-pelajaran wajib yang sama di IPA dan IPS seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sementara Aditya akan bertanggung jawab mengajari pelajaran-pelajaran khusus IPS seperti Ekonomi, Geografi, Sejarah, dan Sosiologi. Di beberapa hari, Vania yang datang ke Indomarket sendiri karena Aditya perlu mengajar orang lain atau ada keperluan lain. Di hari-hari lain, Aditya yang datang sendiri karena Vania perlu melakukan lomba debat.

Sejujurnya, Aditya dan Vania setengah mengharapkan Bari akan bermalas-malasan ketika belajar. Oleh karena itu, strategi Vania adalah untuk 'menempel' pada Bari hingga Bari tidak punya pilihan selain belajar atau mengerjakan soal bersama mereka. Namun setelah beberapa hari, mereka sadar bahwa Bari sebenarnya cukup rajin dan lebih terkejut lagi... Bari nyatanya cukup cepat menangkap pelajaran. Hal ini membuat Vania dan Aditya semakin sadar bahwa kesempatan untuk belajar tanpa perlu terbebani untuk mencari nafkah itu sebenarnya adalah sebuah keistimewaan. Oh, tentu saja kedua siswa dan siswi itu sadar betul keistimewaan tersebut, tetapi kehadiran Bari membuat mereka semakin yakin akan betapa berharganya kemampuan untuk belajar. 

"Kalau saja lo ga perlu mikirin nafkah," kata Vania dengan pelan, sembari memerhatikan Bari mengerjakan soal Geografi dari Aditya, "kayaknya lo bisa masuk peringkat top 20 sekolah."

Bari hanya tersenyum sinis. "Kaget ya karena gue ga goblok-goblok amat?" tanyanya, "Pas tahun pertama gue emang masuk Top 20, tepatnya peringkat 17. Tapi..." Kedua mata Bari terlihat sayu. "Pas ortu gue kecelakaan... susah banget untuk fokus. Dan adik-adik gue butuh uang untuk sekolah, uang untuk makan, jadi gue..."

"Lo memprioritaskan mereka," sambung Vania. 

Bari mengangguk.

Untuk sesaat, ketiganya hanya terdiam. Bari melanjutkan latihan soal, Aditya lanjut mengoreksi jawaban Bari di latihan soal sebelumnya, dan Vania mengerjakan tugas rumahnya sembari menyicil silabus pelajaran Matematika untuk Bari esok. Di saat yang sama, Vania bertanya-tanya dalam diri, 'Tidakkah ini terlalu lancar?' 

"Apakah lo punya cita-cita sebelum...," Aditya berusaha mencari kata-kata yang lebih halus dari 'orang tua lo meninggal' tetapi Bari sudah lebih dulu menjawab. 

"Sebelum ortu gue meninggal?" lanjut Bari, "Ya... ga tinggi-tinggi amat sih. Tapi gue mau–"

Sayangnya jawaban Bari dipotong oleh beberapa pemuda yang memasuki Indomarket. Aditya dan Vania mengenali pemuda-pemuda ini. Jek dan geng-nya yang selalu menyewa jasa Bari untuk menghajar siapapun lawan mereka. Para pemuda itu cekikikan dan berjalan sempoyongan ke arah konter. 

"Wah, siapa Si Cantik temen lo ini, Bar?" tanya salah satu teman Jek.

Secara insting, Aditya dan Bari berdiri di depan Vania, menutupi perempuan itu dari para pemuda tidak benar. Baru aja gue berpikir ini terlalu lancar, pikir Vania.

"Jangan ganggu dia, Ocep," kata Bari. Nadanya lebih rendah dari biasanya dia berbicara dengan Aditya dan Vania. "Mau apa?"

"Iihh galak amat!" seru Ocep. "Bos! Bari kayaknya lagi bad mood nih!"

"Chill, Bar," kata Jek. Pemuda itu langsung meletakkan selembar uang kertas berwarna merah di atas meja konter. Uang seratus ribu rupiah. "Biasa, Bar, mau berbisnis. Kali ini mangsanya cuma seorang kok, ga kaya Kevin dan geng nya yang berlima. Satu orang ini agak belagu ama gue jadi gue butuh lo untuk kasih pelajaran ke dia. Gue akan kasih lo dua lembar lagi setelah kerjaannya selesai."

Bari melirik uang kertas di meja konter. Tampaknya Jek mengira lirikan Bari merupakan persetujuan, karena Jek langsung berkata, "Nah, gitu dong. Jangan galak-galak ama temen gue ini, dia suka liatin cewek cantik aja." Jek meletakkan selembar uang seratus ribu lagi di atas konter dengan terkekeh. "Seratus ribu supaya Ocep bisa ngobrol ama tuh cewek." Ocep dan dua teman Jek ikut tertawa heboh.

"Udah dibilang kan?" Kali ini Aditya yang menyahut, "Jangan ganggu dia."

"Oh?" Jek mengankat satu alisnya ke arah Aditya, "Siapa nih, Bar? Emangnya lo punya teman selain kita?" Tangan Jek mengacak-ngacak rambut Aditya, memperlakukan Aditya seperti seorang bocah. Tidak hanya itu, Jek menyundul pelipis Aditya begitu keras dengan jemarinya. Baru kali ini Vania melihat Aditya mengepalkan kedua tangannya begitu kuat hingga urat-urat di tangannya terlihat. 

"Gue sih ga masalah ya Bari punya teman tapi tolong," kata Jek, "dikondisikan deh sikap lo ke gue. Lo tahu ga gue siapa?"

Dua teman Jek yang lain melihat buku-buku di depan Bari dan mulai tertawa.

"Mereka teman belajar cuy!" kata seorang.

"Sejak kapan berandal kayak Bari suka belajar?" tanya yang lain.

"Cantik," Ocep meletakkan selembar sepuluh ribu yang sudah recek di atas dua lembar seratus ribu milik Jek. Ocep adalah seorang pemuda kurus kering dengan rambut cepak, tetapi rasa percaya diri dan tidak tahu malunya setinggi gunung Bromo. "Gue udah bayar, jadi lo yang manis ya ama gue." Dia berjalan mengitari meja konter dan dengan cepat meraih pipi Vania. 

Gila ya nih cowok-cowok anggap gue apaan? batin Vania. Egonya sudah tergores, menyiram minyak pada api luka lama yang belum padam. 

Vania tersenyum tipis begitu Ocep memegang pipinya. Ia bahkan tidak mendengar ketika Bari atau Aditya meminta Ocep untuk melepaskan tangannya. Ocep sendiri mengira senyuman Vania adalah tanda Vania setuju disentuh untuk nilai serendah Rp110.000,– Sedetik berikutnya, Vania menancapkan gigi-gigi rapi pada tangan Ocep kemudian mengatupkan rahangnya begitu kuat hingga suara sobekan terdengar nyaring. 

Ocep menggeliat dan berteriak hingga menangis. Ia tidak tega menarik tangannya terlalu kuat dari gigitan Vania. Sementara Vania terus menyatukan kedua rahangnya sekuat tenaga. 

Begitu Vania mendengar suara renyah, seperti suara ranting patah, barulah Vania melepaskan gigitannya. Ocep terjatuh ke belakang memegangi tangannya yang tergigit. Seluruh tubuh kurus keringnya bergemetar. Cairan merah mewarnai tangannya hingga lengan, menodai seragam putihnya. Ia terus merangkak mundur, sementara celana birunya menggelap di bagian tengah. Ia telah mengompol!

Vania merasakan besi di lidahnya. Cairan yang kental mengalir pelan dari sudut mulutnya hingga leher. Ia hapus cairan itu dengan lengan sweater cokelatnya dan menemukan cairan itu adalah darah.

"Cewek kurang ajar!" seru salah satu teman Ocep. Pemuda itu langsung meloncati konter dan menggenggam kasar rahang Vania. Sebelum Vania dapat merespon, tangan di rahangnya langsung terlepas dan pemuda itu sudah terjatuh terduduk di samping Ocep dengan lebam besar di mata kirinya. Pemuda itu mengaduh, kemudian meringis jijik ketika mencium bau ompolan Ocep. 

"Fer, fer," panggil Ocep dengan panik, "Bantuin gue, Fer, tangan gue. Tangan gue copot. Tangan gue!"

Di depan Ocep dan pemuda bernama Fer, Jek dan satu temannya yang belum terjatuh berdiri mengangkat kedua tangan mereka. "Woah woah, oke oke. Kita salah! Kita gatau kalau cewek itu penting bagi lo, Bar. Kita juga gatau temen lo ini jago berantem." Jek dan pemuda yang dipanggil Ogi terlihat ketakutan melihat Bari dan... Aditya.

Vania sampai harus mengerjap beberapa kali ketika melihat bagaimana Aditya menatap Ocep kemudian Fer yang telah menyentuhnya. Seumur-umur, ia tidak pernah melihat Aditya semarah ini. Kini Aditya sudah kembali berdiri di hadapan Vania. Di samping Aditya, Bari juga memasang badan di depan Vania dengan tatapan bengis kepada Jek dan geng pemuda asal-asalan itu.

Jek bertepuk tangan dan dengan tertawa berkata, "Gue tahu! Kita akan pergi dari sini dan ga akan ganggu cewek lo ini lagi. Sumpah. Dan gue akan bayar lo dua kali lipat untuk hajar sasaran gue. Lo bawa deh temen lo ini dan hasilnya bagi dua. Gimana, hm? Lo kan ga pernah back down dari uang–"

Kalimat Jek terhenti ketika Bari melemparkan lembaran uang di atas konter ke wajah Jek. Lembaran-lembaran itu terbawa gravitasi dan terjatuh ke lantai, menjadi basah di atas kolam air seni milik Ocep. Kedua mata Jek membelalak melihat aksi Bari.

"Berani-beraninya lo–"

Bari mengambil satu langkah dan nyali Jek langsung menciut. Teman Jek, Ogi, malah langsung tersungkur jatuh di atas Fer, yang kemudian memndorong Ogi hingga tubuh Ogi tersungkur ke samping dan wajahnya mendarat dia atas lembaran uang dan kolam air seni Ocep. Vania meringis jijik melihat itu.

"Pertanyaan yang sebenarnya adalah," kata Bari dengan nada rendah, "Emangnya lo berani lawan gue? Selama ini gue selalu ladenin lo karena gue butuh duit. Gue ga butuh duit lagi, jadi gue ga butuh ladenin lo lagi."

"Mulai sekarang gue ga akan terima tawaran lo lagi. Urus sendiri semua intimidasi dan perundungan yang lo mau lakuin. Jangan pernah cari gue lagi," lanjut Bari, "Dan kalau lo apa-apain teman-teman gue, kalau ada satu helai rambut aja dari mereka yang terluka..."

Bari mengambil satu langkah lagi. Kini hidungnya hampir menyentuh hidung Jek, yang masih berusaha mempertahankan pijakannya meski kedua kakinya sudah gemetar ketika Bari menyeret jempol sepanjang lehernya, sebuah bahasa tubuh yang berarti, 'lo akan mati.'

Jek terkesiap melihat kebuasan Bari diarahkan padanya. Selama ini, Bari selalu menjadi senjata, sebuah alat, bahkan merupakan seekor anjing peliharaan yang melakukan perintah Jek dengan patuh. Kini, taring Bari diarahkan pada Jek dan Jek sadar... ia dan ketiga temannya sekaligus bukanlah tandingan untuk Bari yang dikenal sebagai Jagoan Jakarta yang belum pernah dikalahkan. Apalagi kini Bari tidak sendiri. Ada temannya yang tinggi dan terlihat seperti atlet –sekali pukulannya mampu membuat Fer terbang menghantam dinding. Juga seorang cewek yang tampaknya tidak takut untuk melakukan apapun untuk bertahan hidup. 

Sejak kapan Bari memiliki geng seperti ini? pikir Jek. Alarm bahayanya menyala begitu kencang. 

"Kalau lo ngerti," kata Aditya, juga dengan nada rendah, "bawa teman-teman lo pergi dari sini."

Tanpa perlu disuruh dua kali, Jek dan Ogi setengah membopong Ocep dan Fer keluar dari toko. Saking tergesa-gesanya untuk keluar, mereka beberapa kali tersandung satu sama lain di perjalanan keluar. Namun mereka tidak berani berhenti berjalan hingga akhirnya sosok mereka menghilang di malam hari. Hal yang tersisa dari mereka adalah kolam air seni yang pesing dan beberapa tetes darah serta lembaran-lembaran uang yang basah.

Aditya dan Bari memutar badan menghadap Vania. Namun Aditya lah yang lebih dulu mencengkeram kedua kerah Vania dan mengguncang perempuan itu. Sorot mata Aditya masih tampak buas, tampak liar, tetapi ada segelintir ketakutan yang menyelimutinya. "Lo gila ya?" suara Aditya cukup tinggi, membuat Vania termenung kaget karena belum pernah melihat sisi yang seperti ini dari Aditya. 

"Lo punya keinginan untuk mati atau gimana, hah?" seru Aditya. Tanpa ia sadari, wajah pemuda itu hanya tersisa dua ruas jari dari wajah Vania. Embusan napas panas menyerbu kulit Vania tiap kali Aditya berbicara. "Cewek normal di mana-mana bakal diam aja dan lari, tahu ga? Kalau ga ada gue dan Bari gimana? Setelah lo melawan cowo itu, lo bakal ngapain, Van? Hah? Jawab gue!"

Vania mengerjap tidak percaya. Kedua tangannya terkepal begitu keras.

'Cewek normal di mana-mana bakal diam aja dan lari, tahu ga?' katanya.

'Setelah lo melawan cowo itu, lo bakal ngapain, Van? Hah?' tanyanya.

Kedua kalimat itu telah membawa warna merah di pandangan Vania. Sekuat tenaga, Vania menyentak cengkeraman Aditya dan mendorong saingannya itu. Sekuat tenaga Vania hanya mampu membuat Aditya mundur seperempat langkah. Pria itu sama sekali tidak terlihat terpengaruh dan itu semakin membuat Vania melihat merah.

"Gue ga butuh proteksi lo," seru Vania balik, "Dan lo pikir gue seharusnya diam aja ketika gue disentuh tanpa persetujuan gue? Mungkin di dunia yang lo pikir ideal semua perempuan bakal diam aja tapi gue ga akan pernah cuma diam aja. Ga. Akan. Pernah!" Vania memberi tekanan pada setiap kata di kalimat terakhirnya. Wajahnya menjadi merah padam dan kepalannya semakin mengeras.

"Sadar diri lah, Van," seru Aditya yang tidak mau kalah, "Lo itu cewek! Lo bisa apa selain ngomong? Lo pikir kemampuan berdebat lo bisa nyelamatin lo?"

Kedua mata Vania melebar. Warna merah yang sebelumnya mengelabui pandangannya sudah berubah menjadi buram. Sorot matanya yang sebelumnya terlihat berapi kini berkaca-kaca dan terlihat... terluka. Seakan Aditya sudah mencabik harga diri Vania dan menguburnya begitu dalam di bawah tanah kemudian meludahi tanah itu. 

Menyadari tatapan Vania yang berubah membuat Aditya mengerjap, seakan ia baru terbangun dari sebuah mimpi buruk. Begitu Aditya sadar apa yang telah ia katakan, wajah Aditya memucat. 

"Van, gue ga bermaksud–"

Kalimat Aditya terhenti oleh Vania yang berjalan melewati Aditya dan Bari. Pundak Vania menghantam keras dada Aditya, dan meski secara superfisial Aditya tidak merasakan sakit, bagian dalam dadanya terasa seakan ditusuk-tusuk. Vania sudah setengah langkah keluar dari toko ketika ia berbalik pada Aditya dan berkata, "Jadi itu yang lo pikirkan tentang gue selama ini." Nadanya begitu... patah, seakan sesuatu telah retak dan itu semua karena Aditya. Kemudian Vania melangkah keluar, berbaur dengan malam hari, tanpa melihat ke belakang.

"Van, tunggu–" Aditya hendak mengejar Vania tetapi Bari menghentikannya. 

"Beri dia ruang, Dit," kata Bari lembut. 

"Tapi dia terluka, Bar, ada darah di wajahnya," kata Aditya dengan panik. Ia sendiri baru sadar bahwa sedari tadi pikirannya hanya penuh dengan kekhawatiran tentang Vania, tentang saingannya yang terlalu berani dan terlalu nekat untuk kebaikan dia sendiri. Ia begitu frustrasi dan khawatir melihat apa yang dilakukan Ocep pada Vania hingga ia tidak bisa berpikir jernih.

Bari menggeleng pelan. "Kalimat lo sepertinya melukai dia lebih dalam. Jadi beri dia waktu untuk sembuh dulu, untuk mendinginkan kepala." Kalimat Bari memberikan hujaman yang begitu keras di dada Aditya. Namun Aditya tidak bisa mengelak bahwa itu adalah kebenaran.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
Aku dan Saya
388      230     1     
Inspirational
Aku dan Saya dalam mencari jati diri,dalam kelabilan Aku yang mengidolakan Saya yang sudah dewasa.
Daniel : A Ruineed Soul
556      325     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Sacrifice
6634      1697     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Matahari untuk Kita
293      184     7     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Melankolis
3007      1110     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Cemong, Kucing Kecil Kesayangan
295      204     0     
True Story
Riska adalah seorang gadis kecil yang berusia 8 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir kota bersama keluarganya. Suatu hari, Riska menemukan seekor anak kucing yang lucu dan menggemaskan di depan rumahnya. Ia langsung jatuh cinta dengan anak kucing tersebut dan memutuskan untuk merawatnya. Luna memberi nama anak kucing tersebut "Cemong". Novel ini saya buat untuk mengenang anak kucing...
Yu & Way
101      84     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8637      1593     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
A Story
295      236     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Daybreak
4015      1736     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox