Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

"Buru-buru amat, Cess?" tanya Aditya sembari berjalan santai. Di depannya, Vania sedang berjalan tidak santai -Vania menyalahkan kakinya yang lebih pendek dari Aditya- menuju posko satpam SMA Garuda Nusantara. Pak Eko yang tadinya sedang duduk santai di posko mengawasi gerbang sekolah langsung melonjak berdiri begitu melihat kedua pemuda-pemudi tersebut. 

"Kalian ke mana aja sih?" tanya Pak Eko, "Sudah jam 6 ini, matahari hampir terbenam. Kudengar kalian tadi juga bolos jam pelajaran terakhir?"

Vania langsung mengambil tas berwarna ungu pastel miliknya dari dalam posko satpam, begitu juga Aditya -Sumpah, Vania sangat tidak menyukai betapa panjang kaki Aditya sehingga dengan mudah dapat menyusulnya.

"Kami berdua dipanggil Pak Tirto tadi pak dan diinstruksikan untuk melakukan kegiatan humaniora untuk aplikasi beasiswa kuliah kita-"

Kalimat Aditya terpotong dengan sikut Vania yang bertemu dengan tulang rusuk Aditya. Vania menatap nanar ke saingannya itu seolah mencecar, 'Kok jujur amat sih?'

"Oh gitu," kata Pak Eko yang tidak sadar akan tindakan Vania, "Pak Tirto juga masih di ruangannya tuh." Satpam sekolah mengarahkan dagunya ke arah bangunan sekolah. 

Tanpa berkata apapun, Vania langsung menerjang masuk gerbang dan menuju bangunan sekolah. Pak Eko yang tampak bingung mendapatkan senyuman maaf dari Aditya, "Maaf pak, kita lapor dulu ke Pak Tirto ya, perihal beasiswa ini."

"Siap," balas Pak Eko, "Semangat ya kalian berdua. Pasti kalian dapat beasiswanya, kalian kan pintar-pintar."

Aditya harus menahan ringisan mendengar kalimat, 'Pasti kalian dapat beasiswanya.' Pak Eko tidak mungkin tahu bahwa hanya salah satu dari mereka yang akan mendapatkan beasiswa itu.

"Cess, tungguin!" seru Aditya. Dalam beberapa langkah saja, Aditya sudah dapat berjalan di samping Vania yang dengan gemasnya berjalan cepat dengan kaki-kaki pendeknya. Eh tunggu... gemas? Aditya menggelengkan kepalanya, berusaha menghalau pikiran-pikiran tidak masuk akal. Dia ini saingan gue untuk dapat beasiswa. "Lo mau ngapain, Cess?"

"Apalagi? Gue akan bilang ke Pak Tirto bahwa ini adalah 'kegiatan humaniora' yang tidak mungkin. Kita harus bujuk Pak Tirto untuk mengganti syarat mendapatkan beasiswanya."

Aditya mengangguk setuju. Ia sebenarnya awalnya tidak begitu mengkhawatirkan misi yang diberikan Pak Tirto ini meski Bari diliputi banyak rumor-rumor tidak sedap. Pasalnya, dia tahu sendiri bahwa rumor selalu mendistorsi kebenaran. Namun setelah melihat sendiri bagaimana Bari mengerjakan ulangan serta menyetujui ikut tawuran... Aditya merasa kegiatan ini tidak akan sesantai yang ia kira.

***

"Lalu?" tanya Pak Tirto dengan nada datar setelah Vania dengan semangatnya menyebutkan berbagai alasan mengapa kegiatan humaniora ini tidak mungkin berhasil. Harus Aditya akui, argumen-argumen Vania sangatlah valid dan penekanan kata dari Sang Ratu Debat ini cukup meyakinkan. Maka ketika Pak Tirto tampak acuh tak acuh, Aditya dan Vania hanya dapat melongo.

"Lalu?" Vania memukul ujung meja kayu milik Pak Tirto, "Lalu, Pak, menjadi sangat tidak adil bila kesempatan kita kuliah terhalang oleh anak seperti Bari!" Kedua cuping hidungnya mengembang, wajahnya memerah, dan sorot matanya seakan menyembunyikan kobaran api yang menolak untuk padam.

Pak Tirto melihat kedua tangan Vania yang merah setelah memukul mejanya, kemudian menghembuskan napas pelan. "Tidak ada yang menghalangi kalian kuliah. Bila kalian tidak bisa membuat Bari mengikuti ujian nasional dan mendaftar kuliah, kalian tetap bisa mendaftar kuliah," lanjut Pak Tirto, "tanpa beasiswa."

Mata Aditya membelalak mendengar itu. "Jadi, bila Bari tidak mengikuti ujian nasional dan mendaftar kuliah, Bapak sama sekali tidak akan merekomendasikan beasiswa kepada salah satu dari kita?"

"Tapi kalau kita berhasil," lanjut Vania masih dengan nada tinggi, "hanya salah satu dari kita yang mendapatkan beasiswa itu?"

Pak Tirto memandangi kedua siswa terbaiknya satu per satu. Kemudian dengan tenang, ia mengangguk. "Iya," jawabnya datar.

"Tapi, Pak," lanjut Vania, "Kan Bapak yang bilang ke saya kalau siswa itu tugasnya belajar, bukan dipekerjakan seperti ini. Bapak bela saya di depan orang tua siswa yang menuntut saya mengajari anak-anak mereka secara gratis kalau ga peringkat saya peringkat saya perlu diturunkan karena kata mereka 'saya terlahir pintar' jadi saya perlu 'berbagi sukarela'" Gadis itu membuat tanda kutip dengan kedua tangannya ketika menirukan para ibu-ibu yang merasa dirinya selalu benar.

Aditya sempat tertegun karena baru pertama kali mendengar tentang hal ini. Banyak ibu-ibu yang mendatanginya dengan tujuan agar Aditya mau mengajari anak-anak mereka secara sukarela. Memang benar, mereka juga mengatakan hal seperti, 'Aditya kan jenius. Kasihan anak tante yang remedial terus. Berbagi itu akan membawa berkah lho.' Mereka menuntut seolah sudah wajarnya Aditya mau membantu anak-anak mereka secara sukarela; merelakan waktu, tenaga, dan kesabaran untuk menghadapi anak-anak mereka. Seringkali mereka meminta Aditya untuk memantau nilai dan memastikan anak-anak mereka belajar padahal ibu-ibu itu yang seharusnya membimbing masa depan anak-anak mereka sendiri. Tidak jarang pula, mereka terang-terangan memitna Aditya membantu anak-anak mereka ketika ujian. 'Bantu anak tante kali ini aja. Kalau dia remed lagi Papanya akan marah besar.'

Aditya selalu mengira hanya dirinya yang dituntut seperti itu, terutama karena dia adalah pribadi yang tidak suka membuat orang lain kecewa. Maka dia selalu tersenyum mengiyakan, meski terkadang ia menolak halus dengan alasan harus mengantar ibunya berobat -yang sebenarnya bukanlah bohong. Dia tidak pernah menyangka bahwa Vania juga dituntut hal yang sama secara tidak adil. Terlebih lagi, dia tidak pernah menyangka bahwa dia sebenarnya bisa... menolak terang-terangan seperti Vania. Di saat seperti ini, Aditya mengagumi Vania yang berpendirian kuat.

Pak Tirto mengelus jenggotnya, berpikir. "Benar juga. Kalau gitu mulai hari ini hingga kelulusan, makan siang kalian ditraktir sekolah dan kalian akan diberikan uang jajan untuk membeli peralatan serta buku-buku pelajaran untuk mengajari Bari."

"Pak," Vania masih berargumen, "Kayaknya Bapak ga ngerti deh. Kita baru aja melihat Bari setuju ikut tawuran sekolah lain. Dia beneran berandal Pak. Kegiatan ini berbahaya karena gimana kalau Bari mukul aku atau Aditya? Apa Bapak mau tanggung jawab?"

Kali ini Aditya ikut berkomentar, "Vania ada benarnya, Pak. Saya memang atlet tapi saya ga jago berantem."

"Memangnya kalian melihat sendiri Bari melakukan tawuran itu?" tanya Pak Tirto, "Bisa saja dia mengiyakan doang tapi tidak pernah benar-benar datang. Sudah banyak yang melaporkan rumor-rumor tentang Bari tanpa bukti jelas jadi selama kalian tidak punya bukti, jangan merendahkan sesama murid, apalagi murid satu sekolah. Kalian tahu sendiri nilai-nilai yang kita bangun di sini."

Mulut Vania terbuka lebar mendengar pembelaan Pak Tirto yang lemah itu. Dia hendak berdebat kembali tetapi semua argumen yang dia siapkan tidak dihiraukan oleh Pak Tirto. Seperti melemparkan peluru pada kaca anti peluru, sebegitu keras kepalanya Kepala Sekolah satu ini. Aditya cukup heran mengapa Kepala Sekolah begitu melindungi anak seperti Bari. Apa yang spesial dari Bari?

"Jadi... kalau kita bisa bawa bukti Bari benar-benar melakukan tawuran dan segala tindakan kekerasan," tanya Aditya dengan tenang, "Apakah Bapak akan mempertimbangkan mengganti syarat rekomendasi beasiswa?"

Vania menatap Aditya dengan sorot mata berbinar, seakan berkata 'ide cemerlang.' Untuk beberapa detik kedua siswa-siswi itu menahan napas mereka, menunggu keputusan dari Kepala Sekolah. Masa depan mereka dipertaruhkan di sini.

"Baik," kata Pak Tirto, "Namun selain memberikan bukti Bari melakukan kekerasan, kalian harus memberikan bukti kalian sudah menyelidiki kehidupan Bari di rumah."

"Kita sudah melakukan itu Pak tadi-"

Kalimat Vania dipotong oleh tangan Pak Tirto yang terangkat. "Tadi kalian hanya menyelidiki pekerjaan paruh waktu Bari. Bila ingin menilai seseorang, kalian harus mempertimbangkan segala situasi dan kondisinya."

Aditya dan Vania hanya dapat mengerjap tidak percaya. Padahal mereka sudah berkata bahwa Bari adalah sosok yang berbahaya dan mereka akan menangkap basah tindakan Bari. Orang waras manapun akan menyuruh mereka untuk menjauh dari tersangka setelah menangkap kejahatan. Namun kini Pak Tirto menyuruh mereka menyelidiki keadaan rumah Bari? 

"Pak, apakah tidak bahaya untuk kami mengunjungi rumah Bari setelah mengumpulkan bukti yang dapat memberatkan dirinya?" tanya Aditya.

"Keputusan saya sudah final," lanjut Pak Tirto dengan nada datar, "Bila kalian berdua begitu putus asa untuk mendapatkan beasiswa ini, kalian buatlah Bari ikut ujian nasional dan daftar ke kampus manapun. Saya sudah mendengarkan keraguan kalian dan saya sudah mengkompromi hari ini. Namun tanpa kedua bukti yang saya minta, saya tidak akan mengganti syarat rekomendasi beasiswa."

"Sekarang kalian pulanglah," kata Pak Tirto tegas. 

***

Di depan gerbang sekolah, Aditya dan Vania berdiri bersebelahan. Masing-masing terlena dengan pikiran-pikiran yang berkalut. Sementara matahari terbenam menyemburkan gurat oranye di langit biru. Pak Eko pun terlihat asik mengambil gambar langit menggunakan HP jadul miliknya dibandingkan memerhatikan Aditya dan Vania.

Tanpa Vania ketahui, Aditya sudah mencuri-curi pandangan kepada Vania semenjak mereka keluar dari ruangan Pak Tirto. Dia sudah membuat beberapa versi kalimat di kepalanya tetapi lidahnya menjadi kaku setiap dia ingin mengutarakan sesuatu. Aditya terus memikirkan bagaimana Vania juga mengalami hal yang tidak adil oleh para orang tua murid hanya karena mereka memiliki nilai yang lebih tinggi; bagaimana usaha keras mereka disepelekan oleh orang lain dengan kalimat 'kalian terlahir jenius' dan karakter mereka difitnah bila mereka tidak mau mengajari anak lain. Mempertahankan nilai itu tidak mudah, butuh perjuangan dan pengorbanan; waktu, tenaga, juga kesehatan, serta pertemanan, bahkan keluarga. Jadi mengapa orang tua anak-anak itu dengan mudahnya menuntut Aditya dan Vania untuk 'berbagi pengetahuan' secara sukarela yang pastinya akan memakan waktu dan tenaga mereka? Waktu dan tenaga yang bisa mereka fokuskan untuk kesehatan atau keluarga mereka. Mengapa juga orang tua anak-anak itu menuntut seakan sudah selayaknya Aditya dan Vania mau memberikan contekan pada anak-anak itu? 

Sejujurnya, Aditya tidak habis pikir mengapa selama ini dia mengiyakan tuntutan-tuntutan tidak adil tersebut, bahkan hingga pernah demam tipes karena hampir setiap hari pulang malam mengajari 'teman-temannya' itu. Sementara gadis yang hanya setinggi mulutnya ini berani menolak permintaan tidak masuk akal itu dari awal dan menjaga kemurnian integritasnya. Aditya ingin Vania tahu bahwa ia mengalami hal yang sama, bahwa Vania tidak sendirian mendapatkan tuntutan tidak adil dari orang-orang dewasa yang tidak punya waktu mengawasi anak-anak mereka sendiri. Dia juga ingin Vania tahu bahwa mulai sekarang dia akan memberanikan diri menolak tuntutan-tuntutan yang tidak menguntungkannya, terutama tuntutan membantu memberikan contekan.

Begitu menyadari mereka akan berpisah sebentar lagi menuju rumah masing-masing, ia akhirnya memaksakan diri untuk membuka mulut dan bersuara-

Sayangnya, Vania lebih berkata, "Ini semua gara-gara lo!" Gadis itu menatap tajam pada Aditya. Kedua tangan mungil dikepalkan begitu kuat di samping tubuh rampingnya. "Kenapa sih nilai lo harus sama dengan gue? Lo nyontek gue ya?"

Hilang sudah rasa empatinya dengan Vania, terbakar dengan ego Aditya yang tersulut. "Enak aja!" serunya dengan nada lebih tinggi dari yang ia kira. Vania pun tersentak dengan bentakan itu.

"Gue akui gue sering kasih contekan ke anak-anak tapi jawaban gue selalu milik gue sendiri, dari otak gue," Aditya menunjuk pelipisnya, di mana urat dahinya begitu menonjol karena emosi. Lo kali yang diam-diam ngikutin jawaban di contekan gue."

Mata Vania membelalak. Belum pernah ada seorang pun yang menuduhnya menyontek. Vania terkenal sebagai pribadi yang kaku dan bahkan sedikit anti-sosial -meski Vania tahu itu adalah sebuah misnomer, karena tidak pernah sudi memberikan contekan. Tuduhan Aditya ini seakan menuangkan oil ke percikan api dalam dirinya.

"Gila ya lo! Gimana caranya gue nyontek lo ketika lo di kelas yang berbeda. Gue IPA, lo IPS!" seru Vania. Tanpa ia sadari, dirinya sudah berjinjit hingga matanya selevel dengan Aditya.

"Nah, tuh lo tahu!" balas Aditya, "Gimana caranya gue nyontek lo juga?" 

"Argh!" Vania menarik rambut di pelipisnya, menyebabkan ikatan rambutnya lepas. Helaian rambut yang seperti sutra jatuh pada pundaknya yang bergetar. "Gue harus mendapatkan beasiswa ini, Aditya."

"Dan menurut lo gue engga?" lanjut Aditya, "Udahlah, Cess. Ga usah berlomba siapa yang paling butuh beasiswa ini. Lo sendiri tahu jawabannya siapa."

"Apa maksud lo?"

Merasakan tatapan panas dari Vania membuat Aditya yang biasanya cukup kalem menjadi jengkel. Entah mengapa perempuan di sampingnya ini selalu dapat mengusik ketenangan mentalnya dan menggores egonya. 

“Lo kan Princess yang bisa minta tolong kapanpun ke bokap lo yang motivational speaker kaya itu –yang sampai masuk majalah sebagai tokoh inspirasi Jakarta,” Aditya tidak berhenti meski menyadari kedua mata Vania berlinang, “jadi pasti lo mau beasiswa bukan karena butuh duit tapi karena butuh rekognisi. Lo selalu butuh validasi. Lo butuh orang muji lo kalau lo yang paling pintar, paling berprestasi."

Aditya mengira Vania akan membuat argumen bahwa beasiswa yang mereka incar ini tidak hanya untuk yang kurang mampu, tetapi sejatinya untuk yang berprestasi. Alasan yang lemah, pikir Aditya. Bagi pemuda satu ini, dirinya termasuk tidak mampu dan berprestasi, maka beasiswa itu lebih pantas diberikan padanya. 

"Sedangkan gue," lanjut Aditya ketika Vania masih bergeming, "Gue udah ga punya bokap yang bisa bantu biaya kuliah. Jadi selama lo masih punya bokap kaya kenapa lo bersikeras mau dapat beasiswa?"

"Oh, pantas lo ga punya bokap," kata Vania dengan nada pelan tetapi tajam, "Dari cara lo ngomong aja udah ketahuan."

"Apa lo bilang?" Panas api kemarahan sudah meraih ubun-ubun Aditya. Jarang sekali orang bisa membuatnya gusar, tetapi Vania selalu menjadi juara dalam menyulut kejengkelan Aditya.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya kecil, seakan menghalau air mata dari terjatuh, kemudian menghela napas kasar. "Gini deh, gue tahu lo benci gue," katanya.

Aditya hanya terdiam. Panas api yang tadi seakan mencapai ujung kepalanya menjadi reda seperti telah disiram air dingin. 

