Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Tes tertutup. Seperti yang telah dijelaskan pada laman situs resmi sekolah, tes tersebut bertujuan untuk mengukur kemampuan individu siswa. Berpikir secara mandiri tanpa bantuan orang lain, dan menggerakkan siswa agar berjuang mencetak nilai tinggi dengan menjanjikan banyak 'poin', itulah yang diharapkan oleh pihak sekolah.

    Saat ini, aku berada di kantin yang tak jauh dari belakang gedung sekolah. Kira-kira hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk sampai disini jika diperkiraan berjalan dari kelas, lewat pintu belakang.

    "Kurasa aku akan mengambil jatahku," pikirku.

    Dalam peraturan kantin, setiap siswa diberikan jatah makan gratis setiap harinya di kantin. Ini juga merupakan fasilitas sekolah, namun tidak di wajibkan. Untuk mengambil jatahnya, siswa harus mengantri di loket yang berbeda dari tempat khusus membeli. Dalam loket tersebut, di sana terdapat tanda yang bertuliskan 'pengambilan jatah makan gratis', serta tulisan kecil di bawahnya yang merupakan penjelasan dari aturan itu sendiri. Karena banyaknya murid dari tahun pertama hingga tahun ketiga yang mengantri mengambil jatah makannya, tempat pengambilan itu tersedia dalam lima jendela yang masing-masing memiliki barisan sendiri. Perlu diingat bahwa, menu gratis ini hanya bisa diambil selama jam istirahat pertama atau kedua dalam kurun waktu tiga puluh menit. Jika murid tidak datang pada saat itu, maka jatah makan secara otomatis akan hangus. ibarat seperti mendapatkan sebuah kupon makan setiap harinya, namun itu hanya bisa dipakai dalam waktu tertentu, juga dibatasi oleh waktu yang relatif singkat.

    Untuk awal-awal Ibu Kantin berupaya menertibkan mereka, khususnya untuk anak tahun pertama yang masih perlu belajar tata tertib, serta etika yang baik di kantin. Untuk menghindari murid yang memiliki pola pikir licik mengambil jatahnya lebih dari sekali, Ibu Kantin mendata mereka menggunakan alat sentuh seperti layar digital, namun lebih sederhana. Itu sudah dipermudah agar bisa digunakan dengan cepat dan efisien seperti menscan barcode. Dengan begitu, nama yang nantinya akan terdaftar ketika sesi pengambilan, tidak akan ada yang bisa mengambil jatah makan lebih dari sekali. Jika tindakan itu diketahui secara langsung, maka sudah pasti hukuman akan ditindaklanjuti oleh pihak sekolah. Murid yang dilaporkan juga tidak mungkin dapat kabur. itu dikarenakan, data identitas murid tersebut bisa dilihat dengan jelas karena keberadaan alat canggih di kantin itu yang otomatis mendata murid setelah pengambilan jatah makan.

    Aku mulai mengantri ketika mendapati salah satu antrian, yaitu di loket nomor empat yang tampaknya sudah lebih sedikit. Alasan mengapa aku tidak langsung mengantri adalah karena banyaknya siswa-siswi di sekitar yang membuat kondisiku tidak nyaman. Tidak hanya berdesak-desakan saja, seperti yang sudah menjadi kebiasaan umum, mereka berbicara satu sama lain di barisan yang sama maupun di sisi lainnya selama berdiri menunggu antrian itu berjalan. Bagi orang sepertiku, itu hampir seperti sebuah siksaan karena aku harus mendengarkan obrolan mereka yang tidak ingin kudengar selama berdiri di barisan.

    "Hei, apa kau sudah tahu menu apa yang akan kita ambil hari ini?"

    "Bukankah itu daging sapi."

    "Benar! Itu adalah salah satu menu yang jarang muncul. Entah kenapa hari ini aku sangat bersemangat karenanya."

    "Kau sangat suka sekali dengan menu daging sapi ya."

    Aku bahkan bisa mendengarkan percakapan mereka dari sisi lain barisan. Dari jasnya yang berwarna hijau, tampaknya mereka adalah kakak kelas tahun kedua. Mereka sedang asyik mengobrol, sementara menunggu antrian di depan. Alasan mengapa mereka bisa tahu jatah menu hari ini adalah karena adanya informasi yang bersumber dari 'laman informasi' sekolah. Dalam laman itu, bukan hanya informasi terkait KBM saja yang selalu diperbarui, melainkan informasi terkait jatah makan juga sama. Hal tersebut tentunya bertujuan untuk mengetahui jatah menu yang akan didapatkan murid sehari-hari. Dengan begitu, murid dapat memutuskan sendiri akan mengambilnya atau tidak sesuai selera mereka. Lagipula, jatah makan itu tidak mengharuskan murid untuk mengambilnya.

    Selain itu, kelihatannya dari tahun pertama hingga tahun ketiga, jatah menu mereka semua sama. Karena itu adalah jatah makan gratis, pihak kantin yang akan memutuskan 'apa yang akan disajikan' dan kemudian ditampilkan dalam informasi 'menu harian'. Ini sangat praktis dan tentunya efisien.

    Aku mengagumi perkembangan zaman di masa sekarang, dan berharap ada hal-hal baru yang dapat kutemukan di sekolah ini. Tentu saja aku akan menyempatkan waktu untuk melakukan eksplorasi, asal itu tidak melebihi batasanku ketika berada di luar ruangan.

    Tak lama kemudian, aku sampai di depan loket dan bersiap mengambil jatah makan gratis-ku. Karena sepertinya Ibu Kantin hanya menanyakan nama dan kelas, seharusnya itu tidak masalah untukku. Tapi....

    "Seingatku, bukankah tadi kamu sudah mendapatkannya?" Tanya ibu Kantin.

    "Tidak, aku mengantri bukannya ingin mendapatkan jatahku lagi," bantah siswa yang berdiri di depan loket, sedikit tergagap.

    "Lalu...?" Ibu Kantin menatap siswa yang berdiri di depanku dengan tatapan tajam, seolah seperti sedang mengintrogasi seorang penjahat.

    Siswa itu terlihat gemetar ketakutan, namun dia terus melanjutkannya dengan intonasi terbata-bata.

    "A—aku hanya mengambilkan jatah makan untuk temanku yang duduk di sana ..." dia menunjuk ke arah salah satu meja kantin ... sementara seseorang yang ditunjuk itu adalah siswa yang tampak bengis, bersantai seolah menunggu siswa itu kembali.

    Merespons dirinya sedang ditunjuk, siswa itu melambaikan tangan seraya tersenyum menyeringai, namun, sepertinya tidak ada satupun yang menyadari bahwa dirinya sedang menyeringai. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Ibu Kantin mencurigai gerak gerik siswa itu. Usai mengkonfirmasi hal tersebut, lantas Ibu Kantin memberikan jatahnya sembari berbicara... 

    "Lain kali suruh temanmu itu mengantri dan mengambil jatahnya sendiri. Biasanya kasus pembullyan dan penindasan sering terjadi di antara murid-murid baru. Pastikan kau berhati-hati untuk kedepannya," kata Ibu Kantin, menasehatinya.

    "I—iya."

    Kemudian, siswa yang mengantri di depanku mengambil jatahnya lantas pergi ke arah salah satu meja makan kantin. Ibu kantin mengamati sejenak murid yang menyuruh siswa itu. 'Kelihatannya tidak ada masalah'. Itu mungkin yang dipikirkan Ibu Kantin, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arahku, siswa yang sedang menunggu jatahnya di berikan selanjutnya...

    "Nama? kelas?"

    Karena kebisingan hampir memenuhi seluruh tempat di kantin, untuk mengantisipasi agar suaraku bisa terdengar, aku sedikit mendekatkan wajahku ke jendela loket sebelum berbicara.

    "Rafa, sepuluh bahasa." Saat mengucapkannya, aku sedikit menekan bibirku sebagai isyarat jika suaraku terkonfirmasi tidak jelas atau tidak terdengar oleh Ibu Kantin.

    Lantas, aku baru memberikan kartu pelajarku seperti yang sudah menjadi prosedurnya.

    "Ini, lain kali bicara yang keras!" kata Ibu Kantin, seusai menscan kartu pelajarku— kemudian mengembalikannya.

    Walaupun beliau ini tidak bermaksud memarahi, suara Ibu Kantin secara alami terdengar tegas ketika sedang menasehati. Dengan spontan, aku mengangguk pelan sebelum meninggalkan barisan antrian.

    Ketika memutuskan dimana aku akan duduk, tampaknya tidak ada satupun tempat yang lebih tenang. Hampir sebagian besar meja kantin, diisi oleh murid yang rata-rata berkumpul secara berkelompok, bersenda gurau sambil makan. Ini pemandangan yang tidak ramah bagi orang sepertiku. Kurasa aku bisa memakluminya karena ini adalah kantin.

    Oh...

    Secara kebetulan, ditengah pencarian tempat duduk aku berdiri tak jauh dari siswa yang sebelumnya mengantri di depanku. Saat ini dia dihadapkan oleh siswa dengan penampilan bengis yang sepertinya sedang memakan jatah makan yang sebelumnya dibawa oleh siswa suruhannya.

    "Hei, bagaimana kalau besok kau lakukan itu lagi. Jika kau mau menurutinya secara sukarela, aku bisa saja memberimu perlakuan khusus, kau tahu ," kata Siswa Bengis ini, menyeringai.

    "P—perlakuan khusus?" Siswa suruhannya itu agak tersontak mendengarnya.

    "Ya, kau bisa menjadi bagian dari kami, bagaimana?" Siswa Bengis itu, memberikannya tawaran.

    "Itu—"

    Ketika siswa tersebut hendak menyetujuinya dengan sedikit rasa semangat—dengan spontan tiba-tiba aku memotongnya.

    "Itu penawaran yang sangat menggelikan," kataku.

    Sepertinya ... tanpa sadar aku telah menaruh simpati terhadap siswa yang dimanfaatkannya ini. Identitas siswa ini sebenarnya adalah Fito, laki-laki yang kebetulan duduk sebangku denganku di kelas. Mungkin tak heran jika aku tergerak karena kebetulan mengenalnya. Sepertinya sekarang... aku sudah terlanjur masuk kedalam zona mereka. Ini mungkin akan melelahkan ... tapi dalam situasi ini, sudah terlambat untuk menghentikan apa yang sudah dimulai.

    "Ha...? Siapa kau ini?!"

    Jika tidak salah ingat, siswa yang membentakku ini sepertinya juga salah satu murid di kelas, laki-laki yang duduk di barisan belakang sekaligus bagian dari kelompok siswa bermasalah.

    "Kau tidak harus memilih bergaul dengan orang seperti dia, kan. Apa kau baik-baik saja dengan itu?" Tanyaku kepada Fito.

    "Jangan ikut campur!" siswa bermasalah yang terus melihatku, membentak sekali lagi.

    Namun, suaranya belum dapat memecahkan keramaian di kantin. Alhasil, ini secara tidak langsung menyelamatkanku yang tidak ingin menjadi pusat perhatian dari konflik bodoh ini.

    "Saat ini aku bertanya dengan Fito, bisakah kau diam sebentar," kataku, membalas tatapannya.

    "Rafa, kau tahukan, aku tidak punya keberanian bergaul dengan siapapun di kelas, dan... aku juga tidak akan mampu terus menjadi seorang penyendiri sepertimu. S—setidaknya, kupikir aku bisa membangun keberanianku dengan bergaul bersama mereka yang mengajakku..."

    Gaya bicara Fito terbata-bata, akibatnya dia tidak bisa menjelaskan situasinya dengan benar ... dari maksud perkataannya yang berhasil kutangkap, kelihatannya dia telah memaksakan diri untuk mengikuti keyakinannya dalam mencari seseorang yang bisa diajak berteman. Tapi ... dari pengamatannya itu dia terlalu naif.

    Ini bisa dimengerti. Kebanyakan orang pasti akan mengatakan bahwa, 'seseorang tidak akan mampu hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain'. Konsep seperti itu juga berlaku di segala kondisi, akan tetapi ... itu tidak terlalu berlaku untuk orang yang memilih cara hidup tenang selama bisa melakukannya dengan kemampuan sendiri.

    Bagi seseorang yang pernah mengalami kejadian dramatis di masa lalu, atau mengalami kecelakaan mengerikan yang menjadikan seseorang berubah 90°, pemikiran seperti itu akan hangus seketika seolah terbakar dan lenyap didalam lubuk hati yang terdalam. Ketika itu terjadi, seseorang mungkin akan mengatakan, 'alangkah baiknya untuk tidak banyak terlibat dengan orang lain.' Ini bisa saja diartikan sebagai ungkapan 'bukan hanya karena rasa tak peduli', melainkan 'karena memang sudah tak dapat peduli lagi' ... akibat terlalu banyak berharap kepada orang lain dan hasilnya tidak sesuai ekspektasi, seseorang akan menjadi pendiam dan berakhir hidup dalam kesendirian. Ini sudah sering terjadi didalam masyarakat luas.

    Karena biasanya aku membaca beberapa novel psikologi dalam bentuk sudut pandang yang berbeda, aku bisa mengetahui perasaan gelap, tingkah laku, serta pemikiran apa yang sedang dibentuk oleh sang tokoh. 'Dalam kondisi apapun masalah bisa diselesaikan, asalkan seseorang mampu menjaga ketenangannya'.

    "Huh." Jika dipikir-pikir, kapan terakhir kalinya aku merasa tertekan ya?

    "Kalau begitu katakanlah sejujur-jujurnya. Apa itu benar-benar yang kau inginkan? Apa kau tidak membayangkan sedikitpun—apa yang menantimu di depan sana setelah kau bergaul dengan mereka?"

    Menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, aku mencoba menyudutkan mental Fito yang telah terseret oleh rasa takutnya karena merasa 'sendirian' hingga terpaksa memilih bergaul dengan orang seperti itu.

    Saat ini, ekspresi wajah Fito sangat tertekan seolah-olah akan meledak kapan saja. Di satu sisi tidak dapat berpikir jernih, seharusnya dia tidak akan sampai bisa membuat keputusan yang rasional dengan kondisi seperti itu. Dan karena itulah aku menindaklanjuti fakta ini. Dari yang bisa ku asumsikan, aku menduga bahwa Fito dipaksa ... atau lebih tepatnya diancam secara tidak langsung. Kupikir ini merupakan strategi yang cukup efisien untuk menindas korban dari balik layar, khusunya untuk kaum introvert yang relatif lemah dalam segi sosial.

    "Biar kukatakan ini dengan jelas," kataku, seraya menaruh piringku di atas meja, kemudian mendekati Fito, lalu mengatakan ini di samping telinganya...

    "Tepat saat kau bergabung dengan mereka, aku bisa pastikan kau akan 'jatuh ke dasar neraka' yang terdalam."

    "Eh!" Seketika ekspresi wajah Fito berubah yang sebelumnya ketakutan melihat siswa bermasalah itu, kini beralih melihat ke arahku.

    "Bagiku lebih baik menjadi seorang penyendiri yang tidak punya teman satupun di dunia ini daripada harus 'jatuh ke dasar jurang' karena mengikuti jalan orang lain," kataku.

    "Tsk, berapa lama lagi aku harus menunggu ocehanmu itu, ha?" Tampaknya, siswa bermasalah itu sudah tidak tahan menunggu. Seolah mengucapkannya sebagai kata terakhir, aku menambahkan kata ini kepada Fito...

    "Nikmatilah siksaan yang akan kau pilih itu."

    Sekilas, dia tampak seperti menelan ludah ["Glup...!"] setelah mendengar perkataanku yang seolah-olah menyerang batinnya.

    Kemudian, aku mengambil piringku dan bersiap meninggalkan keduanya. Tapi, seperti yang kuduga itu tidak akan berjalan sesederhana itu hanya untuk meninggalkan medan ini.

    "Apa kau berniat pergi semudah itu setelah mengacaukan pola ini?"

    Tentunya aku tidak tahu persis bentuk pola apa yang saat ini dia gunakan. Tapi, setelah sampai sejauh ini, bisa kupastikan bahwa itu mungkin sudah meruntuhkan sebagian besar rencananya yang telah dia susun sebelum menyerang 'si korban'.

    "Apa sekarang kau mengakui bahwa ada maksud lain dari tindakanmu?" Tanyaku. Mendengar itu, dia sontak terkejut seolah tidak mengharap kata itu keluar dari mulutku.

    "Kau ini—sebenarnya dari kelas mana?!" Sekarang, dia tampak seperti akan menaruh dendam kepadaku.

    Tapi jika dipikir-pikir, ini agak keterlaluan. Aku yang kebetulan mengingat jika dia bagian dari kelas, bahkan sepertinya tidak mengenalku yang satu kelas dengannya.

    "Kurasa aku tidak perlu menjawabnya. Cepat atau lambat kau pasti akan tahu sendiri," kataku.

    Seolah dianggap itu sebagai provokasi, dia sepertinya mulai geram. Itu dapat terlihat jelas dari caranya merapatkan gigi, serta matanya yang semakin melotot.

    "Anu...!" ditengah situasi ini, Fito tiba-tiba mengangkat tinggi suaranya.

    Sepertinya dia telah membuat keputusan. Ketika kami berdua spontan menoleh ke arahnya, dia melanjutkan dengan intonasi terbata-bata...

    "Aku berubah pikiran! K—kurasa aku memang tidak cocok bersama dengan kalian. Dan k—kupikir begitu," kata Fito.

    Seolah mendengar kata yang tidak diharapkannya itu, siswa di depanku langsung terlihat marah dan kecewa.

    "Sialan...! Gara-gara kau, aku gagal mendapatkan bonus. Dasar pengacau!"

    Setelah berkata demikian, murid bermasalah tersebut segera meninggalkan tempat duduknya dan pergi dengan bahu yang dinaikkan.

    Hanya satu hal yang patut ku syukuri, dan itu adalah akhir dari konflik ini yang sepertinya tidak sampai menarik perhatian murid-murid di kantin. Merasa lega karena ancaman itu tampaknya telah pergi, aku duduk menggantikan posisinya.

    "Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran?" Lantas aku menanyakan itu meskipun sudah tahu jawabannya.

    "Itu—"

    "Ternyata memang benar kau ya."

    Namun... ditengah situasi ini seorang siswa lain yang kukenal tiba-tiba muncul memotong pembicaraan kami. Dia adalah Jaka. Mendapati sapaan ringan itu, aku tak bisa membuang muka ketika sudah terlanjur melihatnya yang berjalan ke arahku.

    "Tadinya aku sempat melihatmu seperti sedang ada masalah." 

    Mungkin, dia kebetulan melihatku saat berada dalam situasi konflik dengan anak bermasalah tadi. Karena itulah dia mungkin akan membuat dugaan seperti...

    "Dari ekspresinya tadi... kupikir kau sudah menyinggung orang itu tanpa sengaja, kau tahu kan, itu sesuatu seperti menyenggolnya, atau mengatakan beberapa hal," kata Jaka.

    "Tidak, itu tidak seperti yang kau bayangkan," kataku.

    "Lalu?"

    Meresponss pertanyaan itu, aku menoleh ke arah Fito dengan tujuan memberikan isyarat agar dia bertanya langsung ke 'penyebabnya'—akan tetapi, sepertinya dia tidak memahami maksudku, dan malah memperkenalkan diri.

    "Oh. Maaf, aku tidak memperhatikanmu," kata Jaka.

    "T—tidak apa-apa. Kau... kenalannya Rafa, bukan," kata Fito.

    "Ya... belum lama ini. Kemarin kami baru saling kenal. Aku Jaka," katanya, sambil mengulurkan tangan.

    "Fito," dia menjabat tangannya.

    Setelah perkenalan kecil itu, Jaka duduk bergabung dengan kami. 'Kenapa kau malah disini' itulah yang ingin kutanyakan. Tapi setelah melihatnya melambaikan tangan kepada sekelompok siswa yang tampaknya itu perkumpulannya, sepertinya aku tak bisa mengusirnya dengan mudah.

    "Kenapa kau tidak kembali bergabung dengan mereka?" Sindirku.

    "Ah. Tidak apa-apa. Kupikir ada baiknya juga kalau sekali-kali bisa berkumpul dengan siswa dari kelas lain."

    Dengan kata lain, dia berupaya ingin membangun hubungan interpersonal dengan kelas-kelas lain. Mungkin... itu agar dirinya bisa memiliki lebih banyak kenalan di lingkungan sekolah ini. Tampaknya memang sederhana bagi seseorang dengan kepribadian terbuka seperti dia. Inilah salah satu alasan lain mengapa aku harus menjaga jarak dengan sosok ekstrover. Apabila dia sudah menghujani segala macam bentuk pertanyaan, aku mungkin akan mati lemas karenanya.

    "Kau yakin dengan itu? Jujur saja kami tidak terlalu interaktif didalam kelas. Jika kau berinteraksi dengan kami hanya untuk mencari-cari informasi mengenai hal-hal yang menyangkut tentang 'apa yang individu kelas kami lakukan', maaf, kau sepertinya salah orang untuk ditanyai," kataku, mengingat pola pikirnya yang sebelumnya.

    "Ah, tidak sepenuhnya begitu kok. Aku hanya ingin lebih terbuka, itu saja," kata Jaka, berusaha meyakinkan.

    "Aku tahu, intinya yang ingin kukatakan adalah jangan terlalu banyak berharap kepada kami," kataku, secara tidak langsung mewakili keberadaan Fito.

    "Aku mengerti kok," ucap Jaka, mecoba tersenyum ramah.

    Sementara aku masih berbicara dengan Jaka, tampaknya Fito daritadi terus memperhatikan piringku yang ada di depanku.

    "Kau mau?" Tanyaku, menawarkan.

    "T—tidak, tidak usah. Itu jatah makanmu, bukan hak-ku untuk memakannya."

    Berusaha menegaskan hal tersebut, Fito mengangguk-angguk, namun ironisnya, tiba-tiba suara dari perutnya seolah membuat pernyataan lain dari apa yang baru saja dia tegaskan. Mendengar itu, Jaka mulai tertawa terbahak-bahak karena menurutnya itu lucu. Sementara Fito hanya bisa merasa malu menerima kondisinya yang tampak begitu mengenaskan sekaligus memalukan.

    "Sudah ambil saja jatahku ini," kataku, sekali lagi berupaya menawarkannya.

    "Tapi... bagaimanapun juga aku merasa tidak enak denganmu," katanya, masih merasa sungkan.

    "Jika kau merasa begitu aku lebih merasa tidak enak melihat makanan ini akan terbuang begitu saja," kataku, memancingnya.

    "Eh, apa itu berarti kau akan membuangnya?" Tentunya dia tersontak kaget.

    "Kurasa begitu, karena aku sedang tidak berselera," kataku.

    "Kalau begitu sayang sekali...!"

    Setelahnya, tanpa merasa sungkan lagi Fito dengan cepat meraih piring makan itu yang sengaja ku berikan kepadanya. Kemudian, dengan lahap dia memakan nasi serta daging sapi yang memang itu menunya.

    "Apa kau yakin itu baik untukmu?" Tanya Jaka, berbisik.

    "Tidak masalah," jawabku.

    "Oh... ini yang dinamakan, perbuatan baik akan selalu berakhir baik, ya."

    Orang yang mengatakan itu bukanlah Jaka, melainkan seseorang yang tak terduga lainnya yang pastinya kukenal. Sungguh mengejutkan karena dia adalah Cika.

    Aku penasaran, seberapa jauh manakah kebetulan ini akan terus terjadi.

    Melihat ada seorang siswi yang secara langsung berinteraksi denganku, kedua siswa yang duduk di depanku memasang ekspresi wajah seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Jaka berusaha tampak tenang, di sisi lain Fito tampak merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.

    "Apa kau suka menguping pembicaraan orang lain? Kupikir hobimu itu buruk sekali," kataku, hanya meliriknya sesaat.

    "Tentu saja tidak. Aku hanya kebetulan melihatmu disini—oh!" Bereaksi seolah telah mengingat sesuatu, firasatku menjadi tidak enak. "Pagi tadi kau sengaja berangkat lebih awal, 'kan? " Bisiknya.

    Sudah kuduga dia akan menanyakan tentang itu. Tapi, melihat situasi ini... kupikir akan sulit untuk mengatakannya secara langsung. Karena itu... aku memberikan tatapan singkat dengan maksud 'meminta pengertiannya'. Awalnya aku merasa janggal ketika dia memiringkan kepalanya karena di sisi lain, aku menyadari salah satu fakta jika dia punya ketertarikan untuk menyudutkan orang sepertiku. Tapi, entah dia menyadarinya atau tidak, aku sedikit berharap kepadanya.

    Saat mata kami bertemu, dia tersenyum kecil lalu berbicara...

    "Sepertinya kau sedang kesulitan," bisiknya, dengan sikap jahil.

    "Untuk saat ini tidak perlu dilanjutkan," jawabku.

    Sudah kuduga. Sepertinya harapanku tidak akan mencapainya sampai dia berhenti menganggap adu logika sebagai kompetisi.

    Aku menghela nafas dalam-dalam, sebelum mendapati Jaka yang tampaknya hendak bicara...

    "Kalian cukup dekat ya," katanya.

    "Menurutku itu wajar," kataku, tak ingin menjelaskan panjang lebar.

    "Nah, ini dia kebiasaannya—hampir setiap saat responsnya selalu 'biasa' atau 'wajar', " Cika dengan sengaja melemparkan sindiran itu ke arahku.

    "Haha! Ya, ya, kelihatannya dia memang suka sekali bersikap seperti itu," Jaka tertawa kecil.

    Melihat perhatian ketiganya yang tertuju ke arahku, sekilas aku jadi memikirkan berbagai macam cara dengan mensimulasikan diri kabur dari situasi ini. Tapi... sepertinya itu percuma—karena sekarang, Cika secara alami duduk bergabung di meja kami, apalagi dia memilih duduk di dekatku. Ini membuat jalur pelarianku terblokir olehnya, dengan kata lain, dia menghalangi jalan utama yang satu-satunya bisa ku lewati. Semisal aku memilih melewati jalan yang lain, maka itu berarti aku akan menghadapi situasi berisik ketika berjalan di antara orang-orang ekstrover di kantin. Sekarang ini—posisiku sangat tidak diuntungkan dengan keadaan kantin yang semakin berdesakan.

    "Kau pasti berpikir ingin pergi dari sini kan?" Seolah dapat membaca pikiranku, Cika berbisik menanyakan itu dengan tatapan datar.

    "Merepotkan," kataku, menghela nafas.

    Tentu saja dari awal aku sudah bisa menebak alur ini. Karena pada dasarnya, seorang introvert lebih nyaman ketika berada didalam ruang tertutup daripada berada di ruang terbuka. Bagi mereka mungkin ruang terbuka bisa diibaratkan seperti berada di medan perang. Untuk lebih mudahnya, aku menyebut itu sebagai 'perang psikologi' yang memungkinkan seberapa lama seorang introvert bisa bertahan didalam lingkungan terbuka yang dipenuhi oleh berbagai macam jenis orang.

    "Sepertinya masih ada waktu sekitar sepuluh menit. Bagaimana kalau kita membahas topik lain yang lebih penting," Jaka menyarankan itu.

    "Jika membahas topik lain yang lebih penting, itu berarti tes tertutup yang akan diadakan sore ini, 'kan," kataku.

    "Ya. Tapi sebelum masuk ke intinya, aku ingin tahu metode belajar seperti apa yang biasa kalian gunakan ketika menghadapi tes," ujar Jaka.

    "Metode belajar, ya..." 

    Disaat memalingkan pandangan ke arah lain tepat setelah mendengar kata 'metode belajar', sudut mataku mendapati Fito yang tampaknya merasa berat untuk mendengarkan topik ini.

    "Tidak ada yang khusus mengenai itu. Aku hanya mempelajari apa yang mampu-ku pelajari," kataku.

    "Kedengarannya itu seperti cara belajar yang asal-asalan. Apa kau juga termasuk tipe orang yang tidak suka belajar?" Tanya Jaka.

    "Bukannya tadi sudah kukatakan, aku hanya belajar yang bisa ku pelajari, itu saja," kataku, menekannya.

    "Ah. Baiklah kalau begitu. Lalu bagaimana denganmu...?"

    Karena keduanya belum memulai perkenalan awal, Jaka tidak mengetahui nama siswi yang duduk di sampingku. Merespons ketidaktahuan itu, Cika segera menyebutkan namanya, lalu Jaka melanjutkan...

    "Ya, Cika. Bagaimana dengan caramu belajar?" Tanyanya.

    "Hm... kupikir juga tidak ada sesuatu yang khusus. Aku mempelajari semua yang ingin ku tahu."

    Dengan kata lain, dia adalah tipe orang yang maniak belajar. 'Seorang kutu buku sejati yang tersembunyi didalam kelas' ... dari sudut pandangku yang satu-satunya mengetahui identitas dia sebenarnya di kelas, itulah yang seharusnya menjadi sosok asli dirinya.

    "Itu berarti kau sangat suka belajar ya," kata Jaka.

    Mengkonfirmasi hal tersebut, Cika mengangguk dengan lembut. Selain itu, ekspresinya juga tampak biasa. Kelihatannya belajar memang hal yang sudah sangat biasa baginya.

    "Lalu bagaimana denganmu sendiri?" Cika mengembalikan pertanyaannya itu kepada Jaka.

    "Aku?—kalau aku bisanya lebih suka membentuk kelompok belajar dengan mengajak teman-temanku. Bagaimanapun juga, belajar bersama itu lebih menyenangkan dan juga dapat memberikan motivasi!"

    Setelah memberitahukan hal tersebut di depan kami, aku yakin semua yang ada disini secara alami akan sepemikiran untuk menjauhi gagasan itu. Bahkan untuk Fito yang berupaya ingin lebih memberanikan dirinya, pasti tidak akan sanggup melakukan langkah besar itu. 'Kau terlalu menyilaukan', itulah yang ingin kukatakan terus terang kepadanya, tapi itu tidak perlu karena aku sendiri sudah lelah untuk bicara.

    'Bisa kita akhiri ini' adalah kata yang terus terulang di kepalaku, dan menjadikanku mulai berharap agar waktu istirahat ini bisa cepat berakhir saja. Sepertinya, masih ada waktu sekitar dua belas menit sebelum kami dapat mencapai inti dari pembicaraan ini berlangsung. Sekali lagi, aku melihat ke arah jam dinding di kantin yang tampaknya telah menunjukkan pukul 10:17, lalu bergerak satu langkah di jarum panjangnya. Dalam kurun waktu pergantian yang singkat itu, Jaka menyempatkan diri untuk memulai topik baru.

    "Apa kalian sudah pernah mengunjungi perpustakaan?"

    Dan kali ini, dia sepertinya sudah akan memulai topik baru mengenai gedung perpustakaan.

    "Belum," Fito menjawab terlebih dahulu karena merasa tidak tertarik, kemudian Jaka meneruskannya dengan memberikan pendapat objektifnya terhadap perpustakaan yang tampaknya sudah pernah dia kunjungi sebelumnya.

    "Jika kau melihatnya secara langsung, kau pasti akan terkejut dengan interior dan dekorasinya yang ada didalam. Dijamin itu pasti akan memanjakan mata kalian! Tidak seperti tempat-tempat yang biasa ditemui dimana saja, gedung perpustakaan di sekolah ini punya ciri khasnya sendiri yang bernuansa modern," lanjut kata Jaka, dengan antusias.

    Sementara itu, orang yang duduk di sampingku matanya terlihat berbinar-binar saat Jaka menjelaskan secara detail bentuk tempat gedung perpustakaan tersebut. Selain itu, dari awal dialah yang membuat Jaka membahas topik ini. Mengesampingkan itu, mungkin yang dimaksud Jaka dengan 'ciri khasnya sendiri' adalah konsep 'kesamaan', serta 'kesatuan' peletakannya yang tersusun menyerupai 'sesuatu' yang tidak asing dipelajari murid. Seperti sebuah rak buku yang sengaja di susun seolah-olah mirip dengan suatu ruang, bidang, maupun lingkup sesuai dengan proporsinya, atau background yang telah disesuaikan dengan tema pendidikan modern.

    "Maaf, sepertinya aku tidak akan pernah tertarik memasuki tempat yang penuh buku seperti perpustakaan—meskipun tahu keunikan yang ada di sana."

    Secara tiba-tiba, Fito mengungkapkannya langsung tanpa menyembunyikan hal-hal yang tidak disukainya.

    "Begitu ya, maaf sudah memaksamu ikut kedalam topik ini," kata Jaka.

    "Ah, yah, tapi itu bukan berarti aku sangat membenci tempat itu. Hanya saja... aku tidak terlalu bisa menyesuaikan kondisi di tempat seperti perpustakaan," kata Fito, gelagapan.

    Jaka yang sebelumnya merasa bersalah, kini menundukkan kepalanya sedikit kebawah. Kemudian, Fito yang merasa itu terlalu berlebihan, segera menjelaskan letak permasalahan pribadinya.

    "Lalu, bagaimana dengan kalian berdua?" lantas pada akhirnya, Jaka melemparkan topik itu kepada kami berdua juga.

    Sebelum datang ke pertanyaan itu, Cika melihatku sesaat seolah meminta pendapatku lebih dulu—aku mengangguk sekali kepadanya.

    "Maaf kalau sekiranya jawabanku tidak sesuai ekspektasimu. Aku memang sudah berkali-kali datang ke sana meminjam banyak buku yang menarik dari hari pertama, tapi tidak terlalu memperhatikan dekorasi maupun interior didalam ... jadi saat mendengar pendapat pribadimu tadi, kurasa aku jadi ikut mengaguminya," kata Cika.

    "Aku mengerti, bagaimana denganmu, Rafa?" Seolah mengalihkan kekecewaannya, sesuai pola dia beralih menanyaiku yang duduk bersebelahan dengan orang yang sebelumnya ditanyai.

    Dia menungguku selama 3 sampai 5 detik sebelum aku dapat menjawabnya dengan nada yang lebih rendah dari biasanya.

    "Aku juga sama, tapi menurutku itu biasa saja," kataku.

    Disamping itu, tampaknya jawabanku ini telah dinantikan oleh orang di sampingku yang wajahnya seolah mengatakan 'sudah kuduga responsnya akan begitu'. Aku sengaja berpura-pura tidak melihatnya.

    Karena tidak ada 'unsur pembangun' ataupun tanda-tanda lain yang mungkin dapat berkesinambungan dalam percakapan ini, untuk beberapa saat suasana menjadi canggung.

    "Bagaimana kalau langsung ke intinya saja," kataku.

    "Benar juga ya, waktu istirahat sebentar lagi sudah mau habis."

    Jaka melihat jam dinding kantin, sementara itu aku mengambil ponselku yang ku taruh didalam kantong jas. Kemudian, aku membuka situs resmi sekolahan dan melihat informasi seputar tes tertutup yang akan diadakan sore ini, tepatnya setelah KBM selesai.

    "Anu," ditengah-tengah permulaan, Fito tampaknya ingin menanyakan sesuatu.

    "Ada apa?" Ujar Jaka.

    "Begini, sebenarnya ada sesuatu yang belum bisa sepenuhnya ku pahami dari tes itu," kata Fito.

    "Bagian yang mana?" Tanya Jaka.

    "Tes ini bertujuan untuk mendapatkan poin yang biasa kita gunakan setiap hari, 'kan. Nah, yang ingin kutanyakan itu, bagaimana kalau murid tidak bisa mendapatkan hasil yang baik?" Fito menanyakan itu dengan intonasi pesimis.

    Sepertinya dia tidak yakin bisa mendapatkan hasil yang baik dari tes ini. Dalam ekspresinya juga ada keresahan yang seolah mengatakan 'kenapa mendapatkan poin harus dengan cara seperti ini'. Terus terang kupikir pertanyaannya itu terdengar seperti orang bodoh yang langsung pasrah ketika mendapati jalan buntu.

    "Hasilnya sudah tertulis disini, kan. Nilai akan menjadi poin yang didapat murid. Selain itu, bukankah ada keringanan juga dalam tes ini," kata Jaka.

    "Keringanan?"

    Mendengar itu, Fito seketika bergegas meraih ponselnya, lalu tampaknya membuka sendiri situs resmi sekolahan dan mengecek infomasi seputar tes tertutup.

    "Bacalah informasinya dengan cermat, disini tertulis 'hasil akan dikali dua'."

    Jaka menunjukkan letak tulisan tersebut di ponselnya, namun setelah melihatnya langsung—ekspresi Fito yang sebelumnya sedikit bersemangat secara perlahan mulai surut ketika mengetahui 'keringanan' yang dimaksud.

    "Apa hanya ini keringanannya?" Fito tampak tidak puas.

    "Seharusnya untuk anak tahun pertama itu adalah porsi yang cukup untuk diperjuangkan, 'kan. Seandainya segala sesuatu di sekolah ini dipermudah, bukankah itu akan menurunkan kualitas pendidikan yang ada di sekolah futuristik ini?"

    Kata yang diucapkan Jaka cukup masuk akal. Jika seseorang hanya menginginkan kemudahan, maka orang itu dipastikan tidak akan bisa berkembang lebih jauh. Sekolah ini dalam mendidik murid-muridnya mempunyai cara tersendiri dalam dalam pengajarannya. Sejauh yang ku tahu dari model sekolah-sekolah lain ... hanya model sekolah inilah yang satu-satunya paling mampu meningkatkan kualitas murid secara drastis asalkan murid memiliki kesadaran diri untuk mengikuti sistem pengajarannya.

    "Tapi aku tidak terlalu pintar, dan kupikir ini akan sulit untukku," kata Fito, terus mengeluh.

    "Apa kau tidak belajar semalam?" Tanya Jaka yang seolah memastikan.

    "Mana mungkin aku punya motivasi untuk itu sekarang," bantahnya.

    "Itu berarti tergantung dirimu."

    Jaka yang sepertinya tidak ingin menindaklanjuti pemikiran Fito yang berlawanan hanya mengatakan itu sebagai acuan. Sebelumnya aku sempat merasa kasihan dengan Fito, tapi setelah melihat sikapnya ini, simpatiku terhadapnya mulai menghilang.

    "Kau sepertinya tidak mengerti. Berbeda dari kalian, aku tidak bisa belajar semudah yang kalian lakukan seperti halnya hobi," kata Fito.

    "Aku mengerti. Dengan kata lain, kau tidak punya motivasi ataupun minat untuk belajar, 'kan?" Jaka mengalah untuk tidak mendesaknya.

    "Kurang lebih... seperti itu," lanjut Fito yang seolah dirinya benar.

    Rata-rata orang di zaman ini, alasan mengapa sebagian besar dari mereka malas belajar adalah karena pengaruh lingkungan, pergaulan, dan pendidikan yang tidak konsisten. Dari sudut pandang umum, kemalasan adalah hal yang biasa karena seseorang tidak mau berpikir maju. Biasanya mereka yang memiliki mindset seperti itu sangat rentan putus sekolah yang kemudian memilih bekerja secara fisik daripada melanjutkan jenjang pendidikan. Dari segi pemikiran, tentu saja Fito sangat berlawanan jenis dari kami. Dia tipe orang yang tidak suka diajak berpikir, sementara kami mungkin lebih ke sebaliknya.

    Dengan spontan aku memukul meja yang membuat mereka bertiga menoleh ke arahku.

    "Lalu apa tujuanmu di sekolah ini jika tidak untuk belajar? untuk mencari hiburan? teman? atau sesuatu yang sangat kau dambakan yang mungkin hanya bisa kau dapatkan di sekolah ini? Kupikir semua orang memang mempunyai tujuan dan alasan masing-masing memilih sekolah ini, tapi... apakah belajar itu memang sesuatu yang sangat tidak dibutuhkan bagimu?" Tanyaku, agak mendesaknya.

    "I—itu... " keyakinan Fito mulai tergoyahkan.

    "Apa kau tidak pernah memikirkan masa depan, ataupun hal-hal yang bisa saja terjadi di depanmu ketika saat itu tiba?" Lanjutku.

    Ketika mempertegas pertanyaanku ini, Fito tampak menciut. Ini seperti memainkan peran orang tua yang mengajar anaknya dengan intensif. Kemudian, aku menghela nafas ketika mendapati Fito yang tampaknya tak bisa membantah pertanyaan-pertanyaan itu. Saat dia mencoba memikirkannya, dia menjadi gelisah. Ini seperti yang ku harapan.

    "Tugas seorang pelajar adalah belajar. Itu adalah peran yang harus kita lakukan selama berada disini, 'kan."

    Orang yang menindaklanjuti hal tersebut tidak lain adalah Jaka. Satu-satunya yang mampu menghandle segala situasi yang terjadi selama obrolan ini berjalan.

    Karena permasalahan bodoh Fito telah teratasi, sekarang pembicaraan kami akan masuk ke bagian poin pentingnya.

    "Kupikir untuk tes ini memang tergantung kemampuan individu," kata Jaka.

    "Bukankah itu yang memang tertulis di laman informasi," kataku.

    "Yah, aku tahu. Untuk mengukur kemampuan individu, tes ini diadakan. Tapi lebih jelasnya sepertinya kita hanya bisa tahu saat mengikuti prosedurnya."

    Sesuatu seperti aturan tes, bentuk menyeluruh, atau bagian utama dari tes ini belum dijelaskan dengan rinci. Mungkin itulah informasi yang ingin diperoleh Jaka. Tapi sama halnya seperti dia, aku juga sempat berpikir demikian untuk mencaritahunya.

    "Aku juga penasaran bagaimana dengan mapel yang diujikan. Disini tidak tertulis bagaimana cara mengetahui mapel akan dibagikan. Bukankah itu akan menyulitkan sebagian besar siswa karena tidak tahu isi pelajaran apa yang harus di pelajari?" Lanjut kata Jaka.

    Memang benar jika kesulitan akan dialami oleh sebagian besar siswa karena hal tersebut. Umumnya, murid akan belajar di hari-hari sebelumnya sebagai persiapan menghadapi tes yang diujikan. Tapi, tes tertutup ini sendiri kelihatannya diadakan cukup mendadak. Semisal di hari pertama ada pemberitahuan mengenai tes tertutup yang akan diadakan, itu mungkin bisa membuat waktu murid lebih leluasa untuk mempersiapkan dirinya. Aku bertanya-tanya, apakah ini memang telah diatur oleh sekolah? Atau mungkin hanya pemberitahuannya saja yang terlambat?

    "Mungkin... ini adalah makna dari 'tes individu' itu sendiri."

    Sepertinya Cika telah mendapatkan petunjuk yang menurutnya terdengar paling masuk akal.

    "Apa maksudmu?" Tanya Jaka.

    "Seperti yang diinformasikan, tes individu itu mengukur kemampuan berpikir murid kan. Tidak ada persiapan dan muncul secara mendadak. Bukankah ini sudah jelas kalau tes itu sengaja diatur sedemikian rupa oleh pihak sekolah agar bisa sesuai dengan metodenya?"

    Diakhir katanya, Cika justru mengarahkan argumennya itu kepadaku, bukan ke Jaka. Seolah meminta pendapatku juga, dia mungkin berniat demikian.

    "Kemungkinan besar memang begitu. Jika mengingat hari dimana kita mendaftar saat pertama kali masuk, bukankah waktu itu juga ada tes IQ yang diadakan?" Kataku.

    "Itu dia! Tes IQ. Kenapa aku tidak terpikirkan ya," Jaka tersontak kaget seolah mengingat hal yang berkaitan dengan tes saat ini.

    "Oh, jadi itu yang kau maksud."

    Sementara itu, Cika tampaknya juga tidak perlu waktu lama untuk bisa memahami apa yang ku maksud.

    Sepertinya aku tidak perlu merepotkan diri untuk memberikan penjelasan panjang kepada mereka. Ini melegakan. Kelihatannya hanya Fito-lah yang tidak mengetahui sendiri apa yang mereka sadari. Ketika melihatnya termenung, Jaka yang orangnya sangat terbuka sengaja memulai penjelasannya yang entah bagaimana bisa terdengar alami...

    "Tes IQ juga dilakukan secara individu. Tujuannya kurang lebih hampir sama dengan tes tertutup, yaitu mengukur kemampuan murid secara individu. Tes IQ sendiri tidak diwajibkan. Itu adalah program uji coba gratis yang disponsori langsung oleh sekolah futuristik sebagai bentuk ciri khasnya. Bahkan tanpa melakukan tes itu, murid bisa mendaftar di sekolah ini dengan jalurnya masing-masing tanpa ada masalah yang menekankan bidang akademis. Aku ingat saat mengikuti program tes IQ itu. Kami diarahkan masuk ke dalam ruangan yang senyap dan hanya ada sedikit jendela terpasang di sana. Dalam sesi menunggu, tepatnya sebelum dimulai kami dijelaskan lebih dulu mapel apa saja yang diujikan dalam batas waktu tertentu."

    Tapi seharusnya letak perbedaannya adalah di bagian akhir itu. Setidaknya itulah menurutku. Karena Jaka tampak puas dengan asumsinya, aku akan membiarkannya.

    "Jadi, apakah itu maksudnya memang seperti yang kau pikirkan?" Menanyakan itu dengan dengan ekspresi yang sudah menjadi ciri khasnya, Cika melihatku seolah mengoreksi perkataanku sebelumnya.

    "Jika begitu menurutmu, maka anggaplah memang seperti itu," kataku.

    "Apa-apaan itu, kedengarannya seperti kau memiliki pendapat lain," Cika menjadi kesal.

    "Kalau ada pendapat sendiri, kenapa tidak langsung terus terang saja. Apa kau punya semacam hobi mempersulit orang dengan gaya pertanyaanmu?" Kali ini, Jaka ikut-ikutan menyeretku untuk berpendapat.

    "Akan lebih baik kalau kalian tidak mempedulikannya," kataku.

    Keduanya yang mendengar itu sontak memasang ekspresi seolah sedang melihat spesies orang yang tak pernah dikenal atau bahkan ditemui di muka bumi. Dengan kata lain, mereka pasti akan menganggapku rumit.

    "Kau memang sedikit rumit ya," kata Jaka.

    Bukan hanya sedikit lagi aslinya.

    Disaat yang sama, aku melihat suasana kantin yang sepertinya sudah lebih sedikit orang. Untuk mengakhiri pembicaraan ini yang sebenarnya dari awal tidak perlu dibahas, dengan agak terpaksa aku mengatakan hal yang bisa kupikirkan saat ini dengan jelas.

    "Yang pasti ini adalah tes sederhana. Jika siswa mampu di bidang akademis, itu seharusnya tidak akan menjadi masalah besar. Meskipun sekolah ini memiliki status yang cukup istimewa, kupikir pihak sekolah tidak seharusnya terlalu membebani murid baru, karena itu, soal tes yang akan diberikan tingkat kesulitannya mungkin masih berada di level sekolah menengah. Mengenai mata pelajaran entah itu dipilih atau diacak, itu bukan urusan kita, itu tugas OSIS yang memikirkannya. Bukan begitu?"

    Dalam kata terakhir, aku berdiri seolah melampiaskan penegasan di akhir pembicaraan ini.

    "Sepertinya dari awal kau tidak berniat ingin memikirkannya lebih dalam ya," kata Jaka, seolah merasa kecewa.

    "Ya begitulah. Maaf, mungkin dari semua pembicaraan ini tidak terlalu menyenangkan bagimu," kataku.

    "Tidak juga kok, aku sudah puas hanya dengan mengobrol bersama orang yang kukenal. Ngomong-ngomong ... bisa aku mendapatkan kontak kalian sebagai teman?" Pinta Jaka.

    Sebagai upaya pendekatan terakhir, Jaka memberikan penawaran normal semacam itu. Jika diingat-ingat, aku hanya punya satu nomor di kontak pribadiku. Meraih ponselku, lantas aku mengeceknya—dan sepertinya itu terbukti benar.

    "Rafa, maaf ya, seharusnya malam itu aku meminta kontakmu dulu sebelum pergi. Aku benar-benar tidak kepikiran."

    Mungkin yang dia maksud dengan malam itu adalah ketika kami usai bertemu di dalam hypermarket. Saat itu dia secara terang-terangan meminta potongan harga dan secara kebetulan aku ada di sana menyaksikannya.

    "Tidak apa-apa, aku juga tidak terpikirkan," balasku.

    Lebih tepatnya aku tidak terpikirkan jika kita bisa menjadi dekat seperti ini. Kupikir... orang-orang yang menjumpai sosokku akan perlahan memudar didalam ingatan mereka.

    Setelah itu kami bertiga saling tertukar nomor kontak di saat jam istirahat hampir selesai. Beruntung kami dapat menyelesaikannya dengan sigap sebelum pada akhirnya kembali ke kelas masing-masing. Kemudian, untuk suatu alasan aku membiarkan Cika dan Fito kembali ke kelas lebih dulu.

                                                 ***

    Pada jam istirahat kedua, awalnya aku berpikir akan menghabiskan waktu itu dengan berada di kelas tanpa melakukan banyak hal yang melelahkan. Tapi, pemikiran semacam itu dengan cepat berubah seolah ditiup angin kencang. Satu-satunya yang membuatku cukup 'tergerakkan' oleh sesuatu yang ingin kulakukan adalah karena rasa penasaranku.

    Meskipun sebelumnya aku menegaskan kepada mereka bahwa 'itu merupakan tugas OSIS' dan tidak seharusnya bagi seorang siswa biasa memikirkannya terlalu jauh ... sebenarnya ada sedikit rasa penasaran yang membuatku ingin melakukan sesuatu di waktu pribadi ini. Alasan mengapa ini begitu mendadak sebenarnya cukup sederhana. Sama seperti halnya Fito yang malas berpikir karena tidak suka belajar, aku hanya tidak termotivasi melakukan sesuatu jika itu bukan berasal dari keinginan pribadiku.

    Jika memikirkannya kembali, pada dasarnya aku hanya kekurangan sumber infomasi yang bisa ku gunakan untuk membuat asumsi bentuk dari tes tertutup itu.

    Maka dari itu, saat ini aku sedang memantau kondisi aula. Alasan mengapa aku bisa berdiri di disini tidak lain adalah karena rasa penasaranku dan tidak mempedulikan siapapun yang lewat. Normalnya aku akan menghindari keramaian yang ada ... tapi untuk saat ini adalah sebuah pengecualian.

    Setelah merasa cukup untuk mengamati di sini, aku mulai berkeliling dari sisi barat ke timur di lantai satu. Dikarenakan lantai tiga bukanlah tempat yang bisa bebas dikelilingi oleh anak tahun pertama secara wajar, aku sengaja melewatkan bagian itu. Tidak banyak hal yang berbeda dari sisi barat hingga timur kecuali peletakan 'papan tanda kelas' yang ada di beberapa ruangan.

    "Jadi dari sini sumbernya...?"

    Setelahnya, aku mendapati salah satu ruang yang di atasnya bertuliskan 'ruang siaran'. Sepertinya, itu tidak jauh dari kantor yang berada di lantai dua. Disisi barat ada ruang-ruang kelas yang tampak berjejeran dimulai dari 'kelas XI IPS', 'XI IPA', 'XI BHS' yang terletak di pojok. Sementara di sisi timur ada 'kelas XI MIKA' dan 'XI OTO' yang rupanya peletakannya tidak jauh berbeda dari lantai 1 dengan rancangan serupa untuk mempermudah murid dalam mengingat letak kelasnya. Jika ada yang berbeda, itu pasti tambahan ruang lainnya seperti perpustakaan dalam sekolah, gudang dokumen, toilet murid-guru dan lain-lain. Tapi, ada hal lain yang lebih janggal dari peletakan ruang-ruang itu ... yaitu 'anak tangga kecil' yang berada di setiap sudut sisi barat dan sisi timur. Karena melihat ukuran, volume, serta lebarnya sangat sempit, kupikir itu adalah jalur evakuasi tangga darurat yang kebanyakan gedung besar memilikinya. Sebagai petunjuk untuk membuat hipotesis, aku akan menandai 'tangga darurat' ini sebagai salah satu bagian yang mungkin berkaitan dengan tes tertutup.

    Aku menghabiskan waktu istirahat ini hanya untuk berkeliling sambil mencatat di kepalaku, bagian yang penting dari kejanggalan yang bisa ku temukan.

    (1) Ruang penyiar. Letak kejanggalannya yaitu pintunya terbuat dari besi kokoh, serta gagangnya juga tidak meyakinkan untuk dipegang, bahkan dimasuki oleh seseorang.

    (2) Tangga darurat di lantai satu dan dua. Letak kejanggalannya yaitu ruang lingkupnya, serta peletakannya yang terdapat di 4 sisi pojok barat dan timur.

    (3) Ruang rapat OSIS (di lantai 2-sisi timur). Letak kejanggalannya yaitu sebuah tanda 'dilarang masuk bagi murid yang bukan OSIS' lalu ada juga tulisan besar ditengahnya yang tertulis 'sedang ada rapat!, jauhi area ini!'.

    (4) Kejanggalan bentuk gedung. Letak kejanggalannya yaitu bagian luar lebih besar daripada bagian dalam gedung.

    Khusus bagian 'kejanggalan bentuk gedung', itu sebenarnya hanya dugaan yang kurasakan, tidak seperti lainnya yang bisa ku lihat secara langsung. Tapi dari semua bagian-bagian yang bisa kupikirkan, hanya 'kejanggalan bentuk gedung' yang menurutku paling berkaitan dengan tes tertutup ini.

    Mengapa aku menyebut itu janggal karena ada dua alasan. Alasan pertama, aku mengingat bentuk luar gedung sekolah ini yang rasanya lebih besar dari 'apa yang bisa dilihat dari dalam'. Awalnya kupikir aku salah melihat ukuran besarnya, tapi setelah mengamatinya untuk kedua kali, aku merasa yakin ada 'sesuatu yang kurang dari bagian dalam gedung'. Jika dilihat sekilas ini seperti ilusi optik ... 'apa yang dilihat dari luar tampak seperti yang ada didalam'.

    Lalu untuk alasan yang kedua, itu karena aku baru menyadari jika 'tenaga pengajar' hampir sama sekali tidak terlihat di lorong-lorong kelas. Awalnya aku menduga mereka masuk kedalam kantor. Akan tetapi, setelah mengintip sekilas ruangannya dari jendela sambil berjalan seolah-olah hanya kebetulan lewat, aku tak dapat melihat banyak guru di sana.

    Satu hal yang sangat mungkin terpikirkan olehku adalah teori jika 'gedung sekolah ini memiliki sisi dalam tersembunyi, dari sisi dalam yang umumnya jauh lebih besar'. Sederhananya seperti 'ruangan yang didalamnya terdapat ruangan besar lain', atau lebih simpelnya, 'kardus didalam kardus yang lebih besar. Konsep semacam itu yang bisa kudapatkan sekarang.

    Lalu mengenai ruang rapat OSIS yang dipasangi oleh tanda pelarangan, aku menduga bahwa mereka, para kakak kelas OSIS sedang melakukan rapat yang bertujuan membahas tes tertutup yang akan diadakan sore hari ini seusai KBM.

    Sementara yang masih menjadi misteri adalah ruang penyiar yang tampaknya tidak dimungkinkan untuk dimasuki orang. Alasannya, selain pintunya yang tampak sudah berkarat seperti layaknya gudang terbengkalai, gagang pintunya saja terlihat seolah akan lepas jika seseorang sengaja atau bahkan tidak sengaja menyentuhnya. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah ... kalau bukan dari sini, maka dari mana staff guru tersebut menyiarkan pengumuman sebelumnya?

    "Itu berarti... satu-satunya yang masuk akal adalah 'ada ruangan lain yang digunakan oleh staff guru itu'. Dan tentunya bukan dari sini."

    Berbagai asumsi telah membanjiri kepalaku hingga sampai pada kesimpulan dari beberapa ruangan yang berpotensi digunakan sebagai tempat penyiaran, seperti kantor yang umumnya paling sering digunakan. Namun, ditengah penyelidikan kejanggalan tersebut, aku tak melihat adanya perangkat yang sekiranya bisa digunakan sebagai siaran di sana. Jadi satu-satunya tempat yang mencurigakan ... aku mengalihkan itu ke ruang OSIS. Tapi, apa guru umumnya dapat menginjakkan kaki di ruangan itu sebebas-bebasnya? Aku diserang oleh ketidakpastian itu dan sekali lagi berakhir di jalan buntu.

    Sebelum menyerah memikirkannya, aku melihat ruang penyiar itu sekali lagi, lalu mencoba meraih gagang pintunya...

    "Rafa?"

    Seketika itu, upayaku digagalkan oleh seorang perempuan yang memanggil namaku dari jarak yang tak jauh dari belokan.

    Mendengar suara tersebut yang kukira ada seseorang yang berupaya menegur tindakanku, aku sedikit terkejut, lalu perlahan menoleh.

    "Apa yang sedang kau lakukan disini?" tanyanya.

    Rupanya dia adalah Cika. Kelihatannya dia heran melihatku berada di tempat yang tidak biasanya, kupikir begitu.

    "Hanya sedikit jalan-jalan," kataku.

    "Sedikit?" Dia memasang ekspresi seolah tidak percaya.

    "Saat sedang bersama temanku tadi aku kebetulan melihatmu mondar mandir dari sisi barat ke timur. Apa kau sedang mencari seseorang?" Lanjut tanyanya.

    "Tidak."

    Sepertinya dia kebetulan melihatku yang sedang dalam pencarian menguak misteri di balik tes tertutup ini—tapi kelihatannya dia belum menyadari hal tersebut.

   "Di kelas sangat panas, jadi aku mencari udara segar," kataku.

    "Kupikir kau tipe orang yang tidak akan meninggalkan kelas selama itu bukan hal yang penting," sindirnya dengan ekspresi datar.

    "Niatku memang begitu, tapi saat ini ada sesuatu yang memaksaku untuk bergerak. Selain itu kau juga kelihatannya baik-baik saja bersama dengan teman barumu," kataku.

    "Uh. Apa kau memang melihatnya?"

    Ups. Untuk sesaat aku menyadari jika baru saja hampir kelepasan bicara perihal kondisinya didalam kelas. Entah mengapa secara alami aku merasa perlu merahasiakan keberadaanku yang kenyatannya satu kelas dengannya.

    "Ya, itu, sekilas, kupikir."

    Aku baru menyadari jika diriku tidak pandai berbohong. Karena biasanya aku selalu memanfaatkan kejujuran disegala macam kondisi, aku menjadi tidak terbiasa ketika berbohong. Padahal, itu merupakan salah satu kemampuan atau bakat alami manusia permanen sejak lahir, namun sepertinya aku masih kesulitan dalam 'penggunaannya' secara naluri.

    "Kebetulan melihat?"

    Sembari membenarkan maksud perkataanku, Dia menatapku dengan begitu intens.

    "Ya, begitulah," kataku.

    "Begitu ya. Jadi, bagaimana menurutmu?" tanyanya.

    Apa mungkin dia meminta pendapatku mengenai sosoknya ketika berada di kelas? Jika dilihat dari kronologi alur pembicaraan ini, aku merasa seperti itu.

    "Sepertinya kau mampu beradaptasi dengan baik," kataku, berharap tidak salah meresponsnya.

    Setelahnya, aku sempat melihat kedua bahunya sedikit gemetaran sesaat sebelum kembali kedalam ketenangannya yang biasa.

    "Begitu, ya," dia tersenyum kecil.

    Tapi ... untuk sesaat dia tampak sedih ... tidak, mungkin hanya perasaanku saja. Seharusnya tidak ada masalah dengan senyumannya, hanya saja aku merasa bahwa ada suatu permasalahan yang berusaha ditutupinya.

    "Jika ada masalah, bicaralah kepadaku. Sebagai teman, aku akan mendengarkannya."

    Aku sama sekali tidak mengerti kenapa sekarang ini aku bisa mengatakan hal tersebut dengan mudah—tapi seolah 'ada perasaan intensif yang tersembunyi di antara obrolan kecil kami', aku hanya mengikuti alurnya. Terlebih lagi, sepertinya tidak ada orang yang akan lewat mengingat jam istirahat sebentar lagi mungkin akan berakhir.

    "Pft, apa itu. Kondisimu sendiri bahkan lebih menyedihkan dariku. Kau belum bisa membaur sama sekali bukan. Kedengarannya tidak meyakinkan, " dia tertawa kecil, mengejekku dengan fakta.

    "Mungkin begitu, tapi pikirkanlah lagi. Bukankah seseorang akan lebih mudah jika berbicara dengan orang yang sejenis dengannya?" Kataku.

    "Kau benar, aku mungkin juga harus belajar cara mengutarakan sesuatu kepada orang lain. Dan sepertinya aku harus memulai itu darimu dulu," katanya.

    Aku mengangguk pelan seolah menyetujuinya. Kupikir obrolan ini akan berakhir setelah itu karena jam istirahat kedua tampaknya akan selesai. Tapi, ketika aku memikirkan demikian, dia menyempatkan diri untuk berbicara mengenai sesuatu yang sangat aku ingin dia lupakan.

    "Ngomong-ngomong soal pagi ini, kau belum makan apapun karena menghindari kesepakatannya, kan?" Tanyanya dengan raut wajah kesal.

    "Apa sekarang kau telah mengasumsikan itu sebagai 'aku sengaja menghindarinya'?" Tanyaku.

    "Bukankah itu sudah terlihat jelas begitu!" dia spontan menggertak dengan suara pelan.

    "Aku tidak mengerti maksudmu," kataku, mengalihkan pandangan, berpura-pura bodoh.

    "Jangan berpura-pura tidak tahu! Tatap aku saat berbicara," tegasnya.

    Aku kembali menatapnya dan mendapati ekspresi wajahnya yang tampak frustasi serta rumit. Apa mungkin aku terlalu berlebihan?

    "Kau tidak perlu khawatir. Lihat, aku sudah membawa sesuatu untuk dimakan," kataku.

    Lantas aku mengambil roti bungkus dari kantong jas yang sempat ku siapkan dari rumah sebagai pengganjal perut. Tadinya aku berniat akan memakannya saat jam istirahat, tapi tampaknya aku malah melupakannya.

    "Memangnya apa itu cukup untuk mengisi perut seorang remaja yang sedang dalam masa perkembangan?" Cika menatapku keheranan.

    "Sejujurnya tidak," kataku.

    Mendengar itu, ekspresi geram semakin tampak jelas di wajah Cika. Dengan menguatkan hembusan nafasnya, dia melihat kedalam kantong plastik yang berisi dua kotak makan, kemudian memberikan salah satunya kepadaku dalam diam.

    Tepat di depanku, sebuah kotak makan terulur dari perempuan ini. Awalnya aku merasa enggan menerimanya, tapi karena sepertinya tidak sopan menolak pemberiannya untuk kedua kali, aku terpaksa mengambilnya.

    "Kau bebas memakannya kapanpun setelah pulang sekolah, dan jangan kembalikan itu jika isinya masih ada. Kau mengerti?"

    Setelah berkata demikian, dia langsung pergi begitu saja dengan ekspresi yang tampak masih geram.

    Apa ini yang dinamakan, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan?

    Sekilas, aku mengingat hal yang diucapkannya itu saat kami berada di kantin tadi. Tak lama setelahnya kuberjalan kembali, suara lonceng tiba-tiba berbunyi ... menunjukkan bahwa jam istirahat kedua telah berakhir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Sendiri diantara kita
791      497     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
In Her Place
720      485     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...