SMA Garuda Nusantara tetap buka hari sabtu untuk pertemuan bulanan komite orang tua murid. Hari sabtu ini adalah hari pertemuan itu. Aditya seringkali diundang untuk memberi kata sambutan mewakili OSIS ketika dia menjabat sebagai Ketua OSIS tahun lalu, sementara Vania seringkali diundang Pak Tirto untuk memberikan presentasi mengenai prestasi sekolah. Mulai kelas XII, kedua posisi itu sudah diberikan kepada murid berprestasi junior mereka sementara mereka seharusnya berfokus untuk kelulusan Ujian Nasional.
Kini mereka berdua berdiri menunggu pintu auditorium dibuka. Di depan mereka adalah sebuah meja dengan berbagai hal random; alat tulis, beberapa fotokopi dari buku yang sudah banyak coretan, dan susu dalam kemasan botol. Semua alat tulis terlihat baru dan sudah diberi label 'Jenius' adalah milik Vania. Susu dalam botol dengan label bertuliskan 'Jenius' adalah milik Aditya –sebenarnya itu adalah susu kemasan yang sering Aditya minum sehari-hari tetapi ia mengganti kemasannya atas instruksi Vania. Sementara fotokopi buku berisi coretan-coretan Aditya dan Vania; ada buku Matematika –versi coretan Vania dan versi coretan Aditya, ada buku Biologi dan Fisika dengan coretan Vania, ada juga buku Sejarah dan Ekonomi dengan coretan Aditya. Tidak hanya itu, juga ada beberapa fotokopi buku latihan soal milik Aditya dan Vania. Entah apa yang dipikirkan Si Ratu Es dengan membuat fotokopi dari buku-buku bekas pakai mereka?
"Cess, lo yakin?" tanya Aditya dengan cemas. Ia ragu 'bisnis' yang dipikirkan Vania akan berhasil, ia malah yakin 'bisnis' itu akan membuat mereka berdua malu.
"Yakin," kata Vania mantap, "Yang penting lo udah bilang kan ke 'teman-teman' yang biasa lo ajarin itu kalau lo lagi dikasih proyek mendadak sama Pak Tirto jadinya lo belum bisa ngajar mereka lagi?"
Aditya mengangguk. Sebenarnya ia cukup senang kini mempunyai alasan untuk tidak perlu mengajari orang lain lagi. Seharusnya ia melakukan ini dari lama tetapi barulah ketika Vania mendorongnya ia mendapatkan keberanian untuk melakukan itu.
"Tapi apa hubungannya gue ga ngajar mereka lagi dengan 'bisnis' lo ini?" tanyanya penasaran.
"Bisnis yang bagus itu kan harus muncul dari 'ketiadaan' atau 'kekurangan.' Jadi kita perlu menciptakan 'kekurangan' itu dulu," kata Vania, "Para anak-anak yang biasa lo ajarin pasti langsung kasih tahu info itu ke orang tua mereka dan pasti mereka udah membombardir ponsel lo menanyakan kenapa lo ga bisa ngajarin lagi. Bahkan mungkin nawarin lo biaya untuk ngajarin anak-anak mereka."
Aditya mengangkat satu alisnya. Betul sekali perkataan Vania. Tidak lama setelah Aditya mengirimkan pesan massal ke semua 'teman-teman' yang biasa ia ajari, para orang tua langsung mencoba meminta Aditya memikirkan ulang –bahkan mereka semua akhirnya menawarkan biaya untuk jasa Aditya. Awalnya Aditya tidak habis pikir bahwa jasa mengajarnya bisa diuangkan seperti ini. Coba saja ia sudah melakukan ini dari dulu.
"Kamu sudah terima beberapa tawaran mereka?" tanya Vania.
Aditya mengangguk. "Kok lo tahu?"
Vania mengembuskan napas. "Setelah kejadian para orang tua menuntut rangking satu gue dicopot karena gue menolak mengajari anak-anak mereka, Pak Tirto ngelindungin gue. Semenjak itu beberapa orang tua musuhin gue. Tapi ga semua. Beberapa orang tua justru datengin gue dan nawarin jasa gue dibayar –mereka merasa itu fair setelah mendengar penjelasan Pak Tirto."
"Apalagi ini udah hampir dua bulan menuju Ujian Nasional," jelas Vania, "pasti orang tua semakin putus asa untuk anak-anak mereka."
Perempuan itu tertawa sinis, "Enak ya punya orang tua yang peduli dengan pendidikan dan masa depanmu."
Aditya ingin sekali bertanya apa maksud Vania dengan kalimat itu tetapi Vania lebih dulu berkata lagi.
"Itu adalah uangmu," kata Vania, "jadi kamu tidak perlu menyisihkan uang itu untuk 'Proyek' bersama kita ini. Aku yakin bisnis ini sudah akan lebih dari cukup karena kamu sudah membantu menciptakan 'kekurangan' itu."
"Gue ga ngerti deh Van, 'kekurangan' apa sih yang lo maksud?" lanjut Aditya, "Dan gue berencana menyisihkan beberapa kok untuk 'Proyek' kita, apalagi bisnis lo ini belum tentu berhasil."
Vania tersenyum lebar begitu pintu auditorium terbuka dan menunjukkan beberapa orang tua yang berjalan keluar. "Lo akan ngerti sendiri. Masa insting bisnis anak IPS kalah ama anak IPA?" kata Vania.
Belum sempat Aditya membalas, Vania sudah lebih dulu berseru pada para orang tua, "Bapak-bapak Ibu-ibu, mari ke sini! Ujian Nasional sudah dekat kan, nah di sini ada berbagai buku dan alat tulis yang bisa membantu anak-anak kalian lulus Ujian Nasional!"
