Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Saat ini, jam menunjukkan pukul dua siang dan seharusnya sebentar lagi waktu KBM akan selesai. Meskipun begitu, karena ini masih hari pertama hampir tidak ada KBM sama sekali yang dilangsungkan. Sampai saat ini, kami hanya disuruh mencatat dan meringkas seolah membuat laporan mengenai kesan pertama kami di sekolah ini. Sementara itu, aku menulis kesanku dengan sedetail-detailnya, tanpa kusadari, aku sudah menghabiskan beberapa lembar hanya untuk menulis laporan tersebut. Sampai kami mendengar bel berbunyi, Bu Milan memberikan kami arahan untuk berbaris ketika menyerahkan laporan yang telah dibuat apapun hasilnya sebelum meninggalkan kelas. Dimulai dari urutan siswi terdepan sampai ke belakang, lalu disambung dengan siswa yang juga mengikuti barisan selanjutnya.
    Saat menyerahkan laporan tersebut, Bu Milan sempat terlihat agak sedikit terkejut mendapati laporanku dalam bentuk buku. Tepat saat itu juga, aku baru menyadari bahwa laporan yang ku buat berbeda dari siswa lainnya yang mayoritas menyerahkannya dalam bentuk selembar kertas. Tapi, untuk anak perempuan kelihatannya mereka juga ada yang membuatnya dalam bentuk buku. Untuk sesaat, ini melegakan karena tidak menjadi satu-satunya yang membuatnya agak rinci ... kelihatannya, kesalahan terbesarku di sini adalah membuatnya tanpa sadar. Aku hanya memikirkan apa yang sedang kupikirkan dan tidak lebih dari itu, aku bahkan tidak melihat sedikitpun laporan yang ditulis oleh orang di sampingku yang terdiam sejak kembali dari kantin. Tak lama kemudian, tepat disaat meninggalkan kelas suara sound yang sebelumnya tiba-tiba kembali terdengar dari arah langit-langit lorong kelas. Sepertinya ... itu pertanda bahwa 'tes tertutup' akan segera dimulai.
                                                 ***
    "Perhatian kepada semua murid, khusunya anak-anak baru. Seperti yang telah diinformasikan pada pukul satu dini hari, mengenai event awal program tes tertutup akan diadakan tepat setelah pemberitahuan ini selesai. Jadi diharapakan kepada seluruh siswa baik tahun pertama hingga tahun ketiga agar memasang telinga masing-masing. Perlu di ketahui jika tes ini tidaklah wajib, bagi siswa atau siswi yang tidak berkenan mengikutinya bisa meninggalkan gedung sekolah dalam waktu sepuluh menit dari sekarang. Murid yang diketahui masih berada di lorong kelas tepat setelah waktu hitung mundur selesai, maka 'hukuman tingkat sedang' yang akan menanti!"
    Mendengar setengah dari apa yang bisa terdengar seperti sebuah ancaman, aku bisa melihat beberapa murid yang tampak panik segera berlari meninggalkan gedung, tapi ada juga yang tetap berdiri diam mendengarkan penjelasan sampai akhir sepertiku.
    "Karena waktunya sangat terbatas, langsung saja saya akan masuk ke inti penjelasan tes tertutup yang akan diadakan saat ini."
    Disaat akan menjelaskan hal tersebut, aku baru menyadari bahwa kondisi di lorong kelas sekarang sudah berubah total.
    Beberapa anggota OSIS yang biasanya jarang terlihat mencolok di tempat-tempat umum seperti lorong kelas, kini bermunculan dimulai dari arah lantai dua dengan berjalan secara berkelompok ... dan kelihatannya masing-masing dari kelompok itu memiliki pemimpinnya sendiri. Memberikan jalan untuk mereka, para murid hanya bisa berdiri diam melihat pemandangan tersebut dari disisi jalan. Kemudian, dari arah lain juga ada sebagian dari mereka keluar dari 'tangga sudut' yang kupikir adalah tangga darurat karena di situ ada tanda bertuliskan 'murid tanpa keperluan dilarang naik'.
    Sebelumnya aku sempat penasaran dengan apa yang ada di atas. Selain karena letak anak tangganya yang berada di sudut ruangan dan tidak seperti yang ada di aula depan, tak heran jika awalnya aku mengira itu tangga darurat yang menghubungkan antara lantai satu dan dua. Namun, setelah memperhatikan sekelompok OSIS melewatinya secara berkelompok yang tampaknya itu berkaitan dengan tes tertutup saat ini ... aku mengevaluasi deduksiku dan mendapatkan setengah jawaban dari apa yang bisa ku asumsikan di atas ruangan itu. Dan fakta yang kudapat adalah ... bahwa, saat ini kami berada di dalam sebuah 'ruangan besar, tapi kenyataannya tidak sebesar apa yang terlihat'. Seperti dugaanku sebelumnya, ini mirip seperti ilusi optik namun lebih terasa nyata.
    "Aturan yang wajib kalian ikuti selama menjalani tes tertutup ini adalah 'tertib'. Perlu dipahami sekali lagi bahwa ini bukanlah semacam ujian yang akan mempengaruhi nilai raport kalian, melainkan hanya akan mempengaruhi 'nilai keseharian' kalian sendiri sebagai pelajar konsumtif..." rupanya, kalimat sindiran juga diselipkan di sana.
    Selanjutnya, Panitia Penyiar itu menyampaikan secara jelas detailnya mengenai tes tertutup ini.
    Inti penjelasan :
    -Murid yang mengikuti akan diarahkan menuju ke tangga yang terletak di setiap sudut lantai.
    -sesampainya di sana, murid akan masuk ke sebuah 'ruang tengah' yang merupakan ruang tunggu yang cukup luas. Disana, murid akan menunggu selama beberapa menit sampai tes dimulai (15:00)
    -sementara menunggu, murid bebas melakukan apa saja di sana.
    -Aplikasi maps diperbarui : tersedia fitur baru yaitu 'mode tes', yang dapat menampilkan keseluruhan 'ruangan' yang akan menjadi 'medan tes', lalu keunggulan lainnya, dapat mengetahui jumlah orang yang ada di masing-masing 'ruangan' berdasarkan grafik, serta terdapat fitur pencarian otomatis jika peserta tidak dapat menemukan 'ruangan' yang kosong selama 3 menit (fitur khusus dari aplikasi map hanya bisa diaktifkan ketika berada di 'ruangan' tersebut)
    -ketika aba-aba tes dimulai, peserta harus mencari ruangan sesuai dengan tahun ajarannya (perebutan 'ruangan')
    -Peserta diberi waktu selama 3 menit untuk dapat memasuki 'ruangan' tes.
    -'ruangan' terbagi acak menjadi 40 'ruangan', setiap 13 'ruangan' ditempati masing-masing angkatan (terdapat tanda 'untuk tahun ajaran' di setiap pintunya, atau bisa juga mengecek lewat fitur map yang telah diperbarui). Di sana juga terdapat panitia OSIS yang akan menunggu di depan pintu 'ruangan' sambil mencatat siswa yang mampu diterima sampai batas 20 murid/ruangan dari angkatan yang sama.
    Data informasi tambahan :
    Jumlah semua murid = 750±
    Jumlah seluruh ruangan tes = 40
    Jml murid setiap angkatan = 250±
    Jml ruangan/angkatan = 13
    Jumlah murid/ruangan = 20
    Ket : maksimum 800 murid dari 40 ruangan. Sementara satu ruangan yang tersisa akan digunakan sebagai ruang khusus.
    Pelanggaran & Hukuman yang berlaku bagi peserta yang mengikuti tes ini:
    (1) Jika peserta tidak dapat menemukan 'ruangan' yang dapat ia tempati selama durasi hitung mundur selesai, maka secara otomatis peserta akan didiskualifikasi dari tes (diusir paksa)
    (2) Segala jenis tindakan yang mengakibatkan kekacauan sebelum maupun saat proses berjalannya tes, akan ditindaklanjuti oleh pihak OSIS yang memegang otoritas penuh.
    Setelah menjelaskan itu dengan cara cepat dan sesingkat mungkin, waktu sudah berlalu kurang lebih lima menit sejak sesi penjelasan dimulai. Sepertinya, penjelasan yang diberikan saat ini masihlah penjelasan bagian awal. Mengenai bentuk tes dan bagaimana tes tersebut diujikan, sepertinya itu sengaja tidak dijelaskan dengan detail untuk saat ini. Tampaknya, tes ini lebih serius dari yang kupikirkan. Bukan karena sebatas konsepnya saja, melainkan metode, atau cara-cara khusus yang dipakai untuk mengarahkan siswa dalam 'menyadari' serta 'mempelajari' sesuatu yang melampaui imajinasi mereka.
    Tak lama kemudian, datang sekelompok anak OSIS yang menggiring kami, baik dari kelas yang sama atau berbeda menuju ke tangga yang mempunyai skala kecil itu. Kelihatannya tangga tersebut memang benar ada hubungannya dengan tes tertutup ini.
    Berbeda dari tangga spiral yang ada di aula depan, tangga yang kami naiki lebih seperti loop dalam sebuah tabung seolah berjalan menaiki menara dengan bentuk melingkar. Bedanya, ini lebih sempit.
    Ketika sampai dipermukaan, kami dikejutkan dengan ruangan yang sangat estetik. Langit-langit, maupun dindingnya seolah mempunyai nilai seni yang sekilas membuat mata terpana. Layaknya sebuah museum kuno, atau lebih ke seperti pameran seni, gaya arsitekturnya cukup menarik untuk dilihat. Mengesampingkan itu, jika diperhatikan baik-baik jalannya ini kelihatannya memiliki banyak sekali cabang. Kurasa ini lebih mirip disebut dengan labirin.
    Ditengah perjalanan, suara dari Panitia Penyiar kembali terdengar yang tampak akan memberikan informasi singkat di sini...
    "Tempat ini disebut sebagai cubic room. Mungkin ini terlalu mendadak, tapi perlu kalian ingat, tes ini juga akan menguji 'kelihaian' serta 'ketelitian' kalian dalam mencari ruangan yang akan kalian tempati."
    Dalam tahap ini, kata 'ruangan' ibarat seperti kunci. Aku menduga para siswa mungkin akan berpikiran sama ... belum mengetahui secara pasti bentuk dari ruangan yang dimaksud. Ini membuatku lebih penasaran, disisi lain juga sedikit membingungkan. Semisal tes ini tidak ada kesesuaian dengan kemampuanku, atau hal-hal yang di luar jangkauanku, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Lalu, saat sampai di pertengahan jalan, kami dipisahkan sesuai dengan angkatan, kemudian berjalan ke jalur yang berbeda.
    "Untuk sementara, kalian akan menunggu di Free room sampai diberikan aba-aba tes dimulai," kata seorang Panitia, memberikan arahan.
    Tak lama kemudian, setelah menyampaikan hal tersebut, hampir secara bersamaan kami sampai di ruangan yang keseluruhannya berwarna putih bening tanpa adanya wallpaper ataupun motif sekalipun. Yang tersisa di sana hanyalah beberapa sofa panjang, tikar, rak buku, dispenser, dan beberapa perabotan besar rumahan yang umumnya digunakan untuk sekedar kebutuhan. Bahkan toilet juga ditempatkan di sana. Uniknya di sini adalah semuanya tampak berwarna putih, kecuali beberapa perabotan yang terbuat dari gelas. Kemudian, kami diintruksikan sekali lagi oleh Panitia yang merupakan anggota OSIS untuk menunggu sampai jam 3 sore tepat. Lantas Panitia menutup pintu seolah mengunci kami didalam ruangan ini.
    "Sebenarnya apa yang harus kita tunggu..." para murid kelas sepuluh tampak keheranan karena mereka harus menunggu di tempat hampa nan putih ini. Meskipun sekilas tempat ini menyilaukan karena di langit-langit terdapat lampu yang beradaptasi dengan ruangan, kami sama sekali tidak merasakan gerah ataupun panas yang sewajarnya. Sudah pasti itu dikarenakan fasilitas AC yang ditempatkan pada ruangan ini juga. Seandainya tidak ada mungkin mereka semua akan menggeliat seperti cacing yang kehabisan oksigen.
    Jam dinding putih menunjukkan pukul 14:41.
    Karena kebisingan di sekitarku tampaknya semakin padat, dengan berjalan malas aku menjauhi kerumunan dan mencari tempat yang lebih sepi. Tapi disaat yang bersamaan aku menyadarinya. Ruangan ini pada dasarnya datar dan luas, sehingga mampu menampung kurang lebih 250 murid dari tiap angkatan. Fakta ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dari lubuk hatiku berkata 'ini lebih mirip tempat penyiksaan untuk orang sepertiku' ... betapa mengerikannya tempat ini.
    Aku ingin tahu apakah Cika bisa menghadapi situasi ini? Satu-satunya yang bisa terpikirkan olehku adalah dia yang mungkin menahan diri, namun sebenarnya berada dalam kondisi yang sama sepertiku saat ini. Karena banyaknya murid dari kelas lain yang dicampur aduk, aku tidak dapat melihat sosoknya. Sambil berjalan di tepi ruangan, berharap menemukan tempat yang cocok untukku, pada akhirnya aku sampai di depan rak buku putih yang disekitarnya lebih sedikit orang. Dengan spontan, aku meraih salah satu buku yang ada rak depanku. Kemudian, aku membukanya dan mendapati isi dari buku itu. Sepertinya ini adalah kumpulan dari buku-buku pelajaran. Aku bertanya-tanya, apakah ini secara sengaja diam-diam disiapkan agar murid mempelajarinya sebelum menghadapi tes? Kelihatannya inilah bagian dari 'ketelitian' yang dimaksud. Mengesampingkan orang di sekitarku yang tidak banyak berkumpul di sini, di tengah eksplorasiku dalam mencari-cari buku tentang kesastraan, dengan kebetulan seseorang yang kukenal bersama dengan beberapa temannya menemukan keberadaanku di sini...
    "Rafa?" panggilnya.
    Mendengar suara yang tidak asing itu, aku menoleh dengan sedikit merendahkan pandangan mata ketika melihat ketiga orang di belakangnya.
    "Kebetulan yang mengerikan," kataku.
    "Apa yang kau maksud dengan 'mengerikan'?" Dia memiringkan kepalanya dalam kepura-puraan, dan disaat yang sama aku menghembuskan nafas dalam-dalam.
    Sekilas aku memberikan tanda isyarat dengan melirik ke arah sekumpulan orang yang tampaknya itu adalah beberapa teman sekelasnya yang sempat kulihat wajahnya di kantin.
    "Hn...? Oh! Sepertinya ini buku-buku pelajaran," soraknya.
    Kemudian, satu persatu mereka mengambil buku-buku yang ada di rak, lantas melihat-lihat isinya.
    Mereka saling bertukar pandang, begitu juga dengannya yang tampaknya melupakan keberadaanku tepat di depannya. Dalam kesempatan ini, aku menaruh kembali buku yang sebelumnya kuambil dari rak asal ... dan dengan segera pergi, menghilang dari hadapan mereka.
    "Kelihatannya rak buku yang ada di sini tidak terlalu banyak," menggumamkan itu, aku memilah buku-buku yang ditempatkan di rak lain.
    "Ini..."
    Sedikit terkejut dengan apa yang ku temukan, aku mendapatkan buku yang kurang lebih sampulnya seperti yang ku harapkan. Akan tetapi ... kelihatannya ini bukanlah buku tentang kesastraan yang sedang ku cari, melainkan sebuah novel kecil yang telah lama diabaikan, agak berdebu dan kotor. Namun anehnya, tidak ada lembaran yang hilang ataupun copot didalamnya, paling-paling kertas didalamnya sudah cukup menguning. Covernya sendiri tampak begitu kuno ... ini sudah pasti cetakan lama. Judul bukunya adalah 'talent search' yang ditulis oleh author 'Sherlyta'. Sedikit penasaran, sekilas aku membaca biografi penulisnya. Informasi yang bisa kudapatkan di situ hanyalah foto profil, usia, tempat dan tanggal lahir, tujuan si penulis membuat karya ini, serta bagian keterangan ada kalimat tambahan yang cukup menggugat yaitu 'taklukkan dunia dengan sains'.
    "Mungkin saja dia ini tipe orang yang mempunyai pemikiran sistematis," pikirku. Sejujurnya, aku cukup terkejut ketika melihat isinya yang tampak berbeda dari yang kubayangkan. Genre novel ini sepertinya adalah sains, namun lebih tepatnya yang tertulis di sini sebagian besar merupakan cerita tentang perjalanan seseorang yang tercampur dengan beberapa teori sains. Ada kemungkinan dia pernah berniat menciptakan penemuannya sesuai isi novel ini.
    Lalu, disaat yang sama suara Panitia Penyiar kembali terdengar. Sepertinya waktu tes akan segera di mulai dan semua murid di haruskan berkumpul di dekat pintu. Mendengar pemberitahuan yang sekilas itu, bukannya menaruh kembali, aku justru spontan memasukkan novel kecil itu kedalam saku jas tanpa sadar seolah itu sengaja, lantas bergegas ke tempat yang diintruksikan.
    Jam menunjukkan pukul 14:55, semua murid tampak sudah berkumpul di depan arah pintu yang berukuran sebesar tempat garasi mobil. Beberapa dari mereka masih saling bercakap-cakap mengenai tes ini, jadi kondisinya lumayan berisik. Sementara itu, seperti biasa aku menjauhi kerumunan dan berdiri di antara orang-orang yang tidak terlalu berisik. Tak lama kemudian, dari arah pintu yang dikunci sebelumnya, keluar dua panitia yang merupakan anggota OSIS ... itu terlihat jelas dari bad yang terpasang di lengan mereka.
    "Perhatian kepada seluruh peserta! Harap di posisi masing-masing. Sebentar lagi tes akan segera dimulai. Sebelum itu saya sebagai panitia akan menjelaskan aturannya. Setelah jam 3 tepat, kalian harus berlari mencari ruangan tes yang berada ditempat terpisah. Dengan kata lain, ini seperti kontes berebut tempat."
    Sepertinya ini dapat dipahami mengapa tempat yang kami masuki (cubic room) tampak seperti labirin. Mungkin inilah bagian dari 'kelihaian' yang dimaksud.
    "Untuk sebuah tantangan, didalam cubic room ini juga memadukan 'adu kecerdasan' yang mengecoh murid lain dengan beberapa petunjuk yang dimungkinkan untuk pencarian ruangan."
    Tampaknya, akan ada banyak hal juga yang bisa dilakukan selama sesi perebutan ruangan ini.
    "Untuk itu, mereka yang berpikir telah terjebak atau menyerah di tengah jalan bisa mengangkat kedua tangan sebagai tanda untuk menyerah pada sesi ini."
    "Tenang saja, ini seperti sebuah permainan mencari jalan keluar. Aku yakin kalian pasti akan menikmatinya selama proses ini."
    Berbeda dari rekannya yang menjelaskan aturan tersebut dengan serius, tampaknya Panitia yang satunya dapat berinisiatif menenangkan kekhawatiran murid dengan kata 'permainan'.
    "Entah kenapa aku menjadi bersemangat!"
    "Aku sudah menduga ini seperti puzzle didalam ruang nyata."
    Beberapa siswa mulai antusias mengikuti sesi ini. Namun, tidak untuk sebagian siswi yang tampaknya masih ada kekhawatiran tertentu.
    "Jumlah ruangan telah disesuaikan, jadi jangan khawatir mengenai tidak kebagian tempat ruang. Tapi karena ada batas maksimum ruangan untuk 20 murid, jadi berjuanglah untuk menemukan ruangan yang masih belum mencapai batas itu. Lebih mudahnya, kalian bisa mengecek langsung lewat aplikasi maps yang telah diperbarui secara real-time."
    "Masih ada sedikit waktu sebelum tes dimulai. Diharapkan kalian memahaminya dengan baik."
    Setelah itu, hampir secara bersamaan semua murid mengeluarkan ponsel mereka. Untuk mengantisipasi, aku melakukan hal yang sama. Lalu, tampak di aplikasi map yang telah ku buka, tampilan yang biasanya kini telah berubah drastis. Ini pasti karena pembaruan yang telah diinformasikan. Beberapa hal yang telah berubah secara signifikan itu seperti 'lokasi map' yang tampaknya disesuaikan dengan luas skala keseluruhan cubic room. Disamping itu, ada fitur seperti 'pencarian otomatis' yang berfungsi sebagai pencarian ruangan tes terdekat dengan jumlah yang ditampilkan. Lalu, ada fitur 'keterangan lengkap' mengenai 'pemicu' apa saja yang mungkin terjadi dalam prosesnya.
    "Sepertinya sudah saatnya." Bisik salah satu Panitia setelah melihat jam di tangannya.
    Tes ini secara bersamaan bertujuan untuk melatih 'kelihaian', 'ketelitian' serta 'kecerdasan' kami, para murid baru. Akankah ini menjadi sesuatu yang sulit melebihi yang kubayangkan? aku ingin tahu itu.
                                                   ***
    Akhirnya jam menunjukkan pukul tiga tepat. Secara bersamaan, pintu seukuran garasi mobil terbuka lebar. Untuk sesaat, semua murid dikejutkan dengan adanya tiga jalan yang bercabang di depan.
    "Ini tidak akan membuat kita tersesat, kan," kata salah satu siswa kepada Panitia, masih ada di sini mengawasi kami sebelum dimulai.
    "Kalian dipantau oleh kamera di setiap sudut tempat. Jika kalian berpikir telah tersesat, maka itu akan menjadi titik dimana kalian akan 'menyerah', bukankah begitu aturan yang tadi ku jelaskan," Panitia mempertegas kembali.
    "Jangan mengkhawatirkan kata 'tersesat'! Kukatakan sekali lagi bahwa ini juga bagian dari adu kecerdasan, maka tidak heran jika beberapa hal bisa menjadi rumit. Daripada mengkhawatirkan itu, bukankah lebih baik mengkhawatirkan kemampuan akademis kalian sendiri yang perlu kalian persiapkan juga nanti?"
    Selain memberikan penegasan, Panitia juga menyelipkan kata sindiran untuk selalu fokus pada 'kemampuan akademis' masing-masing bagi mereka yang terlena karena lebih terfokus pada kekhawatiran di tahap ini.
    "Sekarang—mulai!"
    Panitia penyiar memberikan aba-aba. Lalu secara bersamaan, semuanya mulai berlari serentak.
    Karena lebar lorong cukup sempit, ada sebagian dari mereka yang bergerombol dan ada juga yang berpencar dari ketiga cabang jalan.
    Sementara itu, aku memilih opsi jalur kanan.
    Disepanjang jalan lorong, aku menahan diriku agar tidak berlari terlalu cepat. Itu karena, aku harus mengamati sekelilingku untuk mencari petunjuk jalan ke ruangan tes terdekat. Selain itu, sepertinya Panitia tidak melayani penjagaan tas. Jadi, saat ini aku membawa tas yang ironisnya berisi bekal makan yang sebelumnya sempat diberikan oleh Cika. Dengan kondisi ini, kupikir aku harus lebih berhati-hati dalam menjaganya agar tidak berantakan didalam.
    Sementara itu, didalam map kelihatannya tidak ditujukkan apakah jalur kami dalam mencari ruangan, sama atau berbeda dengan kakak kelas. Tapi, mengingat kami dipisahkan lebih dulu dengan menunggu di ruangan serba putih itu, kemungkinan besar seluruh angkatan memang dipisahkan tempatnya untuk menjalani tes ini.
    Setelah gagal dalam pencarian pertama, entah kenapa sekarang aku mempunyai kesan bahwa lorong ini seperti jalan cacing. Bukan karena jalannya yang tampak seperti naik turun, melainkan karena setiap sudutnya berliku-liku dan kadang bisa menjebak dengan berakhir di jalan buntu.
    Ketika melihat ada salah satu ruangan tes tepat lurus di depan, sungguh aneh karena dalam waktu sekejap aku kehilangan apa yang seharusnya ku lihat.
    Jadi begitu ... setelah mengamati sejenak, aku menyadari jika beberapa jalan yang telah ku lewati terdapat cermin dengan proyeksi gambar ruang tes. Kelihatannya ini salah satu bentuk jebakan yang disiapkan untuk mengecoh para murid.
    Gagal menemukan ruangan yang kedua, aku memperhatikan sisa waktuku. Sepertinya, masih ada sisa waktu sekitar 2 menit dalam pencarian ini.
    Memperhatikan ponselku sambil terus menyalakannya, aku mendapati salah satu ruangan terdekat. Namun sepertinya itu sudah hampir mencapai batas maksimum. Dengan sedikit mempercepat lariku sambil menghindari kerumunan yang sangat dimungkinkan akan menghambat jalanku, secara kebetulan aku mendapati salah seorang dari kelompoknya Jaka yang tampaknya mengincar ruangan sama denganku di tengah jalan.
    "Oh! Bukankah kau orang yang di kenal Jaka tadi?"
    ... Aku tidak terlalu mengingat wajahnya, tapi jika melihat dari caranya menyapa, sepertinya pernah terjadi suatu interaksi kecil yang membuatku menjadi objek. Tidak perlu waktu lama untuk mengingatnya, dalam waktu singkat aku menyadari hal yang terjadi beberapa saat lalu.
    "Apa mungkin—kau salah satu siswa dari rombongannya Jaka di free room tadi?" tanyaku.
    "Aku teman dekatnya di kelas. " Dari responsnya, kelihatannya dia tidak terlalu suka jika disebut sebagai salah satu dari 'rombongan' Jaka. Maka itu berarti....
    "Maaf, seharusnya aku tidak menyebutmu salah satu rombongannya," kataku, merevisi.
    "Tidak masalah, itu sudah biasa," katanya, tersenyum lebar.
    "Aku Toni, kau pasti Rafa kan. Aku sudah mendengar tentangmu dari Jaka," lanjutnya.
    Kelihatannya Jaka telah melakukan sesuatu yang tidak perlu dengan memperkenalkanku di antara kelompoknya, kemudian....
    "Apa kau juga mengincar ruangan itu?" tanyaku.
    Setelah sebelumnya mengecek di ponsel mengenai keterangan jumlah siswa yang sudah ada di ruangan tersebut, aku memperkirakan beberapa orang yang masuk terlebih dahulu hingga sepertinya menyisakan satu orang yang mampu ditampung.
    "Tampaknya begitu," dia menyeringai. "Haruskah kita berlomba siapa yang lebih dulu sampai di ruangan itu?"
    Sepertinya dia juga telah mengetahui batas yang dapat ditampung di ruangan tersebut. Kemudian, mendadak dia mengajakku bersaing untuk memperebutkan ruangan yang ada di depan, yang tampaknya sama-sama kami incar.
    "Bagaimana dengan garis startnya?" Tanyaku.
    "Tentu saja dari sini, kan...!"
    Mengatakan itu di akhir, dia mempercepat larinya. Ini kecurangan yang sering terjadi, tapi dari lubuk hatiku yang terdalam, ini tidak membuatku termotivasi sama sekali untuk bersaing dengannya.
    Tapi, semisal aku menyerah dan membiarkan dia mendapatkan ruangan yang sama-sama kami incar saat ini, kelihatannya itu hanya akan membuatku jauh lebih lelah setelahnya. Dengan kata lain, secara otomatis aku akan mencari ruangan lain dengan waktu yang sangat terbatas ini. Bergantung kepada keberuntungan itu bukanlah caraku, maka setelahnya, aku pasti akan menggunakan cara terpaksa menjadi 'serius' melalui semua ini. Berdasarkan analisis yang dapat menjadi hipotesis besarku di ending, sepertinya ... aku hanya akan berakhir dengan kelelahan yang dapat dipastikan mencapai 100% kemungkinan terjadi dan berakhir dengan menyedihkan.
    Sungguh skenario terburuk yang bahkan tidak ingin kubayangkan. Dengan itu, hasilnya pasti akan berakhir dengan keberhasilan atau kegagalan dalam mencari ruang tes tergantung dari sisa waktu yang kumiliki.
    Kupikir, itu adalah hasil yang harus benar-benar ku hindari. Untuk itu, aku harus serius mengerahkan seluruh tenagaku di sini untuk mencapai ruangan tersebut sebelum siswa itu...
    "Huh... huh..." aku mulai berlari.
    "Ooh, ternyata kau bisa berlari juga...." sindirnya.
    "Ini tidak seperti aku menerima tantanganmu. karena kondisi memaksaku melakukannya, aku akan berlari sekuat tenaga untuk mencapai ruangan itu lebih dulu."
    "Semoga beruntung," katanya, terus berlari.
    Meskipun tubuhku tidak begitu atletis, setidaknya ini bukanlah duel yang tidak bisa ku menangkan. Dari yang bisa ku amati di luar penampilannya, siswa ini memiliki fisik kurang lebih sama denganku. Tapi entah apa ada keunggulan lain dibalik itu, aku hanya berharap tidak ada yang seperti itu.
    Entah sudah seberapa jauh ini bisa di ukur dengan angka satuan, yang pasti jarak kami hampir dekat dengan ruangan itu. Tak menutup kemungkinan aku bisa kalah jika menggunakan kecepatan yang sama. Oleh karena itu, aku mendorong tubuhku dengan berlari lebih cepat di luar yang bisa kuperkirakan.
    "Kelihatannya ini akan menjadi kemenanganku."
    ... Tampaknya, dia percaya diri setelah melihat kesenjangan jarak kami. Tapi ini seperti yang kuharapkan. Aku sengaja menunggunya sampai dia mengucapkan beberapa kalimat dari mulutnya.
    Rencanaku adalah ... sebelum memusatkan seluruh kekuatan pada langkahku, aku sengaja menahan nafas ketika berlari yang mengakibatkan langkahku menjadi lebih pelan, namun masih bisa berupaya terus berlari. Bukan hanya itu saja ... ketika seseorang dapat memusatkan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia umumnya di 'satu titik dalam bentuk bayangan diri' seolah ada di depannya, maka tubuh akan menjadi ringan tanpa disadari ... seolah-olah sedang 'berimajinasi menjadi pelari tercepat', konsep seperti itulah yang sedang ku gunakan. Tidak banyak orang dapat mengerti atau memahami cara ini. Sudah pasti itu dikarenakan startegi ini hanya bisa digunakan oleh orang-orang tertentu atau lebih tepatnya, mungkin terbatas pada seseorang yang mempunyai pemikiran imajinatif lebih jauh. Kedengarannya memang gila, tapi ini nyata. Bentuk dari 'penciptaan' yang sudah lama ku pelajari di masa lalu.
    Lalu, alasan mengapa aku sengaja menunggu timing ketika dia mengatakan sesuatu dari mulutnya hanyalah sebagai tanda dari aba-aba 'permulaan' saja. Sederhananya, itu seperti memulai garis start yang dapat ku ciptakan sendiri.
    Jika dia tipe orang yang suka mencuri garis start, maka berarti aku tipe orang yang suka menciptakan garis start seenaknya sendiri. Aturan tidak lain hanyalah sebatas kata untuk dilanggar ... kecurangan dibalas kecurangan, itu sesuatu yang wajar.
    Didalam pertandingan lari, aku pernah mendengar salah satu aturan yang mengatakan jika pelari tidak diperbolehkan berbicara ketika sedang berlari. Jika dipikirkan secara logis, umumnya seseorang yang berada dalam kondisi berlari detak jantungnya akan semakin cepat. Oleh karena itu, pelari akan cenderung menghirup dan menghembuskan nafas di waktu yang sangat relatif singkat. Bayangkan saja jika seseorang berbicara dalam kondisi itu, maka yang terjadi kemungkinan besar adalah kecepatan larinya akan sedikit turun karena tidak fokus dengan apa yang sedang dilakukan. Meskipun biasanya tidak terlalu berpengaruh banyak, tetap saja celah itu dapat dimanfaatkan oleh mereka yang mengincar titik lemahnya. Perlu pengawasan yang kuat, serta timing yang tepat untuk bisa memprediksi gerakan mulut itu dalam waktu singkat. Inilah tujuan dari 'permulaan' yang ku ciptakan saat ini.
    "A—apa!"
    Disaat dia menoleh ke belakang, seketika raut wajahnya terkejut melihatku yang telah menutupi jarak kesenjangan kami. Di sisi lain berlari dengan perasaan imajinatif, aku juga sedikit berlari dengan melompat kecil, atau lebih tepatnya berlari dengan langkah jauh yang sengaja kulakukan agar dapat menjaga langkahku tidak didengar olehnya, dan pada akhirnya akan menimbulkan keterkejutan yang pasti. Ini seperti cara seorang ninja berlari dalam bayangan, atau seorang pembunuh yang sedang menargetkan sasarannya, atau bisa juga seperti langkah seorang tentara yang berada di tengah-tengah gerilya.
    "Huf...huf...huf...huf..."
    Tanpa menoleh ataupun mengatakan sesuatu ketika berlari melewatinya, aku terfokus oleh satu arah di depan, yaitu ruangan yang menjadi garis finish. Itu mungkin yang terlihat dari luar, namun sebenarnya yang kulihat adalah 'sosok bayangan imajinatif ciptaan ku sendiri' yang berlari memimpin-ku di depan.
    Tak lama setelahnya, hasil akhir telah ditetapkan. Aku berhenti berlari ketika menyadari telah sampai di depan ruangan tes lebih dulu. Seolah dapat mengetahui kami sedang berlomba dari kejauhan, Panitia secara otomatis menjadi juri dari kemenanganku... 
    "Kelihatanya kau yang terakhir. Nama, kelas?" Tanya Panitia.
    "Rafa, 10 bahasa," jawabku dengan nafas terengah-engah.
    "Namamu terdaftar, kau bisa masuk," Panitia menginstruksikan itu setelah mencatat nama dan kelasku di buku laporan yang dibawanya.
    Sebelum itu, Panitia juga sempat memberikan perhatian kepada orang yang berlomba denganku...
    "Maaf, ruangan ini sudah penuh. Kau bisa mencari ruangan lain yang tersisa," kata Panitia.
    "Aku mengerti," katanya, masih mengatur nafas sembari tersenyum ramah meskipun tempat yang dia incar sudah keduluan olehku.
    "Ngomong-ngomong tidak ku sangka kau bisa berlari secepat itu. Kupikir kau termasuk jenis orang yang tidak atletis di bidang olahraga, tapi ternyata aku salah," katanya, berbalik mengarahkan pandangannya ke arahku.
    "Tidak, menurutku perkataanmu itu ada benarnya. Tadi itu hanya kebetulan bisa berlari sedikit lebih cepat mendahuluimu. Semisal ada tanding ulang, kemungkinan besar aku yang akan kalah. Bagiku ini terasa seperti taruhan," kataku.
    "Meskipun aku tidak terlalu paham, tapi yang pasti kau tidak benar-benar lambat. Benarkan," katanya.
    "Terserah saja," lanjut kataku.
    "Wah gawat! Karena terlalu banyak bicara denganmu waktuku tersisa 1 menit. Kalau begitu sampai jumpa ya...!"
    Dengan sedikit panik, namun masih tegar dalam menghadapi situasi, dia bergegas pergi setelah melihat lokasi ruangan yang masih tersisa lewat map di ponselnya.
    "Huh... kurasa aku tidak akan melakukannya lagi hal semacam ini untuk kedua kalinya," gumamku.
    Menghela nafas setelah melihatnya pergi sampai ujung belokan, lantas aku masuk kedalam ruangan tes begitu Panitia menegurku karena terlalu lama berdiri di depan pintu.
                                                 ***
—POV Orang Ketiga - Ruang Observator
    "Bagaimana menurutmu dengan murid-murid baru tahun ini?"
    Seorang Siswa Berjas Putih yang tampak memiliki aura ekstrovert, membisiki salah seorang yang duduk di depan layar monitor di tengah sedang memantau keseluruhan ruangan yang ditampilkan lewat CCTV. Untuk saat ini, gambar monitor tersebut sedang difokuskan ke arah free room, tempat yang menjadi ruang tunggu para murid dikumpulkan sebelum tes utama dimulai.
    "Lumayan," katanya tersenyum kecil.
    "Beberapa dari mereka masih punya potensi untuk berkembang," lanjutnya.
    Siswa yang duduk itu kemudian mengatur kamera CCTV yang memperlihatkan beberapa murid di free room telah saling membentuk kelompok kecil.
    "Setidaknya sebagian dari mereka bisa menyadari situasi dimana mereka akan bekerjasama untuk menghadapi tes 'kelihaian'. Sebenarnya kesulitan dari tes ini terletak pada individu masing-masing. Apakah mereka akan berinisiatif membuat kelompok atau memilih untuk berjuang sendirian, itu adalah pilihan mereka. Menilai mereka dari balik layar seperti ini juga diperlukan untuk masa depan OSIS," katanya, penjelasannya terdengar begitu intens.
    "Tapi... menurutku dari beberapa segi kupikir menilai murid dengan cara ini tidak terlalu efektif. Walaupun kita memperhatikan mereka sebagai posisi pengamat, maka hasil yang kita dapat hanya sebatas penampilan luar. Kita tidak akan tahu 'apa yang direncanakan' atau 'apa yang dipikirkan' murid dalam menghadapi tes ini, bukankah begitu?" Tanya Siswa Berjas Putih itu, memastikan.
    "Seperti yang kau pikirkan, sebelumnya aku juga telah memikirkannya. Bagaimanapun juga manusia itu memiliki pemikirannya masing-masing. Dalam keadaan tertentu dia bisa menjadi menonjol, tapi di samping itu juga bisa terlihat biasa saja. Apa kau tahu beberapa jenis kepribadian atau tipikal seseorang?" Siswa yang memberikan penilaian intens, tiba-tiba menanyakan hal tersebut.
    "Aku tidak terlalu tahu mengenai itu, tapi seingatku hanya ada tiga jenis kepribadian umum seperti 'Ekstrovert', 'ambrivert', dan 'introvert'," jawab Siswa Berjas Putih itu, sedikit ambigu.
    "Diantara ketiga itu, mereka memiliki potensi arah berkembangnya masing-masing. Entah itu mencapai hasil yang baik atau hasil yang buruk, semuanya tergantung pada individu dalam memahami dirinya," kata siswa intens, menurut pendapatnya.
    "Meskipun begitu... kupikir aku lebih improve dengan seseorang yang memiliki kepribadian ekstrover. Mereka bisa lebih terbuka dengan banyak orang, dan memiliki kecenderungan yang mudah dalam menjalin hubungan positif di lingkungan masyarakat," kata Siswa Berjas Putih, memberikan pendapatnya juga.
    " ... Tidak sepertimu, aku tidak bisa menilai salah satunya yang terbaik. Bahkan setelah melihat langsung di beberapa kondisi sekalipun itu belum tentu dapat terbukti secara akurat. Seperti yang kukatakan sebelumnya, perkembangan seseorang tergantung pada dirinya. Hasil positif atau negatif yang diciptakan juga tergantung pada cara mereka menjalani kehidupannya dengan bentuk kepribadian masing-masing," kata siswa intens, seolah telah berpengalaman. "Seperti yang diharapkan dari ketua, argumen yang kau berikan selalu terdengar rasional," lanjut puji Siswa Berjas Putih itu dengan sedikit antusias.
    Disisi lain, orang yang di pujinya tampak tidak menunjukkan reaksi apapun terhadap apresiasinya itu, seakan-akan sudah terbiasa mendengarnya.
    "Ngomong-ngomong, setelah melihat langsung simulasi ini apakah hasilnya kurang lebih masih sesuai dengan yang kau harapkan?"
    Siswa itu kembali memperhatikan ke arah monitor—saat menanyakan itu kepada seseorang yang dipanggilnya 'Ketua'.
    "Untuk saat ini, cukup anggap seperti itu saja. Bagaimanapun juga, mereka masihlah pelajar baru di sekolah ini. 'Sebelum lebih jauh menilai penampilan luar mereka, alangkah baiknya jika kita mengamati stimulus para subjek layaknya penelitian'," kata siswa intens.
    "Dan itulah kenapa kau memilih 'tema tes' ini ya. Dengan membuka fasilitas free room, siswa diharapkan mampu memikirkan kondisi interaksinya terhadap 'ruang hampa' di sekitar. Itu tujuan utamanya, kan," Siswa Berjas Putih, memastikan.
    "Awalnya aku mendapatkan referensi ini dari 'hasil uji coba manusia didalam ruangan' yang pernah dilakukan dalam sejarah gelap negara di dunia. Kupikir jika bisa diterapkan didalam dunia pendidikan yang maju saat ini, hasilnya tidak terlalu buruk juga. Selama ide ini tidak disalahgunakan itu tidak akan bermasalah. Salah satu kebijakan dari sekolah futuristik menyebutkan bahwa segala bentuk 'kegiatan khusus' didalam sekolah bersifat rahasia. 'Cubic room' adalah model fasilitas yang ku ciptakan sendiri sebagai ketua OSIS di generasi saat ini. Aku hanya berharap metode ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh penerusku di generasi selanjutnya," siswa intens terlanjur memberikan penjelasan dengan panjang lebar.
    Setelah mengatakan hal tersebut, siswa tersebut yang mendengarnya tersenyum kecil, lalu bertanya untuk terakhir kalinya...
    "Ngomong-ngomong, adikmu belum tahu kebenaran dari metode ini kan. Bagaimana jika suatu saat dia menyadarinya?" Tanya Siswa Berjas Putih itu, sengaja melontarkan pertanyaan tersebut.
    "Ketika itu sudah menjadi hal yang tidak bisa terhindarkan, maka aku tidak punya cara lain selain menjelaskan semua kepadanya."
    Itulah saat dimana ruang pembicaraan mereka tiba-tiba menjadi serius. Dan pada saat itu....
                                                   ***
    Setelah melalui tes 'ketelitian' dan 'kelihaian' yang menjadi tantangan kami para murid baru dalam mengenali metode pembelajaran modern, akhirnya bagian utama dari tes ini akan segera dimulai.
    Sebelumnya, aku sempat kesusahan dalam menghadapi tes 'kelihaian', tapi dengan usaha yang terlalu dipaksakan, entah bagaimana sekarang aku berhasil masuk ke ruangan tes setelah memenangkan pertandingan adu balap dengan salah seorang siswa dari kelompoknya Jaka.
    Ruangan tes yang ku masuki saat ini sepertinya adalah 'ruang tes no 7'. Kupikir papan tanda tersebut kelihatannya juga terpasang di luar, namun aku tidak sempat memperhatikannya.
    Ketika masuk kedalam, Panitia tampak masih sibuk sendiri dengan obrolan penting bersama rekannya. Lalu, saat akan memutuskan dimana aku akan duduk, untuk sesaat perhatianku tertuju ke arah salah satu siswi yang baru saja menghantamkan telapak tangannya di atas meja siswi lain. Tampaknya sedang ada konflik kecil di antara mereka, namun sepertinya Panitia tidak menyadari hal itu.
    "Apa maksudmu?! Apa kau berpikir bahwa aku orang bodoh yang hanya bisa berpikir tentang angka?" Bentak salah seorang siswi, tampak geram melotot.
    "Kenyataannya memang begitu, kan."
    ... Sementara siswi yang baru saja digertak itu kelihatannya tidak menunjukkan ekspresi takut ataupun tersudut. Sebaliknya, ekspresinya saat ini tampak seperti terhibur, seakan-akan situasi yang sedang dia hadapi akan menjadi kemenangannya.
    "Dasar kau cebol! Kau mempermainkanku!?" Siswi itu kembali menatapnya dengan penuh amarah.
    "Tidak perlu marah-marah begitu, itu hanya akan menujukkan betapa bodohnya dirimu di tengah situasi ini."
    ... Seolah sengaja menuangkan bahan bakar kedalam api, siswi yang duduk tenang itu memprovokasinya dengan senyuman licik.
    'Apa yang membuatnya senang dengan membuat orang lain marah' adalah hal yang kupikirkan sekilas ketika melihatnya. Bahkan bagiku yang tidak tahu sama sekali kronologinya, kupikir tidak seharusnya dia melakukan provokasi tersebut jika tidak ingin menciptakan sesuatu yang lebih rumit.
    Tunggu—apa mungkin dia sengaja melakukannya?
    Dalam kemungkinan lain aku bisa menduganya. Jika konteks awalnya adalah memperdebatkan masalah 'siapa yang lebih unggul' di antara mereka, maka skenario yang terjadi di sini akan cukup terdengar masuk akal.
    Tak lama kemudian, Panitia yang menyadari kegaduhan kecil itu memberikan teguran kepada keduanya. Namun ironisnya, Panitia tersebut justru mendapatkan tatapan menantang dari keduanya. Yang satu tersenyum seolah ada maksud tersembunyi, dan yang satunya menatap ketus saat menoleh. Walaupun hanya seorang siswi yang posisinya lebih rendah dari Panitia, dalam kondisi tertentu seperti saat ini mereka juga bisa ditakuti karena dua alasan logis—yaitu punya 'kecerdasan' dan 'ketegasan'. Hal tersebutlah yang membuat aura dan ekstensi mereka sekilas tampak begitu kuat. Namun, Panitia tentunya bisa menertibkan mereka dengan aturan yang berlaku.
    Lalu, setelah menangani kedua siswi itu dengan modal kesabaran, mereka akhirnya bisa berhenti bertengkar, namun tidak bisa dipungkiri jika mereka mungkin masih memiliki dendam masing-masing. Kemudian, siswi koleris itu memilih duduk di bangku yang masih kosong. Karena tekanan amarah yang tampaknya belum dapat dilupakan, siswi pemarah itu duduk dengan posisi seperti tidak mencerminkan seorang pelajar. Namun, Panitia yang melihat itu tampak hanya bisa membiarkannya.
    "Biar ku jelaskan bagian utama dari tes ini. Aturannya sangat sederhana, jadi perhatikanlah baik-baik. Disini kalian diberikan tiga opsi pilihan dalam bentuk tes. Opsi yang pertama, mapel tes bisa dipilih dengan 'aklamasi'. Itupun jika kedua puluh murid yang ada di sini setuju memilih mapel yang sama. Lalu opsi yang kedua, jika kalian tidak bisa mencapai kata sepakat pada opsi yang pertama, maka kalian bisa memilih dengan 'voting' atau pengambilan suara yang terbanyak. Untuk voting ada dua versi, 'terbuka' dan 'tertutup'. Jika voting terbuka, kami akan menyebutkan satu persatu mapel dan kalian bisa mengangkat tangan secara langsung jika mapel yang disebutkan merupakan pilihan kalian. Kemudian untuk voting tertutup, kalian bisa membuat lintingan kertas kecil yang didalamnya bertuliskan mapel pilihan kalian, lalu memasukkannya kedalam kotak suara yang ada di depan meja kami saat ini. Untuk opsi terakhir, jika kedua cara sebelumnya gagal, kalian bisa memilih dengan cara 'undian'. Pada bagian ini sepertinya tidak perlu banyak ku jelaskan kalian sudah dapat memahaminya. Kami akan menaruh lintingan-lintingan yang berisikan mapel didalam kotak, lalu kalian bisa mengambilnya secara berurutan. Tapi ada pengecualian khusus yang dimana kalian bisa tidak mendapatkan mapel tes yang sama. Dengan kata lain, kemungkinan paling banyak akan mengerjakan tes secara individu yang itu berarti ... kalian juga harus bertaruh pada keberuntungan kalian dalam mengambil lintingan berisikan mapel yang akan kalian kerjakan."
    Dalam sekejap, semua murid yang ada di ruang tes ini menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda ketika mengetahui bentuk sederhana, namun dalam arti lain dari tes yang akan diujikan.
    Sementara itu, aku sedikit lega mengetahui mapel yang akan diujikan rupanya tidak dipilih atau diputuskan langsung oleh panitia, melainkan berdasarkan keputusan murid. Kurasa, tes ini juga berperan dalam melatih kemandirian murid dalam mengambil keputusan. Jika memang begitu, maka ini menjadi masuk akal dengan membagi dua puluh murid di setiap ruangan.
    "Aku menyarankan untuk melakukan voting terlebih dahulu."
    Siswi yang duduk tenang dengan ekspresinya yang sama sekali tak berubah, mengajukan itu dalam hitungan detik setelah penjelasan selesai.
    "Hei! Jika ingin cepat bukankah cara aklamasi lebih sederhana!?"
    ... Kemudian, orang yang dengan tegas menentang saran voting itu tidak lain adalah siswi yang sebelumnya berkonflik dengannya.
    Tampaknya, ini akan segera menjadi ronde kedua dari kelanjutan konflik mereka.
    "Kelihatannya kau menginginkan cara cepat ya. Tidak sepertimu, aku lebih suka menikmati prosesnya. Bukankah akan membosankan jika tes ini berakhir begitu saja?" Tanya siswi yang tampak tenang, seolah meremehkan tes yang akan berlangsung saat ini.
    "Dasar egois! Lihatlah jam berapa ini! Apa kau tidak berpikir kita juga sedang dikejar waktu? Aku menyarankan aklamasi karena menurutku itu cara yang paling efisien dalam menghemat waktu. Apa kau tidak memperhitungkan waktu saat mengerjakannya juga? Waktu itu sangat berharga, kau paham kan!"
    Sementara siswi koleris terus memberikan serangan argumen beruntun kepadanya, kelihatannya itu tidak mempengaruhi cara tenang siswi itu dalam berekspresi dan juga bersikap. Justru dia tampak seolah sengaja membiarkan siswi itu 'menuangkan hal yang ada dipikirannya' dan berniat akan memberikan serangan balasannya di akhir.
    "Perkataanmu mungkin ada benarnya juga, tapi itu terserah kepadamu. Aku hanya menyukai caraku melakukannya sendiri. Ngomong-ngomong, kalau menyangkut soal keegoisan, bukankah seharusnya pendapat murid lain memiliki kemungkinan seperti itu juga?"
    Seperti yang ku duga, dia membalikkan logika siswi itu dengan fakta yang sudah umum ... seolah-olah berusaha mengintip kedalam pikiran murid yang ada di ruangan ini.
    Ketika dia menyebutkan kata 'murid lain', pandangannya sempat tertuju ke arah sebagian besar murid. Sementara mereka yang mendapati tatapan samar itu, beberapa murid yang seolah tersindir oleh ucapannya seketika langsung memalingkan wajah dengan ekspresi berbeda-beda.
    "Kau.... " Siswi yang dipojokkan tampaknya akan meledakkan kemarahan.
    Kali ini Panitia justru malah terus memperhatikan perdebatan mereka sembari menunggu hasil keputusan dari semua murid. Sepertinya, ini akan menjadi perdebatan yang sangat lama. Sementara waktu terus berjalan, tidak ada satupun murid yang berinisiatif melerai ataupun menengahi keputusan mereka.
    Kira-kira tes ini sudah berlangsung selama hampir satu jam. Dan saat ini, masih ada satu hambatan besar yang harus di lalui murid ... tidak lain itu adalah keputusan mereka dalam mengambil bentuk tes yang diujikan. Jika ini memang seperti yang diharapkan oleh 'si pembuat tes', maka seharusnya waktu yang diberikan tidaklah sesedikit ini. Mempertimbangkan kembali seratus soal yang akan kami hadapi, dalam kondisi ini kemungkinannya cukup kecil bagi murid untuk mampu menuntaskannya secara menyeluruh.
    Disaat yang sama, aku mengingat sesuatu yang lebih penting daripada hanya mengamati perdebatan keduanya yang tampaknya akan berlangsung lama. Disaat itulah aku mengambil sesuatu dari tasku yang ku taruh di belakang. Barang yang kuambil bukanlah sesuatu seperti pena ataupun buku, melainkan itu adalah bekal makan yang sebelumnya Cika berikan. Karena tampaknya seluruh perhatian mereka terfokus pada kedua siswi itu, aku maju ke depan tanpa diperhatikan oleh siapapun, kemudian berdiri di depan Panitia untuk meminta izin yang wajar.
    "Permisi kak, apakah di sini diperbolehkan makan?" Tanyaku.
    "Eh, ya... seharusnya masih baik-baik saja untuk saat ini... selama tes belum dimulai," jawab Panitia, tampak terkejut mendengar permintaanku yang tidak biasa.
    Setelah mendapatkan izin secara resmi, aku kembali ke tempat dudukku sebelumnya, lalu meraih kotak makan yang sudah ku taruh di atas meja.
    Uh, ini pasti karena tadi.
    Ketika memeriksa kondisi didalamnya, tampak itu sedikit berhamburan antara nasi dengan lauk pauknya, tapi itu tidak menjadi masalah untukku. Kemudian, sambil makan aku memperhatikan perdebatan mereka yang sepertinya masih akan terus memanas.
    Sekitar lima menit telah berlangsung. Setelah mengamati keduanya, aku menjadi paham alasan mengapa mereka tidak cocok. Tentu saja masalah utamanya terletak karena mereka berbeda pandangan ... tapi jika melihat secara individu, siswi koleris itu mempunyai segi pemikiran mendalam terhadap 'perhitungan'. Sementara siswi yang selalu tersenyum itu mempunyai segi pemikiran 'sistematis yang abnormal'. Kalau yang satu serius dengan keadaan, maka yang satunya lebih serius ke pemikiran. Jika diamati lebih mendalam, kelihatannya mereka adalah jenis keberadaan murid superior dalam aspeknya masing-masing.
    "Kalau begitu bagaimana jika kita putuskan dengan undian. Ini cara yang adil untuk menentukan semuanya kan," siswi yang tampak tenang, mengajukan itu.
    "Tch, semoga saja begitu," balas siswi koleris, seolah masih merasa tidak puas.
    Tepat baru setelah selesai makan, kelihatannya perdebatan mereka akan berakhir setelah beberapa menit ini berlangsung. Sementara aku memasukkan kembali kotak bekal tersebut kedalam tas, kelihatannya siswa lain juga turut merasa lega dengan adanya usulan itu.
    "Apa kalian sudah memutuskannya?" Tanya Panitia, masih menunggu kepastian hasil keputusan mereka.
    ... Namun, seperti yang terlihat, mereka disibukkan dengan pandangan skeptis.
    "Baiklah, kita lakukan dengan cara undian saja. Lagipula keberuntungan adalah sesuatu yang tidak kita sama-sama kuasai dan miliki secara pasti," kata siswi koleris, tampak begitu yakin.
    "Ya begitulah, siapa yang tahu."
    Di sisi lain, siswi yang selalu tersenyum itu tampak seperti sedang menyembunyikan makna lain—namun bisa kupastikan bahwa sekarang ini dia tidak mempersiapkan rencana atau langkah apapun.
    Siswi koleris tampaknya sudah lelah menggertaknya, kemudian kembali ke tempat duduknya dengan ekspresi agak tidak puas. Dan dengan hasil itu, Panitia membuat persiapan seperti lintingan untuk mengatur bentuk undian yang akan ditaruh nantinya didalam kotak suara. Aku heran mengapa tidak ada murid lain selain kedua siswi itu yang antusias dengan pendapat pribadinya. Apakah mereka memilih diam sebagai jawaban, sama seperti yang kulakukan saat ini? Tapi jika dipikir-pikir kembali, mengingat reaksi sebagian dari mereka yang mempunyai respons terhadap siswi itu, kupikir 'memendam jawaban' bukanlah tindakan yang mereka lakukan sebenarnya.
    "Semuanya harap berbaris ke depan untuk mengambil undian tes yang akan kalian kerjakan."
    Mengintruksikan itu, Panitia tampaknya telah menyelesaikan bagian pekerjaannya membuat lintingan kertas yang seharusnya tertulis nama mapel yang akan kami kerjakan masing-masing didalamnya.
    Dengan sedikit cepat, para murid yang kebanyakan mempunyai pendapat 'mengikuti arus', mulai berbaris teratur. Ketika giliran mengambilku tiba, aku memasukkan tanganku kedalam kotak suara dan mengharapkan mapel yang mampu ku kerjakan muncul.
    Sebelum tes dimulai, sempat ada penjelasan mengenai bagian mapel yang akan diujikan. Untuk murid tahun pertama, ada tujuh mapel yang dapat diujikan. Diantaranya seperti mapel kesastraan, matematika, sains, geografi, sosiologi, PKN, Seni. Masing-masing berjumlah seratus soal tanpa terkecuali. Dari ketujuh mapel itu, ada dua kemungkinan dasar yang dapat ku analisa. Secara pribadi, aku mempunyai perkiraan sekitar 70% untuk mapel yang mampu ku hadapi dan menjadi minatku, lalu 30% untuk mapel yang bukan keahlianku sama sekali ataupun minatku.
    Ketika masih dalam proses mengambil salah satu lintingan, dari lima hingga sepuluh detik aku menarik tanganku dan mendapatkan lintingan kertas di tanganku ... kemudian, saat membukanya ... melihat isi tulisan yang ada didalam ... seketika kupikir ini adalah hari keberuntunganku.
    Setelah memberikannya kembali, Panitia memeriksanya sejenak, lalu mengkonfirmasi serta mencatat lintingan tersebut berdasarkan nama murid yang mendapatkannya.
    Saat semua murid telah mengambil bagian undiannya masing-masing, Panitia tampaknya akan segera membagikan soal tes sesuai dengan hasil undian yang didapat murid. Untuk mencegah kerahasiaan masing-masing, Panitia tampak mengusahakan agar pembagian tes mapel tidak diketahui murid lain. Ini bisa disebut sebagai kekurangan opsi undian. Selain tidak mengerjakan mapel yang sama, atau mungkin ada yang sama, cara terakhir ini seolah menjadi pilihan khusus akibat dari tidak adanya kredibilitas murid dalam satu ruangan dan hasil keputusan mereka yang tidak mencapai kata sepakat. Sekarang, aku mulai paham sebagian besar makna dari 'tes tertutup' ini, serta tujuannya tersebut diadakan dalam sesi ini.
                                                    ***
    Kemudian, saat Panitia telah sampai di depan mejaku, dia membagikan lembar soal tes sesuai dengan hasil undian yang kudapatkan. Ketika melihat ke arah jendela, tampaknya matahari sudah menunjukkan tanda-tanda akan terbenam. Mungkin jika perkiraanku benar, kurang lebih saat ini adalah jam empat sore.
    "Kak, ngomong-ngomong jam berapa sekarang?"
    Karena di ruangan ini tidak ada jam dinding atau siswa yang membawa jam tangan, wajar saja jika salah satu dari mereka menanyakannya.
    "Jam setengah lima kurang lima menit. Kelihatannya kalian masih punya waktu sekitar tiga puluh lima menit untuk mengerjakan," jawab Panitia.
    "Ini semua salahmu! Jika kau langsung menegaskannya dari awal tanpa harus membelit belit-kannya, kita akan punya waktu yang lebih banyak," tegas siswi koleris itu kepada siswi sebelumnya.
    "Menurutmu apa memang semudah itu? Dalam urusan memilih secara berkelompok, bukankah jawaban murid lain juga perlu dipertimbangkan? Mungkin jika salah satu dari mereka ada yang mengajukan pendapat lain dengan pertimbangannya sendiri, kita tidak perlu berdebat panjang sejak awal kan—tapi sayangnya, di ruangan ini tidak ada murid yang seperti itu," bantahnya, tersenyum licik.
    Menerima fakta itu, siswi koleris terus berusaha memendam amarah. Jika masalah emosional masih terus berlanjut, maka tidak akan ada waktu yang tersisa untuk mengerjakan soal tes. Mungkin itulah yang dia pikirkan. Kemudian, aku kembali fokus mengerjakan soal-soal yang berjumlah seratus di hadapanku. Dari perhitunganku, jika sisa waktu sekarang ditaksirkan ke tiga puluh menit, itu berarti dalam satu menit aku harus bisa mengerjakan 3 soal. Lalu di bagian terakhir, aku mungkin harus mengerjakan empat soal sekaligus dan membaginya dalam beberapa detik.
    Disisi lain, jika menyangkut tentang kondisi fisikku, beruntung sebelumnya saat di pertengahan debat tadi aku sempat makan sesuatu. Seharusnya tidak akan ada masalah yang mendadak terjadi seperti tiba-tiba merasa lapar atau lemas yang dapat mengganggu kinerja otak. Dampak positifnya, aku bisa mengerjakan tes ini dengan semaksimal mungkin.
    Tanpa memperhatikan kondisi sekitarku, aku terus mengerjakan soal tanpa berhenti berpikir.
    Saat ini seluruh ruangan menjadi sangat senyap, seolah-olah tidak ada orang didalam ruangan. Entah apa yang dilakukan Panitia saat ini—yang bisa kudengar hanyalah suara hembusan angin kecil yang masuk lewat lubang atas jendela ... tapi itu sama sekali tidak membuatku berpaling dari lembar kertas di depanku ini. Lalu, ketika cahaya dari luar mulai tampak berwarna jingga, aku mendapati nomor soal dari lembar jawabku tersisa di bagian akhir. Setelah berhasil mendaratkan tanganku tepat menyilang salah satu jawaban yang pada akhirnya kupilih, dalam waktu yang hampir bersamaan...
    "Teng...!"
    Lonceng yang menandakan batas waktu tes berakhir berbunyi. Tanpa menunggu lama, Panitia segera mengambil, mengumpulkan seluruh kertas mereka baik yang telah selesai, sedang dalam proses, maupun yang masih belum banyak mengerjakannya sama sekali.
    "Sial! Padahal aku belum mendapatkan setengah dari yang ku kerjakan...." kata salah seorang siswa.
    Kini, setelah melihat wajah mereka semua secara langsung, pemandangan kacau dapat terlihat jelas dalam satu ruangan. Sementara itu, Panitia sepertinya telah menggunakan sebuah mesin yang berfungsi untuk menilai hasil jawaban secara otomatis dan efisien. Mesin itu bentuknya mirip sejenis printer, namun lebih besar dan tombolnya lebih banyak. Terdapat sinar proyeksi juga ditampilkan, dan itu sepertinya berfungsi sebagai pemindai jawaban yang nantinya akan dapat di nilai secara otomatis. Dengan keberadaan mesin itu di zaman sekarang, kupikir pengoreksian dari murid ataupun guru dengan cara manual sudah tidak terlalu diperlukan—ini sangat praktis.
    Setelah menunggu selama kurang dari lima menit, semua pengoreksian telah selesai, dan hasil nilai dari kedua puluh murid secara otomatis ditampilkan di layar papan tulis. Dari atas (nilai tertinggi) hingga bawah (nilai terendah), semua ditampilkan secara berurutan. Sekarang aku ingin tahu seberapa jauh-kah reaksi mereka terhadap nilai tinggi yang akan mereka lihat. Kemudian, di waktu yang sama aku mengalihkan pandanganku ke arah salah satu siswi tadi... 
    "Hei tunggu, apa itu, bagaimana itu mungkin!"
    ... Salah satu murid yang kebetulan melihat hasil nilai dari urutan teratas, seketika tampak tercengang sekaligus terkejut seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kemudian... tak lama setelahnya, sebagian murid lainnya juga turut menunjukkan reaksi yang hampir sama.
    "Bagaimana bisa...." siswi koleris juga tampak mematung saat melihatnya.
    "I—itu bohong, kan."
    "Apa jangan-jangan di sini ada murid jenius?"
    "Itu bahkan lebih tinggi dari nilai rata-rata ujian loh!"
    "Dalam waktu yang terbatas ini... apa itu mungkin?"
    "Apa-apaan nilai setinggi itu!? Siapa orang yang mengerjakannya?" Siswa tersebut mencari-cari.
    "Gila...! Sangat diluar nalar!"
    Sekaligus mengumumkan hasil pengerjaan, seperti yang kuduga tampaknya Panitia juga berniat memanggil nama siswa yang mendapatkan nilai yang dikatakan mereka tinggi itu untuk maju ke depan.
    "Hasil yang paling tinggi diraih oleh siswa yang mendapatkan mapel sastra dengan total nilai 98! Tampaknya diduga ada satu kesalahan di nomor terakhir. Siswa itu adalah..."
    Kupikir itu adalah hasil yang tidak mengherankan karena untuk memikirkan 'soal itu' saja tidak sampai sepuluh detik di saat-saat terakhir.
    "Rafa!"
    Yah ... kupikir aku sama sekali tidak terkejut karena ini adalah 'hasil yang pasti'.
    Ketika nama itu disebutkan, Panitia melihat ke arah bangku dudukku. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pandangan seluruh murid sontak tertuju ke arahku. Sementara itu di depan layar papan kurang lebih menunjukkan hasil yang seperti ini;

Hasil dari urutan teratas - Ruang tes 7 (B/S/O)
Rafa : 198 (99/1/0) mapel sastra (X BHS)
Sherly : 156 (78/18/4) mapel mate~ (X IPA)
Tania : 142 (71/16/13) mapel fisika (X MIKA)
    Dan seterusnya...

    "Huh, apakah dia orangnya?"
    "Sulit dipercaya."
    "Mungkin saja dia termasuk siswa yang maniak belajar...."
    Kelihatannya inilah saat-saat dimana aku ingin segera lari meninggalkan ruangan dengan alasan buang air kecil ... tapi kelihatannya itu tidak mungkin. Ketika Panitia menyuruhku untuk maju ke depan, di tengah perjalanan aku mengamati siswi yang selalu tersenyum itu juga melihat ke arahku. Sudah kuduga itu akan menarik perhatiannya juga.
    'Apakah aku suka memberikan pelajaran langsung kepada orang lain?' Itulah yang saat ini sedang ku renungkan di tengah jalan. Kemudian, setelah sampai di depan, aku menatap layu Panitia. Sementara dia menunjukkan kertas hasil pengerjaanku kepada seluruh murid di ruangan ini, Panitia juga mulai mewawancaraiku dengan memberikan pertanyaan yang sudah pasti akan sangat melelahkan.
    "Untuk memotivasi yang lain, bisakah kamu memberitahu semuanya yang ada di sini mengenai metode belajar seperti apa yang kamu gunakan hingga mampu mengerjakan seluruh soal tes dalam waktu yang terbatas ini?" Pinta Panitia, tampak berharap kepadaku agar menjawabnya.
    Terus terang sejujurnya aku sama sekali tidak termotivasi dengan hasil yang membuatku tampil mencolok. Kurasa ... Hanya ada dua alasan mengapa hasil ini bisa terjadi.
    "Hanya kebetulan," jawabku singkat.
    Seketika itu, mereka semua yang mendengar langsung terkejut seolah tidak percaya dengan kata yang ku ucapkan.
    "Metode belajarku hanyalah 'belajar secukupnya' atau 'belajar tanpa paksaan'. Dengan kata lain, aku hanya mempelajari apa yang mampu kupelajari, itu saja. Lalu sebagai tambahan, aku bukanlah orang jenius seperti yang kalian pikirkan, melainkan siswa biasa tanpa motivasi apapun yang hanya mengikuti KBM dengan serius," lanjut kataku.
    "Siswa biasa tanpa motivasi? jangan bohong! Mana ada siswa biasa mampu mendapatkan nilai setinggi itu!" Bantah salah satu siswa dengan tegas.
    "Tentu saja ada. Itu tergantung dari caramu melihatnya," jelasku.
    Sepertinya aku sudah mengatakan apa yang perlu kukatakan di sini. Aku memberikan sebuah contoh 'peran orang biasa yang mampu berpikir' secara tidak langsung kepada salah seorang siswi jenius yang ada di ruangan ini. Bagiku itu sudah cukup.
    "Apa ini sudah cukup?" Kataku kepada Panitia, seusai menghela nafas.
    "Ah—untuk pertanyaan terakhir, bisakah kau bersedia menjawab yang terakhir ini?" Pinta Panitia.
    "Baiklah," jawabku dengan malas.
    "Seperti hasil yang kau dapatkan saat ini, kau sepertinya cukup unggul di bidang sastra ya?" Tanya Panitia.
    "Jika dibandingkan dengan pelajaran lain, mungkin begitu," jawabku.
    "Apa kamu bisa memberikan saran kepada yang lain, sebagai acuan belajar..." pinta Panitia, sepertinya sengaja mengulur waktu.
    Semisal semua orang menganggap pemikiran manusia dalam hal 'keterbatasan' itu sama, maka mereka mungkin akan melihat sesuatu itu sebagai hal yang wajar. Terutama untuk orang jenius sekalipun, mereka pastinya mampu menyesuaikan diri dengan sekitar.
    "Karena 'keterbatasan', setiap orang punya cara penyelesaiannya masing-masing yang mampu dilakukan dirinya sendiri."
    Setelah meninggalkan kata itu dan membiarkannya melambung di udara, aku kembali ke tempat dudukku sebelumnya tanpa memperhatikan ataupun menoleh ke hal lain.
    Sebenarnya untuk apa aku melakukan ini? Padahal semenjak meninggalkan 'lingkungan' itu, aku telah membuat ketetapan agar tidak terlalu terlibat dengan urusan orang lain ataupun membuat diriku tampak mencolok. Tapi karena kondisi yang memaksaku melakukannya, contohnya seperti yang sudah terjadi saat ini, terkadang itu menjadi sesuatu yang diharuskan.
    "Huh... jujur saja ini membuatku kerepotan bila sampai terjadi lagi," gumamku.
    Sepertinya ada sesuatu yang perlahan merubah diriku dari dalam ... tidak. Lebih tepatnya, ada sesuatu yang mengubah arah tujuan hidupku untuk lebih 'menikmati kehidupan damai' di sekolah ini.
    Sampai bisa mengalahkan 'orang itu', setidaknya aku harus berusaha menjaga 'ruang lingkup pribadiku' lebih dulu agar tetap stabil dan berjalan dinamis di setiap perkembangan yang akan kudapatkan di sini—karena bagaimanapun juga, cepat atau lambat kami pasti akan segera bertemu di tempat ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Switch Career, Switch Life
317      266     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Sendiri diantara kita
797      499     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
In Her Place
723      487     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...