Dua kepala terpintar di SMA Garuda Nusantara mengintip kelas XII IPS–2 dari balik kusen jendela yang mengarah ke lorong sekolah. Saat itu sudah masuk jam pelajaran kedua sehingga semua murid lain sedang sibuk mendengarkan –atau tertidur di kelas. Vania dan Aditya sudah janjian untuk izin ke toilet di jam tersebut untuk memeriksa apakah hari ini, hari Senin, Bari akan benar-benar mengikuti perjanjian mereka.
Kursi paling belakang di pojok kelas diduduki oleh Bari yang sedang menopang dagunya seakan bosan.
"Setidaknya dia masuk sekolah seperti perjanjian kita," kata Aditya pelan.
Aditya mengingat perjanjian yang mereka bertiga buat kemarin hari.
'Klausa 1 : Bari setuju untuk tidak bolos sekolah lagi dan bersedia mengikuti pelajaran tambahan dengan Vania dan Aditya kapanpun Vania dan Aditya menetapkan jam pelajaran tambahan, selama itu tidak mengganggu jam kerja Bari di Indomarket. Bobot dan isi pelajaran tambahan sepenuhnya merupakan wewenang Aditya dan Vania.'
'Klausa 2 : Bari tidak akan melakukan tawuran lagi selama perjanjian ini berlangsung hingga Ujian Nasional berakhir.'
'Klausa 3 : Progres Bari akan dihitung dari nilai-nilai ujian dan puncaknya adalah nilai Ujian Nasional. Maka Bari harus mengikuti Ujian Nasional. Tidak ada sangsi berapapun nilai Bari.'
'Klausa 4 : Sebagai gantinya, Vania dan Aditya harus memberikan uang sebesar Rp600.000,- pada hari pertama setiap bulan secara langsung kepada Bari hingga hari Ujian Nasional terakhir.'
Semua itu tertulis dalam sebuah kertas. Vania yang menginisiasi perjanjian tertulis ini menggunakan selembar kertas dari buku dan pena dari Indomarket –mereka membayar untuk itu, tentu saja.
'Bila Bari melanggar salah satu ketiga klausa tersebut, Bari harus mengembalikan semua uang yang sudah diberikan sebesar dua kali lipat.'
Bari hanya perlu lima menit sebelum akhirnya setuju menandatangani kertas perjanjian absurd itu. Mungkin godaan tulisan 'Rp600.000,-' yang tertulis di kertas begitu besar untuk seorang remaja yang benar-benar membutuhkannya. Tak lama, Bari bertanya, "Emang gue perlu ikut Ujian Nasionalnya juga padahal tidak ada sangsi meski nilai gue jelek?"
Aditya dan Vania mengangguk.
"Tapi kalau gue ga lulus Ujian Nasional gue kan tetap tidak melanggar klausa," kata Bari lagi.
Dengan datarnya –dan penuh percaya diri, Vania berkata, "Kalau lo udah diajarin Juara 1 IPA dan Juara 1 IPS dari SMA Garuda Nusantara dan lo masih ga lulus Ujian Nasional... berarti kita berdua yang gagal. Bukan lo."
Balik ke masa sekarang, Vania mengeluarkan ponselnya dan menggunakan fitur kamera, ia memperbesar gambaran buku baru di atas meja. "Dia bahkan mengikuti pelajaran... ya, sebisa yang ia kejar. Lalu dia menggambar pikachu lagi..."
"Dia sudah ketinggalan banyak banget sih," bisik Aditya, "gimana caranya dia mau ngejar semua pelajaran setiap hari Sabtu dan Minggu doang?"
"Siapa bilang kita cuma akan belajar Sabtu dan Minggu doang?" tanya Vania acuh tak acuh.
"Lah," jawab Aditya, "kan lo yang bilang setiap Sabtu dan Minggu belajar sama kita dan Senin sampai Jumat dia belajar di sekolah. Lo juga uang nulis klausa kalau jam pelajaran tambahan yang kita tentukan ga akan mengganggu jam kerja Bari. Pulang sekolah kan dia ada kerjaan, masa dia kita suruh bolos shift terus untuk belajar sama kita pulang sekolah?"
Siapa bilang dia perlu bolos?" masih dengan sikap acuh tak acuhnya, Vania berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya satu lantai di atas.
"Lah?"
***
Oh, jadi ini maksud Vania! pikir Aditya sepulang sekolah hari ini. Serem banget otak Si Princess.
Aditya berdiri di depan konter Indomarket sembari tersenyum tipis melihat Bari melayani pelanggan. Bukan karena Bari yang lucu, tetapi karena Bari harus melayani pelanggan dengan Vania membacakan artikel bahasa inggris. Suaranya lantang dan tanpa tahu malu. Malah, Aditya menyadari Bari yang lebih malu dengan tindakan Vania. Pucuk telinga Si Berandal Sekolah memerah.
Begitu pelanggan keluar dan toko menjadi sepi, Bari menatap Vania dengan nanar. "Diem ga lo," ancam Bari, "ngapain sih lo bawa-bawa pelajaran ke sini."
"I'm sorry, I don't get what you mean," kata Vania dengan fasih, "Say it in english. And I won't stop until you give me a summary of this article in english."
Sebelum Bari bisa protes kembali, pelanggan lain masuk dan Vania kembali melanjutkan bacaan artikel itu. Bari terpaksa melayani pelanggan dengan senyuman paksa.
"So, what's the summary?" tanya Vania ketika Bari sedang melayani pelanggan ke sebelas hari itu.
Begitu pelanggan itu keluar dan toko menjadi sepi kembali, Bari tiba-tiba menjawab, "Tentang sejarah pembuatan pesawat."
Aditya dan Vania mengerjap beberapa kali sebelum sadar bahwa Bari benar-benar mengerti artikel Inggris yang dibicarakan Vania dan memberikan jawaban yang tepat.
"Correct," jawab Aditya, "But you have to say it in English."
"Ugh," Bari menggerutu tetapi tetap mencoba, "Uh... artikel about... planes hissory... uh... the industre uh... no... th– the... creation o– of planes– ah tau ah."
"That's okay," kata Aditya, "toh Ujian Nasional ga ada bagian speaking. Yang penting Bari bisa mengerti bacaan dan menjawab pertanyaan."
Vania mengangguk. "Next article–"
"Ga, ga, ga," Bari menghentikan Vania. "Kan perjanjiannya jam pelajaran tambahan kalian yang menentukan tapi ga mengganggu jam kerja gue."
"Ini kan ga mengganggu," celetuk Vania, "Lo masih bisa melayani pelanggan. Kalau kesusahan, Aditya atau gue bisa nge–cover selagi lo belajar atau ngerjain soal."
Bari melongo menatap Vania. Sementara Aditya akhirnya mengerti bagaimana maksud Vania ketika ia berkata 'Kalau lo udah diajarin Juara 1 IPA dan Juara 1 IPS dari SMA Garuda Nusantara dan lo masih ga lulus Ujian Nasional... berarti kita berdua yang gagal. Bukan lo.' Sepertinya Vania sudah merencanakan dari awal untuk membubuhkan pelajaran tambahan sepanjang shift kerja Bari. Itu berarti, setiap hari sepulang sekolah, Aditya dan Vania akan memberikan pelajaran tambahan pada Bari sembari membantu Bari melakukan pekerjaannya. Kemudian setiap Sabtu dan Minggu akan ada pelajaran tambahan yang lebih intens.
Jenius! pikir Aditya. Dengan begini, Bari dipastikan dapat mengejar ketinggalan pelajaran dan mengikuti Ujian Nasional dengan baik –dengan catatan, Bari harus selalu reseptif terhadap ajaran Aditya dan Vania. Lagi-lagi Vania yang memberikan solusi untuk masalah sehingga proyek yang semulanya terlihat mustahil tampak mungkin dilakukan.
Bari tertawa sinis. "Mau sampai kapan kalian begini? Shift gue selesai jam sebelas malam."
"Berarti sampai jam sebelas malam," jawab Vania mantap. Dia mengambil kursi plastik untuk duduk dan meletakkan buku latihan soal inggris yang tebal di hadapannya. "Kita berdua kalau belajar bisa sampai subuh kok."
"Ortu lo ga akan panik apa?" tanya Bari.
Vania hanya mendelikkan satu bahu, masih dengan sikap acuh tak acuhnya. "Ga tuh," jawab Vania, "Gue bilang ini adalah kelompok belajar sampai Ujian Nasional selesai."
Aditya mendeham, kemudian ikut duduk di samping Vania. "Ortu gue juga udah biasa gue pulang malam."
Bari hanya bisa membalas dengan tawa sinis. Ia lelah berargumen dengan Aditya dan Vania yang menurutnya memiliki kepala seakan batu dan berperilaku seenaknya sendiri.
"Suka suka lo pada," sungut Bari sembari melayani pelanggan lain.
"Ngomong-ngomong," tanya Aditya, "lo mau memilih dua pelajaran pilihan apa yang lo bakal pilih buat Ujian Nasional?"
Bari mengangkat kedua bahunya. "Kayaknya sosiologi dan ekonomi."
Aditya mengangguk. "Oke, kalau gitu besok kita belajar ekonomi. Gue akan bikin silabusnya."
"Kalian benar-benar serius dengan ini semua?" tanya Bari tiba-tiba, menatap kedua siswa-siswi terpintar di SMA nya dengan heran.
Di saat yang sama Aditya dan Vania juga menatap Bari dengan heran. "Bukannya perjanjian kemarin sudah menunjukkan keseriusan kita ya?" tanya Aditya.
"Ta– tapi kalian beneran akan ngajarin gue?" tanya Bari lagi, "Gue kira kalian cuma mau kasih lihat ke Pak Tirto aja kalau kalian sudah bikin gue mau belajar bareng... buat kalian dapet surat rekomendasi aja."
"Lo pernah ketemu Pak Tirto kan?" Vania berkata, "Dia pasti akan tahu kalau kita cuma pura-pura ngajarin atau benar-benar ngajarin lo. Lagian gue dan Aditya punya reputasi untuk dijaga. Anak didikan kami ga pernah gagal meningkatkan nilai sekolahnya."
"Besok ada ujian Bahasa Inggris," sambung Vania, "jadi hari ini lo harus menyelesaikan semua latihan ini." Vania menunjuk satu halaman di buku bahasa inggris tebalnya yang berisi 30 soal isian bahasa inggris.
Sebelum Bari bisa membantah, Vania kembali berkata, "Kalau ga, gue akan baca artikel inggris lebih keras lag–"
"Iya, iya, gue kerjain," sahut Bari, "jadi gini strategi kalian? Bikin orang belajar dengan cara nyeselin."
Aditya yang sudah tersenyum-senyum dari tadi, mendorong kedua pundak Bari untuk duduk di kursi plastik dan menggeser buku latihan ke depannya serta menyerahkan sebuah pensil pada Bari. Entah sejak kapan, Aditya sudah tidak setakut sebelumnya terhadap Bari.
"Di pengalaman gue," kata Aditya, "mending lo ikutin kata Princess aja kalau lo mau hari-hari lo tenang."
Ketika pelanggan baru ingin membeli barang, Vania dan Aditya langsung melayani mereka tanpa memberikan kesempatan bagi Bari untuk beranjak dari kursi. Alhasil, Bari akhirnya membenamkan diri pada latihan-latihan soal tersebut.
Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, ia mengerjakan latihan soal. Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, ia belajar untuk ujian sekolah kembali.
Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, ia merasakan ketenangan. Ia bisa fokus tanpa perlu mengkhawatirkan mencari nafkah. Ya... secara teknis, kini belajar adalah caranya mencari nafkah. Entah apa yang membuat dunia memiliki humor untuk membawa Aditya dan Vania ke hadapannya. Entah apa yang merasuki Pak Tirto untuk menjadi dalang dari pertunjukan komedi ini.
Bari melirik Aditya dan Vania, dua siswa yang bertolak belakang dari dirinya, melayani pelanggan dengan cukup baik. Tanpa perlu Bari ajari pun, kedua siswa dan siswi terpintar itu langsung bisa mengoperasikan kasir dengan lincah hanya dengan mengobservasi Bari seharian.
Mungkin, pikirnya, ini tidak terlalu buruk.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku