Sebuah tepukan yang keras mendarat di pundak kanan Vania, membuatnya kehilangan pijakan dan tersungkur ke lantai. Meski demikian, pandangannya tidak luput dari jendela kelas XII IPS–2. Para murid lain terkesiap begitu melihat Vania terjatuh tetapi dengan cepat melanjutkan kesibukan masing-masing.
"Aduh, Van!" seru Anisa. Perempuan itu dengan cepat merangkul lengan Vania dan membantu Vania berdiri. "Masih sering bengong aja lo! Sakit ga?" Anisa menginspeksi kedua tangan hingga lutut Vania. Setelah puas tidak menemukan luka, Anisa mencubit kedua pipi Vania dengan keras, membuat Vania mengaduh.
"Stop bengong bengong deh," kata Anisa gemas, "Ga cocok banget dengan imej Ratu Es dengan IQ paling tinggi punya lo."
"Emangnya lo liatin apa sih?" Anisa menoleh ke arah jendela kelas XII IPS–2. Dari tempat mereka berdiri, jendela itu menunjukkan beberapa meja dan kursi bagian belakang kelas. Satu kursi dekat jendela luar gedung terlihat kosong. Begitu melihat kursi itu, Anisa langsung mengerti.
"Lo lagi ngintip apakah Bari masuk hari ini?" tanya Anisa.
Vania mengangguk. "Kemarin dia penuh dengan luka dan memar," kata Vania pelan, "gue pingin tahu aja apa gue perlu bantu dia."
"Ngobatin lukanya?" tanya Anisa dengan nada jahil, "atau ngobatin hatinya?"
"Sembarangan lo!" sahut Anisa dengan nada yang lebih tinggi dari yang ia duga. Kemudian dengan suara lebih kecil, ia berkata, "Gue udah cerita kan Aditya dan gue jadinya mau bujuk dia buat ikut Ujian Nasional. Kalau Bari masuk hari ini kan kita bisa melangsungkan rencana kita hari ini."
Anisa mengangguk beberapa kali. Kemudian dia tersenyum jahil kembali, "Jadi sekarang Si Ratu Es mainnya sama Pangeran Sekolah dan Berandal Sekolah nih. Good boy versus bad boy, siapa nih yang bakal menang?"
Saking kesalnya, Vania mencubit lengan Anisa. Namun Anisa berhasil menghindar. Vania yang tidak mau kalah, berusaha beberapa kali mencubit Anisa kembali dan tiap kali sahabatnya itu berhasil menghindar. Pada akhirnya, kedua perempuan itu melakukan kejar-kejaran di lorong sekolah selayaknya anak umur 5 tahun.
***
Sepulang sekolah, Vania berjalan cepat menuju ruang musik di lantai empat gedung sekolah. Ruangan itu hanya pernah dipakai setiap hari Selasa dan Rabu, ketika kegiatan klub musik dan paduan suara berlatih tiap minggunya. Selain dua hari tersebut, ruangan itu selalu dikunci. Namun malam kemarin, Aditya mengirimkan pesan daring mengatakan untuk bertemu secara diam-diam di ruang musik sepulang sekolah. Awalnya Vania ragu bagaimana Aditya bisa memiliki kunci ruang musik, tetapi ia lupa bertanya ke Aditya di pesan daring kemarin malam.
Vania membuka pintu besi ke ruangan musik. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan dengan dinding dilapisi busa peredam suara. Di tengah ruangan, terdapat beberapa alat drum, gitar, biola, serta beberapa mic. Kedatangan Vania disambut dengan alunan nada lembut yang indah di telinga. Alunan nada itu berasal dari seseorang yang memainkan gitar akustik di pojok ruangan. Orang itu memainkan beberapa nada kemudian menuliskannya di atas sebuah kertas musik kemudian mengulangi proses yang sama. Ia terlihat seakan merupakan gambaran ketenangan. Gerak geriknya mengalir begitu saja seperti air dan ekspresinya seakan penuh kedamaian. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Vania hingga suara pintu yang tertutup keras –karena Vania terlalu bengong untuk menutup pintu itu pelan-pelan, memecah konsentrasi orang itu dari kertas musik.
Saingan Vania, Aditya, mendongak dari kertas musik untuk menangkap tatapan Vania.
Biasanya, Vania akan melontarkan komentar sarkas pada saingannya itu. Namun entah kenapa, hari ini ia hanya berkata pelan, "Gue ga tahu kalau lo bisa main musik." Sedetik setelah mengatakannya, Vania menampar dirinya sendiri dalam batin. Kalimatnya itu seolah mengindikasikan bahwa Vania memerhatikan Aditya terus.
Biasanya juga, Aditya akan menjawab dengan sombong seperti, 'Gue kan multitalenta,' atau sok bertanya, 'Gue ganteng kan kalo main musik?' Namun entah kenapa, hari ini ia memilih mendelikkan bahu dan acuh tak acuh berkata, "Gue suka main musik tapi gue ga jago soal musik, biasa aja. Karena gue tahu chance gue dapet kejuaraan lebih besar di basket daripada musik, gue memilih fokus di basket."
Tanpa Vania harus bertanya, Aditya sudah menjelaskan, "Guru musik sekolah, Bu Kristi, membuat kunci cadangan untuk semua murid yang main alat musik. Katanya kalau kita ingin berlatih di ruang musik kapanpun, kita tinggal masuk. Sampai sekarang aku masih punya kuncinya."
Vania belum bertanya, tetapi Aditya seakan sudah memberikan jawaban tanpa perlu ditanya, "Tenang aja kok, murid lain ga ada yang pernah ke sini hari Jumat. Cuma gue."
Cuma gue. Vania menjadi penasaran sudah berapa lama Aditya diam-diam bermain musik setiap hari Jumat sepulang sekolah. Lebih penasaran lagi, mengapa Aditya meninggalkan hobi yang membuatnya begitu khusyuk. Bibirnya bergerak sebelum otaknya menyetujui, "Alunan musik tadi indah."
Untuk sepersekian detik, Vania yakin melihat Aditya membelalak di depannya. Seakan Aditya tidak menyangka Vania akan berkata seperti itu. Jujur, ekspresi Aditya saat itu lumayan lucu menurut Vania. Sepersekian detik lainnya, Aditya langsung membersihkan tenggorokkan dan berkata, "Ayo kita mulai. Sesi drafting proposal."
Aditya menarik papan tulis jalan di bagian belakang ruangan kemudian mulai menuliskan 'Proyek Membuat Berandal Sekolah Lulus Ujian Nasional dan Mendaftar Kuliah' di tengah papan tanpa terlebih dahulu menghapus coretan-coretan musik di sisi kanan papan. Kemudian menuliskan 'PMBSLUNMK' di bagian bawah. Setelah itu, ia membuat beberapa garis dari tulisan di tengah dan menuliskan 'Membujuk' di ujung salah satu garis itu kemudian 'Jurusan Kuliah' di ujung garis lain.
Melihat mindmap yang berantakan menyundul sifat keteraturan –sebenarnya lebih ke OCD, milik Vania. Gadis itu menggelengkan kepala lalu menghapus papan itu hingga bersih, merebut spidol dari Aditya, dan menjinjit untuk menulis judul proyek mereka di bagian atas.
Aditya harus menggigit bagian dalam pipinya melihat Vania berjinjit. Ia pikir Vania menggemaskan –dalam batin Aditya langsung menampar dirinya.
"Pertama, kita harus membujuk Bari untuk mau rajin datang ke sekolah dan belajar bersama kita," kata Vania sembari menuliskan di papan, "Kedua, kita harus memutuskan jurusan mana yang cocok untuk Bari. Ketiga, kita bantu dia daftar kuliah."
Aditya manggut-manggut setuju. "Dia kan biasanya bolos sekolah karena perlu bekerja atau tawuran demi uang," katanya sembari merebut kembali spidol, "jadi kita perlu cari cara untuk membantu Bari mengumpulkan uang tanpa Bari perlu bolos."
Sebuah tanda tanya digambar Aditya di bawah rencana nomor satu. Vania mengelus dagunya, berpikir keras.
Tak lama, Vania menepuk kedua tangannya. "Uang makan dan keperluan sekolah kita dari Pak Tirto!" serunya.
"Oh! Benar juga!" Aditya menyahut, "Kita bisa sisihkan semua uang itu untuk Bari."
"Bukan, Asbun!" Vania merebut kembali spidol dari tangan Aditya dan menuliskan di papan tulis.
C A R I C U A N > > > B I S N I S
"Kita gunakan uang dari Pak Tirto untuk memulai bisnis yang bisa kasih cuan berkelanjutan untuk Bari," kata Vania dengan penuh percaya diri.
Aditya tak kuasa untuk tertawa. Itu adalah ide yang menurutnya cukup bodoh. Apalagi sebutan 'Asbun' menyulut kembali ego Aditya. "Bisnis apa, Princess? Kenapa ribet banget sih? Kenapa ga langsung aja kasih duit Pak Tirto kita berdua ke Bari?"
"Karena 'uang jajan' kita meski sudah digabung masih kurang untuk menutupi uang Bari dari tawuran," jelas Vania, "malah kita perlu meyakinkan Bari bahwa belajar bersama kita bisa lebih menghasilkan uang daripada tawurannya."
Memang sih, Aditya sudah menguji limit 'uang jajan' Pak Tirto di kantin. Ia dapat memesan makanan untuk dirinya dan sepuluh temannya sebelum para penjual kantin mengabari dirinya bahwa Pak Tirto sudah berpesan untuk tidak melebihi Rp200.000,- Bila Vania juga menyisihkan uang jajan miliknya, terkumpul sudah dua kali lipat dari jumlah itu. Meski masih kurang seratus ribu dari hasil tawuran Bari. Lagipula mereka jadi tidak bisa membeli buku-buku dan peralatan belajar.
"Kalau Bari percaya kuliah adalah investasi jangka panjang sih tidak akan masalah," lanjut Vania kembali, "tetapi dia kan butuh uang untuk kesehariannya sekarang. Baru ketika kebutuhan dasar terpenuhi manusia bisa memikirkan kebutuhan lanjutannya –teori Maslow."
"Emangnya bisnis apa yang bisa kita lakukan, Princess?" tantang Aditya, "Emang anak IPA kayak lo bisa bikin bisnis?"
"Bisa!" Vania berkacak pinggang dan mendongak menatap Aditya. Kedua matanya melotot, membuat Aditya teringat akan marmut merah dan ia pun tersenyum geli karena pikiran itu.
Gemas... Aditya langsung menampar diri dalam batin kemudian menghapus senyuman dari wajahnya.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku