Apa lagi yang harus dikatakan Anis pada Sakti, pria itu terus saja membujuknya untuk pergi. Ia tahu ini adalah weekend, dan sudah waktunya juga ia menetaskan pikiran dengan hal-hal yang baru. Agar tidak melulu itu-itu saja, Galih, Galih dan Galih.
Kenapa selalu nama itu yang muncul dalam otak Anis belakangan ini. Ia bahkan belum mau menceritakan apa pun soal pertemuannya dengan Galih kepada ayahnya. Anwar memang tidak akan marah atau pun protes, tapi membatasinya dengan ceramah-ceramah umum sudah pasti akan Anis dapatkan.
Sudah hampir satu jam Sakti menunggunya di ruang tengah. Menghabiskan waktu menunggu urusan pribadi wanita. Menemani Fajar bermain play station di spot khusus boy.
"Kenapa perempuan selalu lama kalau berdandan? Padahal aku cuma mau ngajak dia nonton event downhill, dia 'kan nggak perlu dandan habis-habisan. Toh juga nanti berkeringat," Sakti bergumam sambil matanya fokus pada layar TV. Fajar hanya tersenyum mendengarkan. Sedikit berkomentar.
"Tidur kali bukan dandan. Coba cek dulu di kamarnya," Fajar menyarankan.
"Aku udah siap!" Suara Anis tiba-tiba menyela. Ia mengenakan sweater-nya lantas mengambil tas tangannya.
Sakti meletakkan konsol yang sedari tadi ia mainkan. Beralih pada Anis yang lebih menarik untuk di tanggapi. "Aku pikir kamu tidur di kamar. Lama banget."
"Cepatlah berangkat, supaya kita bisa cepat pulang."
Sakti pun menuntun Anis ke dalam mobil Jeep miliknya dan membukakan pintu untuk gadis itu hingga ia duduk manis. Kini mereka telah berada di dalam mobil dan melaju tanpa harus menunggu apa-apa lagi.
"Kamu yakin kita cuma pergi berdua? Teman-teman kamu?" Anis membenahi rambut panjangnya yang tergerai agar lebih rapi.
"Mereka udah nungguin kita di sana," jawab Sakti seraya fokus pada lajur jalan.
"Bilang ke mereka untuk menyisakan tempat strategis buat kita."
"Sudah siap, Tuan Putri. Itu adalah hal yang paling pertama kulakukan. Memberikan tempat ternyaman buat kamu." Sakti tersenyum di sisi Anis. Paras yang tampak senang itu pun menerawang ekspresi Anis yang tidak semenyenangkan yang ia pikirkan.
Beberapa hari ini memang Anis tampak berbeda sebagaimana biasanya. Ia lebih sering murung, gusar dan sedikit beraktifitas di luar. Sakti tak pernah tahu apa yang menyebabkan Anis berbeda, ia ingin bertanya, tapi bertanya pada Anis adalah hal yang sulit dilakukan. Bisa jadi ia tidak akan memperoleh jawaban apa pun.
Hanya butuh waktu beberapa jam untuk bisa sampai di tempat yang mereka tuju. Anis berusaha seceria mungkin saat Sakti menggandeng tangannya masuk ke area event. Sakti sering mengajak Anis ke tempat pertandingan seperti ini. Terkadang balap motor trail, balap off road, dan kini Sakti mengajaknya untuk menyaksikan balap sepeda downhill. Anis suka setiap kali Sakti mengajaknya ke tempat seperti ini, dia merasa lebih aktif dan bertemu dengan teman-teman Sakti yang ramah dan hebat adalah sebuah rutinitas yang jarang ia dapatkan sebelumnya.
Suara musik R&B menggelora hampir ke seluruh penjuru arena. Bukit-bukit tinggi dan jalanan terjal berkelok menjadi sebuah pemandangan menarik untuk menguji adrenalin. Sakti membawanya ke sebuah tempat paling strategis untuk menonton. Teman-teman Sakti berjumlah lima orang sudah berada di sana. Berdiri berkelompok dan sebagian berpencar mengurus klub mereka. Dari posisi mereka berdiri, maka seluruh arena bisa terlihat lebih luas, dari garis start hingga finish.
"Duduklah di sini." Sakti mengambilkan Anis sebuah kursi plastik. Agar ia tidak mudah kelelahan.
"Makasih," balas Anis memposisikan dirinya senyaman mungkin.
Ia menggelindingkan pandangannya ke seluruh penjuru arena. Mencari siapa kira-kira pemain yang akan dijadikanya jagoan. Beberapa peserta dengan jersey warna warni tampak sama di mata Anis. Ia tidak kenal satu pun di antara mereka. Lalu bagaimana caranya ia mencari jagoan. Ia masih menelisik satu per satu peserta, hingga matanya berhenti pada satu orang. Bukan peserta, tapi seseorang yang ia kenal.
Itu Nouvie, teman semasa SMA Sita yang dulu cukup akrab juga dengannya. Seketika ia pun ingat, bahwa Nouvie punya adik seorang atlet wanita pemain downhill. Ia lupa siapa nama adiknya, sejauh yang dia ingat terakhir kali ia bertemu Nouvie saat tiga tahun yang lalu, saat ia dan Sita masih sangat dekat, Nouvie bahkan penah menginap di rumahnya bersama Sita. Kini jarak tempat mereka menonton hanyalah dua puluh meter, kalaupun Anis memanggilnya, Nouvie pasti bisa dengar.
"Kamu cari siapa?" Sakti bertanya ketika mendapati Anis celingak celinguk mencari seseorang.
"Itu ... Kamu kenal sama peserta perempuan yang itu, nggak?" Anis menunjuk pemain wanita berpostur tinggi dan berkulit putih, memakai jersey warna merah, berdiri dekat di sebelah Nouvie.
Sakti mengikuti arah petunjuk Anis, lantas mengangguk mengerti. "Oh ... itu Almira Freddie, itu yang mau aku kasih tau ke kamu. Dia itu atlet kelas elite women terbaik, dan dia hampir nggak pernah kalah. Kalau kamu cari jagoan, dia paling pantas. Mereka memanggilnya The Lady Hammer."
Anis mengerutkan dahinya dan mengangguk ringan. Matanya masih belum bisa lepas dari Nouvie. dan itu membuat Sakti kembali bertanya. "Memangnya kamu kenal dia?"
"Aku kenal kakaknya. Namanya Nouvie, yang berdiri di sebelahnya pakai kaos warna biru muda dan topi putih," Anis menerangkan.
"Oh ya? Kalau gitu kenapa nggak panggil aja?"
"Kelihatanyya mereka masih sibuk banget, aku jadi enggan." Itu hanya alasan Anis saja. Ia hanya menginformasikan, bukan ada niat untuk mengobrol apapun dengan teman bekas sahabatnya itu. Karena mungkin akan sangat canggung nantinya.
"Okey, biar aku yang panggilin."
Sakti merangsek dari posisi semula lantas berjalan menghampiri Nouvie tanpa persetujuan Anis. Tak bisa di cegah. Daripada ia hanya duduk diam di situ, sebaiknya ikut bersama Sakti mendekati Nouvie. Tidak elok rasanya jika ia membuang waktu Nouvie yang sedang serius mengurus persiapan adiknya hanya untuk menghampiri dirinya.
Dari jarak sekian meter, Anis bisa melihat Sakti menepuk punggung Nouvie lalu berbicara sesuatu pada Nouvie hingga matanya bertabrakan dengan mata Anis. Semringah Anis pun lekas menghambur ke dalam pelukan Nouvie.
"Anissa! Ya ampun, apa kabar?" sapa Nouvie hangat.
Anis melerai pelukannya setelah itu lalu tersenyum lugas. "Kaya yang kamu lihat. Aku baik-baik aja."
Nouvie menelisik pandangannya, memastikan bahwa wanita yang dia peluk saat ini benar-benar Anis. Barangkali kabar dua tahun yang lalu menjadi alasan mengapa Anis menghilang dari peredaran selama ini.
"Anis aku dengar kabar terakhirmu dan itu—" Nouvie menggelengkan kepalanya ragu. "Ya Tuhan, semua teman-teman bilang kamu udah—" Ia tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Aku hanya menghilang, Vi. Bersemedi," sambungnya gurau.
"Ohh ... my God! Aku masih nggak percaya, loh." Nouvie melompat ringan lantaran senang. Mungkin dia adalah orang pertama yang bertemu dengan Anis dalam daftar pertemanan mereka. "Ceritain ke aku apa yang kamu lakuin selama ini. Aku pengen dengar semua ceritamu."
"Hmm ... boleh kenalin aku sama adikmu yang katanya atlet terbaik?" Sebenarnya Anis hanya mengalihkan pertanyaan Nouvie. Itu sebabnya ia tak pernah ingin bertemu dengan teman lama, akan ada banyak pertanyaan yang berdatangan tentang hidupnya. Anis sejenis makhluk yang tertutup, menceritakan masa lalu sama dengan membuka luka lama. Nostalgia pahit.
Syukur saja Nouvie mau menuruti permintaan Anis kemudian memperkenalkan teman lamanya itu dengan Almira. Anis pun melakukan hal yang sama. Memperkenalkan Sakti pada Nouvie dan Almira. Setelah menyadari bahwa wanita pujaannya itu butuh waktu dengan teman lama, Saktipun pergi beralih dengan teman-temannya. Meninggalkan Anis bersama Nouvie. Dua puluh lima menit lagi adalah giliran Almira unjuk gigi. Anis dan Nouvie masih berdiri di posisi semula, mengobrol ringan dan sesekali diam. Anis berusaha untuk tidak terjebak dalam pembicaraan berat, ia melulu bertanya mengenai kehidupan Nouvie. Dan ia berhasil.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3