Lusi berdiri di lorong rumah sakit dengan dada yang berat oleh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Lampu neon di atasnya bersinar redup, tak lebih terang dari harapannya yang mulai padam. Di depan ruang ICU, ia memeluk tubuhnya sendiri—seperti mencoba menjaga bagian-bagian hatinya agar tidak jatuh berantakan di lantai.
Baju pasien berwarna biru muda menempel kusut di tubuhnya yang kurus, sebagian lengannya dibalut perban—luka fisik kecil dari kecelakaan. Tapi luka di dadanya jauh lebih dalam. Wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar, dan matanya sembab seolah sudah kehabisan air mata.
Di sebelahnya, Leo berdiri kaku. Tangan masuk ke saku jaket lusuhnya, jari-jarinya menggigil. Entah karena dinginnya AC, atau karena rasa takut yang perlahan mencengkram dari dalam.
Pintu ICU tiba-tiba terbuka tergesa. Seorang perawat keluar, wajahnya tegang.
“Maaf, keluarga pasien atas nama Lara?”
Lusi refleks mengangguk, suara tercekat. “Iya. Kami… orang tuanya.”
“Pasien mengalami penurunan kesadaran signifikan. Kami harus segera membawanya ke ruang operasi untuk tindakan darurat,” ujar perawat cepat, nyaris tanpa jeda. “Tapi kami butuh donor darah AB rhesus negatif, dan stok kami kosong. Harus sekarang.”
Lusi membatu. “AB negatif…?”
Leo langsung menoleh. “Darah kami O. Keluarga besar juga sudah dicek. Nggak ada yang cocok.”
Perawat tampak bimbang sesaat, tapi ranjang Lara harus tetap bergerak. Tubuh gadis itu tampak rapuh, wajahnya nyaris tak berdarah, selang oksigen terpasang di hidung, dan tangannya dipenuhi jalur infus. Matanya setengah terbuka, menatap kosong ke atas, ke cahaya putih yang menyilaukan—seolah sedang mengambang di antara dunia.
Lusi segera mendekat, menggenggam tangan Lara yang dingin.
“Nak… Ibu di sini… Bertahan, ya, Lara. Jangan tinggalin Ibu… Ibu belum minta maaf sama kamu... ”
Lara bergerak sedikit. Bibirnya terbuka, seakan hendak bicara, tapi tak ada suara keluar. Hanya kesunyian.
Dokter muncul di balik pintu, tergesa sambil memeluk map medis. “Kami tak bisa tunggu lebih lama. Kalau tak ada donor sekarang, kemungkinan terburuk bisa terjadi dalam hitungan menit.”
Perawat lain muncul, panik. “AB negatif, segera! Siapa pun yang cocok, tolong…”
Leo menghela napas panjang. “Kami... kami bukan orang tua kandungnya,” suaranya serak. “Lara sebenarnya anak angkat kami. Jadi kami nggak tahu siapa orang tua biologisnya... ”
Lusi terduduk perlahan. Tangannya menutup wajah, dan air matanya kembali jatuh satu-satu, tanpa suara, membasahi punggung tangan yang penuh luka kecil.
Dari ujung lorong, terdengar roda kursi berderak pelan. Sera muncul, mendorong neneknya yang duduk dengan kaki diperban. Langkahnya terhenti saat melihat kerumunan.
Saat matanya menangkap wajah Lusi, ia mendekat pelan. “Tante…?”
Lusi menoleh, matanya membulat. “Sera?”
Sera bergegas, wajahnya panik. “Tante… Lara kenapa? Dia kenapa butuh donor?”
Lusi tercekat. “Dia kecelakaan… dan… butuh darah langka.”
“Aku gak sengaja denger, kebetulan aku AB negatif,” ucap Sera, cepat, napasnya memburu. “Ambil darah aku aja! Sekarang!”
Lusi terpaku. “Kamu… yakin?”
Sera mengangguk keras, meski air matanya mulai jatuh. “Aku… aku masih mau lihat Lara ketawa. Aku belum bilang terima kasih karena dia udah nolong aku waktu semua orang ngelewatin aku kayak aku gak ada... Aku gak mau kehilangan satu-satunya sahabatku…”
Dokter segera memberi aba-aba. “Cepat! Kita tes dulu kecocokannya.”
Beberapa menit yang terasa seperti seabad kemudian, dokter keluar. “Cocok. Kita langsung ambil darahnya.”
Sera mengangguk, menggigit bibir bawahnya. Ia sempat menoleh ke Lusi sebelum masuk ruang donor. “Lara pasti kuat, Tante. Dia harus kuat…”
Lusi hanya bisa berdiri diam. Leo menepuk pelan bahunya. Di kursi tunggu, Luna memeluk Satya erat-erat.
“Ibu… Kak Lara sembuh, kan?” bisik Satya pelan.
Lusi tidak menjawab. Bibirnya bergetar. Matanya menatap kosong ke pintu operasi yang menelan anak yang paling ia takut kehilangan.
*****
Di ruang donor, udara terasa dingin dan sunyi. Sera duduk diam, lengan kirinya siap dengan pembuluh yang mulai dicari. Perawat membersihkan kulitnya dengan alkohol. Bau menyengat menusuk hidung, membuatnya mual, tapi ia menahan diri.
Sera gemetar, tapi bukan karena jarum. Bayangan Lara—terbaring lemah, nyaris tak bernyawa—terus berputar di pikirannya.
“Kamu takut?” tanya perawat, lembut.
Sera mengangguk pelan. Bibirnya gemetar. Tapi ia tidak bicara.
“Tenang, ya. Kamu luar biasa.”
Jarum perlahan menembus kulit. Sera memejam, tapi tidak menjerit. Tak ada suara keluar, hanya napas berat dan air mata yang tiba-tiba jatuh. Hangat. Diam. Mengalir bersamaan dengan darahnya—darah yang ia berikan agar Lara tetap hidup.
Mungkin karena lelah. Mungkin karena takut. Tapi lebih dari itu, karena rasa sayang yang terlalu dalam pada seseorang yang begitu berarti.
*****
Di luar ruang donor, waktu terasa membeku. Leo terus mondar-mandir, Lusi duduk mematung. Luna memeluk Satya erat, wajah mereka sama-sama kusut.
Pintu terbuka. Sera keluar, langkahnya goyah.
“Udah selesai,” bisiknya. Suaranya serak.
Leo buru-buru menghampiri. “Kamu nggak papa?”
Sera tersenyum lemah. “Aku cuma... pengen Lara sembuh.”
Leo menatap gadis itu, mata berkaca. “Terima kasih… Tante dan Om nggak tahu harus bilang apa…”
Sera menunduk. “Lara satu-satunya orang yang bikin aku ngerasa gak sendiri.”
Perawat muncul. “Pasien sudah mulai transfusi. Kami lanjut ke operasi. Mohon menunggu.”
Mereka berjalan menuju ruang bedah. Sera duduk di bangku, diberi sebotol air dan sepotong roti. Tangannya gemetar saat membuka tutup botol. Ia tak lapar. Tak haus. Tapi ia ingin Lara hidup.
Lusi duduk di sebelahnya, suara parau.
“Tante menyesal… Tante terlalu keras sama Lara. Tante nggak adil. Kasih sayang tante… terlalu sempit.”
Sera menatap lurus ke depan. Air matanya belum kering, tapi kali ini ia tidak menangis.
“Lara orang paling baik yang pernah aku kenal, Tante. Dia nggak pernah pilih-pilih buat sayangin orang. Bahkan saat aku datang, dan semua orang anggap aku gangguan... dia nerima aku kayak aku penting. Padahal aku bukan siapa-siapa.”
Di lorong yang sunyi, di antara bau antiseptik dan nyala lampu pucat, harapan mengalir pelan—di balik pintu operasi dan dalam aliran darah yang kini mengikat mereka. Satu tarikan napas. Satu detik doa. Semuanya untuk satu nyawa yang sedang diperjuangkan.
Lara.
*****
Pintu ruang operasi akhirnya terbuka.
Semua orang yang menunggu di koridor itu sontak berdiri serempak. Suasana mencekam yang sejak tadi menggantung seperti kabut tebal di lorong rumah sakit, kini berubah menjadi ketegangan yang mencengkeram leher dan dada. Suara detak jam dinding terdengar begitu nyaring, seperti dentuman palu di dalam kepala.
Lusi berdiri paling depan. Jantungnya berdetak secepat detik jam itu, mungkin lebih. Tangannya gemetar, bahkan ia tak sadar telah mencakar kulit lengannya sendiri sepanjang waktu menunggu. Begitu pintu itu terbuka, tubuhnya langsung kaku, seolah ditusuk rasa takut yang dingin. Ia menoleh pada Leo, yang sejak tadi tak banyak bicara, hanya duduk dengan kepala menunduk dan tangan terkepal.
Leo berdiri cepat, menggenggam jemari Lusi yang membeku seperti es. “Kamu gak papa?” bisiknya cepat, lirih.
Lusi tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, matanya fokus ke sosok pria berjubah putih yang keluar dari ruangan.
Sera, yang baru dua jam lalu memberikan darahnya, juga berdiri meski tubuhnya masih lemas. Ia bersandar sebentar pada tembok, kemudian memaksakan diri melangkah ke depan. Keringat dingin membasahi pelipisnya, lututnya gemetar, tapi ia tak peduli. Ia harus dengar kabar itu. Harus tahu kondisi Lara.
Dokter itu masih muda, tapi wajahnya sudah menunjukkan kelelahan bertahun-tahun. Matanya merah dan kantung di bawahnya terlihat bengkak. Rambut di pelipisnya basah oleh keringat. Ia menarik napas panjang sebelum bicara, seolah memilih kata yang paling tepat agar tak menambah luka mereka.
“Operasi berjalan lancar,” katanya akhirnya, pelan.
Sejenak, semua menahan napas.
“Kami berhasil menghentikan pendarahan internalnya. Transfusi darah yang diterima sangat membantu dalam proses stabilisasi. Tapi…”
Semua tubuh menegang lagi.
“Tapi?” Lusi hampir tidak bisa mengeluarkan suara. Satu kata itu keluar dari tenggorokannya seperti bisikan putus asa.
Dokter menunduk sedikit, suaranya tetap tenang, tapi jelas terdengar lebih berat. “Pasien masih belum sadar. Respons motoriknya sangat minim. Kami... tidak bisa memastikan kapan dia akan bangun.”
Sera menahan napas. Leo mengatupkan rahangnya. Lusi merasa tubuhnya limbung.
“Kami menyebut kondisinya sebagai comatose state ringan. Bukan koma total, tapi juga belum bisa dibilang sadar. Aktivitas otaknya ada, namun sangat terbatas.”
“Apa... apa dia akan sembuh?” tanya Leo, nadanya parau. “Dia akan bangun, kan?”
Dokter menggeleng perlahan. “Kami tidak bisa memberi janji. Otaknya sempat mengalami tekanan yang cukup tinggi karena benturan saat kecelakaan. Kami belum tahu seberapa besar dampaknya. Sekarang... yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu.”
Satu kata itu terasa seperti palu godam menghantam dada mereka semua.
Menunggu.
Lusi terhuyung satu langkah ke belakang. Leo segera menangkap bahunya.
“Maafkan kami…” ucap dokter pelan, sebelum berjalan meninggalkan mereka, memberi ruang bagi keluarga untuk menerima kenyataan.
Perawat mendekat, menyampaikan bahwa hanya satu orang yang boleh masuk untuk menemui Lara di ruang pemulihan.
Lusi ingin melangkah, tapi tubuhnya terasa seperti batu. Matanya terarah pada Sera. Gadis itu berdiri diam, wajahnya pucat, matanya tampak lelah tapi sorotnya… penuh harap. Penuh cinta.
Lusi mengangguk pelan. “Masuklah,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Tante belum siap lihat dia kayak gitu. Tapi kamu… kamu mungkin bisa...”
Sera menggigit bibirnya, lalu mengangguk. Ia melangkah perlahan mengikuti perawat.
*****
Di ruang pemulihan, hanya suara mesin monitor yang terdengar. Bunyi detak teratur yang merekam denyut jantung Lara. Di ranjang, gadis itu terbaring diam. Kabel menempel di dadanya, selang oksigen melekat di hidungnya. Wajahnya tampak tenang. Terlalu tenang. Seperti patung hidup yang terjebak dalam tidur panjang.
Sera menarik kursi perlahan dan duduk di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Lara yang pucat dan dingin. Tak ada respons.
“Lara…” bisiknya pelan, nyaris seperti angin. “Ini aku. Sera…”
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan, bahkan kelopak mata itu tetap tertutup rapat.
Sera menelan ludah. Ia tahu, ia tak akan dapat balasan. Tapi tetap bicara. Karena jika ia diam, rasa sakit itu akan meledak.
“Aku udah kasih darahku buat kamu,” katanya, mencoba tersenyum. “Jadi kamu harus bangun, ya? Jangan sia-siain. Jangan bikin aku nyesel.”
Sera menggenggam tangan Lara lebih erat, menatap wajah sahabatnya yang masih tertidur dalam diam. Tangisnya masih tertahan, tapi suaranya bergetar saat mulai berbicara.
“Lara... inget nggak, waktu kita ke panti? Anak-anak di sana nanyain kamu terus, lho. Mereka nunggu kedatangan kita lagi, apalagi Putri. Dia nempel banget sama kamu. Sampai-sampai waktu aku ke sana sendiri, dia langsung nanya, ‘Kak Lara mana?’”
Sera tersenyum samar, walau air matanya mulai jatuh satu per satu.
“Aku tahu… beberapa waktu lalu kamu ke sana sendirian. Aku lihat kamu dari jauh. Kamu ketawa lepas banget, kayak… kayak semua beban kamu hilang. Kamu duduk bareng anak-anak, bacain dongeng, pelukin mereka satu-satu. Aku nggak mau ganggu waktu itu. Aku cuma… seneng lihat kamu bahagia.”
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang teras
“Nanti, kalau kamu udah bangun… kita balik ke sana lagi, ya. Kita main sama mereka. Duduk lama-lama, ngobrol, atau bantu masak di dapur panti. Kamu suka banget bantu Bu Rika goreng bakwan, kan?”
Sera tersenyum kecil. Tapi ada getir dalam tatapan matanya.
“Atau kita ke taman belakang rumah sakit ini. Liatin burung rebutan remah roti. Kamu selalu bilang itu lucu. Sederhana, tapi kamu suka banget ngeliatnya. Katanya… kamu pengen punya hidup yang sederhana juga. Yang cukup dan tenang.”
Ia menunduk, menempelkan keningnya ke punggung tangan Lara.
“Lara… kamu jangan tidur lama-lama, ya. Aku nunggu. Aku ada di sini. Sampai kapan pun kamu siap bangun.”
Seram diam, tapi tetap di sana, menggenggam erat, seolah memindahkan sisa-sisa harapan lewat sentuhan.
“Waktu itu kamu bilang, kamu selalu ada buat aku. Sekarang... biar aku yang jaga kamu. Tapi... tolong… jangan pergi.”
Air mata jatuh lagi. Kali ini deras, jatuh di tangan Lara yang diam.
“Kamu satu-satunya yang bikin aku ngerasa… kayak aku layak. Layak dicari. Layak punya sahabat. Tanpa kamu... aku gak tahu aku siapa.”
Ia menunduk, keningnya menyentuh punggung tangan Lara. Suaranya berubah menjadi bisikan penuh luka.
“Aku gak akan pergi. Aku bakal tunggu. Mau seminggu, sebulan… setahun pun aku tunggu. Asal kamu bangun…”
Suara mesin detak jantung tetap stabil. Tak berubah.
Tapi Sera tetap duduk di sana, menolak menyerah pada sunyi.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