Setiap pagi, rumah itu sunyi dengan caranya sendiri. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena suara-suara yang terdengar hanya rutinitas seperti langkah kaki, air keran, sendok membentur piring, suara ibu menghela napas saat menyikat lantai. Selebihnya, diam. Diam yang bukan damai. Tapi diam yang mengikat.
“Ibu berangkat dulu!” teriak ibunya sambil memasukkan sandal ke kakinya. Tangannya sibuk merapikan kerudung, wajahnya berminyak oleh matahari pagi yang belum terlalu tinggi.
“Jangan lupa sapu teras, jemur cucian, terus masak nasi. Ayah pulang sore nanti,” tambahnya cepat-cepat.
“Iya, Ma,” jawab Sena dari dalam.
Ibu keluar, pintu ditutup agak keras. Deritannya seperti pengingat bahwa ia sendiri lagi.
Sena menunggu sampai suara langkah ibunya hilang. Ia berdiri di balik pintu kamar, mendengarkan dunia luar seperti anak kecil mencuri dengar. Sepi. Ia menarik napas, lalu dengan cepat menyibak bantal, menarik keluar buku catatan yang selalu disembunyikan, dan pensil yang diletakan begitu saja ke balik lemari.
Ia duduk di lantai, menghadap jendela.
Lembar pertama sudah penuh. Lembar kedua, ketiga juga semuanya tentang tokoh fiksi yang ia ciptakan. Gadis pemberani yang kabur dari rumah, pemuda yang menyusuri gunung demi menemukan cahaya yang hilang. Di dalam tulisannya, ia bisa menciptakan apa saja. Di luar tulisan itu, ia bahkan tak bisa menciptakan satu pilihan pun untuk dirinya sendiri.
Tangannya menari, menulis dialog demi dialog, adegan demi adegan. Di dunia imajinasi, ia tidak dipanggil ‘perempuan bodoh’ atau ‘pemalas.’ Ia adalah penulis, pengelana, manusia bebas.
Namun sesekali, suara realitas menyelinap masuk, detak jam dinding, bunyi motor tetangga, tawa anak-anak sekolah yang pulang lebih awal. Dan di sela semua itu, ada bisikan yang paling menakutkan: “Apa gunanya kamu menulis, kalau tetap di rumah seumur hidupmu?”
Sena berhenti menulis sejenak. Ia menatap jendela. Di balik kaca itu, dunia terlihat seperti film tanpa suara. Jalan kecil yang membelah perumahan, daun-daun yang diterbangkan angin, langit cerah yang tak bisa dijamah.
Tangannya mengepal memandang semua itu.
“Aku ingin ke luar …,” bisiknya. “Aku ingin, setidaknya bisa melihat sesuatu yang nyata .…”
Tetapi semua ‘ingin’ hanya berakhir pada dinding-dinding rumah itu. Ibunya tak pernah membolehkan ia ke luar rumah tanpa alasan yang jelas. “Perempuan baik-baik itu cukup di rumah. Dunia di luar bukan untuk kamu.” Kalimat itu telah ia hafal seperti doa. Diulang terus sampai terasa seperti kebenaran.
Dan Ayahnya pun tak pernah menentang, selalu sama. Duduk saja di kursi ruang tamu, membaca koran, menyelesaikan kopi. Ayahnya tak pernah berkata apa-apa soal mimpinya, tapi tak juga membelanya. Kadang, selalu timbul perasaan iri saat Sena melihat anak lain yang bisa berbicara dengan jujur pada ayahnya Mengenai mimpi, keresahan dan bertukar pikiran yang membuatnya lega atas apa yang memenuhi pikirannya.
Sena kembali menulis. Kali ini lebih keras, lebih dalam maknanya. Tulisan itu menjadi teriakan yang tak terdengar. Di halaman berikutnya, ia menuliskan.
“Seseorang yang tak pernah dibiarkan memilih, akhirnya hanya bisa diam. Tapi diam bukan berarti setuju. Diam bukan berarti berhenti.”
Sena terus menulis hingga senja merayap ke jendela kamarnya. Itu satu-satunya cara untuk tetap bernapas di rumah yang terlalu sempit untuk suara hatinya. Ia pernah mencoba keluar diam-diam, sekali saja, ketika temannya datang menjemput untuk sekadar mengajaknya berjalan-jalan ke kota. Ia ingin melihat dunia di luar pagar rumah, dan hari itu, ia merasa sedikit lebih hidup.
Namun, ketika sore menjelang dan ia pulang, rumah telah berubah menjadi lautan sunyi. Tidak ada suara, hanya keheningan yang menggantung tajam di udara. Ibunya tak berkata apa-apa, tapi tatapannya menusuk seperti pisau yang mengendap-endap mencari luka.
Sena sempat berpikir kemarahan mereka hanya akan berhenti di situ. Tapi ia salah. Semuanya meledak saat makan malam. Saat nasi belum sempat benar-benar ditelan, saat tangan masih menggenggam sendok, saat hatinya belum bersiap. Ibu meletakkan sendoknya dengan suara nyaring, seperti sengaja. Lalu berkata dengan nada yang dingin, tapi sarat akan emosi yang tajam.
“Kamu pikir hidup ini bisa sesukamu? Keluar tanpa izin, main ke kota sama siapa entah. Kamu itu perempuan, Sena!”
Sena terdiam, sendok di tangannya gemetar pelan. Ia menunduk tak berani menatap wajah kedua orang tuanya yang sudah bisa dia pastikan tengah menatapnya tajam.
“Mau jadi apa kamu nanti, hah?” Ibu melanjutkan, matanya tak lepas dari wajah Sena. “Udah syukur kamu bisa makan di sini, tinggal di rumah ini! Apa kamu pikir mimpimu itu bisa bikin kamu bertahan hidup?”
Ayah tetap diam, hanya menatap piringnya, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Sena ingin membalas, ingin menjelaskan, tapi mulutnya kelu. Nasi yang tadi hangat kini seperti batu di tenggorokan. Dan saat matanya mulai memanas, ia menunduk lebih dalam guna berusaha menelan semuanya, sekaligus menahan segalanya.
Percayalah, menahan tangis saat makan adalah salah satu cara paling menyakitkan untuk tetap terlihat kuat. Dan bukan sekali dua kali kejadian seperti ini saat makan.
***
Sinar matahari turun pelan-pelan, menggoreskan cahaya oranye ke lantai kamar. Bayangannya memanjang, menyapu tumpukan kertas yang berserakan. Sena tidak sadar waktu. Tak mendengar suara sepeda motor tetangga. Tak menyadari suara pintu dibuka dari luar.
“Apa ini?” tanya suara berat dari belakang.
Sena menoleh. Ayahnya berdiri di ambang pintu, mata tajamnya menatap lurus ke arah kertas-kertas penuh tulisan. Beberapa bahkan tertiup angin kipas, terbuka begitu saja—menampakkan baris mimpi yang belum sempat disimpan.
“Maaf, Pa. Aku cuma nulis .…”
Ayah berjalan pelan masuk ke kamar. Sepatunya menyentuh salah satu lembar kertas.
“Bukanya Ibu sudah bilang? Kamu itu perempuan. Tugasmu bukan begini.”
Sena menahan napas, lalu duduk tegak. Suaranya lirih tapi tajam.
“Lalu … tugasku apa, Pa? Hanya duduk? Menunggu waktu habis? Menunggu orang datang melamar lalu menyerahkan hidupku begitu saja?” tanya Sena dengan suara tercekat sakit.
Ayah mendengus mendengar itu, lalu mengangkat satu kertas dan menatapnya sekilas seperti sampah yang nyasar. Seakan mimpi anaknya hanya sebatas hal yang tak pantas untuk di sebut mimpi.
“Kerja keras bukan soal mimpi, Sen. Kamu itu perempuan. Keluar rumah, hidup sendiri, kerja entah dimana, itu bukan jalurmu.”
“Kenapa bukan?” Sena bangkit berdiri. Tubuhnya gemetar, tapi matanya tak mundur. “Aku bisa kerja. Bisa hidup sendiri. Aku nggak minta apa-apa. Aku cuma ingin mencoba berdiri dengan kakiku sendiri. Apa itu salah?”
Ayah diam. Mulutnya tertarik ke samping, menahan kemarahan yang selama ini tertahan melihat sifat anak perempuanya.
“Kamu mau jadi apa di luar sana? Dikerjai orang? Dilecehkan? Dunia itu nggak sebaik yang kamu kira, Sena.”
Sena tersenyum miris, lagi-lagi seperti itu. Dunia jahat, dan dirinya tidak akan sanggup hidup sendirian di luar sana. “Justru karena itu aku harus kuat. Harus belajar. Harus keluar dan tahu rasanya gagal dan jatuh, bukan terus disimpan di balik pintu dan disuruh diam!”
Ayah mendekat. Nafasnya mulai memburu. “Kamu itu keras kepala dari dulu!” bentaknya dengan tatapan tajam menusuk relung terdalam Sena yang kembali hancur untuk kesekian kalinya lagi.
“Kalau aku diam, siapa yang akan dengar suaraku?” balas Sena, suaranya kini meninggi. “Aku mau kerja, Pa! Aku mau keluar! Aku nggak mau hidup ini cuma jadi pengisi waktu sampai menikah. Aku punya mimpi. Aku ingin menulis, ingin melihat dunia dengan mata sendiri, bukan cuma dari cerita Ibu atau berita di televisi!”
Ayah tak menjawab. Ia hanya menatap Sena lama, lalu meletakkan kertas itu di meja dengan pelan, seperti mengakhiri sesuatu yang bahkan belum dimulai.
“Terserah kamu.” katanya akhirnya, dingin. “Tapi jangan minta kami ada kalau kamu jatuh.”
Setelah mengatakan itu ayah berbalik, melangkah keluar, meninggalkan pintu kamar yang terbuka.
Angin sore masuk perlahan dari jendela. Sena berdiri di sana, tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena akhirnya ia berani walau perdebatan itu tak menghasilkan apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya, ia bicara bukan untuk didengar, tapi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tetap akan pergi.
***
Malam datang diam-diam, bersama lelah yang menempel di tubuh ibunya. Bau deterjen dan peluh masih melekat di baju kerja yang belum sempat diganti. Tanpa banyak bicara, Sena segera mengambilkan air hangat untuk merendam kaki ibunya. Tak ada percakapan. Tapi keheningan mereka lebih jujur dari ribuan kata dan di dalamnya, Sena sadar, sekeras apapun ia berusaha, sebesar apapun waktunya dicurahkan untuk rumah ini, ia tetap terasa tak utuh.
Malam itu berlalu seperti biasa. Makan malam yang sunyi, diselingi keluhan ibunya tentang tubuh yang pegal, dan suara ayahnya yang mengeluh entah karena apa. Ayah memang jarang bercerita. Pekerjaannya pun selalu berubah, tidak pasti, kadang jadi tukang ojek, kadang kuli bangunan, atau terkadang hanya diam di rumah seharian. Tapi Sena tak pernah malu. Baginya, pekerjaan apa pun tetap mulia selama dikerjakan dengan niat yang bersih.
Yang ia harapkan sederhana, bisa membantu. Tak apa tak kuliah seperti teman-temannya sekarang, tak apa tak ikut mengejar ijazah yang mahal. Asal bisa mandiri, bisa meringankan beban rumah ini. Tapi setiap kali keinginan itu diucapkan, jawabannya selalu sama—sebuah larangan yang seolah sudah digariskan sejak lama. Seolah karena ia perempuan, karena ia anak, maka tak punya hak untuk memilih jalan hidup sendiri.
Dan malam itu hanya di tutup dengan tlisan di kertas yang penuh air mata Sena, dan tidur dengan keheningan yang menyakitkan.
***
Keesokan harinya, ia kembali menulis. Dan keesokan harinya lagi. Setiap pagi yang sepi adalah kesempatan baginya untuk mencipta, merangkai dunia fiksi yang tidak bisa dia dapatkan di dunia ini. Tetapi hari demi hari, ia merasakan sesuatu dalam dirinya terkikis. Bukan karena kehilangan semangat, tapi karena tak ada ruang untuk menaruh semangat itu. Bahkan jendela pun hanya bisa memperlihatkan dunia, bukan membawanya ke sana.
Sampai suatu malam yang dingin dan sepi, setelah semua tertidur, ia berdiri di depan jendela, menatap bulan. Ia berbicara pada bayangannya sendiri.
“Dunia ini tak membuka pintu untukku. Tapi aku tetap akan mengetuk. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti. Tapi aku akan terus mengetuk. Sampai ada yang mendengar. Dan aku harap waktu itu akan segera datang.”
Dan untuk pertama kalinya, ia menulis satu kalimat di bagian paling atas buku catatannya, dengan huruf besar guna berharap kalimat itu akan menjadi afirmasi positif i setiap saat ia melihantnya.
AKU ADALAH SAKSI DARI DUNIA YANG TAK PERNAH KUBERI IZIN UNTUK MELUPAKANKU.
Sebab meski dunia hanya bisa ia lihat dari balik jendela, ia bersumpah, dunia itu akan tahu bahwa ia pernah ada.
Salam hangat dariku Megakelabuš©¶