Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Tidak ada yang lebih bising daripada sekolah yang pura-pura ramah. Di antara suara tawa dan langkah sepatu, Lara berjalan pelan—seolah tak ada yang melihatnya, dan mungkin memang begitu. Ia bukan bayangan, tapi orang-orang memperlakukannya seperti itu.

"Itu dia, Lara. Masih berani muncul juga, ya."

"Pura-pura polos, padahal mah tukang bully"

Beberapa siswa melempar kertas kusut ke arahnya, bahkan ada yang menjatuhkan botol plastik kosong di jalannya. Lara menahan napas, berusaha mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal erat di sisi roknya, menahan air mata yang hampir tumpah.

Sesampainya di kelas, pandangannya tertuju pada Sera yang sedang tertawa bersama Zea, Kesya, dan Citra. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya—lega karena Sera memiliki teman lain, namun juga merasa tersisih.

Saat Lara hendak duduk, Sera menghampirinya dengan senyum canggung, menyodorkan kotak susu cokelat.

"Lara, nenekku bawain sepuluh susu cokelat tadi pagi. Aku udah bagi-bagi ke yang lain, tapi aku simpen satu buat kamu. Soalnya kamu spesial, kan sahabat aku."

Lara menatap susu itu sejenak sebelum menggeleng pelan. "Makasih, tapi kasih aja ke yang lain," tolaknya halus.

Senyum Sera memudar. "Lara, kalau kamu masih marah soal kemarin, aku minta maaf ya. Aku bakal bantu jelasin lagi ke Bu Meri... "

Isakan kecil terdengar dari Sera, menarik perhatian seisi kelas.

"Lara mulai bully Sera lagi tuh."

Sera buru-buru menghapus air matanya. "Nggak, nggak gitu kok."

Lara menghela napas. "Kayaknya kamu duduk sama Citra dulu deh. Takut orang-orang makin salah paham."

"T-tapi, Lar..."

Tanpa menunggu jawaban, Lara mengalihkan pandangannya ke jendela, membiarkan Sera membawa tasnya sendiri dan duduk di sebelah Citra.

*****

Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai. Bu Meri, yang juga merupakan guru BK.

"Anak-anak, hari ini kita akan membahas esai tentang pertemanan. Siapa yang mau mencoba menjawab soal pertama di papan tulis?"

Lara dan Sera serempak mengangkat tangan. Bu Meri menatap keduanya sejenak sebelum menunjuk Lara.

Dengan langkah mantap, Lara maju ke depan dan menuliskan jawabannya. Setelah selesai, Bu Meri mengangguk puas.

"Bagus, Lara. Kamu memang pintar."

Lara tersenyum tipis.

"Ngomong-ngomong, apa kamu sudah sadar akan kesalahanmu kemarin? "

Lara menunduk sejenak, lalu menatap Bu Meri dengan tegas. "Iya, Bu. Saya sadar. Lain kali saya akan lebih hati-hati supaya tindakan saya gak membuat orang lain tersakiti."

Bu Meri mengangguk. "Bagus. Ibu suka cara berpikir kamu. Ibu akan percaya kamu bisa berubah."

Sera menunduk, merasa tersisih. Pujian itu membuat dadanya sesak, seolah semua kesalahan kemarin dibebankan padanya.

*****

Waktu istirahat tiba. Sera menghampiri Lara yang sedang merapikan bukunya.

"Lara, ke kantin yuk! Bareng aku, Zea, Kesya, dan Citra!"

Lara menggeleng halus. "Maaf ya, Sera. Aku mau makan di taman belakang aja."

Sera mengangguk lesu, meski wajahnya menyiratkan kekecewaan.

Di taman belakang yang sejuk dan rindang, Lara duduk di bangku panjang di bawah pohon flamboyan. Ia membuka bekalnya sambil mengerjakan soal-soal matematika, menikmati ketenangan yang jarang didapatkannya akhir-akhir ini.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Suara tawa kecil terdengar mendekat. Zea, Kesya, Citra, dan Sera muncul di taman.

"Sera, kamu ngajak kita ke sini karena Lara, ya? " tanya Zea dengan nada menyelidik.

Sera terlihat gugup. "Nggak... aku cuma pikir tempatnya adem aja,"

Kesya mencibir. "Padahal sih, kayaknya Lara mau curi start belajar UTS. Biar nilainya tetap di atas,"

"Bilang aja nggak mau bareng kita. Nggak usah pake alasan mau tenang lah apalah," sambung Zea dengan nada menyebalkan. "Ambisius banget, ya. Nggak mau kalah, padahal kita udah coba baik sama dia, tapi dianya aja kayak gak mau dideketin."

Lara pura-pura tak mendengar, tapi telinganya panas. Kata-kata mereka menusuk hatinya.

Sera masih diam. Namun dari ekspresinya, Lara tahu... ia mulai percaya juga bahwa Lara memang ingin menjauh, ingin menang sendiri.

"Ya udah, biarin aja dia belajar sendirian, " kata Zea, lalu berjalan menjauh. Sera tertinggal di belakang, menatap Lara.

"Lara... apa bener kamu menjauh karena takut kalah dari aku? "

Lara mengangkat wajahnya. Matanya tak sekilat biasanya, tapi tetap tajam.

"Bukan takut kalah, Sera. Tapi... aku capek. Capek dibilang jahat, capek disalahpahami. Dan kalau kamu sekarang lebih deket sama mereka, ya... silakan. Aku nggak bisa terus-terusan jagain perasaan semua orang,"

Sera terpaku mendengar ucapan Lara. Kata-kata itu menghantam seperti gelombang yang menghantam batu karang—pelan tapi pasti mengikis sesuatu dalam dirinya.

"Aku… aku nggak pernah minta kamu jagain perasaan semua orang," ucap Sera lirih. "Aku cuma minta satu hal, berhenti jauhin aku,"

Lara tersenyum miris. "Walau gak pernah minta, tapi itulah diri aku. Kadang, jaga jarak itu bukan karena benci, Ser. Tapi karena aku juga harus belajar jaga diri sendiri."

Sera menggeleng cepat. "Tapi kamu berubah, Lar. Dulu kamu yang ngajarin aku buat percaya diri, buat nggak takut sama omongan orang. Tapi sekarang… kamu malah sembunyi. Kamu lebih milih sendiri daripada bareng aku."

Lara berdiri, merapikan bekalnya. "Mungkin... karena aku juga lagi nyari siapa sebenarnya aku. Asal kamu tau Sera, aku mulai lelah jadi anak baik."

Sera menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Kamu bener-bener berubah Lara. Aku tahu kamu capek, tapi kalau kayak gini kamu kayak gak anggep aku sahabat kamu dari awal,"

Lara tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai mendung, lalu berkata pelan, "Maaf Sera, karena udah jadi temen yang buruk buat kamu,"

Tetes air mata jatuh di pipi Sera. Ia menunduk, tak berani menatap Lara. "Lara, apa kita masih temenan? Cuman gara-gara kesalahpahaman kemarin?"

Lara memalingkan wajah. Hatinya sendiri perih. Tapi ia tahu, diam hanya akan membuat semua semakin menggantung.

"Tentu, Sera. Tapi kali ini tinggalin aku sendiri dulu, ya?" ucap Lara akhirnya.

Sera mengangguk pelan, meski hatinya menolak. Ia melangkah mundur dengan langkah berat, lalu pergi menyusul Zea dan yang lain tanpa berkata lagi.

Lara menatap punggung sahabatnya itu hingga menghilang di balik pepohonan. Perasaannya campur aduk—lega, bersalah, hampa. Ia meremas ujung roknya yang terlipat, mencoba mengusir getaran di dadanya.

Ia mendongak ke langit. Awan-awan kelabu menggantung rendah, seakan tahu ada yang sedang patah hati di bawahnya.

“Kenapa harus serumit ini…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Kenapa temenan aja bisa seberat ini?”

Ia memejamkan mata sebentar, mengingat masa-masa ketika mereka tertawa di bangku yang sama, berebut cemilan di jam istirahat, atau saling dukung saat salah satu ada masalah. Semua terasa jauh sekarang.

Langkah kaki mendekat membuat Lara membuka mata. Bukan Sera. Bukan Zea. Tapi Bu Meri.

Guru itu berdiri di sisi bangku, menatap Lara dengan ekspresi lembut.

“Kamu nggak ke kantin, Lara?”

Lara buru-buru menyeka wajahnya. “Enggak, Bu. Lagi nggak lapar.”

Bu Meri duduk di ujung bangku, menjaga jarak. “Saya tahu kamu lagi berat. Semua orang bisa salah, termasuk guru. Kalau saya salah dalam menangani hal kemarin, saya minta maaf, dengan tulus.”

Lara menggeleng cepat. “Bukan Ibu yang salah… saya aja yang belum ngerti gimana caranya jadi baik tanpa menyakiti orang.”

“Kamu lagi belajar,” sahut Bu Meri. “Kadang, orang-orang nggak sabar melihat proses seseorang berubah. Mereka cuma lihat hasil akhir. Tapi saya lihat kamu berusaha, dan itu penting.”

Lara menghela napas panjang. “Tapi kayaknya semua orang udah bikin penilaian mereka, Bu. Sekali dicap jahat, susah banget buat lepas.”

“Kamu nggak harus nyenengin semua orang,” kata Bu Meri sambil tersenyum tipis. “Yang penting kamu tahu kamu berusaha jadi lebih baik dari kemarin.”

Lara menunduk. “Saya cuma pengen dipahami. Sama sahabat saya.”

“Hm.” Bu Meri menepuk bahunya perlahan. “Kalau dia sahabat beneran, dia juga lagi belajar memahami kamu. Mungkin nggak sekarang, tapi nanti.”

Lara diam. Tidak menjawab. Tapi dalam diam itu, hatinya sedikit lebih hangat. Setidaknya ada satu orang dewasa yang tidak serta-merta menyalahkannya.

*****

Bel berbunyi. Suara langkah kaki siswa terdengar kembali memenuhi lorong. Lara berdiri dan berpamitan pada Bu Meri sebelum masuk kelas.

Saat ia duduk di bangkunya, Sera sempat menoleh. Ada jeda sejenak. Tapi tak ada sapa. Hanya anggukan kecil dari Sera, dan balasan yang nyaris tak terlihat dari Lara.

Itu bukan akhir. Tapi juga bukan awal yang baru.

Mungkin, suatu hari, mereka akan saling bicara lagi. Mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti—mereka pernah punya ikatan, dan itu tak akan pernah sepenuhnya hilang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Bintang Sang Penjaga Cahaya
67      62     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?
The Unbreakable Love
41      40     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Dunia Alen
5654      1666     2     
Romance
Alena Marissa baru berusia 17 belas tahun, tapi otaknya mampu memproduksi cerita-cerita menarik yang sering membuatnya tenggelam dan berbicara sendiri. Semua orang yakin Alen gila, tapi gadis itu merasa sangat sehat secara mental. Suatu hari ia bertemu dengan Galen, pemuda misterius yang sedikit demi sedikit mengubah hidupnya. Banyak hal yang menjadi lebih baik bersama Galen, namun perlahan ba...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
628      283     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Simfoni Rindu Zindy
648      515     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Fusion Taste
139      126     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
After Feeling
5819      1879     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
The Future Husband Next Door
294      226     4     
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia.. Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
Wabi Sabi
90      73     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Wilted Flower
287      215     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...