Beberapa orang bermimpi jadi dokter, guru, atau astronot. Sedangkan Sena tak tahu ia ingin jadi apa. Bukan karena tak punya impian, tapi karena setiap kali ia mencoba memberi nama pada mimpinya, seseorang lebih dulu menghapusnya dengan kata, “Itu bukan untuk kamu.”
Ia belajar mencintai hal-hal kecil secara diam-diam, seperti buku yang disembunyikan di bawah bantal. Gambar-gambar sketsa yang ia sisipkan di balik kalender, atau lagu-lagu yang ia dengar pelan-pelan saat semua orang tidur. Semua itu adalah kepingan harapan yang ia rawat tanpa suara. Sebab suaranya selalu berujung larangan.
Pagi hari saat matahari menyelinap malu-malu lewat celah jendela. Namun bukan cahaya yang membangunkan Sena, melainkan suara panci yang dibanting di dapur.
“Kamu ini perempuan, bangun itu jam empat pagi. Mau jadi apa kamu kalau malas-malasan kaya gitu?”
Sena menggigit bibir mendengarnya. Tangannya yang baru saja bangun, buru-buru membereskan selimut, menyembunyikan kertas-kertas sketsa yang belum sempat ia selesaikan malam sebelumnya. Di kertas itu, ada gambar seorang gadis yang berdiri di atas panggung, tersenyum lebar. Tidak sempurna memang, tapi cukup hidup untuk jadi impian.
Sena tidak bermimpi jadi artis. Tidak juga seniman. Ia hanya ingin bisa berdiri di suatu tempat dan tahu bahwa tempat itu untuknya. Tapi bagaimana cara menyebut impian yang bahkan belum sempat tumbuh? Mimpi macam apa yang tak pernah diberi nama?
Ibunya masuk ke kamar tanpa mengetuk. Pandangannya langsung tertuju ke kertas di atas lantai.
“Kamu ngapain gambar-gambar nggak jelas begini?” tanyanya dengan suara yang membentak.
“Cuma iseng, Ma," jawab Sena dengan buru-buru kembali membereskan semuanya.
“Iseng terus hidup kamu! Nanti juga ujung-ujungnya Mama yang repot. Udah bantuin nyapu sana!”
Dan seperti itu, impian kecil itu kembali tercabik—dicerca sebagai kebodohan, lalu disapu bersama debu di sudut lantai yang tak pernah benar-benar bersih dari luka masa silam. Sebab bagi mereka yang tumbuh tanpa pendidikan yang layak, yang sejak dini dipaksa menanggung beban hidup, mimpi hanyalah kemewahan yang tak terjangkau, terlalu tinggi untuk digapai.
Barangkali, niat mereka bukan jahat. Mungkin kekhawatiran itu lahir dari cinta yang telah dikeraskan oleh waktu, dari ketakutan bahwa dunia yang pernah menggigit mereka akan menancapkan taring yang sama pada anaknya. Mereka ingin melindungi, bukan melarang.
Namun Sena berpikir lain. Ia tak gentar menatap dunia, sekalipun tajam durinya menusuk dalam. Ia percaya, setiap luka akan mengajarkannya sesuatu. Bahwa cobaan bukanlah kutukan, melainkan jalan menuju pemahaman yang lebih dalam—tentang dunia, tentang dirinya, dan tentang mimpi yang terus ia dekap, erat, tanpa ragu.
***
Sena mulai membersihkan rumah, dari sudut tergelap hingga ke ambang pintu, ditemani suara ibu yang terus bergema—bercerita tentang dunia yang keras, penuh luka dan jebakan yang tak kasat mata. Di ruang tengah, ayahnya duduk membisu, wajah tersembunyi di balik lembaran koran, dengan secangkir kopi yang perlahan mendingin, seolah waktu pun enggan ikut campur.
Di teras, ia menyapu halaman yang berdebu, memandangi langit seakan mencari jawaban. Langit luas, awan bergulir, dan dalam benaknya, Sena berandai: menjadi angin yang bebas menjelajah semesta, atau menjadi air yang tak bersuara namun membawa kehidupan ke mana pun ia mengalir.
Namun tiap kali bibirnya mulai mengeja kata “ingin”, dunia seolah menolak. Semua tiba-tiba jadi salah.
“Kamu belum tahu hidup itu keras.”
“Kamu pikir gampang cari makan?”
“Nanti juga ngerti sendiri kalau udah nikah.”
Dan pada titik itu, mimpi kembali terdiam. Tak punah, tapi terus bersembunyi, menunggu hari di mana ia boleh tumbuh tanpa dimarahi.
Kenapa semua keinginan harus menunggu pernikahan? Kenapa seorang perempuan harus sabar dulu, menikah dulu, baru dianggap layak untuk memilih arah hidupnya sendiri? Sena tidak mengerti logika warisan itu—jalan pikiran keluarganya yang terasa seperti lorong sempit, baik dari pihak ayah maupun ibu, dibangun dari aturan lama yang tak pernah benar-benar ditanya ulang.
Rasanya, ia ingin memotong rantai itu—rantai warisan yang membebat perempuan agar duduk diam, agar patuh, agar sabar, agar cukup hanya setelah menjadi seorang istri.
Sena bukan perempuan yang ingin hidup dalam diam. Ia punya banyak mimpi, dan lebih banyak lagi keinginan untuk mencoba, menjelajah, dan memahami dunia yang ada di balik tembok rumah ini. Dunia yang keras, iya memang, Sena menyadari itu. Tapi juga dunia penuh dengan cerita bukan? Ia ingin menulis tentang semuanya—tentang manusia, tentang luka, tentang cinta yang remuk, tentang harapan yang tumbuh di tempat paling gelap.
Ia ingin menjadi penulis. Menulis apa saja yang dilihatnya di luar sana. Sebab baginya, menulis bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pembuktian—bahwa dirinya pun layak didengar, sebelum, sesudah, atau bahkan tanpa menikah.
Sampai sore hari, ia duduk sendiri di atas atap rumah dengan menaiki tangga panjang yang selalu tersedia di sana. Disana adalah satu-satunya tempat di rumah yang terasa seperti miliknya sendiri. Dari sana, ia bisa melihat rumah-rumah tetangga, anak-anak kecil bermain petak umpet, suara motor lewat, dan langit yang mulai berubah warna.
Ia menggambar lagi dengan kertas yang sudah dia persiapkan dari dalam kamar. Gadis yang sama, kali ini sedang berdiri di tengah kota, membawa tas ransel dan senyum kecil. Di langit gambar itu, ia tulis satu kalimat.
“Suatu hari, aku akan tahu mau jadi apa. Dan ketika hari itu datang, tak ada yang bisa bilang ‘tidak’.”
Ia tahu itu hanya khayalan. Tapi dalam hidup yang tak pernah memberinya ruang, khayalan adalah satu-satunya tempat aman. Mimpi yang tak diberi nama tetaplah mimpi. Ia hanya menunggu waktu yang cukup untuk tumbuh, dan mulut yang cukup berani untuk menyebutnya.
Dan pada sore yang dingin itu, sambil menatap langit Sena berbisik, 'Kalau dunia ini tak menyiapkan tempat untukku, akan kutemukan caraku sendiri—sekalipun harus tertatih.’
Hai untuk Sena di luar sana, aku harap kamu selalu kuat dalam menghadapi apapun itu demi bisa mencapai mimpi yang kamu inginkna.
Salam penuh kasih Megakelabu