Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Derap langkah tergesa mengisi lorong sekolah yang kosong. Dua kaki yang ramping itu tengah berlari dari kantin di sisi timur sekolah menuju sisi barat sekolah. Tidak hanya itu, Vania juga menaiki tangga berputar dengan ketinggian anak-anak tangga yang tidak simetris secepat yang ia bisa. Tujuannya adalah mencapai lantai lima, lantai tempat semua kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) Garuda Nusantara jurusan Ilmu Pengetahuan Alam berada. Ketika dia hampir mencapai lantai dua, salah satu kakinya tersandung anak tangga terakhir, yang lebih tinggi daripada anak tangga lain, menyebabkan tubuhnya tersungkur ke depan dan menjatuhkan semua barang yang ia bawa dengan kedua tangan. Buku latihan ujian nasional dan tes inggris TOEFL yang tebal, dua pensil 2B, penggaris lurus, dan pulpen multiwarna melayang beberapa langkah di depannya. Diikuti dengan tabung kecil berwarna metalik –tempat lip-gloss nya.

"Tuh kan!" seru Anisa yang ngos-ngosan di belakang Vania. Anisa masih beberapa anak tangga di belakang Vania, ia perlahan naik dengan satu tangan di pegangan tangga sementara satu lagi memegangi kaki Anisa yang sudah terasa sangat berat. "Gila," kata Anisa terengah-engah, "Lo."

Vania hanya memastikan lip-gloss nya masih utuh dan tidak retak –prioritas ya dongg! –kemudian dia kembali melangkah menaiki tangga hingga lantai lima. "Nis, tolong ambilin barang-barang gue ya!" serunya sembali kembali menjejakkan kaki secepat yang ia bisa.

"Buset." Anisa mengambil napas. "Vania." Anisa akhirnya mencapai lantai dua dan mengambil napas kasar. "Larasati!"

"I love you, Nis!" seru Vania dari atas.

Tanpa sepenglihatan Vania, Anisa melayangkan jari tengah pada sosok tubuh Vania yang seakan sedang melayang menuju lantai empat, kemudian lantai lima.

"Untung lo teman baik gue," gerutu Anisa sembari mengambil barang Vania yang terjatuh satu per satu, "tapi kenapa sih kalau nilai ujian keluar lu selalu harus jadi orang pertama yang tahu?" Napas Anisa masih tersengal-sengal.

"Buset!" seru Anisa kembali ketika dirinya mencoba mengangkat buku latihan ujian nasional milik Vania. "Tadi lo lari cepat banget dengan buku seberat ini?" lanjutnya "dua buku tebel kayak gini?" Anisa mendecak tidak habis pikir. "Teman baik gue ga waras, emang."

Ketika Anisa hendak mengambil buku latihan TOEFL milik Vania –masih dengan napas yang memburu dan sekujur tubuh yang keringatan, tangan lain sudah lebih dulu menggapai buku tebal itu. Anisa mendongak dan mendapati wajah familier seorang lelaki. Kakinya panjang, bahunya lebar, rahangnya kokoh, alis tebal, rambut cepak yang rapi, dan sorot mata yang tajam seperti pemangsa. Tanpa sadar, Anisa menelan ludahnya sendiri. "Eh, Aditya," sapa Anisa dengan canggung.

Aditya memandangi buku tebal yang telah ia ambil dari lantai. Kepalanya sedikit meneleng seakan sedang menilai buku itu dengan matanya yang cermat. "Hm, Princess mau kuliah di luar negeri?"

"Hah?" Kedua alis Anisa mengkerut seakan tidak mengerti.

Aditya mengangkat kedua alisnya ke arah satu-satunya sosok yang sedang menaiki tangga. "Dia. Si juara satu dari kelas IPA," jelas Aditya, "dia mau keluar negeri?"

"Oh," Anisa tanpa sadar mengambil langkah mundur, "enggak tahu ya. Tapi buku ini dia beli untuk ujian inggris lusa. Gila, kan? Latihan soal dari Sir Darius aja udah susah, eh, tuh orang malah beli buku latihan yang lebih susah."

Bukannya menanggapi curhatan Anisa, pandangan Aditya masih tertuju pada tangga di depannya. Sementara Anisa yang merasa tidak dihiraukan, mendecak kesal. Pasalnya, Anisa termasuk salah satu gadis cantik dari SMA Garuda Nusantara –hampir semua lelaki di SMA itu pasti pernah menaruh hati pada Anisa. Meski awalnya was-was terhadap Aditya yang menurutnya memiliki aura intimidasi, Anisa lebih sebal karena dianggap tidak ada.

"Oi–"

Anisa hendak menegur Aditya, tetapi ia terbungkam ketika Aditya tiba-tiba berkata, "Sini."

"Hah?"

Aditya mengambil buku milik Vania dari tangan Anisa, berikut alat-alat tulisnya kemudian berkata, "Gue yang kasih ke Princess. Dia pasti lagi lihat hasil ujian matematika kemarin, kan?"

Anisa hanya bisa berkedip sementara Aditya melangkah mantap menaiki tangga. Kakinya yang tinggi dapat menapak dua tangga sekaligus dengan cepat. Apalagi Aditya lumayan terkenal sebagai pemain basket sekolah yang handal, sehingga begitu ia sampai di lantai lima, wajahnya masih terlihat santai.

Butuh beberapa detik hingga akhirnya Anisa sadar ia baru saja menyerahkan barang-barang Vania kepada saingan terbesar Vania –satu-satunya orang di SMA ini yang akan senang bila nilai Vania turun. Anisa menangkup kepalanya yang mulai pening. "Astaga!" Kemudian dia berusaha mengejar langkah Aditya yang lebar tetapi ternyata kedua kakinya menolak untuk menaiki satu tangga pun. Alhasil, Anisa hanya bisa berteriak dari bawah, "Woi! Jangan apa-apain barang milik Vania!"

 

***

 

Semakin melangkah, semakin cengiran Aditya melebar. Dengan lugunya, Anisa –sahabat saingannya, Vania, membiarkan Aditya mengambil barang-barang Vania. Di kepalanya, Aditya mulai memutar berbagai ekspresi yang mungkin muncul dari Vania. Pasti Vania akan cemberut kemudian meneriaki Aditya untuk mengembalikan barang-barangnya.

'Biar dia tahu rasa!' pikir Aditya, 'kali ini aku akan mengerjainya sampai dia memohon.'

Begitu sampai di lantai lima, sangat mudah untuk menemukan sosok incarannya –saingannya sejak pengumuman peringkat sekolah saat mereka kelas satu SMP. Gadis itu memiliki rambut ikal yang diikat seperti buntut kuda –beberapa helai rambut melekat pada kening dan lehernya karena keringat, garis hidungnya terbilang mancung dan bulu matanya lentik. Aditya memang mengakui; saingannya, Vania, adalah gadis yang menarik. Bila saja Vania tidak pernah memulai persaingan di antara mereka ini terlebih dahulu, mungkin saja Aditya akan menaruh hati padanya. Mungkin... 10% kemungkinan.

Hampir empat tahun yang lalu, nilai seluruh siswa untuk ujian akhir kelas satu SMP diumumkan di papan pengumuman lantai satu. Saat itu juga, peringkat satu sekolah ditentukan pertama kali.

Aditya ingat sekali hari itu ia juga melihat Vania sudah berdiri menatap papan pengumuman –persis sama dengan yang Aditya lihat sekarang –hanya berbeda di seragam yang mereka berdua pakai. Vania terlihat tertegun melihat papan itu. Kedua tangan gadis itu terkepal erat dan beberapa kali Vania mengedipkan matanya yang berlinang air. Melihat itu, Aditya yang kebingungan memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Ia hanya akan memeriksa nilainya sendiri di papan pengumuman kemudian pergi ketika ia mendengar Vania berkata pelan, lebih kepada dirinya sendiri, "Enggak mungkin... Aditya itu pasti nyontek."

Mendengar kalimat itu menyulut ego Aditya. Dia tidak bisa lagi tidak menghiraukan Vania. "Tolong mulutnya dijaga," katanya ketus, "kalau ga tahu apa-apa jangan nge-judge sepihak."

Vania berkedip sekali. Kemudian matanya yang masih berlinang air perlahan menangkap pandangan Aditya. Mereka berdiri bersebelahan di depan papan pengumuman dengan tinggi yang hampir sama.

"Lo?" tanya Vania, "Lo si Aditya yang peringkat satu mengalahkan nilai gue?"

Aditya mengangkat dagunya, seakan menantang Vania, "Iya. Gue." Lanjutnya, "dan asal lo tahu, gue anti menyontek."

Mata Vania melotot. Ia menunjuk Aditya sembari berkata, "Kalo lo ga nyontek, bagaimana caranya nilai lo bisa lebih tinggi dari gue?" suaranya meninggi –lebih tinggi dari yang Vania kira.

Kekesalan Aditya semakin tersulut hingga ia mengambil satu langkah, menyisakan hanya 1 cm di antara mereka berdua, dan berkata dengan suara tinggi pula, "Sorry aja nih kalo Princess sudah berusaha keras tapi ternyata gue masih lebih pinter. Apa lo harus bolos hari ini untuk merengek ke bokap lo?"

Vania semakin melotot, mulutnya setengah terbuka karena tidak percaya apa yang baru saja ia dengar dari Aditya.

"Gue akan buktiin ke Pak Guntur kalo lo mencontek," kata Vania mantap.

"Silahkan! Kalau lo punya bukti, silahkan, Princess!" seru Aditya.

Tak lama, perdebatan mereka sudah mengundang para penonton –berbagai siswa yang datang untuk melihat nilai mereka terhalangi oleh adu mulut peringkat satu dan peringkat dua sekolah.

"Awas aja kalau lo terbukti mencontek," lanjut Vania, "gue akan pastikan lo dikeluarkan dari sekolah!"

"Siapa takut? Do your best, Princess! Lo pikir satu sekolah ini kerajaan lo dan semuanya akan nurut ama nyokap-bokap lo?"

"STOP panggil gue princess!" teriak Vania.

Aditya menjulurkan lidahnya –tindakan kekanak-kanakan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. "Princess. Princess. Princess. Princess. Princess." Semakin Aditya melihat Vania jengkel tiap kali dipanggil 'Princess,' semakin Aditya semangat untuk memanggilnya demikian.

Adu mulut hari itu dihentikan oleh Pak Guntur, yang kemudian memanggil Aditya dan Vania ke ruangan guru bimbingan konseling, Bu Narti –di mana Vania melanjutkan tuduhannya bahwa Aditya mencontek kepada Bu Narti lalu Aditya dan Vania kembali beradu mulut sengit. Bu Narti yang pening langsung mengarahkan Vania dan Aditya ke ruangan kepala sekolah, Pak Tirto. Solusi dari Pak Tirto adalah untuk Vania dan Aditya untuk melakukan 'gencatan senjata' saat itu juga bila mereka tidak ingin Pak Tirto memanggil kedua orang tua mereka.

"Tapi Pak," Vania menunjuk Aditya, "dia menyontek–"

Pak Tirto menghentikan Vania dengan mengangkat satu tangan. "Sudah, Vania," katanya, "tidak sepertimu untuk langsung menuduh orang lain. Saya tahu nilai penting untukmu tetapi tidak perlu sampai menuduh, bukan?"

"Tuh!" seru Aditya, "denger tuh, Prin–"

Pak Tirto juga menghentikan Aditya dengan mengangkat tangan yang lain. "Cukup, Aditya. Saya juga kecewa dengan kamu."

Kepala Sekolah menghela napas berat kemudian berkata, "Daripada kalian berdebat seperti ini, mending kalian fokus pada diri sendiri saja. Nilai ujian bukanlah satu-satunya penentu peringkat di sekolah ini. Seiring waktu, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan organisasi, dan proyek-proyek khusus yang kalian lakukan juga akan dipertimbangkan. Ada juga penilaian sikap." Pak Tirto menekankan pada kata 'sikap.'

Aditya dan Vania akhirnya menunduk merasa bersalah.

"Maaf, Pak," kata mereka berdua bersamaan.

Sejak hari itu, Vania dan Aditya selalu bersaing untuk meraih peringkat pertama di sekolah, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Di ujian akhir berikutnya, Vania yang berada di peringkat pertama. Sebagai perayaan kemenangan, gadis itu mengirimi pesan kertas secara diam-diam kepada Aditya bertuliskan; 'Lo ga akan pernah menjadi peringkat satu di sekolah lagi.' Aditya masih menyimpan kertas itu hingga sekarang sebagai motivasinya untuk belajar dan mengejar prestasi. Kerja kerasnya itu terbayar di ujian akhir SMP kelas 3 dengan Aditya kembali mengalahkan Vania. Kemudian Aditya membalas mengirimkan pesan kertas pada Vania bertuliskan; 'Jangan nangis ya, Princess.'

Selama beberapa tahun berikutnya, bahkan ketika Vania memasuki jurusan IPA dan Aditya memasuki jurusan IPS, mereka masih bersaing begitu ketat memperebutkan peringakat satu di sekolah.

Adrenalin memacu detak jantung Aditya begitu cepat. Meski wajahnya terlihat tenang, dalam hati, ia sangat mengantisipasi hasil nilai ujian kali ini. Entah sejak kapan, karena persaingannya dengan Vania, ia selalu menunggu momen pemberitahuan nilai. Apakah kali ini ia berhasil merebut peringkat pertama dari Princess? Ataukah kali ini ia kalah lagi?

Aditya berhenti tepat dua langkah di samping Vania yang masih tertegun menatap papan pengumuman. Ia berkedip sekali. Kemudian dua kali. Lalu yang ketiga kali untuk memastikan ia telah membaca nilai yang tertera dengan benar.

"Oh," katanya pelan, "ini pertama kalinya..."

"...nilai kita sama," sambung Vania.

"Ngomong-ngomong," kata Aditya dengan nada jahil, "jangan harap gue bakal kasih barang-barang lo dengan mudah. Lo harus memohon–"

"Ambil aja semuanya," balas Vania acuh tak acuh.

Keduanya saling tatap dengan penuh ketegangan. Namun tak lama, mereka saling buang muka dan mulai berjalan ke kedua arah yang berbeda. Vania menuju kelas IPA nya sementara Aditya menuruni tangga menuju kelas IPS nya. Di pertengahan tangga, Aditya kembali bertemu dengan Anisa dan menyerahkan semua barang milik Vania dengan ketus. "Balikin tuh ke, Princess."

"Lah," gerutu Anisa, "katanya lo yang mau balikin sendiri." Aditya tidak menghiraukan protes Anisa dan terus menuruni tangga.

 

Tanpa Aditya dan Vania sadari, seseorang telah mengamati mereka dari kejauhan dan menyusun rencana.

How do you feel about this chapter?

2 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
A Poem For Blue Day
126      83     4     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Le Papillon
2983      1209     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
DariLyanka
2948      1025     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Ketos pilihan
734      514     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
5627      1883     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
L for Libra [ON GOING]
7456      1702     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
MANITO
554      412     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Teori Membenci
569      409     4     
Inspirational
Terkadang sebuah pemikiran bijak suka datang tiba-tiba. Bahkan saat aku berdiri menunggu taksi di pinggir jalan.
Dream of Being a Villainess
1336      762     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
207      185     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...