Sebuah mobil Avanza sedang melaju menuju SMA Garuda Nusantara. Di dalamnya, Vania bersama dua murid lain, Kinara dan Mario, sedang berbagi GrabCar setelah memenangkan olimpiade debat satu Jakarta menuju sekolah asal mereka kembali.
"Lo ingat yang Si Kacamata Tebal dari SMA Pondok Bambu bilang soal deforestasi?" tanya Mario dengan antusias. Mario yang duduk di sebelah Vania mencondongkan tubuhnya ke depan. "Masa katanya 'jangan takut deforestasi'? Gue tahu dia mau masuk argumen dari sektor pembangunan dan ekonomi tapi ga gitu ga sih konsepnya?" Mario tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Iya, benar," seru Kinara yang duduk di samping kiri Vania, "tapi untungnya karena dia ngomong begitu kita bisa menghabisi dia di rebuttal."
Dengan 'kita' yang Kinara maksud sebenarnya adalah Vania. Tiga jam yang lalu ketika berada di podium debat, Kinara dan Mario sudah menggigit jari karena cemas, takut dengan argumen Bayu –yang mereka sebut Si Kacamata Tebal. Argumen Bayu memang kuat dan tajam meskipun ia harus menjadi pihak kontra, yaitu harus menjadi pihak yang membela pembakaran hutan dan deforestasi untuk pembangunan ladang sawit. Padahal opini publik di media sosial sudah terbentuk untuk mengecam kegiatan deforestasi sehingga tentu saja akan menjadi bias tertentu terhadap juri. Namun Bayu mampu menggiring opini juri untuk melihat sisi lain dari deforestasi. Vania masih mengingat argumennya; "Indonesia adalah negara berkembang dengan infrastruktur yang belum memadai sehingga memaksakan konsep go-green yang umumnya ideal hanya di negara maju hanya akan menimbun kerugian. Ingat," lanjut Bayu, "sebelum para negara maju berkoar terhadap pentingnya alam, mereka lah yang mendorong industrialisasi dan merusak alam lebih dulu. Bagaimanapun, industri dan energi dibutuhkan untuk kemajuan negara."
Bagus, pikir Vania, kalimat itu sangat elok dan berbobot.
Sayangnya, Bayu berhadapan dengan Vania yang langsung menyerang titik lemah dari argumen Bayu. "Seharusnya daripada berfokus pada industri yang merusak alam, kita sepatutnya mendorong green economy. Dorong industri-industri yang bersahabat dengan alam. Kita tidak bisa mengulang kesalahan para negara maju itu, kita harus menjadi lebih baik. Hal ini penting untuk mengurangi angka kebakaran hutan serta mempertahankan asupan oksigen yang layak di Indonesia. Untuk apa kita memajukan negara tetapi masyarakatnya sesak napas semua?"
Vania ingat sekali setelah meluncurkan argumennya, ia menatap lurus Bayu. Pria itu mengangguk kecil ke arah Vania, sebagai tanda hormat, tanda penghargaan terhadap argumen Vania yang cemerlang. Vania membalas dengan anggukan kecil pula, mengembalikan apresiasi dalam diam. Mereka tahu Vania telah menang saat itu juga tetapi sportmanship membuat mereka tetap melakukan tarian perdebatan hingga putaran terakhir. Ketika pengumuman pemenang, Vania dan Bayu sangatlah tenang, seperti sudah mengharapkan hasil tersebut. Sementara teman-teman Vania, Kinara dan Mario bersorak begitu heboh.
Kini, melihat medali emas dalam genggaman tangan Vania, ia merasa hampa di antara dua teman yang sibuk bergosip ria.
"Ugh! Gue males banget ikut jam pelajaran budi pekerti habis ini," gerutu Kinara.
"Gue juga males banget nih ikut jam pelajaran PKN," balas Mario, "kenapa sih kita ga diizinin seharian aja?"
"Mungkin karena Pak Tirto memastikan aku bertemu dengannya siang ini," kata Vania tanpa berpikir.
Kinara dan Mario saling bersitatap. "Lo dipanggil Pak Tirto?" tanya mereka berdua.
Vania mengangguk.
"Kenapa, Van?" tanya Kinara.
Lagi-lagi Vania membalas dengan keheningan, kali ini dia mengangkat kedua bahunya. Melihat Vania yang minim suara, Kinara dan Mario menjadi canggung kemudian memutuskan untuk diam pula selama perjalanan sisa ke sekolah. Vania hanya dapat mengembuskan napas. Dalam dua jam lagi Vania diharuskan menghadap Pak Tirto.
Vania cukup curiga panggilannya ke ruang Kepala Sekolah ada hubungannya dengan form pilihan jurusan kuliah dan universitas yang ia kumpulkan seminggu yang lalu. Form itu dibuat oleh guru Bimbingan Konseling, Bu Yeti, dan disebarkan kepada seluruh siswa SMA kelas tiga. Namun bukannya menulis tiga pilihan, Vania hanya menuliskan satu sebanyak tiga kali:
Fakultas Kedokteran, Universitas Angkasa –jalur beasiswa.
Mimpinya sejak dulu adalah mendapatkan beasiswa untuk jurusan bergengsi di universitas bergengsi di Indonesia. Universitas Angkasa selalu menempati peringkat lima teratas di Indonesia dan jurusan kedokterannya adalah yang tertua di negeri ini. Bila Vania mendapatkan gelar itu, mungkin saja kali ini prestasinya akan cukup, dan dia akhirnya bisa beristirahat. Mungkin saja dia tidak perlu lagi memenangkan semua perlombaan, tidak perlu lagi mempertahankan peringkat satunya dari Si Asal Bunyi, tidak perlu lagi cemas setiap kali nilai ujian diumumkan. Mungkin saja marathon tanpa hentinya akan mencapai garis akhir berupa gelar kedokteran.
Mungkin.
Vania menutup matanya untuk menghalau pikiran-pikiran berkecamuk yang mulai muncul di kepalanya. Namun betapapun ia mencoba menenangkan diri, pikiran-pikiran itu justru bertambah banyak ketika Vania berjalan menuju ruangan Kepala Sekolah. Tidak semuanya pikiran buruk, ada juga pikiran berharap seperti; apakah Pak Tirto akan membantuku mendapatkan beasiswa? Vania tahu untuk mendapatkan beasiswa dari universitas bergengsi itu memerlukan surat rekomendasi yang kuat dari Kepala Sekolah.
Semoga saj–
Pikiran Vania terhenti begitu melihat Aditya sudah lebih dulu duduk di kursi tamu dengan santai. Rambut cepaknya tampak berombak karena sepo angin dari pendingin ruangan yang tepat berada di sampingnya. Ia duduk dengan bersandar pada tembok dan kedua kaki panjangnya diluruskan hingga hampir menyentuh meja Kepala Sekolah. Kakinya begitu panjang untuk ukuran anak SMA. Kedua alis tebalnya bertaut sempurna bersama dengan hidung mancungnya serta rahangnya yang begitu tajam seperti model pria. Di kedua tangannya adalah sebuah buku berjudul "Laut Bercerita" yang sudah menguning dan sampulnya hampir lepas –pinjaman perpustakaan sesuai dengan label berwarna hijau yang berada di punggung buku.
Sejujurnya, Vania bisa memahami mengapa banyak sekali perempuan jatuh hati dengan penampilan Aditya ini. Terlebih dari fisiknya, Aditya selalu memberikan aura keren, santai –hingga siapa pun tidak akan mengira bahwa dia adalah peringkat kedua di sekolah ini –tentunya peringkat pertama adalah Vania.
"Kenapa, Princess?" tanya Aditya tiba-tiba, "Gue ganteng, ya?" Kedua mata mereka bertemu, membuyarkan Vania dari lamunannya.
"Idih!" seru Vania. Dengan cepat Vania membuang muka, tidak sudi lagi mengagumi fisik saingannya ini –atau lebih tepatnya, memaksa diri untuk berhenti mengagumi fisik saingannya. "Coba saja kalau dia ga pernah buka mulut," gerutu Vania.
"Apa?" tanya Aditya. Namun Vania sama sekali tidak ada niat untuk mengulang katanya.
Tidak lama setelah Vania duduk di kursi samping Aditya dengan canggung, pintu ruangan terbuka kembali dan kali ini masuklah Pak Tirto. Dengan cepat Aditya melipat kakinya kemudian berdiri di samping Vania –'Begitu tinggi', pikir Vania, 'apakah aku yang memendek? Perasaan kepalaku cuma sedagunya dia.'
"Silahkan duduk," kata Pak Tirto setelah mencapai meja kayu bernuansa gelapnya. "Alasan saya memanggil kalian berdua ke sini adalah untuk membicarakan surat rekomendasi ke Universitas Angkasa."
Vania berkedip. Pengharapan mulai berbunga di dadanya memikirkan sekolah akan memberikan surat rekomendasi kepada mereka berdua.
"Sekolah hanya dapat memberikan satu surat rekomendasi kepada satu siswa atau siswi terunggul," jelas Pak Tirto.
Dengan jelas, Vania dapat mendengar Aditya menelan ludah kasar. Vania pun juga menelan ludahnya yang seperti gumpalan pasir yang pahit.
"Namun selama beberapa bulan terakhir," lanjut Pak Tirto, "kalian sama-sama menduduki peringkat satu. Jadi..."
Pak Tirto menghela napas panjang, "Akan ada satu ujian lagi untuk menentukan siapa siswa atau siswi terunggul dari kalian berdua sebelum pendaftaran beasiswa Universitas Angkasa tutup. Seperti yang kalian tahu, pendaftaran beasiswa tutup lebih cepat daripada pendaftaran biasa."
Vania dan Aditya menghela napas lega. Ujian adalah keahlian mereka dan rasanya mereka sudah menghadapi beribu-ribu ujian jadi apalah arti satu ujian lagi? Meski.. Vania dan Aditya sempat melirik satu sama lain, sedikit kaget karena saingan mereka juga mendaftar untuk jalur beasiswa.
"Ujian apa Pak?" tanya Vania, "Kalau antara kami berdua berarti harus pelajaran yang diajarkan di IPA dan IPS; Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris?"
"Atau malah olah raga, Pak?" sambung Aditya dengan senyuman tipis.
"Hei, curang!" seru Vania, "Olah raga mah tidak menentukan nilai akademik." Sejujurnya Vania menjadi takut apabila benar ujian terakhir adalah olah raga. Otot-otot di tubuh Vania tidaklah terbentuk dan dia sama sekali tidak akan bisa mengalahkan superstar basket di sekolah mereka.
Aditya terkekeh melihat ekspresi Vania. Namun dengan cepat senyuman jahilnya hilang begitu Vania berkata, "Apa jangan-jangan debat Pak? Bila debat kita bisa menggunakan topik apapun."
Giliran Aditya yang melongo tidak rela sementara Vania tersenyum tipis. Tentu saja semua orang tahu bahwa Vania adalah ratu debat di SMA ini. Tidak ada lomba debat antarsekolah bahkan antarprovinsi yang tidak dimenangkan oleh Vania.
"Ga bisa gitu dong, Pak," Aditya mencoba memengaruhi Pak Tirto dengan nadanya yang santai, meski samar-samar Vania dapat mendengar kepanikan.
"Bukan," jawab Pak Tirto, "bukan itu semua." Suaranya tidak keras, tetapi berat dan mengisi satu ruangan. Seketika Aditya dan Vania terdiam, menunggu, dan menunggu. Dan kembali menunggu.
"Ujian terakhir kalian bukanlah bersifat akademik," lanjut Pak Tirto, "ataupun pendidikan jasmani, ataupun debat. Kalian berdua sudah membuktikan selama bertahun-tahun kalian adalah nomor satu di bidang itu semua. Ujian terakhir ini sifatnya di luar itu semua. Ya, sebutlah kegiatan ekstrakurikuler humanisme,"
"Ekstrakurikuler humanisme?" tanya Aditya dan Vania bersamaan.
Pak Tirto menangkupkan dagunya pada kedua tangan. "Ujian kalian adalah siapapun yang bisa membuat Bari dari XII IPS-2 untuk kembali rajin masuk sekolah, mau mengikuti ujian nasional, dan mau mendaftar ke perguruan tinggi... orang yang berhasil akan mendapatkan rekomendasi untuk jalur beasiswa ke Universitas Angka."
Vania tidak tahu berapa banyak waktu berlalu hanya diisi keheningan yang mencekik. Satu kedip. Dua kedip. Aditya pun tidak bereaksi di sampingnya. Barulah pada kedipan ketiga, tubuh Vania berontak dan memacunya untuk bersuara; "Hah?" Suaranya terdengar terlalu keras dari yang Vania kira –itu karena saingannya, Aditya, juga mengeluarkan suara yang sama.
"Bari yang anak bermasalah itu, Pak?" tanya Vania.
Di saat yang sama Aditya juga mengklarifikasi, "Bari yang udah ga masuk sekolah selama dua minggu?"
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku