Dua kepala murid yang telah memenangkan berbagai penghargaan untuk SMA Garuda Nusantara mengintip dari balik kusen jendela dan kini terpaku pada satu sosok di ujung kelas XII IPS-2. Bukannya sibuk mengikuti ujian matematika dari Bu Darmi –seorang guru killer yang tidak akan sungkan memberi nilai ‘0,’ sosok itu justru… tertidur.
Dia adalah Bari Mulya Renggas.
Sosok itu cukup tinggi, dengan rambut cepak dan kulit sawo matang. Batang hidungnya terlihat sedikit bengkok, seakan sudah dipatahkan beberapa kali. Tidak hanya itu, terdapat luka lecet kecil di ujung bibirnya.
Aditya menyebut tindakan ini sebagai ‘pengintaian,’ sementara Vania menyebutnya sebagai ‘pengumpulan informasi.’ Perempuan itu bahkan mengeluarkan kamera ponsel dan memperbesar gambar di depannya.
“Wow,” celetuk Aditya, “Princess bawa gadget keren.”
Vania hanya memutar bola matanya sebagai respon, tetapi tidak menanggapi komentar Aditya. Ia berfokus pada lembar jawaban di depan Bari yang sudah ia magnifikasi melalui kamera. Kemudian dia terkesiap.
“Kenapa?” tanya Aditya.
Ketika Vania tidak kunjung menjawab, rasa penasaran membuat Aditya mengambil alih kamera ponsel untuk melihat sendiri apa yang membuat Vania terkejut.
“Le–lembar jawabannya…,” Vania tidak meneruskan jawabannya, sehingga Aditya yang menyelesaikan pernyataan itu, “...kosong.”
Sebenarnya tidak benar-benar kosong secara harafiah. Bari menggambar pikachu di lembar jawaban tersebut.
“Gimana caranya kita membantu orang yang sebego itu lulus ujian nasional?” bisik Vania dengan tangan di kepala, seakan pusing yang berat sedang melandanya.
Di sisi lain, Aditya justru mengernyit tidak setuju, “Siapa tahu dia ga bego, Princess, cuma malas saja.”
“Tetap aja,” lanjut Vania, “gimana caranya kita bantu anak yang semalas itu untuk mengejar ketinggalan supaya lulus ujian nasional? Mana ujian nasional tinggal 2 bulan lagi!”
“Shh!” Aditya membawa telunjuk ke depan bibirnya. Kedua kepala itu dengan cepat menunduk di bawah kusen jendela ketika Bu Darmi tiba-tiba menoleh ke arah mereka. Kini dua siswa-siswi itu duduk bersebelahan di bawah jendela. Vania menutup mulutnya dengan kedua tangan, sementara Aditya melihat pintu kelas dengan khawatir. Setelah beberapa detik berlalu tanpa Bu Darmi keluar kelas dan memarahi mereka, kedua siswa terpintar di sekolah itu menghela napas lega.
“Kita perlu mengintai sampai kehidupan sehari-harinya–”
Bisikan Aditya dipotong oleh koreksi dari Vania, “Pengumpulan informasi.”
Aditya mendelikkan kedua bahunya, “Pengumpulan informasi, pengintaian, apapun itu. Kita perlu tahu kehidupan sehari-harinya dulu sebelum menentukan rencana melaksanakan misi ini. Intinya kita harus mengubah psikologis–”
“Lo mau hipnotis dia?” tanya Vania.
“Ya kagak lah, Princess,” kata Aditya, “tapi kan kita perlu membujuk dia buat mau belajar bareng kita.”
Vania mendecak tidak setuju. “Memangnya lo tahu apa soal psikologis?”
“Pastinya lebih dari lo yang cuma peduli pada diri sendiri,” bisikan Aditya entah kenapa terdengar begitu keras di telinga Vania.
Vania membuka mulut hendak mengelak pernyataan sepihak Aditya, tetapi bel tanda kelas sudah berakhir berbunyi nyaring. Sedetik kemudian, pintu di samping mereka terbuka lebar dan murid satu per satu keluar seperti dikejar oleh hantu. Salah satu yang tercepat untuk keluar adalah Bari. Pemuda itu langsung menerjang tangga tanpa menyadari Aditya dan Vania yang masih terduduk di lantai.
Dengan cekatan, Aditya menarik tangan Vania kemudian mereka mengikuti Bari menuju tangga.
“Cepetan, Cess,” bisik Aditya. Cess adalah singkatan dari Princess –julukan menjengkelkan Aditya untuk Vania.
“Kaki gue ga sepanjang lo, Asbun,” Vania balas berbisik meski dengan nada yang lebih tinggi.
Aditya menghela napas kemudian tanpa peringatan, dia mengangkat Vania ke satu pundak. Tangan bebasnya memegangi lutut bagian belakang Vania agar perempuan itu tidak jatuh, kemudian Aditya menuruni dua tangga sekaligus mengikuti Bari.
“Woi!” Vania berteriak tetapi ketika melihat semua orang menatap mereka, pipi perempuan itu terasa panas dan ia tidak mau menarik perhatian yang berlebihan. Maka Vania menunduk agar wajahnya tertutup rambut dan membiarkan Aditya membopongnya secara memalukan. Untuk meredakan kekesalannya, ia menonjok punggung Aditya beberapa kali.
“Geli, Cess,” tutur Aditya yang masih fokus mencapai lantai terakhir mengikuti Bari, “kenapa sih tuh orang buru-buru banget mau pulang?”
Aditya menurunkan Vania di lantai dasar lalu kembali menarik Vania untuk mengikuti Bari keluar dari gerbang sekolah. Satpam sekolah hanya melongo melihat Aditya dan Vania bergandengan tangan –Vania hanya berharap tidak akan ada rumor yang aneh antara mereka berdua esok hari.
“Pak Eko, nitip tas kita berdua ya,” kata Aditya ramah meski tergesa-gesa, “Kita mau ngerjain proyek dulu. Urgent.”
“Proyek opo–”
“Proyek dari Pak Tirto!” seru Vania.
Begitu keluar dari gerbang sekolah, Bari belok kanan dan menaiki angkot di ujung jalan. Aditya dan Vania tidak menaiki angkot yang sama, tetapi mereka berdua naik ojek yang kebetulan lewat untuk mengikuti angkot tersebut.
Bari turun di depan toko serba ada Indomarket yang terletak di ruko Metro Pondok Labu. Aditya langsung membayar ojeknya tetapi Vania yang baru sadar tidak membawa dompet ditahan oleh abang ojek. Akhirnya Aditya yang membayar ojek milik Vania kemudian berkomentar, “Princess, princess. Terlalu sering dibayarin papi sampai lupa bawa dompet ya?”
Tidak seperti biasanya, Vania tidak membalas komentar itu. Perempuan itu justru mengepalkan kedua tangan kemudian bergegas menuju Indomarket. Entah disengaja atau tidak, pundak Vania membentur pundak Aditya yang cukup keras. Aditya hanya mendelikkan kedua bahunya, memasukkan kedua tangan di saku, kemudian mengikuti saingannya.
“Dia mau beli apaan di Indomarket?” tanya Vania, lebih pada dirinya sendiri.
“Alat tawuran mungkin,” balas Aditya.
Kedua pemuda-pemudi itu tidak langsung memasuki Indomarket, tetapi memilih untuk duduk di kursi pengunjung di depan toko. Melalui kaca toko, mereka dapat melihat Bari telah berganti baju menjadi seragam staf lalu Bari mulai mengoperasikan kasir toko.
Bari yang memiliki kerja paruh waktu setelah sekolah adalah hal yang tidak terduga bagi Aditya dan Vania. Mereka setengah berekspektasi Bari akan melakukan hal-hal mencurigakan selama menjaga toko. Namun setelah satu jam mengawasi… Bari tampak menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin.
Sekitar pukul lima sore, tiga pemuda berpakaian seragam SMA Pelita Cahaya yang berantakan memasuki toko. Mereka langsung mengambil beberapa kotak rokok dan kaleng bir. Salah satu dari ketiga pemuda itu meletakkan beberapa lembar uang seratus ribu di konter dan berkata, “lo ambil aja kembaliannya tapi kita butuh cepat barang-barang ini.”
Aditya dan Vania hanya dapat menahan napas ketika Bari dengan tenang mengambil uang tersebut dan mengantongkannya. Dia memproses barang-barang tersebut. Namun tiba-tiba ketiga pemuda itu meletakkan dua lembar uang seratus ribu lagi di konter.
“Biasa, Bar,” kata salah satu dari tiga pemuda itu, “ada tawuran lagi besok siang dan kalau lo bisa matahin hidung Kevin dari SMA 3, akan ada dua lembar lagi buat lo.”
Bari memandangi uang tersebut seakan orang lapar memandangi makanan. “Gue baru aja sembuh dari tawuran sebelumnya, Gi. Gue ga ada uang rumah sakit jadi gue cuma bed rest di rumah dua minggu.”
Ketiga pemudia itu berkata datar, “Ya, kalo ga mau gausah.” Pemuda yang dipanggil ‘Gi’ hendak mengambil uang di konter tetapi dihentikan oleh tangan Bari.
“Tunggu,” Bari menelan ludah kasar, “Gue akan di sana. Tempat dan waktu biasa?”
Bila sebelumnya Aditya dan Vania menahan napas, kini jantung mereka berdua seakan berhenti.
Ekspresi datar ketiga pemuda itu berubah dari datar menjadi penuh senyuman. Mereka mengangguk antusias. “Gitu dong! Lo kan jagoan kita, meski dari SMA lain. Kalau ga ada lo yang terima semua pukulan, kita bakal babak belur.”
“Sampai jumpa, Bar!” seru mereka sembari membawa barang-barang yang seharusnya belum bisa mereka beli mengingat umur mereka. Ketika mereka keluar dari toko, Aditya dan Vania sudah lebih dulu menghilang dari toko tersebut sehingga Bari tidak pernah menyadari dirinya diikuti.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku