Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Tes tertutup—atau bisa disebut juga tes individu. Dalam sistem sekolah ini, tes tersebut seolah berperan sebagai tugas wajib murid dalam mencukupi kebutuhan harian mereka. Sederhananya, tes tersebut seperti 'suatu pekerjaan yang dikhususkan untuk pelajar' setiap minggunya. Namun, cepat atau lambat kebenaran dari tes ini juga akan terlihat setelah murid mengikutinya dari awal hingga akhir. Salah satu kebenaranya yang cukup terlambat untuk diketahui yaitu tes lain seperti uji 'ketelitian' atau uji 'kelihaian', semua itu hanyalah 'progam awal' yang diadakan sekali. Dengan kata lain, dalam masa pengenalan ini tes tersebut merupakan bentuk dari salah satu konten 'rancangan dasar' yang diadakan oleh OSIS untuk murid baru setiap tahunnya.

    Setelah tes tertutup selesai, semua murid yang berada di 'cubic room' di persilahkan kembali ke dalam gedung sekolah utama (GSU) melewati tangga loop sebelumnya. Lalu yang cukup mengejutkannya, setelah cubic room di kosongkan, tangga menuju ke atas sana secara otomatis tertutup oleh tembok yang tiba-tiba menggeser, digantikan tembok seperti sebelahnya. Alhasil tangga yang sebelumnya tampak di setiap sisi gedung dari keseluruhan lantai, tertutup rapat menyisakan garis pemisah seolah-olah tidak pernah ada sesuatu di sana.

                                                  ***

—Rafa

    "Sepertinya inilah akhir yang kudapatkan," gumamku.

    Saat ini aku sedang berjalan di antara lorong kelas, melihat saldo ponselku yang telah ditambahkan. Lalu ketika melihat ke arah jendela luar, tampaknya matahari akan segera terbenam. Dari perkiraanku seharusnya masih ada waktu untuk sampai ke asrama sebelum gelap.

    "Kurasa aku harus membalas kebaikannya."

    Disisi lain, aku mengingat balas budiku kepada siswi yang bernama Cika. Meskipun saat ini dia belum menyadari fakta bahwa aku sekelas dengannya, bagi orang yang sulit berkomunikasi sepertiku hal ini tentu wajar. Bahkan kalau seandainya Cika yang ada di posisiku sekalipun, kurang lebih mungkin kondisinya tidak akan jauh berbeda.

    "Sepertinya kau melakukan sesuatu yang cukup menarik."

    Mendengar sepatah kata dari seseorang yang tiba-tiba berjalan di belakangku, dari suaranya aku bisa mengetahui siapa yang sedang berbicara.

    "Mungkin bagimu terlihat seperti itu—tapi bagiku tidak."

    Dalam pertengahan, ada jeda dua detik sebelum kata yang terakhir itu ku ucapkan. Tanpa menoleh ke belakang, aku terus berjalan berusaha mengabaikan keberadaan siswi itu. Kupikir aku tidak seharusnya terlibat dengan orang seperti dia, tapi... 

    "Bagaimanapun juga, kau adalah orang yang sesaat telah merusak kesenangan pribadiku. Bisakah kau memberitahuku alasanmu melakukan itu? Sebelumnya kau berkata kalau dirimu itu siswa tanpa motivasi kan. Pastinya ada sesuatu yang membuatmu tertarik melakukan itu. Jika tidak, kau mungkin akan terus diam ditempat tanpa mempedulikan apapun," kata siswi ini, seolah begitu analisis menyelidikiku.

    Ucapannya terdengar sangat masuk akal, namun faktanya dia masih belum tahu bahwa aku adalah tipikal 'orang yang bebas'—baik ketika melakukan sesuatu seperti mengambil keputusan ataupun mengambil tindakan.

    "Entahlah. Kau bebas mengartikan tindakanku sesukamu, tapi jangan salah paham, karena dari awal aku memang tidak punya maksud ingin merusak kesenanganmu. Kalau dari perspektifmu itu yang kau lihat, maka anggap saja seperti itu. Kurang lebih semua yang terjadi hanya kebetulan, baik mapel itu, maupun situasinya," kataku, memperjelas fakta.

    "Sastra, ya... Kelihatannya kau sangat menguasainya. Melihat dari penampilanmu, aku sudah tidak heran," katanya, tidak terdengar seperti pujian.

    "Apa kau tipe orang yang selalu melihat 'buku dari sampulnya'?" Tanyaku.

    "Seperti yang kau katakan tadi. Jika kau melihatnya seperti itu, maka itulah yang kau lihat," jawabnya.

    'Apakah dia mempunyai dendam tersembunyi dengan menyamakan maksud seperti yang ku ucapkan sebelumnya' adalah apa yang kupikirkan. Karena kebetulan ingin tahu, aku akan mencoba menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran di ruang tes. Tapi seolah dapat membaca pikiranku, dia kebetulan melontarkan pertanyaan yang tak jauh dengan yang kupikirkan...

    "Ngomong-ngomong, apa kau menyadari sesuatu yang ganjil di dalam ruangan tes? Seperti ada yang terkesan disengaja, begitu. Bagaimana menurutmu?"

    Menanyakan ini, dia menyelaraskan langkah kakiku yang terus berjalan.

    Aku bisa melihat dia mengharapkan sesuatu dariku dengan senyumannya yang seolah punya maksud lain.

    "Biar ku tebak, apa mungkin rata-rata murid yang ada di ruangan tadi kebanyakan dari kelasmu?"

    "Hooh... apa yang membuatmu sampai pada kesimpulan itu?" Dia menyeringai.

    Sial, aku dijebak. Ini sungguh ironis mengingat bahwa aku berniat menghindari hal yang perlu 'menjelaskan sesuatu secara panjang lebar'.

    "Kupikir sebelumnya kau meminta mereka agar tidak berpendapat apapun. Karena disaat kau menyinggung mereka dengan kata 'pendapat murid yang lain' ditengah perdebatanmu dengan siswi itu, hampir sebagian besar dari mereka memiliki reaksi yang sama ragunya seolah dimaksudkan sebagai 'persetujuan karena terpaksa'. Akibat merasa seperti itu, mulut mereka memang hanya bisa diam, tapi tidak dengan ekspresinya." kataku.

    "Persetujuan karena terpaksa ya. Sejauh ini aku baru mendengar ada orang memberikan jawaban yang cukup akurat melebihi ekspektasiku," katanya, menahan tawa kecilnya ketika mengucapkan awal kalimat.

    Apakah dari caraku mengatakannya terlalu berlebihan untuk menggambarkan situasi di ruang tes itu? Dari caranya memuji, tampaknya alurnya memang demikian.

    "Kalau kau memang sepuas itu, sekalian saja aku ingin memastikan sesuatu."

    Aku berhenti berjalan.

    Ini adalah pertanyaan yang sempat membuatku penasaran, tapi aku tidak ingin memastikannya lebih lanjut karena mungkin dia akan mencoba merahasiakannya seperti yang umumnya dilakukan, atau malah menjadi lebih intensif terhadapku melihat caranya menyelidikiku secara langsung saat ini. Tapi... 

    "Apakah ini memang karyamu?"

    Dari jas, aku mengambil buku novel kecil yang sempat kuambil diam-diam di 'free room', lalu menunjukkan biografi foto profil authornya yang sekilas mirip dengannya. Bahkan jika dilihat dengan teliti, sepertinya ini adalah foto dia di masa lalu, mungkin ketika masih di SMP.

    "Dari mana kau mendapatkannya?"

    Dari ekspresinya tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan ataupun perubahan pada senyumannya, tapi aku bisa mendengar intonasi bicaranya yang seperti sedang 'menahan'.

    "'Free room'. Kebetulan aku menemukannya di sana," kataku, menunjukkan.

    "Hn... hari ini sepertinya kau sangat beruntung," dia kembali menyeringai.

    "Mungkin," balasku.

    "Karena kau pasti sudah menyadarinya... kurasa aku tidak perlu menyembunyikannya. Seperti yang kau lihat, pengarangnya tidak lain adalah aku seorang. Kupikir di dalamnya itu tidak semenarik dengan apa yang kau pikirkan. Didalamnya hanya berisikan imajinasi konyol seperti cerita fiksi yang menggabungkan ilmu psikologi dengan sains—itu sangat menggelikan."

    Dengan singkat, dia mengakuinya tanpa merasa enggan ataupun malu sedikitpun.

    "Itu aneh—melihat ada orang yang mengejek karyanya sendiri. Bukankah umumnya orang pasti akan senang bila karyanya diperhatikan?" Tanyaku.

    "Biar ku luruskan. Terus terang karya itu termasuk salah satu dari karyaku yang gagal. Dari sini kau mengerti kan?" Jawabnya.

    Kupikir untuk sekarang aku tidak harus menanyainya lebih lanjut. Aku akan memilih diam—itu lebih baik.

    "Yah, kau bisa saja membuangnya kapanpun kau mau ketika sudah tidak tertarik membaca isinya. Sekalipun kau penyuka sastra, aku tidak mengharapkan penilaian tinggi terkait karya itu," katanya, terdengar acuh tak acuh.

    "Membuangnya atau menyimpannya itu adalah pilihanku sebagai pembaca bukan." Sambil mengatakannya, aku memasukkan kembali novel kecil yang ku pegang ini kedalam jas. Dia yang sekilas melihatnya tampak tidak berniat memberikan komentar apapun.

    "Apa kau bisa menebak siapa namaku yang sebenarnya?" Tanyanya tiba-tiba. 

    "Jika di dalam novel tadi tertulis nama pena 'Sherlyta', maka ada kemungkinan bahwa itu tidak akan jauh berbeda dari kata penamaannya. Ciri-ciri umum orang yang membuat nama pena kurasa memiliki konsep seperti itu," kataku.

    "Jadi, siapa?" Lanjut tanyanya.

    'Bukankah itu sudah jelas' adalah kata yang ingin ku pertegas kepadanya. Sepertinya aku memang harus mengikuti alurnya sebagai hasil kompensasi karena telah membahas karyanya.

    "Awalnya kupikir Sherly atau Lyta. Tapi setelah melihat namamu didepan layar papan tadi, tidak perlu ditanya lagi namamu sudah pasti Sherly," jawabku.

    "Pingpong! Kau berhasil menebaknya." Dia mengatakan itu sambil menirukan suara survey jawaban benar—sungguh berlebihan.

    "Perkenalkan, aku Sherly dari kelas IPA," katanya, sambil mengulurkan tangan.

    "Rafa. Pelajar tanpa motivasi," balas kataku.

    Jadi begitu—caranya yang berlebihan tadi sepertinya hanya sebagai upaya agar bisa memulai perkenalannya denganku. Rupanya dia juga suka berbasa-basi.

    "Untuk kedepannya, mari kita bersaing di mapel lain," katanya, kembali tersenyum licik.

    "Itupun kalau bisa satu ruangan lagi," kataku.

    Siswi yang aneh, kurasa aku merasakan gejolak kejeniusannya seperti yang kurasakan ketika pertama kali bertemu Cika. Tapi ada perbedaan signifikan di sini. Kalau Cika tipe siswi yang maniak belajar, maka dia tipe analisis kuat yang itu berarti konsepnya berkebalikan dengannya. Atau bisa diartikan, hampir serupa dalam menggunakan pemikiran 'dalam' sepertiku. Secara garis besar, letak perbedaannya adalah dia berpotensi berkembang di bidang sains, sementara aku lebih ke arah sastra—mungkin kurang lebih seperti itu.

    "Kau terlihat seperti orang yang akan mendominasi kelas dengan pengetahuanmu," kataku, menyelidik spontan.

    "Heh... menurutmu aku seperti itu ya?" Dia kembali menyeringai.

    "Kurang lebih... begitu," kataku, menghindari kontak mata langsung dengannya.

    "Ngomong-ngomong yang terakhir ada yang membuatku cukup penasaran dengan ucapanmu sebelumnya. Kau sempat berkata tentang 'keterbatasan' kan. Kupikir itu cukup menarik dari caramu mengatakannya dalam kondisi itu. Seperti sengaja 'menjalankan skenario di belakang'. Mungkin terkesan seperti itu," katanya, terus menerus memaksaku untuk bicara.

    "Jika kau menyadarinya, anggap saja sebagai nasehat tidak langsung dariku," kataku.

    Kupikir sudah tidak ada cara lain selain jujur karena dia sudah menyudutkanku sejauh ini. Kurasa aku mulai sedikit mengerti perasaan siswi koleris yang berdebat dengannya—'mengapa dirinya bisa segeram itu' hanya karena mendengarkan 'apa yang keluar dari mulut perempuan ini'.

    "Jadi memang setengah benar ya, kalau kuanggap kau sengaja mengusikku. Sekali lagi tanpa keberuntungan, kau mungkin tidak akan melakukan itu," katanya, tampak sangat percaya diri.

    "Terserah," kataku, dengan intonasi lesu.

    Ketika sampai di aula depan, tampaknya sudah tidak ada banyak murid yang berada di sana. Pancaran cahaya di sore hari ini bahkan telah menyinari seluruh ruangan di sekitar aula—membuat pemandangan estetik yang tampak begitu alami di dalam gedung. Dan suasana hangat disekitarnya seakan-akan membuat mata terlena dengan panorama ini.

    "Hei. Apa kau menginginkan 'angin perubahan yang datang'? Mungkin aku bisa saja membuatmu dari pelajar yang tidak termotivasi menjadi pelajar yang termotivasi dalam sekejap," katanya, saat menghentikan langkah kakinya.

    "Aku ingin tahu apa yang kali ini kau rencanakan."

    Demi melihatnya yang semakin membuat penasaran, aku berbalik—dan disaat yang sama, sudut pandangku sontak sedikit terpukau melihat pemandangan kontras yang dirasa hampir serupa, seperti saat dimana aku bertemu dengan Cika yang sempat memberikan bekal makan sebelum istirahat kedua selesai.

    Sebuah kata yang dipenuhi oleh tekad dan ambisi kuat, seketika keluar dari mulut perempuan ini....

    "Kalau kau tidak keberatan. Apa kau mau menjadi pendampingku? Kalau kita bisa berkerjasama, kupikir kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain."

    Itu adalah kata yang jelas diucapkan olehnya.

    Alasannya cukup masuk akal dan kupikir itu ide yang cemerlang sebagai seorang pelajar dengan standar 'saling melengkapi'.

    Awalnya kupikir selama berada di sekolah ini, tidak akan ada orang yang tertarik dengan keberadaanku, ataupun diriku—itu karena dari lubuk hatiku yang terdalam aku sudah tidak dapat lagi melihat seseorang secara intens sebagai individu—itupun kalau ternyata konteksnya untuk saat ini.

    Aku tidak tahu apa yang akan menungguku didepan dan terkadang itu membuatku ragu terlibat lebih dalam dengan orang lain. Bahkan sekarang ini, aku hanya bisa memikirkan diriku sendiri sebagai seorang individu yang selalu berjuang sendirian. Itu tidak lain karena... semuanya telah 'ku buang di masa lalu'. Seolah ada bayangan yang bisa menerkamku kapan saja, perasaan seperti itulah yang kurasakan ketika mulai serius memikirkan sesuatu yang 'dalam' terhadap orang lain.

    Satu-satunya hal yang tidak dapat kupahami adalah hati 'dalam' seseorang—cara seseorang mengartikan sesuatu terhadap sesuatu yang lain. Itulah mengapa aku tidak dapat mengambil tindakan atau keputusan jika menyangkut perasaan seseorang. Itu karena aku tidak ingin menyakiti perasaan tulus seseorang, sementara disisi lain, aku juga tidak ingin terlalu memaksakan diriku untuk tunduk kepada orang lain. Jika melihat 'kebohongan' dan 'kebenaran' dari permukaan, aku mungkin masih mampu mengakalinya. Namun jika melihatnya dari dalam, itu akan menjadi konteks yang berbeda. Bahkan sepertinya itu tidak termasuk dalam kategori 'sesuatu yang dapat ku pelajari' di bidang pengamatanku yang selama ini ku tekuni lewat buku-buku tentang psikologi.

    "Sejujurnya itu tawaran yang sangat efektif untuk membangkitkan minat siswa sepertiku. Aku yakin kalau orang lain yang mendengarnya pasti akan segera menerimanya tanpa memperhatikan 'apa yang seharusnya diperhatikan'. Tapi sayangnya, itu sama sekali tidak membuatku tertarik. Aku mungkin mengatakan diriku sebagai siswa tanpa motivasi, tapi dalam hal interaksi, aku punya prinsip dan tujuan sendiri sebagai pelajar individu di sekolah ini. Selain itu, sepertinya penawaranmu ini sudah agak terlambat. Sekarang ini ada seseorang yang lebih dulu menempati posisi itu. Aku tidak ingin membuatnya kecewa untuk sekarang," jawabku.

    Benar. Hal yang ku maksud adalah 'balas budi'. Jika aku salah dalan mengambil keputusan, itu akan berakhir dengan aku yang membawa hutang budinya sampai mati. Mungkin ini bisa dianggap sebagai jawaban dari orang pengecut sepertiku yang berusaha menghindari skenario penolakan atau penerimaan.

    "Begitu ya. Tidak hanya untuk saat ini ataupun hari yang akan datang, kelihatannya kau telah mendedikasikan hanya untuk tujuanmu yang tidak bisa diganggu gugat," katanya.

    Jujur saja aku menyukai caranya dalam memahami pemikiranku dengan sangat teliti. Itu membuatku dapat menghemat tenaga karena tidak banyak menjelaskan sesuatu di tengah-tengah seperti yang biasa kulakukan setelah beberapa hari mendaftar di sekolah ini. Salah satunya seperti saat di kantin sebelumnya.

    "Kurasa ada baiknya juga mempunyai kenalan dari kelas lain."

    Dia berkata seperti itu persis seperti yang ingin kukatakan.

    Setelah meredakan situasi ini dengan cara yang biasa seolah kekuatan mental kami sama-sama berada di ujung puncak tertinggi, suasana dramatis ini cepat berakhir begitu kami meninggalkan aula depan GSU.

                                                   ***

    Setelah berpisah dengan Sherly di gedung sekolah utama, seperti yang sudah ku perkirakan aku tiba di lingkungan asrama sebelum matahari benar-benar tenggelam.

    Mbak Emi yang kebetulan melihat kedatanganku tidak jauh dari area yang sedang disapunya, menghampiriku dengan tersenyum ramah.

    "Kelihatannya kau yang paling terlambat kembali. Jangan begitu ya~ lain kali kembalilah lebih cepat kalau tidak ingin mendapat masalah. Karena ini masih hari pertama... kurasa tidak masalah membiarkanmu dari hukuman. Tapi ingat, jangan diulangi lagi."

    Meskipun menasehati panjang lebar, Mbak Emi tidak menunjukkan ekspresi marah layaknya seorang ibu yang menyuruh anaknya cepat pulang. Sebaliknya, dia menunjukkan senyuman yang seolah dapat meningkatkan motivasi murid—mungkin karena tidak ada unsur paksaan. Kupikir inilah bagusnya Mbak Emi sebagai penjaga asrama tahun pertama.

    "Maaf. Aku tadi sedang dalam pembicaraan serius dengan siswi dari kelas sepuluh IPA."

    Terus terang—aku menjawabnya jujur demikian agar dapat meningkatkan poin kepercayaanku. Namun, diluar dugaan Mbak Emi justru meresponsnya dengan pertanyaan konyol yang seperti biasa tampak mempermainkanku. Kurasa aku telah menyesal karena sudah jujur kepadanya.

    "Serius?! Tidak kusangka di hari pertama kau sudah bisa berinteraksi dengan anak dari kelas lain. Apalagi itu seorang siswi. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Cika?"

    Entah bagaimana nama Cika tiba-tiba disebutkan—itu membingungkan karena tidak ada kaitannya dengan penyampaianku.

    Seharusnya aku tidak memberitahu 'bagian kata siswinya' adalah apa yang ku sesali saat ini. Disisi lain masalah terselesaikan, sekarang masalah lain malah muncul dari seseorang yang baru juga. Aku bertanya-tanya, apakah kesialan ini adalah bentuk kompensasi dari hasil keberuntunganku? Tidak. Sepertinya agak berlebihan menganggapnya seperti itu.

    "Ini tidak ada hubungannya dengan Cika. Kebetulan saja kami berada di dalam satu ruang tes yang sama. Yah... kupikir dia juga sama anehnya dengan Cika karena memiliki inisiatif berinteraksi jangka panjang dengan orang membosankan sepertiku," kataku.

    "Sepertinya itu adalah hasil alami yang kau dapatkan sebagai seorang manusia. Dengan siapa kau bertemu, berjumpa dan berinteraksi juga termasuk bagian dari hidup. Bagaimanapun juga itu tidak akan lepas darimu yang memiliki kepribadian tertutup sekalipun," ujarnya.

    "Kupikir juga begitu. Jika menyangkut tentang 'skenario mutlak', aku sendiri tidak akan mampu menggugatnya hanya dengan menalar," kataku.

    "Meskipun aku tidak terlalu mengerti apa yang kau katakan, intinya tetaplah semangat!"

    Sebelum melanjutkan pekerjaannya, Mbak Emi mengatakan hal tersebut dengan sangat ramah.

    Untuk orang sepertiku, bagaimana harus mengatakannya ya? Tapi yang pasti, itu adalah sesuatu yang sangat penting untuk diingat.

    Tanpa kusadari secara bertahap, mungkin kedepannya aku akan mempelajari sesuatu yang sudah tidak akan bisa kudapatkan ketika berada di lingkunganku. Ini adalah salah satu hasil dari yang kupikir tidak akan sesignifikan ini kudapatkan lagi, kukira. 'Keberadaan seseorang yang memperhatikan' layaknya orang tua—dari lubuk hatiku... aku mungkin masih mendambakannya.

    Segera setelahnya, aku menaiki tangga lantai dua asrama. Hembusan angin dipertengahan tahun saat ini seolah membawa ketenangan yang sudah lama ingin ku nikmati. 'kebebasan' adalah hal yang ku cari ketika sampai di sini. Dengan menjadi pelajar di lingkungan yang berbeda, kupikir pada akhirnya itu akan membuatku berkembang dalam hal interaksi. Tentu saja aku juga akan membatasi diriku dengan sesuatu seperti itu.

    Saat akan menuju ke ruangan nomor '42' yang menjadi tempat ruanganku sekarang, secara kebetulan aku mendapati dia yang baru saja keluar dari ruangan sebelah, tampak seperti akan membuang kedua kantong plastik ke dalam tempat sampah besar—ditempatkannya di teras depan.

    "Oh!"

    Saat mata kami bertemu, reaksi terkejut terdengar hampir bersamaan. Hanya saja aku lebih lambat dan mungkin dia tidak akan memperhatikannya. Walaupun seharusnya situasi ini tidak akan menjadi canggung, kami tampak seperti memikirkan topik di waktu yang sama. Dan pada akhirnya, aku memilih menunggunya mengatakan sesuatu lebih dulu.

    "Ngomong-ngomong bagaimana pendapatmu di hari pertama ini?" Tanyanya.

    "Kurasa cukup melelahkan," jawabku.

    "Hanya itu?" Katanya, seolah ingin mendengar sesuatu yang lebih.

    "Apa maksudmu dengan 'hanya itu'? Apa kau mengharapkan jawaban lebih dari sekedar rasa lelah yang kurasakan saat ini?" Tanyaku terus terang.

    "Tidak. Bukan begitu," jawabnya, menyangkal.

    "Ngomong-ngomong tentang rasa lelah, apa kau juga tidak lelah berada di kelasmu? Maksudku, bukankah dalam satu kelas itu ada banyak murid, kupikir cukup wajar kalau sekiranya kau mungkin merasa belum terbiasa." kataku.

    "Yah... kalau kubilang tidak lelah maka itu bohong. Tekanan memang selalu muncul dalam berbagai situasi tertentu, tapi entah bagaimana... sepertinya aku bisa sedikit menyesuaikan diri di kelas," katanya.

    "Kelihatannya kau sudah lebih baik dari sebelumnya," kataku.

    "Kau sendiri, apa kau sudah bisa menyesuaikan diri dengan kelasmu?" Tanyanya, berbalik menanyaiku.

    Seperti yang kupikirkan sebelumnya, untuk saat ini aku akan memilih merahasiakan keberadaanku yang berada satu kelas dengannya. Bukan berarti aku bermaksud membuat kejutan untuknya. Hanya saja, aku merasa akan lebih baik jika menyembunyikan diri untuk sementara waktu. Tergantung situasinya, cepat atau lambat dia pasti juga akan segera menyadarinya.

    "Ya... begitulah," jawabku.

    "Hm, setidaknya berikanlah jawaban yang meyakinkan," dia tampak sedikit kesal.

    "Oh ya, ngomong-ngomong sekarang aku berada di kelas bahasa. Sebelumnya aku belum sempat menanyakan kelasmu kan," katanya, menjadi sedikit antusias.

    "Rahasia," kataku dengan segera.

    "Hah? Aku tidak mengerti alasanmu menyembunyikannya. Kupikir kau juga berada di kelas bahasa mengingat kau sepertinya memiliki ketertarikan dengan sastra," tebaknya.

    "Barangkali begitu," tanggapku, sekali lagi dengan jawaban yang tidak meyakinkan seolah berupaya membingungkannya.

    Meskipun agaknya sulit sekali berbohong, aku memaksakan diriku agar tetap melakukannya. 

    "Ayolah katakan saja dimana kelasmu!" Dia mulai agak memaksa.

    "Kenapa kau sangat ingin tahu? memangnya kau akan datang menyapaku di kelas, begitu?" Tanyaku.

    "T—tidak. Kurasa aku tidak akan sanggup melakukannya—untuk saat ini." dia tampak sedikit panik ketika menjawabnya.

    "Untuk saat ini? Apa kau berharap suatu saat nanti bisa melakukannya?" Lanjut tanyaku.

    "Bisakah untuk tidak mengoreksi setiap perkataanku!"

    Kali ini, dia menunjukkan ekspresi rumit.

    Kelihatannya aku sudah berlebihan. Kupikir sudah cukup memojokkannya untuk saat ini.

    "Yah, cepat atau lambat kau pasti juga akan tahu," kataku, memalingkan wajah.

    "Apa-apaan itu? Kedengarannya seperti kau ingin berkata 'carilah kelasku sendiri kalau kau ingin tahu'," katanya.

    "Anggap saja begitu," kataku, menyilangkan tangan.

    Sembari dia menunjukkan ekspresi geram dan cemberut seperti biasanya, aku teringat akan sesuatu yang kemudian membuatku membukakan tas dan memberikan sesuatu itu kembali kepadanya.

    "Ini. Aku sudah menghabiskannya seperti yang kau minta, dan aku juga sudah mencucinya." Sambil mengatakannya, aku menujukkan bukti dengan membukakan kotak makan yang sebelumnya dia berikan saat jam istirahat kedua akan berakhir. Terlihat di dalam, tidak ada sebutir nasi ataupun lauk pauk yang tersisa. Hanya saja masih sedikit basah karena sebelumnya baru sempat kucuci ditengah perjalanan kembali ke asrama.

    "Hn, baguslah kalau begitu. Ini membuatku puas sekarang," dia menerimanya—tersenyum lebar.

    "Puas? Aku tidak paham. Kenapa kau puas hanya karena aku menghabiskannya? Apa itu seperti perasaan seorang ibu yang memberikan bekal kepada anaknya?" Tanyaku, agak berpura-pura bodoh.

    "Hmm... kurasa lebih tepatnya bukan seperti itu. Ketika sedang membuatnya yang kupikirkan hanyalah pujian yang akan kudapatkan dari seseorang, mungkin begitu—atau bukan disaat itu ya?"

    Dia tampak kebingungan sendiri, menggaruk-garuk kepalanya sementara aku terus menatapnya, memperhatikan dalam diam.

    "Itu jawaban yang absurd. Kalau orangnya sendiri tidak tahu alasannya, lalu bagaimana caraku menerimanya?" Tanyaku.

    "Ah! Tolong jangan katakan itu 'keberatan', kumohon," dia tampak bersikeras.

    "Kenapa?" lanjut tanyaku, sedikit menghela nafas.

    Dia tampak berpikir dengan sangat keras, tapi sepertinya itu tidak akan membuahkan hasil. Menurutku ini agak aneh. Cika yang dari awal kupikir seorang perempuan yang maniak belajar, di sisi lain rupanya dia juga tidak dapat mengartikan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan. Bahkan dilihat dari manapun, saat berusaha mencari-cari jawaban yang tak dapat dijangkau, dia tampak seperti gadis polos yang tak dapat memahami sendiri seberapa jeniusnya dirinya. Tidak... mungkin... dia hanya masih belum berkembang. Sekilas aku jadi teringat dengan curhatannya di malam itu.

    "Baiklah aku mengerti. Aku tidak akan mengatakan itu sebagai—" kataku terpotong.

    "Oh, aku baru ingat!" ucapnya, tampak jelas baru memikirkannya.

    "Kupikir karena kau adalah orang yang paling dekat, aku bisa mengandalkanmu membantu menghabiskan sisa makanan yang ku masak. Mungkin seperti itu... tidak, anggap saja begitu!"

    Meskipun dapat mengungkapkannya dengan jelas, dia masih merasa tidak yakin—kalimatnya juga meragukan.

    "Mengandalkanku? Menghabiskan sisa makanan?" tanyaku, sedikit sinis.

    "Kupikir memberikannya kepada orang lain itu lebih baik daripada membuangnya," ujarnya.

    "Terserah," kataku segera.

    Aku tidak tega menyangkalnya setelah sejauh itu dia berusaha membenarkannya. Meskipun kedengarannya memaksa, dia bisa membuat alasan yang masih terdengar masuk akal. 

    "Oh benar juga. Aku punya sesuatu yang kebetulan ingin kuberikan kepadamu. Diam di situ sebentar." Setelah berkata demikian, dia yang tampak mengingat sesuatu langsung berlari kedalam ruangannya. Satu menit berlalu, dia kembali dengan sesuatu itu di tangannya. "Ini," lantas memberikan sesuatu itu kepadaku.

    "Casing?" Aku menatapnya, heran.

    "Kebetulan aku membelinya bersama dengan kedua temanku di konter saat jam istirahat kedua. Ketika melihat motifnya... kupikir itu menggugah seleraku dan sekalian saja aku membelinya dua dengan warna yang berbeda," katanya, menunjukkan ponselnya.

    "Memangnya apa yang membuatmu tergugah karena motif ini?" Tanyaku.

    Aku tidak paham meskipun sudah beberapa kali membolak-balikkan casing itu untuk melihatnya secara intens. Ini tidak lain hanyalah sekedar dekorasi tambahan untuk ponsel agar tampak lebih menarik.

    "Hanya karena penasaran, kurasa..." dia berkata dengan lambat, seolah terlihat baru pertama kali mencoba hal baru seperti ini.

    "Oh... kupikir kau adalah orang yang cenderung tidak terlalu memperhatikan sesuatu seperti ini. Tidak kusangka keberadaan seseorang bisa mengubahmu secepat ini," kataku, sengaja menyinggungnya.

    "Begini-begini aku juga bisa peduli. Dan aku juga perempuan. Tentu itu wajar kan. Sekarang kau ingin menertawakanku?" Tanyanya, agak sedikit cemberut kesal.

    "Memangnya terlihat seperti itu? Kenapa aku harus menertawakanmu yang ingin berkembang," bantahku, memasukkan kedua tangan kedalam jas.

    "Tidak dari luar, tapi mungkin dari dalam," katanya, melihatku dengan skeptis.

    "Yah, intinya aku akan menjaganya baik-baik mengingat kau juga akan senang bila aku menerimanya," kataku, seolah melihatnya dengan maksud lain.

    "Tolong jangan menyinggung masalah tadi siang! Kau membuatku merasa berat sebelah kan," dia tampak malu saat berusaha menyangkalnya.

    Terkadang aku memang merasa seolah ingin menertawakan sikapnya yang seperti ini—tapi seperti yang dia katakan, aku mungkin hanya bisa tertawa dari dalam, sementara dari luar hanya bisa diam memperhatikannya. Seperti sekarang.

    Matahari tampak tenggelam ditengah-tengah pembicaraan kami. Terlihat dari teras atas asrama, sebuah awan mega berwarna merah terkontaminasi dengan warna ungu, terlihat jelas di sekitar panorama gedung sekolah kawasan AUBS yang terletak dibawah perbukitan kecil.

    Sementara itu di sekitar kami, teras depan juga tidak menyisakan banyak murid. Mungkin mereka lebih dulu masuk kedalam ruangannya masing-masing dan melakukan berbagai macam pekerjaan pribadi seperti yang dilakukan oleh Cika beberapa menit lalu.

    "Menurutku hari ini cukup mengesankan," katanya yang tiba-tiba, sambil memandang ke atas langit dengan senyuman tipis. Kemudian dia melanjutkan...

    "Karena ada sesuatu yang kecil terjadi, kebetulan aku bisa berinteraksi dan berteman dengan salah seorang siswi di kelas yang bersebelahan dengan mejaku."

    Sekilas aku memang melihat kejadiannya dari kejauhan, tapi tidak sampai keseluruhan. Sudah kuduga pasti ada kelanjutan dibalik pertemuan mereka yang tidak ku pedulikan.

    "Dia adalah perempuan yang begitu energetik dan sangat terbuka. Awalnya kupikir dia tidak akan pernah cocok dengan orang sepertiku karena kepribadian kami bertolak belakang. Tapi dia justru terus mengajakku berbicara dan bahkan tidak terlihat bosan saat berinteraksi denganku. Yang satunya lagi, dia adalah perempuan yang tidak percaya diri dan sering gugup. Saat berbicara dengannya, terkadang tingkahnya sangat lucu dan mungkin sedikit ceroboh, lalu..." dia terus bercerita tanpa henti.

    Dari senyuman yang terukir di wajahnya, aku paham bahwasanya saat ini Cika sangat senang dengan ekstensi kedua teman barunya itu.

    Apakah ini berarti peranku sebagai 'orang yang dekat' dengannya dari hari pertama akan berakhir di sini...? Jika memang harus seperti itu, maka aku tidak punya hak untuk mencegahnya—karena berteman dan berinteraksi adalah hal yang wajar bagi semua individu.

    Manusia dikenal sebagai makhluk sosial dan dikatakan tidak dapat hidup sendirian di muka bumi. Tapi... ada beberapa di antaranya yang dapat terhindar dari teori itu. Mereka adalah sekumpulan orang yang tak dapat berkembang secara sosial dan harus memilih jalannya sendiri dengan berbagai konsekuensi yang ada. Sewaktu-waktu mereka juga bisa kehilangan arah dalam memahami sesuatu karena terlalu bergantung pada sudut pandangnya.

    Sebagai manusia kelihatannya Cika telah berkembang pesat. Sebagai hasilnya, dia pasti akan mampu memiliki teman layaknya orang pada umumnya. Lantas bagaimana denganku? Apakah aku akan tetap diam di garis kesendirian...? Jawabannya sederhana. Bahkan tidak perlu dicari sampai ke ujung dunia.

    Entah sampai kapan aku berada di jalur kesendirian dan entah sampai kapan ada seseorang yang tiba-tiba muncul mengulurkan tangannya kepadaku... aku hanya bisa diam di garis pemikiran ini. Itulah yang selalu ku pikirkan.

    "Baguslah kalau begitu," ucapku, disela dia bercerita.

    Bukannya aku iri atau dengki melihatnya mendapatkan teman. Justru itulah yang kuharapkan dari Cika sejak awal. Dia tidak perlu terus bergantung kepadaku lagi yang tidak memiliki kesan apapun, dan dia bisa bebas melakukan berbagai macam hal bersama teman barunya itu.

    Paling-paling aku hanya akan kembali merasakan perasaan 'sendirian' lagi, tapi itu tidak masalah karena aku sudah terbiasa dengan skenario ini.

    Aku akan memainkan peranku sendiri dan dia juga akan memainkan perannya sendiri.

    Ini bukanlah perpisahan. Kami bisa saja bertemu kapanpun di dalam kondisi tertentu karena kami berada di lingkungan sekolah dan di kelas yang sama. Hanya saja, kami mungkin akan terpisahkan oleh 'fokus skenario' masing-masing.

    Sungguh... aku tidak bisa berhenti kagum ketika memikirkan betapa sederhananya skenario yang telah diatur oleh sistem di dalam dunia ini.

    "Hei. Apa menurutmu kepribadian seseorang bisa berubah hanya karena seseorang mendapatkan teman?"

    Tanpa menyadari kemana arah percakapannya, tiba-tiba dia menanyakan sesuatu yang baru saja kupikirkan.

    "Kalau kau menanyakan pendapatku, kupikir ada peluang yang tidak begitu kecil, tapi juga tidak begitu besar. Intinya itu tergantung individu sendiri apakah mampu atau tidak," kataku, berdasarkan pengamatan subjektifku selama ini.

    "Begitu ya," dia tampak merasa belum puas dengan jawaban singkatku.

    "Semisal keberadaan seorang teman bisa mempengaruhi sifat dan kepribadian, bukannya itu akan menjadi hal yang sangat efektif untuk memulai semuanya dari awal?"

    Aku sedikit menyinggungnya secara tidak langsung. Namun disisi lain, dia terus menatapku dengan tatapan datar seolah paham dengan inti maksud perkataanku.

    "Huh... kurasa kau ada benarnya," katanya, menghela nafas sebelum bicara.

    Sementara itu, aku hanya menatapnya diam seperti patung.

    Karena sepertinya saat ini dia cukup penasaran dengan konteks 'kepribadian', kupikir ada bagusnya jika aku mengatakannya dengan jujur—mengingat dirinya mungkin sedang mencari referensi dariku.

    "Terus terang menurutku itu belum cukup untuk merubah keseluruhannya. Kepribadian merupakan bentuk jati diri alami manusia yang seolah telah ditetapkan sejak lahir. Bisa berkembang ke arah yang baik atau ke arah yang buruk, secara umum itu tergantung dari kondisi lingkungannya. Tapi ada batasnya konsep kepribadian seperti itu tidak bisa digunakan. Contohnya seperti misal kau lahir di pulau jawa, kemungkinan besar kau akan tumbuh dengan kepribadian seperti orang jawa lainnya. Tergantung dari cara berpikir dan dengan siapa kau berinteraksi, itu juga bisa berubah sewaktu-waktu dan bisa menghasilkan kemungkinan lain yang tidak mungkin bisa ditebak dengan sederhana."

    Aku merasa penjelasanku masih kurang jelas. Tapi setidaknya, ini sudah menjelaskan sebagian besar dari isi teori yang pernah kuteliti dari hasil penelitian psikologi manusia di dalam salah satu buku novel yang pernah kubaca.

    "Nah itu yang ku maksud! Intinya kan kepribadian itu sudah ada di dalam diri masing-masing orang dan tidak bisa berubah dengan mudah dalam waktu singkat." Dia mengangguk puas, seolah menantikan jawaban itu sejak tadi.

    "Lalu apa kaitannya dengan itu?" Tanyaku, agaknya berpura-pura tidak tahu.

    "Walaupun saat ini aku memiliki teman, kenyataan bahwa aku sebenarnya masih berkepribadian introver tidak akan berubah. Setidaknya aku bisa mengatakan itu untuk saat ini," jawabnya.

    "Tenang saja. Saat kau sudah terbiasa melakukan berbagai hal menyenangkan bersama dengan temanmu, aku yakin statusmu sebagai seorang introver pasti akan terlupakan seiring berjalannya waktu," kataku.

    "Entahlah, aku tidak yakin dengan itu. Sejak kecil aku jarang berinteraksi dengan orang lain karena terlalu asyik dengan dunia-ku sendiri. Setiap harinya aku selalu asyik membaca buku sampai-sampai tidak menyadari betapa luasnya dunia yang ku pijak saat ini. Aku sadar kalau hanya sebuah buku tidak bisa menjelaskan secara detail mengenai semua hal yang bisa ditemukan di dunia luar. Tanpa sadar aku juga membuat satu-satunya teman dekatku menderita karena ketidaktahuanku dalam memahami perasaannya. Dan sejak saat itu, aku telah belajar bahwa keegoisan dan kerakusan akan pengetahuan bisa membuat seseorang membenciku. Bahkan itu selalu membuatku takut saat berinteraksi dengan orang lain. Apakah suatu saat dia akan menjauhiku? Atau ketika kami telah dekat dia pada akhirnya meninggalkanku? Itulah yang membuatku khawatir dan bimbang untuk melangkah."

    Dari sekilas kisah masa lalunya itu, kini aku mengerti satu hal tentang dia. Jika saja skenario yang dia dapatkan tidak berakhir dengan 'kehilangan teman', dia pasti akan menjadi tipe sosialis seperti orang pada umumnya. 'Kesalahan langkah di awal akan menghasilkan masalah di akhir'. Sederhananya, inilah alasan dia menempuh jalannya sebagai seorang Introver. Dengan membentuk kepribadian baru, maka sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui olehnya perlahan akan terbuka. Ini seperti 'dia keluar dari pintu ruangan asal, kemudian memilih pintu ruangan lain yang belum pernah dia masuki'. Tentu saja harga yang harus di bayarnya adalah dengan mengorbankan segala hal yang menjadi haknya di dalam 'pintu ruangan asal'—sebagai konsekuensinya, dia kehilangan kepercayaan diri untuk terlibat dengan orang lain.

    "Kupikir itu wajar dirasakan oleh setiap orang. Begitu juga denganku. Sebagai seorang introver, kita memang tidak akan bisa menghilangkan rasa 'kesendirian' dengan cara yang sederhana. Butuh usaha keras untuk mengubahnya dan itu juga tidak menjamin keberhasilan," kataku.

    "Hampir semua yang kau katakan itu terdengar benar. Syukurlah aku membicarakan ini denganmu, " dia berbalik, tersenyum puas melihat ke arahku.

    Sementara aku memasukkan tangan ke saku jas, dengan spontan aku berkata...

    "Tidak masalah. Sesama introver kita teman, bukan."

    Mendengar itu, dia mengangguk senang tanpa melakukan penyangkalan yang biasa dia lakukan. Lalu menambahkan ini...

    "Lebih tepatnya, teman pertama, ya kan."

    Mendengar itu, tanpa bisa mengelak dengan terpaksa aku mengangguk pelan.

    Jika ini memang sebuah skenario yang mempertemukan kami dari awal masuk sekolah, maka aku hanya harus menjalaninya seperti membiarkan diriku terbawa arus.

    Meskipun aku tidak tahu sampai kapan dia masih akan menganggapku sebagai seorang 'teman', dengan berinteraksi dengannya sesekali seperti ini aku sedikit berharap agar bisa membuatku melupakan 'ingatan buruk di masa lalu'—itulah yang selama ini terlintas di kepalaku.

    "Ngomong-ngomong sebelum KBM selesai, di kelasmu apa kau juga disuruh membuat laporan kesan pertama?" Tanyanya, tiba-tiba mengganti topik.

    "Ya, begitulah. Tidak terlalu penting juga," jawabku.

    "Sebenarnya sebagian besar yang kuceritakan tadi adalah yang kutulis di dalam laporanku. Meski tidak semua menyangkut masa lalu. Kebanyakan yang kutulis adalah sesuatu yang kurasakan selama ini, mulai dari saat datang ke sekolah ini dan bertemu denganmu sampai mendapatkan teman di kelas," katanya.

    "Apa kau baik-baik saja, memberitahu hal yang seharusnya bersifat pribadi itu kepadaku?" tanyaku, terus menatapnya.

    Yang ku maksud adalah, 'apakah dia baik-baik saja kalau aku mengetahuinya?' Jika dipikir secara logis, bukankah itu berarti kredibilitasku dari sudut pandangnya naik secara drastis...? Karena dia tidak segan memberitahukan hal yang seharusnya cukup memalukan untuk didengar—sungguh, aku tidak bisa memahami apa yang dipikirkannya dan juga tindakannya dalam kondisi ini.

    "Bukankah tadi kau baru saja menyebutku sebagai teman? Apa sekarang kau pura-pura lupa?"

    Entah darimana perubahan menjengkelkan ini berasal, sekarang dia kembali kedalam kondisinya yang biasa—yaitu suka membuat lawan bicaranya berpikir sementara dirinya menyeringai nakal di wajahnya.

    Adakalanya dia tampak begitu polos. Namun, dalam kondisi tertentu ada kalanya juga dia tampak dominan. Bagi seseorang yang tidak pernah tahu masa lalunya dan tidak begitu dekat dengannya, aku yakin itu pasti akan terlihat sebagai sesuatu yang misterius dari dirinya.

    "Aku berkata seperti itu hanya sebagai sesama introvert. Kalau dipikir kembali bukannya kau yang memintaku duluan menjadi temanmu di hari kedua? Sekarang, apa kau akan menyangkalnya. Atau mungkin berpura-pura lupa tentang fakta itu juga?" Tanyaku, meraba jalur pemikirannya.

    'Aku tidak akan memberinya jalan keluar untuk ini', itulah satu-satunya yang kupikirkan untuk melampiaskan serangan balikku kepadanya.

    "Uh. Tidak ada celah. Kalau sudah berdebat denganmu sepertinya aku tidak bisa apa-apa, kau benar-benar jenius. Kupikir aku merasa cukup beruntung bisa berteman denganmu duluan," katanya, seraya memujiku.

    "Jangan terlalu berharap banyak. Aku bukanlah tipe orang yang kompetitif seperti yang kau cari," bantahku.

    "Sudah... sudah, untuk sekarang mari kita akhiri dulu pembicaraan panjang ini. Kau pasti sudah sangat lelah kan?" Lanjutnya, memotong pembicaraanku sebelumnya.

    Yah, entah kenapa saat berbicara santai dengannya seperti saat ini... aku merasa tenagaku jauh lebih irit dibandingkan ketika berada di kantin ataupun di kelas. Mungkin itu memang karena 'tekanan ekstensinya' yang tidak seperti siswi perempuan pada umumnya.

    Sebelum kembali ke ruangan masing-masing, kami saling menatap satu sama lain seolah sama-sama berharap agar keseharian ini terus berlanjut. Agak terkesan berlebihan... tapi ya sudahlah.

    "Oh benar. Makan malam!"

    Tiba-tiba, dia merusak suasana dengan mengingat hal yang paling tidak ingin kudengar... 

    "Kalau begitu selamat malam," kataku, buru-buru kabur dengan berjalan cepat melewatinya.

    "Hei tunggu...! Jangan kabur!"

    Aku mulai berlari menuju ke ruanganku, mengabaikan apa yang akan dia teruskan.

    Yah... terus terang dari lubuk hatiku yang terdalam, keseharian seperti ini juga tidak begitu buruk.

    Meskipun keseharian ini mungkin bisa berubah seiring berjalannya waktu, untuk saat ini... kupikir alangkah baiknya untuk menikmatinya saja sampai hari dimana aku akan berhadapan dengan orang itu tiba.

    Siapa sangka aku akan dipertemukan dengan sosok perempuan seperti Cika sebelum menyusun tujuanku di sekolah futuristik ini. 'Sistem dunia' ini memang tidak bisa ditebak—padahal, dari ekspektasiku kupikir aku akan berjuang sendirian tanpa harus berinteraksi dekat dengan orang lain.

    Dengan adanya keberadaan seseorang seperti Cika, kupikir selanjutnya dia mungkin bisa kugunakan sementara waktu sebagai langkah awalku mempersiapkan segala hal yang ku butuhkan nantinya. Bagaimanapun juga, dengan cara apapun aku masih harus mencari orang itu dan menaklukkannya sebelum lulus.

       ~Berlanjut ke seri 2 "Act kontroversi"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
In Her Place
720      485     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Sendiri diantara kita
791      497     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...