"Gue tahu lo pikir gue ga pantas dapat beasiswa ini," Vania mengambil napas tercekat seperti sedang menahan tangisan di tenggorokkan, "tapi gue ga akan menyerah berjuang untuk mendapatkan beasiswa ini. Jadi take it or leave it. Antara kita kerja sama besok nangkap bukti Bari melakukan tawuran dan membuat Pak Tirto mengubah syarat beasiswa, atau gue akan berusaha sendiri sampai gue dapat beasiswa itu."

Aditya tahu perempuan itu berusaha keras membuat suaranya datar. Memang kalimat yang ia lontarkan meenggambarkan ketenangan yang logis. Namun Aditya juga menangkap getaran-getaran kecil di suara saingannya ini, membuat Aditya merasa sedikit bersalah. Apakah aku sudah mengatakan sesuatu yang keterlaluan? batinnya.

Namun, lagi-lagi ego membuatnya berkata dengan nada ketus, "Oke. Besok sehabis istirahat kita ikutin Bari dan dapatin bukti itu."

"Oke," balas Vania. Kali ini nadanya lebih tinggi, tidak lagi bergetar. Seakan nada Aditya sebelumnya telah menyulut ego Vania pula.

"Oke!" seru Aditya kembali, "kita akan bolos setengah hari besok. Lo siap ga? Lo kan ga pernah bolos sekolah, Cess."

"Oke! Siapa takut?" sahut Vania, "Lo juga ga pernah bolos sekolah. Ga usah sok keren!"

"Besok mungkin akan bahaya lho, bokap-nyokap bakal khawatir ga? Karena kalo ada apa-apa gue sih bakal nyelamatin diri gue sendiri, ga bisa jadi ksatria kuda putih Princess."

"Gue ga akan bilang. Emang lo bakal bilang? Dan gue ga butuh cowo buat nyelamatin gue!"

"Engga, gue juga ga akan bilang tuh!" seru Aditya. Entah sejak kapan, kedua batang hidung mereka hanya tinggal beberapa ruas jari saja. Bahkan Vania dapat merasakan embusan napas panas yang keluar dari mulut Aditya. Mereka saling menahan tatapan penuh tekad satu sama lain, sebuah peperangan kasat mata. Kemudian di saat yang bersamaan, mereka membuang muka dan mulai berjalan menuju dua arah yang berbeda. Masing-masing dengan berbagai perasaan kalut bergerumuh di dada. Satu hal yang pasti, api di dalam diri mereka masing-masing berkobar lebih terang dari sebelumnya.

"Aku akan dapat beasiswa itu," kata Vania penuh tekad pada dirinya sendiri.

Di saat yang sama, Aditya tenggelam dalam pemikirannya. Dia mengingat Vania berkata, 'gue tahu lo benci gue.'

Lo benci gue, katanya.

Aditya sadar bahwa Vania tidak pernah sekalipun bilang, 'gue benci lo,' dan itu membuat perbedaan yang cukup berarti bagi Aditya.

"Gue ga benci lo, Van," bisik Aditya pada dirinya sendiri.

***

Di kejauhan, tepatnya di lapangan parkir sekolah yang terletak di belakang posko satpam, Pak Eko menghampiri sebuah mobil Toyota berwarna abu-abu. Di kursi pengemudi, Pak Tirto duduk memperhatikan kaca spion yang memperlihatkan bayangan Aditya dan Vania.

"Pak, dikau apakan kedua anak baik-baik itu hingga berantem seperti ini?" tanya Pak Eko dengan khawatir.

Pak Tirto hanya tersenyum tipis kemudian berkata, "Aku sedang memberi mereka pelajaran, Ko."

"Pelajaran hidup."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
Mapel di Musim Gugur
454      324     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Isi Hati
490      347     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
When I\'m With You (I Have Fun)
660      382     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
Our Tears
2953      1322     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Mentari dan Purnama
506      335     1     
Short Story
Mentari adalah gadis yang dikenal ceria di kalangan teman-temannya. Tanpa semua orang ketahui, ia menyimpan rahasia yang teramat besar. Mentari berteman dengan seorang hantu Belanda yang berkeliaran di sekolah! Rahasia Mentari terancam ketika seorang murid baru blasteran Belanda bernama Purnama datang ke sekolah. Apakah kedatangan Purnama ada hubungannya dengen rahasia Mentari?
Kisah Kasih di Sekolah
727      468     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
Rumah Arwah
1022      552     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
ADITYA DAN RA
18564      3095     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
3368      963     2     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
DariLyanka
2948      1025     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril