Sera sudah mencoba menghubungi Lara berkali-kali sejak pagi buta. Tak ada jawaban. Hanya centang satu. Ia duduk gelisah di halte bus—tempat yang kemarin menjadi awal pertemuan mereka. Angin pagi berembus pelan, tapi tidak cukup untuk menenangkan hatinya. Rasa khawatir mulai menyelusup. Sera tidak tahu di mana rumah Lara. Jika Lara tak datang... dia tak punya cara lain.
Sementara itu, Lara masih berjibaku dengan pekerjaan rumah. Tangan mungilnya sibuk mencuci piring, lalu bergegas menggantung cucian, menyapu lantai yang berdebu, dan tak lupa memilih baju yang akan dikenakan Satya, adiknya.
Pagi ini, seperti biasa, ia juga harus menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya dan ketiga adiknya yang selalu bangun lapar. Hari Minggu bukan berarti istirahat bagi Lara—justru makin sibuk dari hari biasa.
Pukul tujuh tepat, Lara akhirnya selesai. Napasnya berat, namun ia tak boleh terlambat. Ia segera mengganti bajunya, menyisir rambut seadanya, dan melangkah cepat menuruni tangga. Tapi belum sempat mencapai lantai bawah, langkahnya terhenti.
Ayahnya sudah bangun—duduk di kursi makan, menyeruput teh hangat, dengan mata tajam yang langsung mengarah padanya.
"Mau ke mana kamu?" suara Leo serak, tapi penuh tekanan.
Lara menelan ludahnya. Ia tahu betul—kalau ia bilang mau ikut kegiatan relawan, pasti akan dilarang. Apalagi kalau mengaku sekadar main.
"Kerja kelompok, Yah," jawabnya cepat, berusaha terdengar meyakinkan.
"Di mana?"
"Rumah temen..."
Leo tak langsung membalas. Pandangannya turun mengamati pakaian Lara. Lama. Terlalu lama.
"Rok kamu kependekkan. Ganti."
Tanpa membantah, Lara berbalik dan berlari kembali ke kamar. Jantungnya berdetak cepat. Ia mengganti roknya dengan celana panjang lalu menuruni tangga dengan langkah tergesa.
"Gak perlu saya antar kan?"
Lara menggeleng cepat. "Nggak, Yah. Lara naik bis aja."
Leo mengangguk pelan, meski sorot matanya tak melepaskan kecurigaan. "Langsung pulang! Kamu tahu kan jam dua siang kamu harus ngajarin Satya belajar. Adik kamu itu gak mau belajar tanpa kamu."
"Iya, Yah. Lara berangkat dulu."
Begitu berada di luar, Lara nyaris berlari menuju halte. Dan di sanalah Sera—masih setia menunggu, mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. Begitu melihat Lara datang, wajahnya berubah lega.
"Akhirnya! Aku kira kamu nggak bisa datang..."
"Maaf ya nunggu lama. Aku beres-beres rumah dulu tadi," ujar Lara sambil mengatur napas.
Sera mengangguk. Tak lama, bus yang mereka nanti datang. Mereka naik, duduk berdampingan, dan berbagi satu earphone. Musik lembut mengalun, menemani pemandangan jalanan yang berlarian di balik jendela. Sesekali, mereka saling tersenyum dan tertawa.
*****
Bus berhenti tak jauh dari sebuah gedung sederhana bercat putih yang dikelilingi pepohonan rindang. Di depannya, sudah berkumpul beberapa anak muda dengan pakaian kasual rapi, tampak antusias. Di antara mereka ada yang membawa papan nama, kamera, bahkan sekotak kue untuk dibagikan.
Lara dan Sera turun dari bus dan langsung menghampiri kerumunan. Salah satu koordinator, seorang perempuan berkerudung abu-abu dengan clipboard di tangan, menyambut mereka.
“Kalian relawan baru ya? Namanya siapa?”
“Sera,” jawab Sera, lalu menunjuk temannya, “Ini Lara.”
Koordinator itu tersenyum ramah. “Aku Ninda. Makasih udah datang hari ini, ya. Sekarang kumpul dulu di halaman, kita mau briefing sebentar sebelum mulai.”
Lara dan Sera mengikuti langkahnya, bergabung dengan belasan relawan lain yang sudah duduk melingkar di atas tikar. Tak lama kemudian, panitia membagikan rompi berwarna biru tua bertuliskan Relawan Panti Ceria. Kainnya ringan tapi cukup membuat mereka merasa seperti bagian dari sesuatu yang besar.
“Rompinya dipakai dulu, ya, biar anak-anak gampang kenal kalian,” kata Ninda sambil membagikan beberapa name tag.
Setelah semua siap, seorang pria muda dengan suara lantang berdiri di tengah lingkaran. “Oke, teman-teman! Hari ini kita akan fokus ke dua kegiatan utama, pendampingan kreatif dan hiburan edukatif. Jadi, ada yang ngajarin puisi, baca, gambar, dan ada juga yang bakal ngisi sesi dongeng. Kita mulai jam sembilan, dan selesai jam satu siang. Istirahatnya nanti bareng anak-anak.”
Sera dan Lara saling berpandangan, senyum kecil tersungging. Mereka berdua sudah tahu peran masing-masing—Lara akan mengajarkan puisi, dan Sera akan mendongeng. Hati mereka campur aduk antara gugup dan semangat.
Setelah briefing selesai, rompi sudah terpasang rapi di tubuh, dan name tag bergoyang kecil terkena angin, mereka semua bergerak masuk ke dalam. Hari itu akan panjang, tapi hati mereka sudah siap untuk memberi.
Ruangan tempat kegiatan berlangsung sederhana tapi hangat. Dindingnya penuh gambar dan hasil karya anak-anak. Beberapa tikar digelar di lantai, dan para relawan mulai mengambil posisi. Anak-anak panti, dengan mata penasaran dan langkah riang, masuk satu per satu. Mereka duduk, sebagian langsung merapat ke relawan yang tampak ramah, sebagian lagi hanya duduk malu-malu di pojok.
Lara menarik napas dalam. Di depannya duduk lima anak perempuan usia sekitar sepuluh tahun. Mereka menatap Lara penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok agar sejajar dengan mata mereka.
“Hari ini kita bakal main kata-kata. Kalian tahu puisi?”
Salah satu anak, yang rambutnya dikuncir dua, mengangkat tangan. “Itu yang berima-rima ya, Kak?”
Lara tersenyum. “Bisa berima, bisa juga nggak. Tapi yang pasti... puisi itu tentang perasaan. Tentang hal kecil yang buat hati kita hangat.”
Ia menuliskan beberapa kata di kertas karton—“rumah”, “langit”, “ibu”, “main hujan”—lalu meminta anak-anak memilih satu kata yang mereka suka, dan mengajak mereka merangkai kalimat sederhana dari sana. Satu per satu tangan kecil itu mulai menulis, kadang sambil bertanya, kadang hanya menatap kosong lalu tiba-tiba tersenyum karena menemukan ide.
Seorang anak bernama Putri menulis, “Langit hari ini seperti mata Ibu yang sedang sedih.” Lara membacanya perlahan, hatinya menghangat. Ia tahu, puisi kecil itu punya luka tersembunyi di baliknya.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Sera duduk di atas bantal besar, dikelilingi sekelompok anak yang lebih kecil. Di tangannya ada buku dongeng bergambar. Tapi bukan itu yang jadi pusat perhatian—melainkan cara Sera membawakan cerita.
“Dan... si kelinci itu masuk ke dalam hutan gelap. Tapi tahu nggak dia takut? Nggak! Karena dia punya satu kekuatan…”
“Apaaa?” seru anak-anak serempak, matanya membulat penuh antisipasi.
Sera mendekat, berbisik dramatis, “Hatinya baik.”
Gelak tawa pecah. Anak-anak menepuk-nepuk tangan mereka sendiri, lalu menyambung cerita dengan imajinasi mereka. Sera membiarkan mereka ikut membentuk akhir cerita. Ia hanya memberi ruang, dan anak-anak mengisinya dengan dunia mereka sendiri.
Waktu berjalan cepat. Sebelum mereka sadar, matahari sudah mulai naik ke tengah. Lara menatap jam, lalu ke arah Sera yang sedang duduk kelelahan tapi tersenyum lebar.
Mereka berdua saling bertukar pandang dari kejauhan—dan tanpa berkata apa-apa, mereka tahu… hari ini berarti. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk mereka sendiri.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Para relawan mulai merapikan alat tulis, buku dongeng, dan kertas-kertas puisi yang berserakan.
Anak-anak terlihat masih enggan berpisah. Sebagian memeluk erat buku cerita yang baru saja mereka pinjam, sebagian lain menggenggam puisi kecil yang mereka tulis bersama Lara.
Lara baru saja melipat kertas terakhir ketika Putri—anak kecil berambut kuncir dua tadi—berdiri di depannya sambil menyodorkan secarik kertas warna biru muda.
“Ini buat Kak Lara,” ucapnya lirih, malu-malu.
Lara menerimanya, membuka lipatan pelan-pelan.
Tertulis dengan huruf besar-besar:
Kak Lara baik. Seperti awan yang lembut.
Aku pengen jadi seperti Kak Lara.
(Dari Putri)
Lara nyaris tak bisa bicara. Tenggorokannya tercekat. Ia memeluk Putri dengan lembut, menahan air mata yang mulai menggenang.
“Terima kasih, Putri. Kakak juga senang banget hari ini.”
Di sisi lain, Sera baru saja selesai membereskan buku dongeng saat seorang anak laki-laki tiba-tiba memeluknya dari samping.
“Kak Sera jangan pulang dulu dong,” katanya dengan suara cemberut.
Sera terkekeh pelan, membelai kepala anak itu. “Kakak harus pulang, tapi minggu depan Kakak bisa balik lagi, gimana?”
“Janji?” sergah anak-anak lain yang tiba-tiba ikut mengerubungi Sera.
“Janji,” jawabnya sambil mengangkat kelingking. Serentak semua anak mengaitkan jari mereka ke jarinya, membuat Sera tertawa haru.
Tak lama kemudian, panitia mulai memanggil para relawan untuk berkumpul dan bersiap pulang. Lara dan Sera melambai pada anak-anak yang kini berdiri berjajar di depan pintu, meneriakkan ucapan terima kasih dan janji untuk bertemu lagi.
Saat bus mulai berjalan meninggalkan area panti, Sera menyandarkan kepala di jendela. “Aku nggak nyangka mereka seceria itu…”
Lara menoleh, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Aku juga, untungnya aku berhasil datang hari ini.”
Mereka berdua saling tersenyum dalam diam, mengenang setiap tawa, setiap mata berbinar, dan setiap kata jujur yang ditulis dari tangan kecil hari itu.
Bukan hanya tentang menjadi relawan, tapi juga pelajaran tentang memberi, menerima, dan merasakan—dengan cara yang paling tulus.
*****
Setelah selesai mengunjungi panti asuhan, Lara dan Sera memutuskan untuk duduk di taman dekat jalan utama. Mereka membeli es krim di kios terdekat dan duduk di kursi panjang di taman, sembari menikmati udara sore yang sedikit dingin. Sambil menyantap es krim, mereka saling bertukar cerita.
Lara memulai, suaranya rendah, tapi ada kepedihan yang bisa dirasakan. "Sera aku mau nanya deh,"
Sera menatap Lara dengan santai sembari memakan es krimnya. "Boleh, nanya apa?"
"Aku kan anak pertama, dan entah kenapa mereka tuh ngerasa punya hak penuh atas hidup aku. Bahkan untuk sekedar menolak perintah orang lain aja mereka gak mau. Emang boleh ya?"
Sera diam menunggu Lara kembali berucap.
"Aku nggak boleh punya pendapat sendiri. Kalau aku nggak ngikutin maunya mereka, aku sering dihukum. Kadang mereka nggak segan-segan... bahkan tampar aku. Itu udah jadi biasa."
Sera terdiam sejenak, matanya beralih ke siku Lara yang terlihat ada bekas memar. Lara, dengan segala keberaniannya, tak menutupi luka itu. Sera merasa hatinya bergetar, seolah ikut merasakan penderitaan Lara.
Lara akhirnya membuka suara. Suaranya lembut, tapi ada kepedihan yang dalam. "Kalau kamu tahu, aku tuh nggak seberuntung itu," ucapnya lirih.
Ia menunduk sebentar, seolah menimbang kata-kata, lalu melanjutkan dengan nada pelan. "Di rumah, aku malah merasa kayak bukan bagian dari keluarga. Aku tahu, adikku bisa bebas, bisa ngelakuin apa aja. Tapi aku?"
Lara menarik napas, matanya menerawang ke kejauhan. "Aku tuh kadang ngerasa jadi anak tiri. Aku nggak pernah merasa diterima sepenuhnya. Aku kayak nggak punya tempat di sana."
Ia berhenti sejenak, suaranya tercekat. Jemarinya saling meremas di pangkuan. "Bahkan... aku nggak tahu apa tujuan hidupku. Ke mana aku mau pergi."
Sera menatap Lara dengan penuh perhatian. "Aku ngerti, kok. Kadang hidup itu emang nggak adil, kan? Tapi kita harus tetap berjuang buat diri kita sendiri."
Lara menundukkan kepala, terdiam beberapa saat, lalu mengambil napas dalam. Ia menggenggam sendok es krimnya, sedikit memainkannya.
"Yang pasti, aku suka banget sama puisi. Itu satu-satunya hal yang bikin aku merasa dihargai. Pas Putri kasih tulisan itu tadi... aku hampir nangis. Karena itu pertama kalinya aku merasa ada orang yang ngertiin aku, ngerti siapa aku, walaupun cuma lewat kata-kata."
Sera terdiam mendengarkan, lalu mengangguk pelan. "Kamu emang pantas merasa dihargai, Lara. Kalau dunia terasa begitu berat buat kamu, jangan lupa kalau kamu punya aku, datang aja ke aku, nanti aku peluk kamu."
Lara tersenyum tipis, matanya berbinar. Tapi Sera, yang selalu terlihat kuat, tiba-tiba membuka hatinya juga. "Kamu tahu, Lara... aku tuh yatim piatu. Nenekku yang besarin aku sendirian. Kadang aku ngerasa bersalah udah jadi beban dia di masa tuanya. Tapi dia nggak pernah ngeluh dan terus sayang sama aku."
Lara menatap Sera dengan mata penuh empati. "Sera... kamu beruntung, punya nenek yang sayang banget sama kamu."
Sera terdiam, lalu menghela napas. "Tapi, Lara... aku juga sering ngerasa kurang. Lihat deh tubuh aku, aku nggak pede sama badan aku yang... gendut ini. Makanya aku suka di bully, makanya aku pindah sekolah."
Sera kembali menunduk. "Kadang aku iri liat kamu Lara, Kamu tuh cantik, langsing, tinggi, berbanding terbalik sama aku,"
Lara mengangkat wajahnya, menatap Sera dengan tatapan yang penuh pengertian. "Sera, kita nggak bisa ngebandingin diri kita sama orang lain. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Yang penting, kita punya hati yang baik, kan?"
Sera tersenyum, meski terlihat sedikit ragu. "Kamu bener sih."
Mereka terdiam sejenak, menyerap segala percakapan yang baru saja terjadi. Angin sore yang lembut berhembus, membawa kedamaian meskipun hati mereka masih terisi dengan luka-luka yang sulit disembuhkan.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