Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 1 (Pencarian Jati Diri)
MENU
About Us  

    "Oh. Ini lebih mewah dari yang kubayangkan," Pemuda bernama Rafa, memasuki ruangannya. 
    Dia tampak sedikit takjub saat melihat inferior yang ada didalam. Meskipun masih tergolong biasa saja jika dibandingkan dengan kos-kosan di zaman sekarang, untuk anak SMA fasilitas yang ada sudah lebih dari cukup. Untuk ruangan depan tidak terlalu padat. Disitu terdapat sofa panjang beserta meja didepannya. Lalu ada laci yang tidak memakan tempat. Di atas meja, ada remote AC serta buku panduannya. Jika merasa ada yang kurang itu pasti adalah TV. Umumnya ruangan bagus seperti ini terdapat TV yang diletakkan di atas laci atau di atas dinding. Tapi, ini adalah asrama. Barang seperti itu tidak mungkin dialokasikan untuk anak SMA.
    "Hm, tidak terlalu buruk."
    Setelahnya, Rafa mengecek kamar mandi. Ada shower yang diletakkan di atas pengatur suhu air, dan juga toilet duduk beserta gulungan tisu di atasnya. Lalu, di depan kaca juga sudah disediakan sikat yang ditaruh didalam gelas. Ada dua gelas di situ beserta odol di sampingnya.
    "Ini dapurnya?"
    Beralih ke dapur, di sana ada kompor elektrik yang sudah terpasang, kitchen set beserta isinya, dan beberapa tempat untuk menaruh benda yang bisanya dijumpai di dapur. Untuk peralatan makan, di situ hanya ada sendok, garpu, dan piring sepasang yang dijadikan dalam satu set, dibungkus plastik mewah transparan. Tidak ada banyak peralatan yang bisa ditemukan di dalam dapur kecuali benda-benda umum yang memang sewajarnya sudah difasilitasi.
    Untuk tempat tidur, kondisi, serta suhu ruangannya sudah sangat nyaman. Meskipun AC berada di ruang depan, asalkan pintu kamar terbuka, hembusan anginnya bahkan bisa mengalir hingga kedalam. Seperti yang sudah dijelaskan oleh ibu asrama, lampu tidur, serta meja belajar dan kursi sudah ditempatkan disisi ranjang. Lalu disisi lain ranjang juga ada laci beserta lemari pakaian. Secara keseluruhan, tempatnya tidak terlalu padat untuk di tinggali. Sangat jelas bahwa pihak sekolah paham dan mengerti cara memanjakan murid baru dengan fasilitas seminim mungkin yang telah dimodernisasi.
    "Hah. Disini cukup nyaman. Akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang."
    Tanpa menunggu lagi, Rafa langsung membiarkan dirinya hanyut dalam kelembutan kasurnya yang empuk. Karena AC yang menyala sampai kedalam ruangan, secara perlahan sudut matanya mulai memasuki 'mode tidur' sebelum akhirnya benar-benar tertidur.
                                               ***
    "Tik, tok...." (Suara jam dinding)
    Jam menunjukkan pukul tiga lebih. Mendengar suara detakan jarum jam, Rafa perlahan mulai terbangun dan mendapati dirinya di atas kasur ternyamannya. Dia mulai mengingat penyebab dirinya tertidur. Kemudian, dengan sedikit gerakan kaku saat bangun, Rafa berdiri, lalu berjalan keluar dari kamar sambil menguap dan keluar dari ruangannya untuk mencari udara segar.
    Berjalan sedikit memutar di teras depan, Rafa bisa melihat jelas sosok mentari yang akan tenggelam di sebelah barat. Cahayanya yang terang membuat sedikit rangsangan pada matanya yang baru saja bangun dari tidur siang.
    "Oh!"
    Sontak suara orang terkejut datang dari arah tangga yang tak jauh dari tempat Rafa berdiri sekarang.
    Tidak lain itu adalah Cika, seorang tetangga yang menghuni ruangan sebelah. Dengan membawa dua kantong plastik besar yang berisikan sayuran, bahan-bahan makanan, serta beberapa peralatan masak berukuran kecil, bisa ditebak kalau dia baru saja kembali dari hypermarket terdekat untuk berbelanja.
    "Itu untuk makan malammu?"
    Rafa menyapa dengan pertanyaan setelah terjadi keheningan di antara mereka ketika kedua mata tak sengaja bertemu.
    Tentu sebelum bertanya, Rafa sempat melirik kedua kantong plastik tersebut yang tampak kesulitan untuk dibawa.
    "Ya..., begitulah," respons Cika.
    "Berbicara tentang makan malam sepertinya aku belum menyiapkan apapun," gumam Rafa.
    "Eh...?" Cika agak terkejut mendengar gumamannya.
    "Kurasa aku akan membeli sesuatu di hypermarket nanti malam," kata Rafa.
    "Maaf menanyakan ini, apa kau bisa memasak?" sindir Cika tanpa maksud.
    "Apa aku terlihat seperti orang yang bisa memasak...?" mengatakan itu, untuk sesaat Rafa tampak pesimis.
    "Ah. Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu," kata Cika jujur.
    "Bisakah kau berhenti meminta maaf untuk sesuatu yang sepele? Tadi itu hanya bercanda," kata Rafa.
    "Eh?"
    Seketika wajah Cika langsung tampak terkejut, mematung sesaat dalam posisi menunduk.
    "Aku masih bisa memasak nasi goreng atau telur mata sapi, tapi kurasa aku perlu membeli beberapa telur dan beras," kata Rafa.
    "Kau yakin?" respons Cika suram. 
    Melihat respons yang tak mengenakkan itu, Rafa yang heran pun bertanya. "Hn? Apa ada yang salah?"
    Mendengarnya, Cika pun menghela nafas. "Sebelum itu aku ingin bertanya. Apa kau pernah membeli bahan pangan sebelumnya di pasar atau di ruko-ruko kecil?" Tanya Cika.
    "Sejujurnya tidak. Ketika di panti, kami sudah memesankan bahan-bahan itu setiap akan kehabisan stok. Jadi kami hampir tidak pernah membeli apapun yang benar-benar dibutuhkan. Karena ibu itu sangat serius jika menyangkut soal kualitas makanan, aku tidak pernah diizinkan untuk ke dapur. Pernah diam-diam aku mencoba menyelinap kedalam untuk mempelajari resep yang bisa ku pelajari. Salah satu hasilnya, itu adalah nasi goreng dan telur mata sapi," kata Rafa, sedikit bercerita.
    "Se—sepertinya kau punya kondisimu sendiri," kata Cika, tak bisa berkomentar apapun terkait ceritanya itu.
    "Ya, begitulah. Semuanya sangat biasa," kata Rafa datar.
    Setelah mendengar kata itu yang menjadikan semuanya terkesan 'biasa', Cika menghela nafas sekali lagi seolah bosan mendengarnya.
    "Begini saja, mari kita buat kesepakatan," ujar Cika.
    "Kesepakatan?" Rafa mengulanginya.
    "Jika kau tidak keberatan, aku bisa membagikan sebagian makanan setelah ku masak," saran Cika.
    "Bukankah itu hanya akan merepotkanmu saja? Selain itu, aku berkeinginan untuk mempelajari segala sesuatu di sekolah ini dengan mandiri. Aku tidak bisa bergantung lebih kepada orang lain, ku harap kau mengerti itu," Rafa langsung merespons dengan sederet pemikirannya yang ingin berkembang.
    Hampir rata-rata orang, pasti menganggap pemikiran seperti itu sudah lama menjadi hal umum. Tapi sebenarnya, itu sudah tidak berlaku di sini. karena adanya kecenderungan pada mindset orang Jep-Ra, pemikiran seperti itu hanya akan dianggap membual, atau mengatakan sesuatu yang sepele jika tidak didasarkan pada niat dan diperoleh hasilnya. 'Daripada selalu mengandalkan orang lain, mereka lebih suka berusaha dengan usaha sendiri'. Tidak peduli apapun hasilnya, 'prosesnya' adalah sesuatu yang harus diutamakan. Untuk belajar dari awal, dibutuhkan sebuah 'motivasi' yang kuat. Namun, dalam konteks pemikiran Rafa, hanya dalam hal 'motivasi' dia memiliki cara pemanfaatannya sendiri.
    "Aku sangat mengerti rasanya ingin mandiri atau apapun itu."
    Mengatakan hal tersebut, Cika seolah sudah memahami cara berpikir semacam itu.
    "Sebenarnya memasak adalah salah satu hobiku baru-baru ini. Jika kau mau, sesekali aku juga bisa mengajarimu memasak. Itu kesepakatan yang bagus kan?" lanjutnya, memberi solusi.
    Mempertimbangkan tawaran yang tidak terlalu buruk itu, Rafa segera memberikan jawabannya.
    "Kudengar perempuan juga mempunyai keadaan mereka sendiri. Menerimanya secara sembarangan juga rasanya tidak terkesan ramah. Terus terang itu adalah letak dari rasa keberatanku," kata Rafa yang telah memiliki beberapa pengalaman di masa lalu terkait dengan itu.
    Disisi lain, Cika yang mendengarnya segera memikirkan solusi tambahan.
    "Kau bukan tipe orang yang bisa diyakinkan dengan mudah ya. Huh. Kalau begitu, aku akan menambahkan beberapa hal dalam kesepakatan ini."
    Mengatakan itu, Cika tampak percaya diri seolah baru saja mendapatkan ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah 'saling ketergantungan.'
    "Mari kita lakukan ini. Aku akan membuatkan jadwal berbelanja. Dengan itu, kita akan berbelanja kebutuhan secara bergiliran selama beberapa harinya. Jika kau menginginkan syarat dariku, maka itulah yang bisa ku tawarkan," lanjut Cika dengan antusias.
    "Itu tugas yang cukup sederhana," Rafa mengangguk paham dua kali, namun tidak berniat serius menanggapinya.
    "Benarkan! ya... seperti yang kau lihat, sejujurnya aku kesulitan untuk mengangkut kedua plastik yang terisi penuh ini. Jika kau berkenan...."
    Sengaja mengatakan itu dengan maksud meminta tolong, Rafa yang mengerti maksudnya segera bertindak.
    "aku mengerti," alih-alih mengeluh, Rafa menghela nafas panjang sembari membawanya.
    Tanpa membuatnya menunggu, dia segera membawakan kedua kantong plastik besar yang dibawa Cika tadi menuju ke depan ruangannya.
    Setelah mengucapkan terimakasih, Cika melanjutkan membawa kedua kantong plastik yang berisi bahan pangan dan sayuran tersebut kedalam ruangan. Sementara itu, Rafa yang berada di luar ruangan, berbalik melihat suasana halaman asrama dari lantai dua di tepi pagar.
    Tepat disaat itu, para murid baru yang seharusnya mengikuti tur keliling pagi tadi telah berkumpul dan terlihat seperti baru saja selesai diberikan instruksi oleh ibu asrama terkait aturan dan sebagainya. Tak lama kemudian, keadaan di bawah menjadi sangat ramai karena kehadiran rombongan-rombongan itu.
    "Kurasa... lebih baik sekarang aku mulai bersih-bersih."
    Mengabaikan suasana di bawah, Rafa segera masuk kedalam dan berniat membersihkan ruangan barunya hingga matahari tenggelam.
                                             ***
    Di malam hari, setelah baru saja selesai mandi Rafa mengenakan blazer hitamnya yang digantung di kamar. Kemudian dia buru-buru mengambil ponselnya dan keluar dari ruangan.
    Setelah mengunci ruangannya, Rafa menuruni tangga asrama, meninggalkan halaman belakang, berniat menuju ke hypermarket yang berada di area utama bagian tengah (AUBT).
    Karena area tersebut agak naik seperti mendaki dataran tinggi dengan melonjak sedikit ke atas, pemandangan gedung sekolah yang berada di area utama bagian selatan (AUBS) bisa terlihat jelas dari sana.
    Selain terdapat hypermarket di area itu, ada beberapa bangunan seperti kafe, restoran, serta toko pakaian. Tak jauh dari situ, terdapat juga spot pemandangan, serta gedung yang difungsikan untuk melihat panorama bangunan-bangunan area di bawahnya. Untuk area tahun ketiga masih bisa dilihat cukup dekat dari situ, namun untuk area tahun kedua, serta area OSIS tampak lumayan jauh. Area utama bagian tengah (AUBT) itu sendiri seolah menjadi pusat dari lingkungan sekolah dikarenakan letaknya yang agak menonjol dari segi geografis.
    Setelah sampai di depan hypermarket, Rafa segera masuk kedalam karena udaranya terasa lebih dingin daripada di lingkungan asrama.
    Didalam hypermarket, lebih tepatnya di lantai satu, beberapa komponen bahan pangan telah disediakan di sana. Mulai dari beras ukuran plastik hingga karung per-kilonya, serta daging kecil dan besar yang diawetkan didalam kotak beku, semuanya sudah diukur berdasarkan kuantitas. Harga bahan-bahan tersebut juga telah disesuaikan dan dicantumkan pada label di atasnya. Untuk beberapa orang yang hobi berbelanja, memasuki tempat seperti ini pasti sangat memuaskan. Selain praktis, harga barang-barang di sana juga terjangkau sebagaimana para murid pada dasarnya mampu membelinya dengan saldo yang dibagikan pada hari pertama.
    "Ini lebih besar dari yang kukira," pikir Rafa, melihat lantai sekitarnya yang luas.
    Ketika menoleh ke atas, lantai dua dan tiga dapat terlihat dari bawah. Bahkan jika melihat sekilas, dapat diketahui dimana letak eskalator itu. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai fasilitas hypermarket, di lantai satu terdapat bahan-bahan pangan, di lantai dua terdapat perlengkapan sekolah, dan di lantai tiga yang kebanyakan menyediakan kebutuhan sekunder.
    Setelah mengamati sekitar yang tampak baru baginya, Rafa kemudian mengingat tujuannya, lantas segera mencari apa yang dia butuhkan. Rafa menuju ke rak bagian bahan pangan cepat saji, dimana terdapat mie instan yang bervariasi dan banyak jenisnya.
    "Kurasa aku akan mencoba yang ini."
    Rafa mengambil mie instan goreng dan melihat-lihat kemasannya. Setelah memutuskan akan membelinya, dia langsung menaruhnya kedalam keranjang.
    Lanjut untuk membeli barang kebutuhan yang lain, dia kemudian bergegas menyelesaikan tujuannya membeli bahan makan malam yang diperlukan, di antaranya seperti telur dan juga beras yang kemudian dititipkan sementara kepada kasir. Lalu, Rafa lanjut menaiki elevator yang menuju ke lantai tiga.
    Disana menyediakan alat-alat kebutuhan, segala macam pembersih, serta bahan-bahan lainnya yang tidak disediakan di tempat asrama. Mulai dari produk kebersihan hingga kebutuhan sekunder, semuanya bisa dicari di beberapa tempat terpisah pada lantai tiga yang memiliki ruko tersendiri, berderet panjang serta luas.
