Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Hubungan antara Lara dan Sera kini semakin canggung, penuh jeda dan diam. Tak ada lagi gurauan kecil di sela-sela istirahat, tak ada lagi pesan singkat berisi meme atau chat random. Hanya tatapan yang tak pernah benar-benar bertemu dan senyuman yang terlalu kaku untuk disebut tulus.

Lara menjauh. Bukan karena ia membenci Sera. Tapi karena lelah. Ada dorongan dalam dirinya yang tak bisa ia jelaskan, sebuah kerinduan untuk sunyi dan pemikiran yang mengendap tanpa suara. Ia ingin menyelami dirinya sendiri, mengurai benang kusut dalam hatinya—mencari tahu, apakah ia benar-benar ingin berhenti menjadi anak baik? Atau hanya ingin dikenali saat ia tak lagi menuruti semua orang?

Sera, di sisi lain, mulai tertatih menjaga jarak. Bahkan menyapa pun terasa canggung. Tapi ia tak sendiri. Kini ada Zea, Kesya, dan Citra di sekelilingnya. Sera yang dulu hanya milik Lara, kini dibagi, dan pemandangan itu menggores pelan-lahan, seperti kertas yang terus disobek meski tak tampak luka.

Kadang Lara bertanya pada dirinya sendiri—apakah ini artinya ia berhasil menjadi jahat? Jika hanya dengan tidak ingin melihat Sera tersenyum pada orang lain selain dirinya saja sudah cukup menyakitkan, apakah itu bentuk kecil dari kejahatan?

Ia tahu. Semua ini bermula darinya. Tapi ketenangan dalam kesendirian begitu memabukkannya. Sunyi itu menenangkan, meski pada akhirnya ia duduk ditemani sepi yang menggigit bahunya diam-diam.

****

Sepulang sekolah, Sera memberanikan diri mendekat. Suaranya serak tapi lembut.

"Lar... mau main nggak hari ini ke rumah aku? Warung nenek aku lagi sepi... bisa sekalian nemenin juga. Ya... walau rumah aku jelek."

Lara ingin sekali menjawab iya. Rasanya hatinya mencelos melihat Sera berdiri dengan tangan yang saling meremas gugup. Tapi ia sudah berjanji mengajari Satya belajar untuk ujian kenaikan kelas.

Thanks udah ngajak, Ser... tapi aku udah janji sama Satya buat belajar bareng.”

Sera terdiam sejenak. Lalu tersenyum tipis, terlalu tipis untuk menyembunyikan kecewa yang menggantung di ujung matanya.

"Oke... lain kali ya, Lar. Nggak apa-apa kok."

Lara mengangguk. Walau cuma ajakan singkat itu, hatinya terasa sedikit hangat. Ada bagian kecil dalam dirinya yang menganga, berharap dipeluk oleh masa lalu yang sempat akrab.

*****

Di rumah, Satya sudah duduk manis di meja belajar, mulutnya komat-kamit membaca soal Matematika.

“Kak Lara!” serunya saat melihat kakaknya datang.

“Satya udah siap?”

“Iya!”

Lara menghabiskan satu jam mengajari Satya. Ia menjelaskan pelan-pelan, menyemangati setiap jawaban benar, bahkan menggambar lucu-lucuan di pinggir buku untuk membuat Satya tertawa. Hari itu terasa ringan. Bahkan menyenangkan.

Saat Satya mulai menguap dan memutuskan untuk tidur siang, Lara pun naik ke kamarnya. Kali ini, ia ingin me-time. Hal yang jarang ia lakukan tanpa alasan kuat.

Ia berdiri di depan cermin. Biasanya wajahnya polos. Rambut hanya dikuncir asal. Tapi sore ini berbeda. Ia mengambil bedak tipis, merapikan alisnya pelan, memulas bibir dengan lip tint yang sudah lama tersimpan di laci. Ia mengenakan blouse putih lembut dengan pita kecil di kerahnya, memadukannya dengan rok denim selutut dan sneakers putih. Rambut panjangnya ia ikat ke samping, menyisakan beberapa helai yang sengaja dibiarkan terurai.

Tas selempang kecil berwarna coklat muda ia sandang. Ia menatap dirinya di cermin. Bukan untuk dinilai, tapi untuk diakui—bahwa ia juga berhak merasa cantik.

Saat menuruni tangga, Luna—menatapnya curiga dari sofa. Sambil memakan keripik dan menonton televisi, ia bersuara.

 "Mau kemana lo? Tumben dandan. Jangan-jangan mau pacaran? Dih, gue aduin Ibu sama Ayah juga lo!"

Lara terkejut, lalu menggeleng cepat.

“Enggak. Kakak cuma mau ke perpustakaan... sambil jalan-jalan di taman.”

Luna mencibir. “Jangan kesorean. Kasian kalau sampe lo dimarahin lagi.”

Lara tersenyum. Ada perhatian dalam suara ketus itu.

*****

Ia menyusuri trotoar kota, mampir ke perpustakaan umum yang sepi, membaca beberapa puisi Chairil Anwar, lalu keluar dan melangkah ke kafe kecil di ujung jalan. Lara memesan sepotong cheesecake dan cokelat smoothie. Duduk di pojok ruangan, di meja dekat jendela.

Untuk pertama kalinya, ia mengeluarkan ponselnya bukan untuk membalas chat, bukan untuk menjawab panggilan. Ia membuka kamera, memotret makanannya—cheesecake yang tampak menggiurkan, lalu menatap layar kamera depan.

Tangannya gemetar kecil. Ia tersenyum... canggung. Bibirnya sedikit miring, matanya tak tahu harus menatap ke mana. Ia menekan tombol jepret. Lalu tertawa pelan.

Entah kenapa, hati ini sedikit lega. Karena Lara merasa, akhirnya ia menjadi dirinya.

Namun saat ia hendak bangkit dari kursi, pintu kafe terbuka. Empat orang masuk.

Zea. Kesya. Citra. Dan Sera.

Mereka membeku saat melihat Lara.

Kesya mencibir tajam. “Oh... ini yang katanya ngajarin adiknya?”

Wajah Lara memucat.

“Lara, kok kamu bohong?” ucapnya Sera lirih, nampak sangat kecewa.

“Udahlah, Ser. Menurut gue Lara emang nggak mau temenan sama lo lagi. Marah tapi diem, kita udah usaha, ajak baikan... Kesya bahkan udah bayar utang lo, tapi ditolak. Sekarang gue ngerti kenapa lo nggak punya temen. Ngenes.”

Citra menyikut Zea. “Udah... liat deh, dia mau nangis tuh.”

Memang, mata Lara sudah menggenang. Mereka berlima jadi pusat perhatian pengunjung kafe. Tapi tak ada yang peduli. Tak ada yang menyelamatkannya.

Ia bangkit. Bergegas pergi.

Sera mengejarnya.

“Lara…” suaranya pelan.

“Aku gak bohong, Ser. Aku beneran ngajarin Satya. Aku cuma… pengen sendiri setelah itu.”

“Aku ngerti kok. Setelah aku pikir-pikir, mungkin aku yang maksa kamu selama ini,” ucap Sera. Tapi nadanya berubah. “Tapi tetep aja, Lara… kamu berubah. Kamu bohong. Kamu gak jujur. Kamu bahkan gak usaha buat perbaiki semuanya. Karena harus selalu aku yang mulai obrolan, walau bahkan selalu kamu tolak... ”

“Sera, bukan gitu…”

“Udah, Lar, cukup ngelaknya. Aku rasa kamu bukan Lara yang aku kenal. Atau mungkin, dari awal aku gak pernah kenal kamu sebenarnya.”

“Sera, tolong... jangan bilang gitu…”

“Aku muak, Lar. Aku capek jadi satu-satunya yang coba perbaikin pertemanan kita," Sera behenti sejenak, menghapus buliran bening di sudut matanya. "Makasih udah pernah jadi teman yang baik. Dan selamat, kamu udah berhasil cukup jahat, Lara.”

Sera pergi.

Satu-satunya temannya, telah meninggalkannya.

Lara berdiri di trotoar. Menatap jalanan. Air matanya jatuh satu per satu. Tapi ia hapus cepat-cepat. Ia menunduk dan berjalan pulang. Dunia terasa asing. Dadanya sakit.

*****

Lara pulang dengan langkah lunglai. Senja telah padam. Langit menghitam. Begitu ia membuka pintu pagar rumah.

Byur!

Air dingin menyiram wajah dan tubuhnya. Wajahnya terperanjat, rambutnya menempel di pipi, napasnya tercekat.

Di ambang pintu, berdiri ibunya, dengan ember kosong di tangan dan amarah di matanya.

“Main! Main aja terus! Nggak usah pulang sekalian!”

Lara diam. Tubuhnya gemetar.

“Liat jam, Lara! Udah jam tujuh! Makin lama kamu makin membangkang ya? Jadi anak baik aja udah nggak bisa, lalu kamu gunanya apa, hah!?”

“Ibu...”

“Satya nangis nyariin kamu! Kata Luna kamu pergi dandan segala, mau ke mana hah? Udah bukan anak kecil, tapi kelakuan makin nyusahin!”

Air masih menetes dari wajahnya. Tapi kini bercampur air mata. Lara tak sanggup menjawab. Ia hanya masuk pelan, berjalan melewati ibunya, lalu masuk ke kamar.

Ia mengunci pintu, dan sengambil buku catatan.

Lara mulai menulis puisi. Berjudul aku ingin jadi jahat, yang kesekian kalinya. Isi dengan kata yang berbeda namun, judul yang sama.

 

Aku ingin jadi jahat,

supaya saat aku pergi, tak ada yang bertanya kenapa.

supaya aku tak perlu lagi menjelaskan luka yang tak pernah tampak di kulit,

supaya diamku tak lagi dianggap salah.

 

Aku ingin jadi jahat,

supaya aku berhenti jadi boneka di rumah ini,

yang disuruh patuh tapi tak pernah ditanya mauku.

 

Aku ingin jadi jahat,

supaya aku bisa menangis tanpa harus sembunyi,

supaya saat aku hancur,

tak ada yang bilang 'kamu kuat kok'.

 

Aku ingin jadi jahat,

tapi kenapa jahatku justru lebih menyakitiku sendiri?

dan kenapa, tak satu pun dari kalian, berusaha tetap tinggal?

 

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 3 0 1
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
HIRI
179      149     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?
Surat Kaleng Thalea
4513      1305     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Glitch Mind
78      70     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Me vs Skripsi
3595      1488     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
The Unbreakable Love
108      101     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
JUST RIGHT
202      174     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
3030      1637     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Langit-Langit Patah
48      41     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Di Bawah Langit Bumi
4026      1877     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Atraksi Manusia
893      595     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...