Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    Setelah menyelesaikan absensi kelas, wali kelas kami, Bu Milan dengan ramah bercerita sedikit mengenai lingkungan dan fasilitas yang ada di sekolah futuristik ini. Kemudian, tak lama setelah itu salah seorang murid mengusulkan gagasannya agar membentuk struktur organisasi kelas. Yang mengusulkan itu tidak lain adalah Amelia, murid yang saat ini memiliki ekstensi paling menonjol di kelas setelah mengejutkan seisi kelas dengan perkenalannya.
    "Bu! Sebaiknya bukankah hal yang harus pertamakali dibentuk kelas adalah struktur organisasi di dalamnya? Bagaimana dengan itu," usulnya.
    "Hn, hn, itu usulan yang sudah ibu tunggu," dengan dua kali mengangguk, Bu Milan tampaknya sudah menantikan usulan itu di singgung oleh salah satu murid.
    "Bisa kamu jelaskan lebih dulu apa saja wadah yang perlu dibentuk dalam organisasi kelas, Amelia?" Bu Milan melemparkan poin pentingnya kepada Amelia untuk menjawab.
    Lantas, dengan segera Amelia langsung berdiri memberikan penjelasan menurut versinya.
    "Baik. Hal pertama yang harus disepakati oleh seluruh kelas pastinya adalah dengan memilih ketua kelas. Ketua kelas juga memerlukan seorang wakil untuk mendampingi dan ikut mengambil peran aktif dalam mempersatukan kelas. Kemudian dilanjutkan dengan memilih sekretaris yang cakap dalam bertugas, serta memilih bendahara yang mampu mengelola keuangan kelas. Sekian." Amelia kembali duduk.
    "Tapi bukankah seksi-seksi juga diperlukan?" Seseorang yang mengajukan saran tambahan itu adalah perempuan yang duduk sebangku dengannya. Lantas dengan segera, Amelia menanggapinya...
    "itu juga termasuk. Tapi untuk saat ini alangkah baiknya jika kita fokus dengan keempat posisi itu lebih dulu."
    Untuk saat ini keputusannya dapat terbilang cukup tepat. Sosok siswi seperti itu tidak banyak orang dapat melakukannya dengan serius. Sepertinya dia sudah mempunyai pengalaman yang mendasar dalam hal kepemimpinan. Kemungkinan yang paling mungkin... di sekolah asalnya dia pasti pernah ditunjuk atau mungkin mengajukan diri sebagai ketua kelas.
    Aku yakin kredibilitas dirinya sudah naik secara drastis setelah sampai di tahap ini. Jika sebentar lagi akan dilakukan voting untuk calon ketua kelas, maka dari sekarang hasilnya sudah dapat ditebak. Tapi jika menebak siapa yang akan menjadi wakil, sekretaris, atau bendahara, itu masih belum dapat dipastikan sebelum ketiga calon muncul di antara mereka.
    "Kalau begitu aku akan mencalonkan diri."
    Seolah berniat menantangnya dengan terus terang, perempuan yang sebangku dengan Amelia mengatakan demikian dengan intonasi jelas seraya tersenyum kecil ketika menoleh untuk melihat reaksinya.
    "Itu semangat yang bagus."
    Disisi lain, Amelia memberikan pujian sebagai persetujuan atas tantangan tersebut.
    Kedua perempuan itu berdiri saling bertatap muka. Meskipun perempuan yang duduk sebangkunya mungkin menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa menandingi popularitas Amelia saat ini, tetap saja dia berani berinisiatif melawannya dengan modal tekad. Seolah kobaran api membara di punggung mereka, rasa antusias dan ambisi mereka dapat disaksikan oleh seluruh kelas yang melihat situasi ini—kecuali mereka yang berada di barisan belakang, hampir sama sekali tidak memperhatikannya.
    "Huh... di kelas ini juga ada orang-orang seperti mereka ya." Seolah terbiasa melihatnya, siswa yang duduk di sampingku memberikan pandangan remeh sesaat.
    Tak lama setelahnya, salah seorang murid yang ingin mencalonkan diri terjun ke medan perang ini. Lagi-lagi mereka yang berasal dari barisan anak perempuan. Aku bertanya-tanya, apakah di kelas ini tidak ada laki-laki yang setidaknya bisa diandalkan untuk berperan juga? Ketika sedang memikirkan itu, seolah harapanku terkabul, dari barisan anak laki-laki terdepan, muncul seorang siswa yang akhirnya ikut mencalonkan dirinya.... 
    "Saya juga akan mencalonkan diri," kata salah satu siswa yang duduk di barisan depan, lantas mengangkat tinggi tangan kanannya.
    Dari barisan anak perempuan, saat melihat ada satu siswa laki-laki yang mencalonkan diri itu, mereka memberikan tatapan sesaat sebelum perhatian mereka kembali tertuju ke arah Amelia dan sebangkunya...
    "Kamu... Arif ya," setelah membaca namanya di buku absen, Bu Milan memperhatikannya.
    "Ya!" Jawabnya tegas.
    Setelah memasukkannya ke daftar calon ketua kelas, Bu Milan melanjutkan...
    "Apa hanya empat murid saja yang ingin mencalonkan diri? Apa yang lain ada yang berminat?"
    Sebagian dari mereka saling menunjuk satu sama lain untuk menghindari pandangan keikutsertaan seperti yang umumnya terjadi. Orang di sebelahku, bahkan sepertinya terpancing oleh pola inisiatif yang dibuat Bu Milan untuk membujukku.
    "Hei, apa kau tidak berniat mencalonkan diri juga?" Tanyanya.
    "Lupakan saja. Bagaimana denganmu sendiri?" Kataku balik bertanya.
    "Kurasa aku juga tidak akan mungkin," katanya, sengaja menyamakannya denganku.
    "Baiklah, jika tidak ada tambahan, lima murid akan dikonfirmasi sebagai calon ketua kelas. Untuk pemilihannya, mari kita lakukan dengan cara voting agar lebih adil dan bisa berjalan lancar," mendengar usulan dari Bu Milan, tanpa menunggu lebih lama Amelia memberikan persetujuannya—begitu juga dengan perempuan sebangkunya, kemudian baru diikuti yang lain.
    Bu Milan mengambil box kardus yang bertuliskan 'voting ketua kelas' dari bawah meja guru yang akan dijadikan kotak suara. Sepertinya, itu sudah dipersiapkan pihak sekolah untuk mempermudahkan jalannya pemilihan yang pastinya akan dilakukan. Kemudian, Bu Milan menaruh box berukuran sedang itu di atas mejanya, lantas dilanjutkan dengan mengoperasikan 'layar papan belajar' yang ada di depan kelas.
    Sejak beberapa tahun terakhir, ekstensi papan tulis yang dulu digunakan sebagai media pembelajaran di depan kelas kini telah digantikan oleh kecanggihan teknologi yang salah satunya adalah monitor berukuran hampir sama besarnya dengan papan tulis. Monitor tersebut adalah penggantinya. Untuk mempermudah pengajar dalam menerangkan sesuatu yang tertulis, hampir seperti cara mengoperasikan TV digital di zaman sekarang, diperlukan remote khusus untuk mengoperasikannya. Dan remote tersebut hanya bisa dipegang oleh tenaga pengajar.
    Bu Milan mengambil remote itu dari saku jasnya, kemudian mengarahkannya ke arah monitor di depan. Tak lama kemudian, layar itu menyala seperti dalam bioskop. Lalu, Bu Milan mengaktifkan 'mode papan tulis', kemudian dilanjutkan dengan membuat diagram yang sepertinya itu secara otomatis bisa langsung dibentuk templetnya setelah beliau menekan beberapa tombol di remote.
    Dalam diagram itu, nama kelima siswa mulai dituliskan dengan judul 'pemilihan ketua kelas' di atasnya. Nama-nama murid yang tertulis di sana yaitu, Amelia, Sifa, Nida, Erlin, dan Arif.
    "Untuk cara votingnya, kalian pasti sudah memahami caranya kan ..." seolah memancing para murid untuk mengingat kembali hal yang berhubungan dengan voting di sekolah mereka sebelumnya, rupanya Bu Milan sengaja menyindir hal tersebut agar semuanya bisa tergerakkan secara mandiri.
    Dimulai dari murid yang responsif atau mereka yang menyadari maksud perkataannya, dengan segera mengambil buku masing-masing lantas menyobek selembar kertas di dalamnya. Sebagian dari mereka ada yang meminta dan ada yang melakukannya untuk diri sendiri. Sementara itu, orang di sampingku yang melihat siswa didepannya kini mulai melakukan hal yang sama.
    "Ini, ambilah," dengan agak ragu, dia memberiku.
    "Terimakasih."
    Karena dari tadi aku sengaja terus memperhatikannya, dia secara langsung membagikan secarik kertasnya yang di sobek selembar dari bukunya. Ini bukan karena aku tidak mau melakukannya, hanya saja aku berpikir seharusnya ada cara yang lebih baik daripada menyobek kertas dari buku. Mau dilihat dari manapun, cara itu sangat tidak ramah lingkungan. Meskipun sederhana, itu tidak nyaman dipandang olehku. Bagi orang sepertiku yang mempunyai kedekatan dengan 'buku', rasanya cukup menyedihkan melihat mereka diperlakukan seperti itu.
    Setelah menerimanya, mataku secara spontan melihat ke arah Cika. Sepertinya dia juga tampak tidak terlalu menyukainya. Aku bisa melihat itu dari ekspresi wajahnya yang muram ketika melihat orang di sekelilingnya. Tak lama setelah itu, tiba-tiba dia membungkuk ke bawah seperti sedang berusaha meraih sesuatu, dan sepertinya... dia mendapatkan kertas yang tidak sengaja dijatuhkan oleh perempuan di sampingnya. Kupikir dia akan menggunakan kertas itu, tapi sebaliknya, dia justru mengembalikannya kepada perempuan yang menjatuhkan kertas tersebut. Disisi lain, perempuan disebelahnya yang menerima kertas itu kembali, terlihat seperti sedang mengucapkan terimakasih. Lantas secara mengejutkan, ia menyobek secarik kertasnya menjadi dua bagian—dan salah satu bagian itu diberikan kepada Cika sebagai bentuk terimakasihnya kira-kira.
    Sungguh skenario yang umum terjadi dari sudut pandangku, tapi itu mungkin menjadi sesuatu yang berbeda dari perspektif Cika. Aku menghela nafas sebelum pada akhirnya mengalihkan pandanganku ke depan dan melihat Bu Milan yang sepertinya akan mulai berbicara lagi.
    "Kelima calon bisa maju ke depan."
    Mendengar panggilan itu, mereka berlima kemudian melangkah maju. Disana, tepatnya didepan kelas saat ini, ada empat perempuan dan satu laki-laki yang akhirnya ditetapkan sebagai anggota calon. Seperti yang memang sudah terlihat, perempuan bernama Amelia itu paling banyak mendapatkan 'kesan'. Lalu di sisi kanannya, ada perempuan sebangku dengannya yang sebelumnya bersikukuh ingin menantangnya. Namanya adalah Sifa. Sepertinya, dia juga tampak sama tegasnya dengan Amelia, hanya saja sosoknya belum cukup menarik perhatian seperti Amelia. Kemudian disebelahnya lagi, ada perempuan yang berbeda dari penampilan keduanya. Namanya adalah Nida. Perempuan yang perawakannya tampak lebih tenang dan kalem dari yang lain. Lalu di sisi kiri Amelia, seorang perempuan bertubuh kecil dan pendek berdiri di sana. Jika diperhatikan baik-baik, sekilas dia hampir tampak seperti siswi kelas satu SMP—tidak, mungkin malah seukuran anak SD. Karena penampilannya yang begitu kecil dan agak menggemaskan itu, melihatnya saja seolah-olah seperti ada boneka lucu sedang berdiri di antara para calon. Sementara itu, dia yang kelihatannya mendapatkan tatapan langsung di depan dengan sedikit gugup dan gelagapan tampak memasang ekspresi yang sulit kumengerti. Jika tidak salah, namanya adalah Erlin. Lalu tepat di sebelahnya ada satu-satunya anak laki-laki di depan. Tidak lain dan tidak bukan, dialah yang namanya Arif tadi. Seperti ekstrover pada umumnya, dia memiliki semangat, serta antusiasmenya sendiri dalam beradaptasi dengan anak laki-laki di barisan depan.
    Semua yang ada didepan tampaknya memiliki karakternya masing-masing. Seandainya bisa digolongkan, mereka mungkin akan termasuk kedalam murid unggulan di kelas bahasa—tidak. Sebutan itu mungkin terlalu berlebihan. Bahkan, murid seperti Cika seharusnya bisa menjadi salah satu dari mereka jika sejak awal tidak memiliki masalah terkait dengan kepribadian. Untuk sekarang, kurasa keberadaannya hampir mirip seperti 'mutiara yang terkubur di dalam batu'. Selama tidak ada sesuatu yang membuatnya terlihat menonjol, tidak ada yang tahu bakat dari kejeniusannya.
    "Apa semuanya sudah selesai memilih?" Bu Milan memastikan kami dapat memilih setelah menunggu beberapa menit.
    Ada beberapa siswa yang sudah selesai membuat pilihan mereka di lintingan kertas, lalu maju ke depan dan memasukkannya kedalam kotak suara. Aku juga telah selesai dengan pilihanku, tapi karena kondisi di depan sepertinya tidak memadai, aku memilih untuk menunggu sejenak. Siswa di sebelahku juga melakukan hal yang sama. Karena kebanyakan dari mereka selesai menulis di waktu yang hampir bersamaan, itu sempat menciptakan suasana desak-desakan di depan. Tapi setelah Bu Milan menertibkan mereka dengan saran membuat barisan, kondisi tersebut dapat teratasi.
    Setelah keadaan menjadi lebih baik, aku dan siswa di sebelahku berdiri hampir bersamaan ikut kedalam barisan. Sebelum itu, aku sempat melirik ke arah siswa yang ada di barisan belakang, masih mengobrol dengan santainya seolah-olah tidak mempedulikan apa yang kami lakukan. Bu Milan yang secara kebetulan matanya tertuju ke arah sana, tak butuh waktu lama mendatangi mereka dengan langkah tenang seolah sengaja menyembunyikan suara langkah sepatu. 'Apa yang akan dilakukan Bu Milan ini' menjadi perhatian dari sebagian murid yang memperhatikannya... 
    "Apa kalian sudah selesai membuat pilihan?" Tanya beliau, ketika sampai di samping murid yang pada saat itu secara bersamaan sedang antusias sendiri mengobrol satu sama lain.
    "Ha? Pilihan? Apa yang harus dipilih?" Siswa itu tampak tidak menerima tekanan ketika ada Bu Milan berdiri di sampingnya. Sebaliknya, dia tampak berani seolah sedang berbicara dengan temannya. Dan juga dari reaksinya, sepertinya dia sama sekali tidak mendengarkan semua hal yang telah disampaikan didepan kelas sedaritadi.
    Kupikir, jika saja langkah keberaniannya tersebut didasarkan pada nilai moral, dia mungkin tidak akan dipandang buruk oleh murid-murid lain. Kesalahannya itu terletak pada gaya bicaranya yang tidak sepantasnya digunakan murid ke guru. Dengan kata lain, ini menjadi masalah etika dan sopan santun.
    "Suara kamu, 'kan. Kamu bisa bebas memilih salah satu dari kelima kandidat ketua kelas yang ada di depan menurut pilihan sendiri," bahkan tanpa memasukkan emosi kedalam kata-katanya, Bu Milan tampak terbuka kepada mereka.
    "Tsk. Tidak ada salahnya untuk tidak memilih, kan. Sejujurnya secara pribadi aku kurang tertarik dengan voting ini karena hasilnya sudah jelas. Jadi bisakah untuk tidak memilih?"
    Entah itu disengaja atau tidak, gaya bicara siswa itu semakin parah. Seolah mencoba mendominasi keadaan ini, dia tampak tidak tertarik mengikuti jalannya pemilihan. Di samping itu, beberapa temannya yang diajak mengobrol dan sama-sama bermasalah, mulai menunjukkan ekspresi yang seolah mengapresiasikan keberanian temannya. Sekilas situasi ini tampak seperti merendahkan guru—juga membuat siswa-siswi lain yang melihatnya ikut tersulut emosi serentak.
    "Apa-apaan dia itu, kelakuannya buruk sekali."
    "Tampangnya saja sudah seperti anak berandalan."
    "Dia tidak pernah diajarkan sopan santun apa."
    "Di kelas ini juga ada orang seperti mereka ya."
    Beberapa kata kebencian yang bisa ku dengar itu tidak diucapkan secara langsung, melainkan menggumamkannya dengan siswa-siswi lain di sekitar. Ironisnya, siswa bermasalah itu sendiri yang tampaknya telah mendengar gumaman itu hanya memasang ekspresi sombong dan menunjukkan senyuman kecilnya, menandakan seolah tidak takut akan diskriminasi atau ancaman kedepannya.
    "Apa kau yakin memilih golput?" Tanya Bu Milan.
    "Selama itu termasuk pilihan, aku akan memilihnya yang sesuai untukku."
    Setelah mendengar jawaban terakhir dari siswa bermasalah itu, Bu Milan menanggapinya dengan senyuman lembut, lantas kembali ke depan meninggalkannya.
    "Aah... sayang sekali, padahal aku ingin bu guru itu lebih lama disini." Seolah memprovokasi murid yang masih memperhatikannya, siswa bermasalah itu sengaja mengatakannya dengan intonasi agak lantang.
    "Bukankah bu guru itu cantik?" Lanjutnya.
    "Bisa saja kau ini. Kenapa kau tidak coba mengatakan itu disaat dia sedang berdiri di sampingmu tadi?" Salah satu temannya yang juga dari kelompok murid bermasalah, ikut memberikan tanggapan.
    "Aku baru saja terpikirkan itu. Lain kali jika ada kesempatan, akan kucoba mengatakannya," katanya.
    "Kau benar-benar tertarik melakukannya ya."
    Setelah mendengarkan percakapan mereka sampai di situ, suara mereka sudah tidak terjangkau oleh telingaku—karena sekarang, aku telah sampai di barisan depan dan bersiap memasukkan lintingan kertas sesudah siswa sebangku yang saat ini berdiri di depanku.
                                                 ***
    Setelah siswa terakhir memasukkan lintingan kertas kedalam kotak suara, Bu Milan menanyakannya kembali.
    "Apa semua sudah memberikan suara?"
    Sepertinya, pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyinggung beberapa murid yang golput di barisan belakang.
    Setelah memastikan bahwa tidak ada respons dari mereka, Bu Milan melanjutkan...
    "Kalau begitu langsung saja kita mulai."
    Kemudian, Bu Milan memasukkan tangannya kedalam kotak suara, meraih lintingan kertas yang akan menjadi bentuk dari hasil pemungutan suara.
    Dalam tahap ini, dapat dilihat kebanyakan murid seolah menantikan adegan yang membuat jantung berdebar. Sepertinya, sensasi ini dirasakan oleh hampir sebagian besar murid yang memperhatikan, termasuk kandidat calon yang akan dipilih didepan.
    Sebelum melakukan voting, Bu Milan sempat mengalihkan layar diagram dengan 'mode penangkap suara'. Dalam mode itu, dari yang ku pahami jika nama yang dituliskan dalam diagram itu 'disebut', maka jumlah suara, serta grafik yang ada di layar secara otomatis jumlahnya akan bertambah sesuai dengan jumlah yang nantinya disebutkan. Karena itu, sebelum memulainya Bu Milan mengharapkan kami semua untuk tetap tenang dan memperhatikan selama sesi pengambilan suara. Sebagai tambahan, jika ada yang sengaja atau tidak sengaja meninggikan suaranya dalam sesi ini, maka hukuman mungkin diberlakukan. Itu menjadi bukti nyata ketika beliau menyinggung keberadaan CCTV yang ditempatkan di atas kelas.
    "Amelia ..., Amelia ..., Amelia ...."
    Ketiga suara itu, muncul sekaligus. Lalu...
    "Sifa ..., Sifa ..., Arif ..., Amelia ..., Amelia ..., Nida ..., Arif ..., Nida ..., Erlin ..., Amelia ...."
    Voting terus berlangsung selama kurang lebih 20 menit tanpa adanya kendala, dan itu selesai pada pukul 09:41.
    Hasil akhir, bisa dilihat jelas dari diagram yang ditampilkan didepan layar. Seperti yang sudah bisa ditebak, suara terbanyak jatuh kepada Amelia.
    Hasil pemungutan suara :
    (1) Amelia : 13
    (2) Sifa : 10
    (3) Nida : 8
    (4) Arif : 5
    (5) Erlin : 4
    Suara tidak sah/golput : 3/5
    Jumlah murid kelas : 48
    Ini cukup mengejutkan ketika melihat proses selama persaingan perebutan suara. Hampir dari mereka yang berada di peringkat tiga ke atas mempunyai pengaruh yang kuat, terutama Amelia dan Sifa yang saat ini menjadi sorotan atau bintang kelas.
    Dari hasil yang sudah ditetapkan, kini Amelia secara resmi menjadi ketua kelas X bahasa. Lalu Sifa yang mendapatkan suara terbanyak kedua, secara otomatis menjadi wakilnya. Nida yang ada di urutan terbanyak ketiga menjadi bendahara. Diikuti dengan Arif dan Erlin yang pada akhirnya mendapatkan suara minoritas, mendapatkan peran sekertaris.
    "Semuanya, beri tepuk tangan kepada mereka yang terpilih!"
    "Plok...! Plok...! Plok...!"
    Ditengah suasana ini, tiba-tiba siswa yang duduk di sampingku menanyakan pilihanku...
    "Hei, ngomong-ngomong siapa yang kau pilih tadi?" Tanyanya.
    "Bukankah itu sesuatu yang tidak seharusnya dapat diberitahukan?" Kataku.
    "Ayolah, beritahu saja. Lagipula pemilihan ini sudah berakhir, tidak ada yang perlu dirahasiakan juga, 'kan," katanya terus mendesakku.
    "Apa maksudmu? Tentu saja itu perlu," bantahku.
    "Eh..." dia tampak mengeluh.
    "Jika kau memberitahukan orang lain pilihanmu, bukankah voting itu sendiri akan sia-sia. Tujuan dilakukannya voting itu untuk menjaga 'kerahasian' si pemilih agar tidak memicu perdebatan yang tidak perlu. Kau mengerti itu, 'kan," kataku.
    "Ah, setelah kau mengatakannya, aku baru menyadarinya."
    Tampaknya dia tidak serius mendengarkanku.
    "Meskipun begitu... umumnya orang lain tidak akan mempermasalahkan sampai segitunya juga kan," bantahnya.
    "Walaupun tidak ada, tetap saja 'pemicu' itu selalu ada dan tidak semua orang dapat melihatnya," lanjut kataku.
    "Wow, sepertinya kau benar-benar orang yang kelewat serius. Apa mungkin kau tipe orang yang suka belajar setiap saat?" Sekarang, dia malah terdengar seperti ingin menyindirku.
    "Anggap saja seperti itu. Lagipula saat ini hanya itu yang bisa kulakukan untuk-" Namun, jawaban akhir yang kuberikan itu sepertinya tidak mencapai telinganya karena disambar intonasi tegas oleh Amelia yang mulai mengucapkan sepatah kata sebagai ketua kelas terpilih. Aku bersyukur dia tidak mendengar sesuatu yang tidak penting itu.
    "Sebagai ketua kelas, saya berjanji akan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Karena itu, saya meminta kerjasamanya kepada semua murid kelas sepuluh bahasa untuk ke depannya, dalam rangka menjaga stabilitas kelas dan mengikuti jalannya KBM. Diharapkan untuk tetap disiplin dan berdedikasi dalam mengerjakan semua tugas yang diberikan, baik dari guru mapel lain, wali kelas, maupun dari kesadaran diri kita sendiri. Jadi untuk satu tahun kedepan, mari kita bangun pondasi untuk masa depan yang cemerlang bersama-sama!"
    "Plok...! Plok...! Plok...!"
    Setelah mengatakan kalimatnya yang sangat ditekankan—seolah digenggam dengan begitu erat, hal tersebut sontak membuat para murid mulai dari barisan depan bersorak dengan penuh semangat. Kecuali di barisan belakang anak laki-laki, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang tidak mempedulikan situasi ini.
    "Memiliki ekstensi mencolok itu memang bagus. Tapi terkadang itu juga berpotensi menjadi titik kelemahan terbesar di masa depan," pikirku.
    Setelah struktur organisasi kelas sementara dapat terbentuk secara sah, sebagian besar sisa waktu di jam ini dihabiskan untuk mencari ide-ide baru di dalam kelas. Mulai dari membahas jadwal piket, hingga membahas sebagian kecil tentang materi KBM—semua itu berlangsung hingga waktu istirahat, yaitu pada pukul 10. Tepat pada saat itu juga, lonceng di atap sekolah yang menandakan waktu istirahat berbunyi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sendiri diantara kita
791      497     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
In Her Place
720      485     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...