    "Sekarang yang ku butuhkan...."
    Memasuki salah satu ruko panjang yang dipusatkan sebagai tempat penyedia produk kebersihan, Rafa menuju ke salah satu rak, lalu mengambil sikat gigi, shampo, sabun mandi dan beberapa di antaranya yang diperlukan. Dia menaruh itu semua kedalam troli yang sebelumnya diambil tak jauh dari tempatnya masuk.
    Setelah menyelesaikan pembayarannya di kasir, Rafa melanjutkan membeli beberapa alat keperluan lainnya yang mungkin akan sangat dia perlukan.
    "Kurasa sudah cukup untuk hari ini, uh..." sembari menghela nafas dengan wajah datar, Rafa memakai elevator yang konsisten turun ke lantai satu....
    Kemudian, saat akan mengambil bahan pangan yang sebelumnya dititipkan pada karyawan kasir, dia menyadari bahwa ada sedikit kehebohan di sana...
    "Mbak, apa tidak ada diskon di hypermarket ini? Kalau ada tolong berikan saya diskon untuk membeli beberapa ini."
    Sambil menunjukkan bahan pangan yang akan dibelinya itu, siswa yang dengan antusias meminta potongan harga tersebut terlihat sedikit menekan. Dapat dilihat dari caranya bertindak, seolah dirinya sudah terbiasa berbelanja menawar harga di pasar. Namun sayangnya, dia melakukan itu ditempat yang salah.
    "Maaf ya kak, hypermarket ini sudah ditinjau, diatur, dan dipertimbangkan kembali nilai jualnya agar sesuai dengan kebutuhan yang bisa dibeli siswa. Moto kami adalah 'kami tidak akan memberatkan kebutuhan yang bisa dibeli siswa, jika siswa tersebut tidak memberatkan dirinya dengan terlalu banyak membeli kebutuhan yang diperlukan."
    Rupanya, moto tersebut menjadi sindiran tidak langsung kepada siswa laki-laki itu yang membeli cukup banyak bahan pangan. Berbeda dari hypermarket di luar sekolah, karyawan di sini lebih mengutamakan stabilitas perekonomian siswa daripada keuntungan komersial.
    "Begitu ya, jadi memang tidak bisa ya," kata siswa laki-laki itu, agak sedikit kecewa.
    Setelah menyerah mencari potongan harga yang memang tidak dapat diberikan, siswa itu pada akhirnya membayar bahan pangan sesuai dengan harga yang ditentukan. Ditengah-tengah transaksi itu, Rafa menuju loket di sampingnya untuk meminta bahan pangan yang sebelumnya dititipkan.
    "Permisi, saya mau mengambil bahan pangan yang sudah saya titipkan tadi," kata Rafa, kemudian menyerahkan potongan kertas kecil yang bertuliskan nomor dengan spidol permanen di atasnya sebagai tanda kepemilikan bahwa dirinya memang menitipkan bahan pangan di situ sebelumnya.
    Mendengar Rafa melakukan itu, sontak siswa disebelahnya tadi yang kebetulan melihatnya langsung tampak bersemangat sendiri dengan kata yang menegaskan bahwa dia baru saja mengerti...
    "jadi begitu!" mengatakannya dengan bersemangat sambil melihat ke arah Rafa, tentu saja dia tidak bisa mengabaikan kondisi lancang seperti itu.
    Ketika Rafa menoleh, siswa itu dengan segera mengucapkan kata permintaan maaf karena sudah lancang meneriakinya secara tiba-tiba.
    "Lain kali jangan lakukan itu. Selain tidak sopan, itu bisa membuat orang terkena serangan jantung," ujar Rafa, menasehati.
    "Aku mengerti, aku menyesalinya," kata siswa itu.
    "Baguslah. Kalau begitu sampai jumpa."
    "Tunggu sebentar! Aku punya sesuatu untuk ditanyakan," kata siswa itu. Merasakan bahwa keberadaannya itu telah disepelekan, dia tiba-tiba tergerak untuk menghentikannya.
    Menghela nafas dalam-dalam dengan posisi badan membelakangi, Rafa menurunkan pandangannya, kemudian melihat siswa itu yang tampak sangat antusias.
    Karena didalam hypermarket itu bukan tempat yang cocok untuk perbincangan panjang, akhirnya mereka berpindah tempat menuju halaman depan hypermarket. Di sana terdapat meja, kursi serta payung di antara keduanya. Tempat itu sengaja diatur oleh pengelola sebagai tempat istirahat para karyawan yang hanya sekedar beristirahat ketika jam pergantian shift kerja.
    "Jadi? Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Rafa.
    "Sebenarnya aku tidak tahu banyak hal mengenai tempat seperti hypermarket di sini. Aku ingin kau memberitahuku apa saja yang bisa dilakukan—" katanya terpotong.
    "Sebelum itu aku akan bertanya, apa kau sudah mengecek 'laman infomasi sekolah' di ponselmu?" Tanya Rafa dengan cekatan.
    "Eh, yang begitu ada?"
    Siswa itu langsung buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku-nya, menghidupkan layar lalu beralih ke layar utama widget yang menampilkan beberapa icon aplikasi, kemudian menanyakannya kembali...
    "Dimana?"
    Mendengar pertanyaan siswa tersebut, Rafa sedikit menghela nafas, lalu berkata...
    "Coba kau geser layar utama ke kiri."
    Setelah mendengar instruksi dari Rafa, siswa itu melakukan seperti yang disuruh... lantas menunjukkan raut wajah seolah baru pertamakali melihatnya.
    "Oh! Aku tidak tahu ada fitur seperti itu di layar utama. Bahkan sepertinya itu tidak dijelaskan pada saat sesi penerimaan ponsel," kata siswa itu terkejut.
    Rata-rata orang yang hidup di zaman sekarang dengan kecanggihan teknologi yang luar biasa pasti sudah sangat dekat mengenal sesuatu seperti ponsel. Bahkan, untuk ponsel modern itu sudah lama ada di awal abad ke-20. Secara umum, masyarakat pasti sudah mengenal baik benda itu. Tapi, jika diperkirakan 90% kemungkinan orang dapat memiliki dan menguasainya, di antaranya ada kemungkinan 10% orang yang tidak memilikinya karena faktor perekonomian atau lingkungan. Kesenjangan itu bisa menjadikan suatu daerah tertentu seolah terdiskriminasi oleh perkembangan zaman saat ini. Dan itulah yang menjadikan beberapa masyarakat miskin masih rentan menjalani kehidupan primitif.
    "Apa ini pertamakalinya kau menggunakan ponsel?" tanya Rafa.
    "Ya... begitulah. Karena aku lahir dan tinggal di desa kecil yang jauh dari kata 'teknologi', aku tidak terlalu mengenali alat-alat canggih seperti ini. Bahkan kurasa ini pertamakalinya aku memegang ponsel layar sentuh. Di desaku, aku hanya memakai handphone genggam untuk berkomunikasi, hehe..."
    Selepas mencela dirinya sendiri dengan tertawa kecil, siswa itu kembali memperhatikan layar ponsel.
    "Begitu ya. Disini kau pasti cukup kerepotan. Jika kau menjelaskan situasimu dari awal, aku bisa saja sungguh-sungguh mengajarimu dasar penggunaannya," kata Rafa, menawarkan diri.
    "Tidak, tidak perlu. Situasiku adalah masalah pribadiku. Yang terpenting adalah kau sudah berkenan mengajariku bagian penting ini," kata siswa tersebut, tersenyum meyakinkan.
    Rafa sedikit prihatin, namun—perasaan itu seolah langsung lenyap seketika. Kemudian, Rafa meneruskan untuk memberitahu dimana letak laman yang menunjukkan 'informasi sekolah'. Ketika sudah menemukan laman itu, siswa tersebut segera mengeceknya. Disitu tertulis sebuah judul 'seputar Informasi Hypermarket Sekolah', kemudian setelah membaca satu persatu informasi yang tertera di situ, siswa itu lantas berkata... 
    "Wah! jadi itu di sini..." dengan memasang ekspresi kagum.
    "Terimakasih atas bantuannya, sekarang aku bisa mempelajarinya untuk sementara waktu. Selain itu, aku juga jadi lebih mengerti mengenai beberapa fitur yang bisa dilakukan di ponsel ini," lanjut kata siswa itu.
    "Tidak perlu formal, itu hanya langkah sederhana. Jika kau menanyakannya kepada murid lain, kemungkinan besar mereka pasti juga akan tahu," kata Rafa, mengalihkan pandangannya.
    "Kau benar, tapi saat ini kau lah yang bersedia membantuku. Aku berhutang budi kepadamu," kata siswa itu dengan tulus.
    "Tidak perlu dilebih-lebihkan. Ngomong-ngomong, kenapa kau membeli banyak sekali bahan pangan?" Beralih melihat kantong plastik di sampingnya yang cukup besar serta terisi penuh, Rafa mulai menanyakannya untuk mengalihkan topik pembicaraan.
    "Oh ini, sebenarnya aku akan melakukan acara makan malam bersama dengan beberapa teman baruku di sini. Tadinya kami mengundi siapa yang akan membeli bahan pangan dengan 'batu keras gunting', tapi aku kalah," kata siswa itu, tiidak memiliki tanda-tanda frustasi dengan kekalahan yang diucapkan.
    "Oh, jadi begitu, aku mengerti," kata Rafa.
    Cara mengundi dengan permainan batu keras gunting itu adalah metode lama yang sering digunakan oleh orang primitif. Cara itu sangat efisien untuk menentukan 'siapa yang akan terpilih'. Bahkan di zaman modern sekarang, cara tersebut masih populer digunakan karena sederhana dan mudah diingat.
    "Aku baru ingat. Kita belum berkenalan ya."
    Siswa itu menepuk telapak tangan dengan kepalan tinju ketika mengingatnya. Segera setelahnya, dia mengulurkan tangan seolah seperti mengajak berjabat tangan.
    "Di desaku aku sering dipanggil Joko. Tapi di sini, kau bisa memanggilku Jaka," ujarnya.
    "Aku Rafa, mungkin salah satu orang paling membosankan yang pernah kau temui," kata Rafa, meraih tangannya yang terulur, dan mereka berjabat tangan sebagai tanda perkenalan.
    "Haha...! Perkenalan model apa itu," siswa itu tertawa ringan.
    "Aku hanya bercanda," kata Rafa.
    Setelah selesai dengan urusannya, siswa yang bernama Jaka itu lantas pergi dengan dalih ditunggu oleh temannya. Kemudian, Rafa juga memutuskan untuk kembali ke asrama. Disitu terlihat jelas—setelah Jaka pergi, ekspresi Rafa seketika tampak begitu suram seperti orang kelelahan yang telah diambang batas.
    "Baik secara fisik ataupun mental, hari ini sangat melelahkan...." gumam Rafa.
                                                 ***
—Rafa
    Setelah kembali dari hypermarket, aku berencana akan meminum teh hangat. Tapi sebelum itu, aku menyalakan kompor terlebih dahulu untuk merebus sedikit air. Sambil menunggu air mendidih, aku membuat teh~ ["bluk..."] Beberapa saat kemudian, setelah memeriksa bahwa air yang kurebus hampir menguap, aku menyobek kemasan mie instan goreng yang sebelumnya ku beli dari hypermarket, lalu memasukkannya kedalam air rebus. Sementara menunggu proses itu, aku menuangkan bumbu-bumbunya ke dalam mangkok. Sekitar 3-4 menit berlalu, aku mematikan kompor, lalu membuang sisa air di wastafel. Agar mie itu tidak jatuh di saat hendak membuang air, aku menggunakan penyaring berukuran sedang untuk mengamankannya. kemudian, aku menuangkan mie yang telah matang tersebut kedalam mangkuk berisi bumbu, lalu mengaduk-aduknya sampai bumbu tersebut merata dan menyatu padu. Tidak butuh waktu lama untuk melakukannya, akhirnya mie goreng buatan sendiri telah jadi.
    "Ini lumayan. Untungnya aku sudah terbiasa membuatnya."
    Karena sebelumnya memang sudah sering kulakukan hingga sekarang, aku bisa menyiapkannya dengan sempurna. Ketika aku berpikir seperti itu, tanpa kusadari aku sudah mulai memakannya bersama dengan teh yang ku buat.
    Setelah menghabiskan satu porsi mie goreng, entah mengapa rasanya tidak terlalu mengenyangkan. Apa mungkin, itu karena aku memakannya tanpa nasi? Jika dipikir-pikir itu bisa jadi. Sebelumnya aku memang selalu memakannya karena itu makanan pokok.
    "Apa sebaiknya tadi aku menanak nasi juga ya? Hah..., menyesali sekarang juga tidak ada gunanya," pikirku.
    Bangkit dari tempat duduk di meja dapur, aku mulai mencuci mangkok serta gelas yang sudah kupakai di wastafel.
    "Mungkin aku akan langsung tidur saja setelah menyikat gigi," gumamku.
    Tak perlu waktu lama untuk melakukannya, beberapa saat kemudian, setelah menyelesaikan keperluanku di kamar mandi, aku menuju ke kamar tidur. Namun, saat berpikir akan tidur begitu saja, aku mulai menyadari jika itu terlalu cepat. Ini bukan masalah waktu, hanya saja... aku merasa ingin merenungkan sesuatu yang 'telah kutinggalkan'.
    Setelah mengalihkan pikiranku untuk tidak langsung menuju ke kamar, aku menuju ke balkon belakang. Sebelumnya aku memang sempat penasaran dengan apa yang bisa dilihat dari situ. Akan tetapi aku melupakannya karena tertidur di siang hari sebelum sempat mengeceknya. 
    Sesampainya di balkon belakang, suasananya begitu dingin dari lantai atas ini. Dan juga, betapa indahnya bintang di langit malam hari ini yang jarang bisa kulihat dari panti.
    "Dari sini terlihat cukup bagus," kataku.
    "Oh!"
    Sebuah suara 'orang terkejut' datang dari arah kiri di samping balkon tempatku berdiri saat ini. Dengan spontan, aku menoleh ke sumber suara untuk memastikannya. Dan rupanya itu.... 
    "Hn...?"
    Sebuah kebetulan bisa bertemu dengannya lagi di situasi seperti ini. Dia adalah Cika, perempuan yang secara kebetulan menjadi tetanggaku mulai hari ini.
    Di siang hari tadi, dia juga sepemikiran denganku untuk langsung menuju ke asrama, meskipun sebenarnya tujuan dan niat kami sama sekali berbeda.
    "Kebetulan, ya..."
    Saat ini, dia memakai hoddle dengan tangan yang dimasukkan kedalam seperti yang biasa kulakukan ketika memakainya dulu. Namun, karena sekarang hanya memakai kaos biasa, aku memasukkan kedua tanganku kedalam saku celana panjang. Setelah memperhatikanku sekilas, dia kembali ke sudut pandangnya melihat langit yang hampa. Meskipun udara di malam hari ini terasa begitu dingin, bagi kami sepertinya itu tidak terlalu berpengaruh. Seolah melakukan hal yang sama, kami diam menikmati ketenangan ini untuk sesaat.
    "Entah sudah berapa lama ya. Aku sangat menyukai ketenangan di malam hari," katanya yang tiba-tiba.
    "Aku juga," balasku.
    "Kau juga?" dengan spontan, dia mengalihkan perhatiannya ke arahku setelah mendengar respons langsung dariku.
    "Terkadang suasana seperti ini juga sangat dibutuhkan. Untuk seorang introver yang menyukai kesendirian," kataku.
    "Ooh... apa itu berarti kau mengakui dirimu ini seorang introver...?"
    Dengan cara menanyakannya seperti seseorang yang mampu melihat ke 'dalam', dia tampaknya jauh lebih pintar dari yang kukira.
    "Kau juga sama, kan," kataku, memancingnya.
    "Aku tidak tahu...."
    Mengatakan itu dengan nada kepura-puraan, sepertinya dia memakai startegi menutup-nutupi untuk 'melindungi' dirinya dari serangan awalku.
    "Kalau begitu aku juga tidak tahu," balasku.
    "Eh... apa-apaan itu? Bukankah tadi kau sudah mengakuinya?" Tanyanya, heran.
    "Mengakui apa? Aku hanya ingin memastikan apakah 'kau juga sama' seperti yang kau katakan sebelumnya. Sekarang, apakah kau sadar bahwa kau menginjak ranjau-mu sendiri?"
    Membalasnya dengan serangan balik ini, seharusnya itu cukup untuk membuatnya tidak bisa 'menyerang' ataupun 'bertahan' lagi. Dia harus menerima fakta bahwa aku telah mengalahkannya dengan logika, meskipun mungkin yang kukatakan menjadi tidak masuk akal.
    "Kau orang yang sulit dimengerti ya," dia tampak pasrah.
    "Sudah banyak yang mengatakannya," ujarku.
    "Uh. Itu."
    Setelah memasang ekspresi rumit, dia kembali ke kondisi tenang.
    "Hei, apa kau mempunyai sebuah tujuan atau alasan tertentu untuk bersekolah di sini?"
    Ketika dalam keheningan sesaat, dia kembali membuka topik pembicaraan. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, sekali lagi aku meliriknya.
    "Ah... kalau kau tidak ingin menceritakannya juga tidak apa-apa," lanjut katanya.
    Mengatakan itu, alasan dia menyangkal pertanyaan yang dilontarkan sendiri hampir sama seperti sebelumnya. Dia hanya segan apabila merasa telah mencampuri masalah pribadi orang lain.
    "Aku punya mimpi ingin menjadi seorang guru. Kau pasti berpikir itu lucu kan. Aku sama sekali tidak punya ekstensi yang menonjol, rasa antusias, apalagi ambisi. Kupikir... itu sudah menjadi bagian diriku yang sulit dirubah maupun dibenahi bagaimanapun caranya," kata Cika tiba-tiba.
    Usai sekilas dia menceritakan bagian itu, beberapa permasalahan telah dapat ku pahami darinya. Secara umum, menjadi guru itu tidak harus dengan ekstensi yang menonjol, atau energetik sekalipun. Yang terpenting adalah, cara berkomunikasi serta 'pendekatan' itulah yang menjadi kunci utama.
    "Tentu saja aku mengerti kalau seorang guru tidak harus memiliki aspek menonjol dan antusias tinggi. Tapi masalahnya adalah...." dia terhenti di situ, lalu aku melanjutkan...
    "kepribadian ya," mendengar kata itu keluar dari mulutku, dengan spontan dia menoleh ke arahku.
    "Memang dapat dimengerti kalau kepribadian itu bisa menjadi sumber masalah. Tapi jika kau melihatnya dari sudut yang lain, itu juga bisa dimanfaatkan sebagai keunggulan seseorang," lanjut kataku.
    Jika kau berpikir bahwa kepribadian itu adalah sumber masalahnya dan itu harus dibenahi sesegera mungkin, maka itu tidak akan menguntungkan apapun selain 'perubahan'. Jika dapat memanfaatkannya, itu akan menjadi hal yang berbeda selain mendapatkan 'perubahan'.
    "Apa maksudmu?" Tanya Cika.
    "Sederhananya saja, kau tidak perlu berpikir bahwa kepribadian itu adalah masalah utama. Di dunia ini manusia itu ada beragam jenisnya, serta memiliki aspeknya masing-masing di bidang tertentu. Jika kau berpikir untuk 'memanfaatkan' salah satunya, itu akan menjadi keunggulan utama darimu. Bukankah itu yang biasanya disebut sebagai 'keunikan' dari seseorang?" kataku.
    "Jika dipikir-pikir, kau ada benarnya. Intinya aku hanya harus menerima situasiku yang sekarang kan," katanya, memahami sendiri maksud perkataanku.
    Hampir rata-rata di zaman sekarang, orang-orang mempunyai kecendrungan untuk berpikir inovatif. Hal itu dapat dipengaruhi oleh faktor seperti lingkungan dan pendidikan yang terus berkembang maju.
    Seperti dunia yang terus berputar, zaman akan terus berkembang dan menciptakan 'manusia modern'. Dari sinilah dapat diketahui, bahwa semuanya seolah sudah berjalan sesuai dengan 'skenario' yang telah ditetapkan. Apapun prosesnya, dan bagaimana seseorang bisa hidup, hasil akhirnya yang akan menentukan itu. Profesi seseorang, cita-cita dari kecil, kedua hal itu merupakan contoh dari 'proses' serta 'tujuan' manusia hidup.
    "Hei, apa kau memang selalu seperti itu...?maksudku, mengenai kepribadianmu," tanyanya, agak ragu karena berpikir akan menyinggungku.
    "Apa ada yang salah dengan kepribadianku?"
    Berbalik menanyakan itu, aku menoleh lagi ke arahnya.
    "T—tidak, hanya saja, kurasa kau tidak seperti laki-laki pada umumnya," katanya, seolah tampak keheranan mengamatiku.
    Meskipun dia berkata seperti itu, aku tidak tahu bagaimana harus meresponsnya. Karena pernyataannya yang sulit dijawab, aku hanya bisa terus memandanginya sambil memikirkan jawaban yang mungkin bisa ku berikan....
    "Padahal sekarang kau sendiri juga mempunyai kepribadian yang hampir serupa. Apa kali ini aku salah?"
    Mendengar pertanyaanku, dia tersontak kaget yang menandakan pernyataanku tepat sasaran. Tapi karena dia tampaknya merasa tidak ingin kalah, dia kelihatannya mencoba ingin membalasku.
    "Perkataanmu yang 'hampir serupa' itu kedengarannya mencurigakan, apa kau mempunyai dasar untuk membuktikannya?" dia kembali menatapku dengan skeptis.
    "Apa perlu ku tunjukkan kepadamu? dasar-dasarnya itu?" Mengatakannya dengan sedikit mengintimidasi, dalam sekejap dia sontak memasang ekspresi panik, seolah akan mengecil seandainya mencoba memulai debat argumen lagi denganku.
    Setelah itu, aku menghela nafas lelah. 'Mungkin sekarang aku sudah bisa tidur'. Ketika aku berpikir demikian, dia mulai berbicara lagi...
    "Oh, benar juga. Ngomong-ngomong, apa kau sudah makan?" tiba-tiba, dia menanyakan itu.
    "Kenapa kau menanyakannya? Apakah ini ada hubungannya dengan kesepakatan tadi sore?" Tanyaku dengan enggan.
    "Bisakah kau menunggu sebentar." Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung masuk kedalam.
    Kemudian, setelah menunggunya selama sepuluh detik memastikan bahwa dia tidak kembali lagi, tanpa berpikir panjang aku juga masuk kedalam.
    "Kurasa aku akan langsung tidur saja." Ketika aku berpikir demikian sambil berjalan ke arah kamar, tiba-tiba suara bel dari luar berbunyi. Untuk beberapa alasan, aku sudah bisa menebak siapa yang membunyikannya. Lalu, saat aku menuju ke depan pintu dengan menghela nafas berat, aku membuka pintunya. Seperti yang kuduga, dialah yang datang.
    "Kupikir... aku tidak bisa memakan habis semua ini sendirian," dia mengatakannya sambil membawa sup sayur yang ditaruh didalam sebuah kotak transparan.
    "Anggap saja ini bentuk terimakasih karena sudah mendengarkan ceritaku tadi," lanjutnya.
    "Kurasa ini terlalu mewah untuk disebut 'bentuk terimakasih'," kataku, menyangkalnya.
    "Kalau begitu terimalah sebagai bentuk kesepakatan tadi sore," katanya, bersikeras memberikannya dengan agak cemberut.
    "Ujung-ujungnya memang begitu ya," kataku, terpaksa menerimanya.
    "Kau bisa mengembalikannya besok, dah." Setelah berkata demikian, seenaknya dia berbalik pergi kembali ke ruangannya yang ada di sebelah—meninggalkanku begitu saja dengan pemberiannya.
    "Padahal aku baru saja akan tidur."
    Setelahnya, aku menutup kembali pintu, kemudian menuju ke dapur dan berniat untuk langsung memakan sup sayur yang sudah diberikannya. Namun... aku baru teringat jika saat ini tidak sedang menanak nasi.
    "Entah mengapa situasi ini membuatku teringat dengan sesuatu."
    Sekilas, perasaan yang ingin kulupakan tiba-tiba muncul—terngiang di dalam kepalaku dan sepertinya akan mengganggu tidurku pada malam hari ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sendiri diantara kita
791      497     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Kenapa Harus Menikah?
78      72     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
In Her Place
720      485     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...