Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langkah yang Tak Diizinkan
MENU
About Us  

Beberapa orang bermimpi jadi dokter, guru, atau astronot. Sedangkan Sena tak tahu ia ingin jadi apa. Bukan karena tak punya impian, tapi karena setiap kali ia mencoba memberi nama pada mimpinya, seseorang lebih dulu menghapusnya dengan kata, “Itu bukan untuk kamu.” 

Ia belajar mencintai hal-hal kecil secara diam-diam, seperti buku yang disembunyikan di bawah bantal. Gambar-gambar sketsa yang ia sisipkan di balik kalender, atau lagu-lagu yang ia dengar pelan-pelan saat semua orang tidur. Semua itu adalah kepingan harapan yang ia rawat tanpa suara. Sebab suaranya selalu berujung larangan.

Pagi hari saat matahari menyelinap malu-malu lewat celah jendela. Namun bukan cahaya yang membangunkan Sena, melainkan suara panci yang dibanting di dapur.

“Kamu ini perempuan, bangun itu jam empat pagi. Mau jadi apa kamu kalau malas-malasan kaya gitu?”

Sena menggigit bibir mendengarnya. Tangannya yang baru saja bangun, buru-buru membereskan selimut, menyembunyikan kertas-kertas sketsa yang belum sempat ia selesaikan malam sebelumnya. Di kertas itu, ada gambar seorang gadis yang berdiri di atas panggung, tersenyum lebar. Tidak sempurna memang, tapi cukup hidup untuk jadi impian.

Sena tidak bermimpi jadi artis. Tidak juga seniman. Ia hanya ingin bisa berdiri di suatu tempat dan tahu bahwa tempat itu untuknya. Tapi bagaimana cara menyebut impian yang bahkan belum sempat tumbuh? Mimpi macam apa yang tak pernah diberi nama?

Ibunya masuk ke kamar tanpa mengetuk. Pandangannya langsung tertuju ke kertas di atas lantai.

“Kamu ngapain gambar-gambar nggak jelas begini?” tanyanya dengan suara yang membentak.

“Cuma iseng, Ma," jawab Sena dengan buru-buru kembali membereskan semuanya.

“Iseng terus hidup kamu! Nanti juga ujung-ujungnya Mama yang repot. Udah bantuin nyapu sana!”

Dan seperti itu, impian kecil itu kembali tercabik—dicerca sebagai kebodohan, lalu disapu bersama debu di sudut lantai yang tak pernah benar-benar bersih dari luka masa silam. Sebab bagi mereka yang tumbuh tanpa pendidikan yang layak, yang sejak dini dipaksa menanggung beban hidup, mimpi hanyalah kemewahan yang tak terjangkau, terlalu tinggi untuk digapai.

Barangkali, niat mereka bukan jahat. Mungkin kekhawatiran itu lahir dari cinta yang telah dikeraskan oleh waktu, dari ketakutan bahwa dunia yang pernah menggigit mereka akan menancapkan taring yang sama pada anaknya. Mereka ingin melindungi, bukan melarang.

Namun Sena berpikir lain. Ia tak gentar menatap dunia, sekalipun tajam durinya menusuk dalam. Ia percaya, setiap luka akan mengajarkannya sesuatu. Bahwa cobaan bukanlah kutukan, melainkan jalan menuju pemahaman yang lebih dalam—tentang dunia, tentang dirinya, dan tentang mimpi yang terus ia dekap, erat, tanpa ragu.

***

Sena mulai membersihkan rumah, dari sudut tergelap hingga ke ambang pintu, ditemani suara ibu yang terus bergema—bercerita tentang dunia yang keras, penuh luka dan jebakan yang tak kasat mata. Di ruang tengah, ayahnya duduk membisu, wajah tersembunyi di balik lembaran koran, dengan secangkir kopi yang perlahan mendingin, seolah waktu pun enggan ikut campur.

Di teras, ia menyapu halaman yang berdebu, memandangi langit seakan mencari jawaban. Langit luas, awan bergulir, dan dalam benaknya, Sena berandai: menjadi angin yang bebas menjelajah semesta, atau menjadi air yang tak bersuara namun membawa kehidupan ke mana pun ia mengalir.

Namun tiap kali bibirnya mulai mengeja kata “ingin”, dunia seolah menolak. Semua tiba-tiba jadi salah.

“Kamu belum tahu hidup itu keras.”

“Kamu pikir gampang cari makan?”

“Nanti juga ngerti sendiri kalau udah nikah.”

Dan pada titik itu, mimpi kembali terdiam. Tak punah, tapi terus bersembunyi, menunggu hari di mana ia boleh tumbuh tanpa dimarahi.

Kenapa semua keinginan harus menunggu pernikahan? Kenapa seorang perempuan harus sabar dulu, menikah dulu, baru dianggap layak untuk memilih arah hidupnya sendiri? Sena tidak mengerti logika warisan itu—jalan pikiran keluarganya yang terasa seperti lorong sempit, baik dari pihak ayah maupun ibu, dibangun dari aturan lama yang tak pernah benar-benar ditanya ulang.

Rasanya, ia ingin memotong rantai itu—rantai warisan yang membebat perempuan agar duduk diam, agar patuh, agar sabar, agar cukup hanya setelah menjadi seorang istri.

Sena bukan perempuan yang ingin hidup dalam diam. Ia punya banyak mimpi, dan lebih banyak lagi keinginan untuk mencoba, menjelajah, dan memahami dunia yang ada di balik tembok rumah ini. Dunia yang keras, iya memang, Sena menyadari itu. Tapi juga dunia penuh dengan cerita bukan? Ia ingin menulis tentang semuanya—tentang manusia, tentang luka, tentang cinta yang remuk, tentang harapan yang tumbuh di tempat paling gelap.

Ia ingin menjadi penulis. Menulis apa saja yang dilihatnya di luar sana. Sebab baginya, menulis bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pembuktian—bahwa dirinya pun layak didengar, sebelum, sesudah, atau bahkan tanpa menikah.

Sampai sore hari, ia duduk sendiri di atas atap rumah dengan menaiki tangga panjang yang selalu tersedia di sana. Disana adalah satu-satunya tempat di rumah yang terasa seperti miliknya sendiri. Dari sana, ia bisa melihat rumah-rumah tetangga, anak-anak kecil bermain petak umpet, suara motor lewat, dan langit yang mulai berubah warna.

Ia menggambar lagi dengan kertas yang sudah dia persiapkan dari dalam kamar. Gadis yang sama, kali ini sedang berdiri di tengah kota, membawa tas ransel dan senyum kecil. Di langit gambar itu, ia tulis satu kalimat.

“Suatu hari, aku akan tahu mau jadi apa. Dan ketika hari itu datang, tak ada yang bisa bilang ‘tidak’.”

Ia tahu itu hanya khayalan. Tapi dalam hidup yang tak pernah memberinya ruang, khayalan adalah satu-satunya tempat aman. Mimpi yang tak diberi nama tetaplah mimpi. Ia hanya menunggu waktu yang cukup untuk tumbuh, dan mulut yang cukup berani untuk menyebutnya.

Dan pada sore yang dingin itu, sambil menatap langit Sena berbisik, 'Kalau dunia ini tak menyiapkan tempat untukku, akan kutemukan caraku sendiri—sekalipun harus tertatih.’

 

Hai untuk Sena di luar sana, aku harap kamu selalu kuat dalam menghadapi apapun itu demi bisa mencapai mimpi yang kamu inginkna. 

 

Salam penuh kasih Megakelabu

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perjalanan yang Takkan Usai
563      429     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Langkah Pulang
707      449     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
GEANDRA
522      415     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Warisan Tak Ternilai
813      348     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
172      141     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Help Me Help You
2542      1346     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Batas Sunyi
2290      1079     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Fidelia
2350      1021     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Andai Kita Bicara
938      652     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Senja di Balik Jendela Berembun
37      35     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...