Loading...
Logo TinLit
Read Story - GEANDRA
MENU
About Us  

"Ini bukan tentang siapa yang datang pertama, tapi tentang dia yang mau berjuang sampai bisa."

-Geandra-

 

***

Ya Nabi salam 'alaika

Ya Rasul salam sejahtera 

Ya habib salam 'alaika

Sholawatullah 'alaika

 

Lantunan sholawat itu mengalun merdu. Menembus setiap indera yang masih berada di dalam kamar bernuansa putih hijau. Setelah menunaikan sholat sunnah Dhuha, ia bersama rekan-rekannya kembali memakai hijab karena jam istirahat sebentar lagi berakhir. 

 

Berhubung istirahat pertama hanya sebentar, maka Qibty memilih asrama santriwati untuk menunaikan sholat Dhuha. Ia tidak kembali ke ndalem karena khawatir jam pelajaran berikutnya akan ketinggalan.

 

Sembari menunggu temannya yang lain, Qibty memilih membaca buku sambil melantunkan sholawat dengan suara kecil. Kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika ada waktu luang.

 

Ning, sampean tahu, kan, santri baru yang kemarin?” tanya Wirda yang sedang memakai peniti.

 

Qibty menoleh sebentar, lalu kembali pada kegiatannya. "Tau. Memangnya kenapa, Wir?"

 

"Tadi pas jamaah Subuh kan, aku nggak sengaja lihat dia. Masya Allah, Ning...dia ganteng banget. Suer!" cerita Wirda dengan mengangkat jari telunjuk dan tengah secara bersamaan.

 

“Mungkin sebelas dua belas kalau dibandingkanin sama Gus Naufal.”

 

Moso iyo, sih, Wir? Gantengan Gus Naufal kemana-mana,” timpal Kaila yang baru selesai berdoa.

 

"Lah, aku serius Kai. Coba deh nanti kamu lihat," balas Wirda tidak mau kalah.

 

"Ini pada ngomongin siapa, sih?" Muna yang baru datang pun ikut bergabung dalam topik. Gadis dengan pakaian olahraga itu segera melepas jilbabnya dan langsung menyalakan kipas.

 

"Itu lho, Na. Santri yang kemarin datang ke rumah Abah itu. Kamu pernah lihat kan?"

 

Yang ditanya mengangguk cepat. "Iya, pernah."

 

"Tampan, kan?" tanya Wirda antusias.

 

“Mm, biasa aja sih, menurutku. Masih gantengan ustaz Hisyam,” jawab Muna sambil senyum-senyum sendiri.

 

Spontan, kaum ketiga hawa itu meneriaki dirinya. Mereka maklum jika Muna mengatakan hal tadi, karena hampir seluruh penghuni asrama Fatimah Az-Zahra tahu kalau gadis asal Aceh itu menyukai Hisyam, salah satu ustad yang dikagumi seantero pesantren setelah Gus Naufal--kakaknya Qibty, dan mungkin setelah ini Gean akan menjadi kandidat selanjutnya.

 

"Terserah kalian, ya, mau pilih yang mana, tapi bisa nggak kita kembali ke sekolah sekarang? Bentar lagi masuk," mohon Qibty sekaligus menghentikan kejadian di garing mereka. 

 

Selain itu, pendengaran juga sudah jengah mendengar nama Gean disebut dimana-mana. Entah apa keistimewaan yang dimiliki cowok itu sampai-sampai kakaknya Hana pun mengaguminya.

 

Berhubung satu kelas dengannya hanya Wirda, mereka pun langsung pergi meninggalkan dua temannya yang masih melakukan kegiatan lain. Qibty bernapas lega setelah melihat beberapa teman kelasnya yang lain masih makan di kantin asrama. Itu tandanya, jam istirahat belum usai. 

 

Baru beberapa langkah dari pekarangan asrama, suara khas yang pernah terdengar membuat niat mereka harus tertahan. Kedua gadis itu berbalik dan melihat ke sumber suara. 

 

"Assalamu'alaikum, Qibty," sapa wanita dengan jilbab yang hanya tersampir di bahu dengan senyum merekah. Kedua tangannya menenteng paper bag dengan ukuran sedang. 

 

Berbeda dengan Wirda yang menatap penuh heran pada wanita di depannya, Qibty malah tersenyum dan segera menghampiri wanita yang bukan lain adalah Jihan.

 

"Wa'alaikumussalam, Bu Jihan. Ada yang bisa saya bantu?"

 

"Ah iya, Ibu boleh minta tolong?"

 

"In sya Allah selama saya bisa bantu, Bu."

 

"Ibu titip ini untuk Gean, ya."

 

Qibty sedikit terkejut dengan permintaan Jihan tadi. Masalahnya, baik ustadzah maupun pengurus tidak akan memperbolehkan santriwati bertemu dengan putra santri kecuali dengan alasan yang bisa diterima. Selain itu, Gean juga tidak bersekolah di tempat yang sama dengannya. Lalu bagaimana caranya ia akan memberikan titipan itu?

 

Melihat Qibty yang masih teringat, membuat Jihan berpikir. Ia akhirnya mengerti mengapa gadis itu belum bersuara. “Tadi Ibu mau titip ke ndalem, tapi sepertinya Abahmu sama Ummah lagi keluar ya.”

 

Qibty baru menyadari jika orang tuanya sedang bersilaturahmi ke rumah pamannya di Banten. Kakaknya Hana juga masih kuliah. 

 

Kebetulan Ibu lihat Qibty. Mungkin Nak Qibty mau bantuin Ibu, soalnya Ibu ada rapat di kantor hari ini. Kalau bisa ditinggal, mungkin Ibu bisa menunggu sampai Gean pulang sekolah,” jelas Jihan mencoba meyakinkan.

 

"Bantuin aja, Ning. Nanti, kan, bisa dititipkan lewat Mirza," bisik Wirda tidak tega melihat raut wajah Jihan.

 

Akhirnya, dengan bisikan dari Wirda, Qibty mengambil paper bag itu. "In sya Allah, saya akan sampaikan pesan ibu kepada Gean."

 

Jihan mendengarnya tersenyum. “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Nak Qibty.”

 

"Sama-sama, Ibu."

 

Setelah urusannya selesai, Jihan langsung pamit pulang karena harus menghadiri rapat penting di kantor. Sebelum berangkat, ia juga sempat menitipkan salam kepada Gean.

 

Wirda dan Qibty yang masih berada di tempat itu juga segera berlalu ke kelas karena jam istirahat sudah berakhir.

 

"Jadi itu ibu Gean, ya?" Qibty mengiyakan. "Masya Allah cantik banget. Definisi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," gumam Wirda terkagum-kagum.

 

"Tapi, kok, dia bisa kenal sama Ning Qibty?" tanya Wirda masih penasaran.

 

"Ceritanya panjang. Lain kali aja, ya, aku cerita," balas Qibty mempercepat langkah sebelum guru yang bersangkutan tiba di dalam kelas.

 

***

 

Terik matahari terasa begitu menyengat siang ini. Selain karena memasuki musim kemarau, kepungan dari asap kendaraan yang berada di depannya membuat udara semakin terasa pengap. 

 

Ya, mereka saat ini tengah menjadi korbban dari kemacetan panjang. Tidak ingin wajah bersihnya terkontaminasi bakteri, Gean cepat-cepat menutup mukanya dengan kaca helm, meskipun ia tahu hal tersebut akan membuat tubunya semakin gerah.

 

"Gila! Udaranya panas banget. Malah macetnya masih panjang lagi," gerutu Juna yang duduk di belakang.

 

Berbeda dengan Gean, Juna langsung membuka seragamnya dan hanya menyisakan kaos oblong putih demi mengurangi keringat yang semakin membasahi tubunya.

 

Setelah sekian menit menunggu di bawah terik, akhirnya mereka dapat melanjutkan perjalanan. Sebelum tujuan mondoknya selesai, mungkin Gean akan sedikit merepotkan teman-temannya yang harus mengantarnya setiap kali akan pergi dan pulang sekolah. Sebenarnya dia bisa saja membawa motor pribadi, namun masih disungkan untuk meminta izin kepada Kyai Zaen.

 

“Makasih ya udah mau gue repotin,” tutur Gean begitu tiba di depan gerbang pesantren. Ia langsung menyerahkan kunci motor pada pemiliknya.

 

“Santai aja, gan. Kayak sama siapa aja lo,” sahut Juna sambil memakai helmnya. “Kalau begitu, gue cabut ya.”

 

"Hati-hati." Gean memelihara punggung sahabatnya sampai bayangannya menghilang. Setelah itu, barulah ia melangkah masuk. 

 

Ketika melewati pekarangan rumah Kyai Zaen, tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil. Remaja berambut ikal itu berbalik, lalu membelokkan langkah ketika Kyai Zaen menyuruhnya masuk. Tanpa membuat pria yang ia hormati menunggu lama, ia melangkahkan kaki jenjangnya ke ruangan yang pernah ia masuki dulu.

 

Di ruang tamu, Gean merasa sedikit canggung karena untuk pertama kalinya ia duduk berdua bersama pimpinan pesantren itu. Demi menyembunyikan kecanggungan tersebut, Gean berpura-pura memusatkan perhatian pada sebuah tulisan kaligrafi di sudut kanan, sampai akhirnya ia dipersilahkan untuk meminum teh yang sudah tersaji. Entah sejak kapan.

 

“Bagaimana rasanya tinggal di pesantren, Nak?” Kyai Zaen membuka percakapan.

 

Remaja itu sedikit gugup mendapat pertanyaan seperti itu. Kalau dia berkata jujur, takut perasaan. Kalau berbohong juga takut dosa. Akhirnya, Gean memilih meneguk minumannya sambil mencari kalimat yang tepat.

 

"Agak kaget sih, Pak Kyai. Soalnya ini pertama kali gue-eh saya, tinggal di pesantren. Apalagi dengan semua aturan dan larangan yang harus dijalani. Sejujurnya, saya sedikit mengalami kesulitan," jawab Gean memelankan suara di terakhir.

 

Mendengar jawaban Gean, Kyai Zaen tersenyum. “Abah maklum dengan ucapan Nak Gean tadi. Semua santri yang baru tinggal di sini juga merasakan hal yang sama, bahkan ada yang sampai menangis berhari-hari karena tidak mau berpisah dari orang tuanya,” kata Kyai Zaen tertawa kecil membayangkan wajah santrinya.

 

“Serius, Pak Kyai?” tanya Gean terlihat antusias.

 

Kyai Zaen mengangguk. Tapi setelah ditemani para asatidz dan teman-temannya yang lain, akhirnya dia bisa beradaptasi dengan kehidupan santri. Dia jadi rajin bangun sholat, pelan-pelan coba hapal Qur'an. Abah yakin, Nak Gean juga bisa seperti mereka. Awalnya memang sulit dan melelahkan, namun jika dibiasakan akan menjadi ringan dan menyenangkan.

 

"Insya Allah, Pak Kyai."

 

“Kalau kamu butuh sesuatu atau mengalami kesulitan, apapun itu, jangan disungkan untuk memberi tahu ustazmu ya. Kalau Nanda merasa kurang sreg, Nanda bisa langsung datang ke rumah, cerita ke Abah.”

 

Gean mengangguk dan tersenyum lebar. Entah kenapa, setiap kali dekat dengan Kyai Zaen hatinya merasa tenang dan nyaman. Ia bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang ayah kepada anaknya. Kasih sayang yang sudah lama hilang dari hidupnya.

 

“Oh iya, satu lagi. Tadi Abah sempat lihat Nanda pulang diantar temannya ya?”

 

“Iya, Pak Kyai. Itu teman saya.”

 

Kalau Nanda mau, di belakang ada motornya Sayyid, putra kedua Abah, tidak dipakai. Kalau Nanda mau, pakai saja, ya.

 

“Bolehkah saya pakai Pak Kyai?” tanya Gean ragu.

 

"Tentu saja, Nak. Sayang juga, kan, kalau ditelantarkan di sana. Pemiliknya masih belum mau pulang. Abah juga bosan melihatnya nganggur di sana. Qibty dan Hana juga jarang menggunakan kendaraan kalau kemana-mana," canda Kyai Zaen.

 

“Terima kasih banyak Pak Kyai,” ungkap Gean langsung mencium tangan pria di depannya. 

 

Setelah itu, Kyai Zaen menyarankan dirinya untuk kembali ke pondok agar beristirahat karena sore nanti dia harus mengikuti beragam kegiatan wajib santri. Gean langsung manut. Ia pun pamit dengan penuh hormat.

 

Kyai Zaen memelihara punggung remaja yang baru saja keluar dengan bantuan napas. Dari balik jendela, ia memperhatikan langkah Gean yang perlahan menghilang di balik bangunan asrama. 

 

“Semoga, Allah memberikan kebahagiaan untukmu, Nak,” gumam Kyai Zaen penuh harap, seakan tahu beban berat yang dipikul laki-laki itu.

 

"Abah lihat siapa lagi?" 

 

Suara itu membuat Kiyai Zaen berbalik. Ia melihat tersenyum putri bungsunya tengah melihat objek yang sama dengannya.

 

"Assalamu'alaikum. Biasakan ucapkan salam, Nduk," tegur pria itu dengan suara lembutnya.

 

“Wa’alaikumussalam, Abah,” sahut Qibty cengengesan. Ia juga meraih punggung tangan abahnya untuk menciumnya. "Abah belum jawab pertanyaan Qibty, lho."

 

"Nduk, menurut kamu, Nak Gean itu bagaimana?" tanya Kiyai Zaen.

 

Alih-alih menjawab pertanyaan, Qibty malah dibuat semakin bingung dengan kalimat abahnya. Kenapa tiba-tiba dia menanyakan orang itu?

 

***

Bersambung ~

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Panggil Namaku!
8891      2271     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Laut dan Mereka
209      139     0     
Fan Fiction
"Bukankah tuhan tidak adil, bagaimana bisa tuhan merampas kebahagiaanku dan meninggal kan diriku sendiri di sini bersama dengan laut." Kata Karalyn yang sedang putus asa. Karalyn adalah salah satu korban dari kecelakaan pesawat dan bisa dibilang dia satu satunya orang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat tersebut terjatuh di atas laut di malam yang gelap, dan hampir sehari lamanya Ka...
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
620      390     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
The Soul Of White Glass
504      364     0     
Short Story
Jika aku sudah berjalan, maka aku ingin kembali ke tempat dimana aku sekarang. Bukan hancur tak sengaja
About love
1300      608     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Before I Go To War
638      458     5     
Short Story
Inilah detik-detik perpisahan seorang pejuang yang tak lama lagi akan berangkat menuju peperangan. \"Selamat tinggal gadis yang tengah asyik bersujud dimihrab yang usang\" -Mustafa-
The Diary : You Are My Activist
15082      2557     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Dia yang Bukan Aku
430      306     0     
Short Story
“Berhentilah menganggap aku tak bisa menafsirkan aksara yang kau rangkai untuk dia.”
Harapan Gadis Lavender
3479      1413     6     
Romance
Lita Bora Winfield, gadis cantik dan ceria, penyuka aroma lavender jatuh cinta pada pandangan pertama ke Reno Mahameru, seorang pemuda berwibawa dan memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Lita mencoba mengungkapkan perasaannya pada Reno, namun dia dihantui oleh rasa takut ditolak. Rasa takut itu membuat Lita terus-menerus menunda untuk mengungkapkan perasaa...
Bukan Untukku
349      244     2     
Short Story
Tak selamanya orang yang kita cintai adalah takdir.