Aku menghela nafas berat sembari menatap tetes air hujan dari balik jendela kamar. Perlahan mataku terpejam, menghirup aroma air hujan yang mampu membuatku sedikit tenang.
Pikiranku memang sedang kacau, sudah satu bulan ini banyak sekali masalah yang menimpa, baik dari kantor hingga orang terdekat.
Dan yang paling parah dan membuatku terpuruk adalah saat aku harus menerima kenyataan bahwa sahabatku sendiri mengkhianatiku.
Well, sebenarnya bukan hal yang tabu bila kita mempunyai sahabat dekat yang berlainan jenis pasti akan ada saat dimana sebuah perasaan yang lebih akan muncul. Yap, perasaan yang kumaksud adalah cinta.
Tidak, masalah yang kuhadapi tidak se-simple yang biasa dialami oleh remaja jaman sekarang , jika sebatas masalah perasaan yang biasa antar sahabat menjadi cinta maka pemecahaannya tidak akan terlalu rumit.
Tapi ini soal janji dan harga diri, bagaimana rasanya ketika kau sudah terlanjur bertunangan dengan sahabatmu dan disaat hari pernikahanmu akan berlangsung, sahabatmu dengan gampangnya membatalkan rencana itu dengan alasan yang tak masuk akal, perih,bukan?
Ya! itu yang tengah kurasakan.
Bagai ditusuk ribuan belati tajam menghujam tepat pada jantungku kala sahabatku sendiri pergi saat kami akan melangsungkan pernikahan yang tinggal menghitung hari.
Alasannya sangat klise, teman kecilnya tiba-tiba datang menemuinya dan mengancam akan bunuh diri jika sahabatku tetap menikah denganku, tak masuk akal bukan? Dan yang paling membuatku terpukul adalah kenyataan dimana Dion - sahabatku lebih memilih perempuan itu dibanding denganku.
Miris memang, keputusan Dion untuk membatalkan pernikahan kami membuat segalanya hancur.
Pernikahan impian yang tinggal selangkah di depan mata kini berubah menjadi butiran debu tak bermakna.
Bodohnya, saat itu aku bahkan tak bisa memaksa Dion agar tetap berada disisiku. Lidahku rasanya kelu untuk sekedar memohon agar pria itu tetap tinggal. Dan akhirnya aku hanya mampu menatap kosong kepergian dua insan tak berhati itu.
Aku kini hanya bisa pasrah menikmati permainan takdir.
Rasanya aku tak lagi memiliki semangat untuk hidup, segala hal yang telah aku rencanakan dan seluruh harapanku pupus sudah.
Dan hal yang paling menyiksa sampai saat ini adalah karena aku masih terus memikirkan Dion, sosok lembut itu masih terasa nyata untukku.
Sangat sulit rasanya melupakan Dion yang sudah sejak lama menghiasi hari-hariku.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.
"Vana, sudah tidur? Ini ada yang nyariin kamu," suara Mama terdengar dari balik pintu.
"Belum, Ma. Siapa?"
Aku mengerutkan alis,rasa penasaran langsung menyelimutiku.
Semenjak kejadian itu aku memang jarang berinteraksi dengan orang luar, bahkan dengan Mama sekalipun.
Keluar kamar hanya untuk berkerja dan saat makan saja.
Siapa orang ini?
"Udah, cepetan turun! Mama tunggu di bawah, " ucap mama sambil berlalu karena aku mendengar langkah kakinya menjauh dari kamar.
Mamaku adalah tipe orang yang tidak bisa dibantah. Sedikit enggan aku lalu beranjak menuju cermin, mulai menyisir rambutku yang berantakan serta merapikan bajuku yang tampak kusut. Usai mematut diri, aku lalu turun menuju ruang tamu.
Aku melangkah dengan lambat, jujur saja aku masih malas untuk bertemu dengan siapapun.
Lagi pula kenapa ada yang bertamu malam-malam begini? Sangat tidak sopan.
Namun ketika sampai di ruang tamu, mataku membulat sempurna saat aku melihat sosok pria yang tengah duduk di sofa bersama Mamaku. Mereka berdua tengah terlibat perbincangan hangat sampai tak menyadari kehadiranku. Aku mengerjapkan mata, memastikan pengelihatanku tidak salah.
Refleks, aku langsung berlari menerjang pria itu dan memeluknya dengan sangat erat.
"Aldiiiiii! Ya ampun! Demi apa lo di sini? Gilaaa! Gue kangen bangeet sama, lo, sumpah !"
Jeritku histeris, memang sejak lama aku sangat merindukan pria dalam dekapanku saat ini. Bahkan aku tak mempedulikan Mama yang melihatku dengan tatapan geli.
"Lep-lepasin oi! Se-saak !" ucap Aldi dengan susah payah.
Aku terkekeh lalu merenggangkan pelukkanku, sedikit kasihan juga mendengar suara Aldi yang tercekat.
"Hehehe, sorry. Eh, lo kapan pulang, Di? Jahat ish, gak kasih tau gue dulu, " aku memasang ekspresi merajuk namun masih dalam posisi memeluk Aldi.
Ku dengar Aldi mendengus, seolah kesal mendengar ucapanku barusan.
"Lah lebih jahatan mana coba sama lo yang tiba-tiba ngirim undangan pernikahan lo sama Dion waktu gue masih di London?" ujarnya kemudian, "Padahal kalian itu sohib gue! Gue bahkan gak tahu kapan kalian jadian, trus tiba-tiba kalian nikah dan ngadain pesta tanpa gue ? Oh-shit! gue terlupakan, " lanjutnya dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
Mendengar itu, aku langsung mengendurkan pelukkanku, menelan ludah susah payah akibat tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering.
Aku bergeming, tapi Aldi seolah tak terlalu peduli dan masih berbicara panjang lebar.
"O iya, Dion mana, Van ? Bakalan gue jitak tuh anak. Kabar kalau kalian bakalan nikah tuh hampir bikin gue loncat dari gedung saking girangnya, gila... "
Aku sudah tidak menggubris kelanjutan ocehan Aldi. Rasa sakit hati yang susah payah ku pendam kini kembali muncul ke permukaan akibat ucapan Aldi barusan.
Ketika Aldi menyadari akan perubahan gesture tubuhku, ia langsung menghentikan celotehnya.
Tanpa sadar aku sudah melepaskan pelukkanku, lalu tanpa mengucap apapun aku bangkit dan melangkah cepat meninggalkan Aldi menuju kamar.
"Eh, eh, Van, tunggu! Kenapa sih? Vana, tunggu ! " Aldi berusaha mengejarku,tapi aku semakin melebarkan langkah.
BRAK!
Aku membanting pintu kamar sangat keras, tak mempedulikan Aldi yang tengah berteriak-teriak dari balik pintu untuk meminta penjelasan. Aku tak mampu bicara padanya sekarang, karena kini derai air mata sukses membanjiri wajahku.
***
Sejak malam itu, aku kembali mengurung diri dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun bahkan dengan Aldi.
Aku tahu Aldi tidaklah salah, namun saat ia mengungkit tentang Dion hal itu membuatku sesak.
Anggap saja aku kekanakkan, yang pasti jika teringat Dion membuat moodku rusak.
Aldi terus mendesak agar aku menceritakan semuanya. Aku sangat risih, berulangkali ia meneleponku dan memberondong dengan banyak pesan saat aku mengacuhkan teleponnya.
Aldi memang tipikal orang yang pantang menyerah, aku paham itu.
Sejak mengenalnya dan Dion di bangku SMP, kami bertiga selalu bersama hingga lulus SMA.
Dan kebiasaan Aldi, pantang baginya meninggalkanku dalam keadaan terpuruk seperti saat ini. Pria itu pasti akan selalu mendesakku untuk bercerita, atau paling tidak ia selalu rela aku melampiaskan emosiku padanya agar ia tak lagi merasa khawatir karena kesedihanku.
Dan tak ku sangka, sosok yang beberapa hari ini sangat gigih menerorku itu kini telah berdiri tegap di hadapanku.
Dia tersenyum manis namun disertai dengan tatapan tajam,membuatku menunduk saat netra kami tak sengaja bertemu.
Entah bagaimana cara Aldi masuk ke kamarku tanpa sepengetahuanku. Mungkin pria konyol itu masuk lewat jendela kamar.
"Astaga, Aldi, lo apa-apaan coba! " teriakku dengan keras namun masih takut untuk menatapnya.
Pria itu masih berdiri dengan gagah sambil kedua tangan terlipat di depan dada.
"Gue cuman pengen ngobrol sama lo,"
Aku menggeleng kuat.
"Keluar dari kamar gue, Di!"
"Gak! Kenapa sih menghindar terus dari gue ?" tersirat nada putus asa dari suara Aldi.
Aku mundur perlahan saat Aldi perlahan maju dan mengikis jarak diantara kami.
"Keluar, Di!"
Aku mencoba mengusirnya. Sungguh bukan bermaksud jahat, aku hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan Aldi.
"GAK AKAN !"
Suara bass itu membuatku seketika bungkam,bulu kudukku meremang kala kilatan amarah terpancar pada mata Aldi.
"Gue gak ngehindarin lo, jadi tolong keluar dari sini, Di, " pintaku sehalus mungkin, mencoba agar tak ikut terbawa emosi.
Aku mulai melunak, tapi salahkan egoku yang masih enggan untuk berdamai.
Bukannya aku membenci Aldi, tapi jika kembali mengungkit masa perih itu akan membuatku semakin tersiksa.
"Oke gue bakal pergi, tapi please, jangan kaya gini, Van. Bikin gue frustasi,"
Aldi terus melangkah mendekatiku,namun aksi mundurku terhenti karena tersudut oleh tembok dan berakhir dalam kungkungan badan besar milik Aldi.
Aku semakin menunduk, tak ingin menatap mata hazel milik Aldi yang tengah menatap lekat manik mataku.
"Gue udah tau," ujarnya.
Aku terperanjat saat tiba-tiba Aldi menangkupkan kedua tangannya pada pipiku, lalu mendongakkan wajahku agar menatapnya.
"Tapi tolong jangan hindarin gue, Van. Gue tau lo saat ini butuh sandaran, dan gue bakal siap jadi sandaran itu. Kita temen kan? Udah jadi tugas gue buat hibur lo saat terpuruk kaya gini," ujarnya.
"Ke-kenapa ?" jawabku sedikit tercekat.
"Kenapa lo peduli sama gue?" ulangku.
"Apa salahnya? Gue sahabat lo, Van ! Gue gak bakal maafin diri gue sendiri kalo lo kenapa-napa cuman gara-gara Dion brengsek itu !" ucap Aldi emosi.
Aku diam sejenak, menghela nafas berat sebelum akhirnya bersuara.
"Tinggalin gue sendiri, Di, " aku kembali memohon pada Aldi. Tak peduli jika Aldi akan mengamuk karena penolakkanku. Sungguh rasa sesak itu semakin menjadi-jadi saat nama Dion terucap dari mulut Aldi.
"Enggak, gue bakal tetep disini, "
"Aldi, please, keluar,"
"Gak akan! Lo ngusir gue ?"
Aku mengangguk tanpa suara.
"Gue cinta sama lo,Van! Kenapa lo gak ngerti juga!"
Mendengar ucapan Aldi barusan,jantungku rasanya berdesir aneh.
"Hah ?"
Tiba-tiba Aldi merengkuh tubuhku,membawaku tubuh mungilku ke dalam dekapannya.
Rasanya sangat nyaman saat Aldi mengelus pelan punggungku. Lalu sekian detik kemudian pria itu menyandarkan dagunya pada bahuku serta mempererat pelukkannya hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat pada leherku.
Aku juga mendengar jantungnya berdebar tak karuan, seolah tengah berlomba dengan detak jantungku yang sama debarannya.
"Kalo lo ngerasa hidup lo udah gak berguna, lo salah besar." Aldi kembali bersuara, nada suaranya perlahan melembut.
Aku terdiam, bingung terhadap perlakuan Aldi padaku.
"Lo tau alasan gue pulang ?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
"Itu karena lo!"
Aku terkejut mendengar penuturan Aldi. Dia pulang karena aku?
"Gue di sini karena lo. Alesan gue maksa pulang dari London karena gue denger kabar dari temen-temen soal pernikahan lo sama Dion yang batal. Gue awalnya gak percaya dan pengen mastiin kabar itu sendiri. Dan ternyata Dion emang berengsek, gue udah ngasih kesempatan dia buat bikin lo bahagia, tapi dia malah ngancurin kepercayaan gue,"
Kata kata Aldi membuat hatiku kembali bergejolak hebat. Aldi melepas pelukannya dan beralih menatapku lekat dan tangannya kini berada di kedua bahuhu.
"Di, gu- "
"Dengerin gue ! " potong Aldi.
"Gue sedih denger semuanya. Sekarang yang gue pengen lo bisa bahagia dan ceria kaya dulu. Bagi duka yang lo rasain itu sama gue, Van.Gue bakal bikin lo lupa sama sakit hati yang lo rasain. Gue bakalan hapus semua luka dalam diri lo,"
Semua ucapan Aldi sukses membuatku mematung di tempatku saat ini.
"Lo tahu kenapa? Karena gue cinta sama lo. Sejak kita masih belum saling kenal gue udah jatuh cinta sama lo," akunya.
Aku ingin membuka mulut namun ia kembali bersuara.
"Awalnya gue gak paham apa itu arti cinta. Tapi liat senyuman lo dari jauh itu bikin gue ikut senyum dan akhirnya gue beraniin diri buat kenalan sama lo," Aldi menghela nafas, " lalu kita deket, dan pas awal kelas dua SMP Dion masuk di antara kita. Gue biasa aja awalnya, tapi saat gue tau lo dan Dion saling suka,akhirnya gue pilih mundur." jelasnya.
"Di.."
"Anggap gue pengecut, tapi alesan gue mundur karena gue mikir, gue pengen liat lo bahagia sama pilihan lo meski itu bukan gue," ia jeda sejenak, menghirup udara yang ada di sekitarnya.
"Tapi gue nyesel ikhlasin lo buat Dion. Gue kecewa, dia gak jaga amanah gue dengan baik. Berengsek memang."
"Jangan kaya gini terus, Van, lo harus bangkit. Kasihan Mama lo yang tiap hari sedih mikirin lo yang kehilangan semangat hidup kaya gini. Lupain Dion, oke? Karna di matanya, lo udah gak berarti apa-apa. Dan lo juga harus lakuin hal yang sama." tambahnya.
Aku menggangguk serta terisak, dan sepersekian detik kemudian Aldi kembali merengkuhku dalam dekapannya.
Tangisku akhirnya pecah. Bukan tangisan karena kesedihan, tapi karena semua ketulusan Aldi terhadapku.
Ya Tuhan, mengapa baru sekarang aku menyadarinya?
Aldi yang selalu ada untukku, selalu memberi semangat padaku agar tetap bangkit menjalani kehidupanku. Aldi yang tak pernah egois dan tak pernah memaksakan kehendaknya padaku.
Terima kasih Tuhan, Engkau memberiku rasa yang seimbang. Rasa sakit yang ku dapat setara dengan kebahagiaan yang kurasakan saat ini..
Entah bagaimana caraku berterimakasih untuk semua ini, tapi yang pasti aku paham, Engkau Yang Maha Adil dalam segala hal di dunia ini...
••
βββ
@Arjun_Toraya : Enggak dong π