Lorong rumah sakit itu masih sama seperti malam pertama mereka datang—dingin, panjang, dan memantulkan gema langkah siapa pun yang lewat. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena waktu sudah bergulir. Mungkin karena penyesalan sudah menemukan namanya.
Di bangku panjang itu, Lusi masih duduk. Leo di sampingnya, satu tangan diikat perban, satu lagi menggenggam termos kopi dingin. Mesin di ruang ICU berdetak pelan, seperti metronom yang tak kunjung mempercepat irama. Bau alkohol dan disinfektan masih menyengat, menusuk masuk hingga ke dalam paru-paru.
“Masih nggak ada perubahan?” bisik Lusi, matanya nyalang menatap ke dalam ruang ICU.
Leo menggeleng pelan. “Masih koma. Tapi dokter bilang ada respons waktu pagi tadi. Jarinya gerak sedikit.”
Lusi mengangguk lemah. “Kamu inget nggak, dulu waktu Lara kecil... dia pernah sakit campak. Kita malah sibuk urus acara ulang tahun Luna.”
Leo menunduk. “Ya, aku sangat ingat. Dia demam tinggi tapi diam aja, nggak pernah minta dibelikan es krim, nggak pernah rewel. Kita pikir dia anak paling mengerti. Padahal... dia cuma tahu kalau dia nggak boleh nyusahin.”
Sunyi merayap lagi. Lusi menggenggam lengan Leo, lalu bangkit. “Aku mau ketemu Sera.”
“Sekarang?”
“Sekarang.”
*****
Sera duduk sendiri di ruang tunggu lantai dua, hoodie kelabu masih sama seperti dua hari lalu, wajahnya letih tapi matanya tetap waspada. Saat Lusi muncul di pintu, gadis itu reflek berdiri, seperti menyiapkan tameng.
Tapi Lusi hanya tersenyum kecil. “Boleh tante duduk?”
Sera mengangguk pelan. Keduanya duduk dalam diam beberapa saat. Lusi menggenggam ujung bajunya sendiri, seolah bingung mulai dari mana.
“Tante sadar, kalau tante nggak pernah bersikap baik ke kamu,” katanya pelan. “Selalu sinis, seolah kamu ancaman buat Lara.”
Sera menoleh, alisnya terangkat. “Tapi aku kenapa tante?.”
“Kamu gak salah, Sera. Tante tahu sekarang,” kata Lusi. “Tapi dulu... Tante nggak tahu gimana harus sayangin Lara. Terlalu takut untuk menyayanginya, takut kecewa lagi. Setelah kehilangan anak pertama kami, tante tutup pintu rapat-rapat. Lara datang, dan tante... malah menjadikan dia bayangan anak yang udah nggak ada.”
Sera menunduk, menggenggam lututnya. Nafasnya naik-turun, ada luka di balik kata-kata yang ia tahan.
Lusi menarik napas panjang. “Waktu kamu dengar aku ngomong soal Lara... tante tahu kamu tahu semuanya. Tapi kamu diem.”
“Karena itu hak Lara,” jawab Sera lirih. “Aku tahu dia bukan anak kandung Tante dan Om. Tapi Lara nggak pernah ngerasa pantas disayang. Dia takut dihina, takut ditinggal. Dia pernah bilang, ‘kalau aku cerita, nanti semua berubah, Ser."
Lusi menahan napas. Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Tangannya bergetar di atas pangkuan.
“Sera... tante mohon,” katanya nyaris memelas. “Jika suatu hari pun kamu dan Lara ngobrol, tolong... jangan ungkit soal itu. Jangan pernah jadi orang yang bikin dia nyesel lahir ke dunia.”
Sera mengangguk perlahan. “Aku nggak akan, Tante. Aku janji.”
Lusi menatap gadis di depannya itu lebih lama. “Kamu... satu-satunya orang yang selalu ada buat dia. Terima kasih.”
Sera mengangkat bahu. “Dia juga yang selalu ada buat aku. Kalau bukan karena Lara, aku nggak tahu aku jadi apa sekarang. Dia itu benar-benar anak yang baik.”
Lusi tersenyum tipis, kemudian berdiri. “Tante harus balik. Tapi... makasih, ya. Untuk semuanya.”
Sera hanya mengangguk, matanya mengikuti Lusi sampai pintu menutup lagi.
*****
Malam itu, Leo menemukan Lusi berdiri di depan ruang ICU, tangan menggenggam kain gaun rumah sakit, mata sembab.
“Kamu ngobrol sama Sera?”
Lusi mengangguk. “Aku minta dia jangan pernah buka soal Lara. Aku yakin dia denger waktu itu.”
Leo menatap istrinya, lalu memeluknya sebentar, pelan. “Kamu tahu... seandainya waktu bisa diputar, aku pengin kenal Lara dari awal lagi. Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai dirinya.”
Lusi mengangguk. “Aku juga. Aku pengin jadi Ibu yang lebih lembut, lebih dengerin. Nggak nyalahin dia tiap kali dia salah, nggak bandingin dia terus sama Luna. Dan adil dalam membagi kasih sayang... ”
“Kalau dia bangun... kita lakuin itu semua,” kata Leo.
“Kalau dia bangun, dan Lara harus bangun.” ulang Lusi pelan, seolah berharap semesta ikut mendengar.
*****
Lorong rumah sakit masih menyimpan aroma antiseptik yang kuat, bau yang sudah akrab di hidung Lusi dan Leo sejak dua minggu terakhir. Wajah-wajah yang hadir di sana tak banyak berubah, penuh dengan letih dan harap, tetapi juga berisi rasa bersalah dan penyesalan yang dalam.
Lusi duduk membatu di bangku panjang depan ruang ICU, matanya sembab dan merah. Setiap kali suara langkah perawat terdengar mendekat, hatinya seolah ikut berdetak lebih cepat, berharap ini adalah kabar yang dinantikan selama ini.
Di sampingnya, Leo menggenggam tangan Lusi dengan erat, mencoba menjadi sandaran. Tapi kesedihan yang sama memenuhi dadanya, membuatnya diam dan larut dalam pikiran.
Tak jauh dari mereka, Satya duduk di kursi kecil sambil memegang buku pelajaran. Matanya yang polos memandang ke arah pintu ICU. “Aku kangen belajar sama kakak,” suaranya lirih, membuat suasana makin sendu. “Kangen diajarin PR. Dan... aku juga kangen ribut sama kakak.”
Sera berdiri tak jauh, mencoba menahan air mata. Gadis itu mengusap wajahnya perlahan, lalu menunduk saat Zea dan teman-teman gengnya berdiri di dekatnya, diam tetapi menunjukkan dukungan. Beberapa hari terakhir mereka mulai terbuka, mengakui salah paham selama ini soal Lara.
Bu Meri, guru sekolah Lara, datang menghampiri. Wajahnya penuh penyesalan. “Lara... Ibu ingin minta maaf,” katanya pelan. “Ibu dulu berpikir salah tentang kamu, sebagai anak yang pernah bermasalah, tapi setelah dengar penjelasan kalian, aku sadar aku salah.”
Sera mengangguk. “Lara nggak pernah jadi pembully, Bu. Itu cuma kesalahpahaman. Dia selalu berusaha kuat, meskipun dia sebenarnya takut dan kesepian.”
Zea menambahkan dengan suara berat, “Kami juga salah. Kami nggak tahu apa yang dia rasakan sebenarnya.”
Tangis pecah lagi di lorong itu, campuran antara kesedihan, penyesalan, dan harapan yang belum hilang. Semua orang yang hadir tahu, ini bukan hanya tentang Lara yang terbaring koma. Ini tentang kesempatan untuk memperbaiki semua yang pernah salah.
*****
Pagi itu, saat udara di lorong rumah sakit masih dingin dan mesin di ruang ICU berdetak pelan, Lusi kembali duduk di samping Leo. Ia membawa dua gelas kopi dari kantin dan sepotong roti tawar yang sudah dingin. Mereka saling bertukar pandang, tanpa kata, hanya ada perasaan berat yang menyelimuti.
“Leo,” kata Lusi akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Kamu pernah bayangin nggak... kalau kita benar-benar kehilangan dia?”
Leo menutup matanya dan menarik napas panjang. “Setiap malam,” jawabnya singkat.
Lusi terdiam beberapa saat, lalu suaranya pecah, “Kalau dia bangun... aku mau peluk dia. Lama. Aku mau minta maaf. Bukan sekali, tapi tiap hari, kalau perlu.”
Leo mengalihkan pandangannya ke pintu ICU yang tertutup rapat. “Aku mau duduk di sampingnya tiap malam. Dengerin ceritanya, biarpun cuma tentang tugas sekolah yang dia benci.”
Lusi mencoba tersenyum kecil. “Atau tentang Sera... aku selalu potong ceritanya tiap kali dia mulai ngomongin Sera.”
Leo menggeleng, setuju. “Kita jahat ya?”
Lusi mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Kita takut. Tapi takut bukan alasan untuk nggak sayang.”
Suasana hening sesaat, sampai tiba-tiba pintu ICU terbuka dengan cepat. Seorang perawat keluar tergesa, memanggil mereka.
“Keluarga Lara! Pasien atas nama Lara baru saja membuka mata!”
Waktu serasa berhenti. Lusi dan Leo saling pandang, mata mereka membelalak. Tubuh mereka seperti tersengat listrik, tak sakit tapi membangkitkan seluruh rasa yang selama ini tertahan.
Mereka bergegas masuk ke dalam ruangan, hati berdebar luar biasa.
Di sana, di bawah lampu putih yang kini tak lagi mengancam, Lara—dengan wajah yang pucat dan tubuh penuh perban—perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun dia mengerjap, lalu menatap mereka.
Lusi menahan napas, suaranya gemetar, “Lara...”
Lara tak bicara, tapi air mata mengalir perlahan di sudut matanya yang terbuka.
Leo meraih jemarinya yang terbalut selang infus, menyentuhnya dengan lembut. “Kami di sini,” bisiknya. “Kami nggak akan pergi.”
Lara mengerjapkan mata sekali lagi, mencoba memfokuskan pandangannya. Ia menatap wajah mereka—Ibu dan Ayah yang selama ini ia rindukan dan juga takut untuk harapkan.
Lusi merasakan getaran haru mengalir dari dadanya, air mata tumpah dari pipinya. “Kita... kita sayang kamu, Lara. Maafin kita ya, selama ini nggak bisa jadi orang tua yang kamu butuhin.”
Leo ikut menangis pelan. “Kita janji... mulai sekarang, kita akan selalu ada buat kamu. Kamu bukan bayangan. Kamu bukan pelengkap. Kamu... kamu anak kita.”
Lara menggerakkan bibirnya pelan, mencoba mengeluarkan suara. Tapi yang keluar hanya napas berat, tanda bahwa perjuangannya untuk kembali benar-benar baru dimulai.
“Kalau kamu lelah, nggak apa-apa,” ucap Lusi lembut. “Kita akan sabar, jalani semuanya sama-sama.”
Leo menggenggam tangan Lara lebih erat. “Kita akan jadi keluarga yang kamu impikan. Kita mulai dari sekarang.”
Dan di sana, dalam ruangan yang selama ini penuh ketakutan dan sunyi, pecahan-pecahan cinta dan harapan itu mulai terkumpul kembali. Perlahan, tapi pasti.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