"Buku dan alat tulis sih di rumah udah ada," sahut salah satu orang tua. Ibu itu melirik Vania dengan sinis, mungkin salah satu orang tua yang memusuhi Vania, pikir Aditya. Namun nyali Vania tidak ciut.
"Tapi buku-buku di sini spesial lhoo!" kata Vania, "Buku-buku di sini sudah ada coretan-coretan aku, Vania, juara 1 dari IPA, dan coretan-coretan Aditya, juara 1 dari IPS. Coretan-coretan kita dijamin bisa membantu anak-anak bapak dan ibu belajar. Hanya dengan Rp50.000,- saja!"
Seorang ibu lain menyinyir, "Eh, berbagi ilmu itu harusnya ikhlas. Masih kecil udah mata duitan."
Namun seorang bapak dengan pakaian batik mengangkat buku biologi dari meja dan berkata, "Ini buku yang Vania pakai buat ngajarin anak saya kan? Anak saya yang sebelumnya remed biologi sekarang jadi lumayan suka biologi dan nilai rata-rata 80-an. Malah pingin jadi ilmuwan dia."
Hanya dengan satu kesaksian Bapak itu saja, nyinyiran sebelumnya dilupakan dan para orang tua mulai menyerbu untuk membeli buku fotokopian di depan mereka. Aditya yang terkesima dengan begitu efektifnya marketing Vania, tersenyum lebar. Bisnis ini ternyata akan sukses besar. Dengan cekatan, ia ikut berseru mengenai susu yang mereka jual, "Ini adalah susu yang selalu saya minum setiap pagi untuk meningkatkan fokus dan stamina saat belajar dan main basket." Tidak terduga, para orang tua juga berebut mendapatkan susu itu.
Gila, pinter banget Si Princess, pikir Aditya sembari sibuk bertransaksi dengan para orang tua.
***
Beberapa jam kemudian, para orang tua sudah pulang, dan Aditya serta Vania sibuk menghitung hasil penjualan mereka hari itu. Aditya begitu kaget dengan uang yang mereka terima hanya dengan menjual fotokopi buku dengan coretan mereka serta susu yang setiap hari Aditya minum. Belum pernah selama ia hidup memegang uang sebanyak ini.
"Enam ratus tiga puluh lima ribu rupiah!" seru Aditya. Ia melayangkan lembaran-lembaran uang di depan wajahnya, masih tidak percaya.
"Kekurangan yang gue maksud tuh ini," kata Vania –berbeda dengan Aditya, Vania tampak begitu tenang menerima uang sebanyak ini, "Mereka butuh 'jaminan' yang bisa membantu anak mereka lulus Ujian Nasional. Mereka menganggap kita berdua sudah pasti lulus, jadi mereka menginginkan 'otak' kita untuk anak mereka. Dan kita bisa lho memonetisasi pengalaman belajar kita, itu sah-sah saja. Toh kita sudah bekerja keras sekali untuk mencapai posisi dan rekognisi kita sekarang."
Aditya mengerti sekali apa yang Vania maksud dengan kerja keras. Hari-hari dia tetap belajar meski demam, hari-hari dia tetap berlatih basket meski ototnya ketarik. Hanya saja, Aditya tidak pernah menyangka 'kepintaran' miliknya dapat dicuankan seperti ini. Ia selalu termakan tuntutan toksik para orang tua yang membuatnya mengajari teman-temannya dengan sukarela padahal dirinya juga butuh waktu untuk istirahat dan mempertahankan nilainya. Ia sadar ia tidak pernah mencoba menolak dan selalu berusaha menyenangkan berbagai pihak. Sifatnya ini membuatnya sering merasa burnt out hingga membenci dirinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, dalam hal ini, ia mengagumi Vania yang bisa membuat batasan diri dan menentukan sendiri value miliknya.
"Mereka bayar berapa ke lo buat lo ngajarin anak-anak mereka?" tanya Aditya penasaran. Juga karena ia ingin membandingkan harga yang ditawarkan para orang tua untuk dirinya sendiri.
Dengan acuh tak acuh, Vania menjawab, "Seratus lima puluh ribu sekali pertemuan."
"Apa?" Aditya hampir melepaskan semua uang di tangannya.
"Memangnya para orang tua itu ngasih lo harga berapa?" tanya Vania yang kini jelas terlihat penasaran.
Aditya mengunci mulutnya. Ia malu sekali karena mengetahui harga yang diberikan para orang tua untuk jasanya jauh di bawah itu. Para orang tua menawarkannya seratus lima puluh ribu untuk tiga kali pertemuan dalam sebulan. Tidak. Ia tidak akan pernah memberitahukan kesenjangan ini pada Vania. Egonya melarang memberikan kesempatan bagi Vania untuk menertawakannya.
"Ra– rahasia," tanya Aditya sebelum Vania dapat berkomentar, "Kalo selama ini lo punya uang sebanyak itu, kenapa ga lo sisihkan uang lo aja buat bantu Bari?"
"Gue udah lama ga ngajar soalnya," jelas Vania, "Dan menurut gue kalo mengandalkan uang tabungan kita masing-masing saja, masalah Bari tidak akan selesai."
"Oh."
"Btw, ayo! Kita perlu ke suatu tempat, kan?" tanya Vania.
"Ke mana?"
Vania memutar kedua bola matanya dan mulai berjalan keluar gedung sekolah. "Bagian kedua dari misi pertama kita, meyakinkan Bari untuk mau masuk sekolah dan belajar bersama kita."
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku