"Mungkin ada beberapa hal yang belum kamu pahami dalam hidup. Terutama tentang takdirmu hari ini. Tapi percayalah, jika kamu tau siapa yang memberikan takdir itu, kamu pasti akan menerimanya."
-Geandra-
...
Hari pertama tinggal di pesantren benar-benar membuat Gean harus terpaksa beradaptasi dengan cepat. Selain peraturan dan larangannya, siklus kehidupan pesantren yang jauh berbeda dengan hidupnya sehari-hari juga harus segera disesuaikan. Kalau tidak, maka dia akan semakin mengalami kesulitan dan mungkin akan sulit untuk diselesaikan.
Contohnya saja pagi ini. Dia hampir tertidur di kamar mandi karena harus bangun jam tiga dini hari untuk sholat tahajjud dan mengaji. Belum lagi harus sholat Subuh berjamaah dan mendengarkan kajian sampai waktu Dhuha. Setelah itu barulah dia bisa melaksanakan kegiatannya sehari-hari.
Sudah hampir satu jam ia tidur dengan posisi duduk di depan lemarinya, lengkap dengan sarung dan sajadah yang masih tersampir di bahunya. Kalau Mirza tidak membangunkannya, mungkin dia akan absen sekolah hari ini.
Dengan rasa kantuk yang masih tersisa, Gean menarik kakinya ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya karena ia sudah mandi sebelum tahajjud tadi. Gean sengaja mandi pagi-pagi sekali karena tidak ingin mengantri panjang lebar.
Lima menit berlalu. Kini remaja tujuh belas tahun itu sudah kembali dengan wajah yang lebih segar. Ia memijit-mijit belakang kepalanya yang terasa pegal akibat posisi tidurnya tadi.
Di kamar bernuansa begitu islami tersebut, tinggal Hanan yang masih mengemasi kitab dan beberapa buku ke dalam tasnya. Sedangkan tiga temannya yang lain sudah pergi ke luar untuk mengambil sarapan yang memang sudah disediakan oleh pesantren. Gean membuka lemarinya, lalu mengambil seragamnya.
“Oh ya, Gean. Nanti ada sarapan bersama di aula asrama putra. Kalau kamu mau sarapan, langsung ke sana saja, ya,” tutur Hanan yang sudah bersiap pergi.
“Lo mau langsung ke sekolah?” tanya Gean dan langsung mendapat anggukan dari lawan bicaranya. “Nggak sarapan?”
“Ana puasa,” jawab Hanan tersenyum lalu berpamitan.
Gean yang masih mengancingi bajunya hanya bisa mengiyakan. Meskipun ia masih penasaran dengan puasa yang sedang dijalani teman sekamarnya itu. Selama ini, Gean hanya tahu puasa Ramadhan. Masalah puasa sunnah lainnya ia belum mengetahuinya.
Sebelum memakai sepatunya, laki-laki itu mengecek sesuatu di dalam tasnya. Takut kalau ada sesuatu yang tertinggal. Begitu semuanya terasa lengkap, barulah ia menapaki jalan keluar pesantren dengan melewati beberapa santri yang mengajaknya untuk sarapan.
Bukannya tidak suka dengan menu yang tersedia di sana, Gean tidak ingin sarapan karena lidahnya belum terbiasa dengan masakan pesantren. Dengan alasan itulah, ia berhasil menolak ajakan dari teman dan para ustaznya.
“Si Juno kagak nyasar, kan? Lama banget ni anak,” gerutu Gean ketika dirinya sudah sampai di depan gerbang pesantren. Ia kembali mengecek jam tangannya, kemudian mendesah panjang.
Kalau tidak mengingat kelasnya sekarang, mungkin dia akan membolos lagi karena harus segera menyelesaikan misinya. Misi untuk memisahkan wanita pengganggu itu dari kehidupan papanya.
“Nungguin, ya?” celetuk seseorang dari samping diakhiri kekehan. Entah sejak kapan dia sampai di sana.
Gean yang langsung tersadar dari lamunannya pun memukul lengan sahabatnya. “Lama banget lo! Sampai kesemutan nih kaki gue,” umpat Gean langsung mengambil kunci motor di saku Juna dan naik ke atas motor ninja hitam milik sahabatnya. Juna pun langsung mengekori dari belakang tanpa membantah.
“Yaelah, sori. Kena macet tadi.” Juna kembali memasang helmnya. “Lagian ada untungnya juga kali, lo nunggu di sini.”
Gean yang tak paham maksud Juna langsung memusatkan pandangannya pada cowok berdarah Sunda itu. Sedangkan sosok yang dipandang pun berdecak sembari mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan jalan. “Tuh. Lo dapat fans baru lagi, kan,” bisik Juna.
Laki-laki yang sudah memakai helm fullface itu juga mengikuti arah pandang Juna. Ia menggeleng pelan ketika berhasil melihat beberapa cewek yang melihatnya dari tadi sambil senyum-senyum sendiri. Gean menjadi risih ditatap seperti itu. Ia pun segera menyuruh Juna yang sedang melambai ke arah cewek-cewek itu untuk naik ke motor.
“Naik atau gue tinggal!” ancam Gean ketika sosok sahabatnya tidak mendengar ucapannya tadi.
Tidak mau mengambil resiko, Juna langsung menghentikan kegiatan tebar pesonanya dan segera menuruti perintah Gean.
***
Masalah mencari jalan pintas untuk segera tiba di sekolah, Gean adalah ahlinya. Ia sudah hapal di luar kepala setiap gang maupun jalan tikus yang ada di kota itu. Karena ia kerap kali melewatinya untuk menghindari keterlambatan. Selain itu, ia sengaja melewati gang-gang sempit untuk mencari tahu keberadan geng Gathel yang dipimpin oleh Gibran, musuh bebuyutan sekaligus anak dari selingkuhan papanya.
Benar saja, dengan keahliannya dalam mencari jalan pintas, mereka berhasil sampai gerbang sekolah tiga detik sebelum satpam menutupnya.
Pak Jamal selaku satpam yang bertugas di sana hanya menggelengkan kepala melihat siswa berprestasi di sekolah itu hampir terlambat.
“Hadeh, kalian lagi, kalian lagi. Besok-besok tidurnya jam sembilan saja, ya. Jangan main game! Untung Bapak belum tutup gerbang,” peringat pria berkumis tebal itu. Mungkin ia sudah jengah melihat beberapa siswa yang kena hukuman karena terlambat.
Gean dan Juna hanya cengengesan merespon ucapan Pak Jamal. “Maaf, Pak. Bukannya kami tidur kemalaman, tapi jalannya macet, Pak. Biasa, beban ibukota.” Juna mengangkat suara. Tanpa menunggu lagi, keduanya segera masuk setelah memarkirkan motor di halaman belakang sekolah.
***
“Gimana rasanya tinggal di santren, Bro?” tanya Adam yang baru selesai meneguk es tehnya.
Saat ini, anggota Garuda sedang menghabiskan waktu istirahatnya di warung depan sekolah. Membuat setiap siswa yang kebetulan makan di sana terheran-heran. Mungkin mereka merasa aneh melihat sekumpulan anak konglomerat nan dihormati duduk dan makan di sana, karena mereka hanya tahu kalau kumpulan siswa itu tidak pernah ingin makan di tempat makan murahan.
Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Baik Gean, Adam, Juna dan kedua teman lainnya sudah dididik untuk hidup sederhana dan bersahaja. Mereka juga sengaja makan di warung biasa untuk membantu pedagang di sana.
Gean yang sejak tadi sibuk mengamati androidnya sedikit mendongak ketika menu yang ia pesan sudah tersaji di depan mata. Tanpa ragu, ia langsung memasukkan tempe mendoan dengan asap yang masih mengepul itu ke dalam mulutnya, lalu mematikan layar untuk menjawab pertanyaan dari sahabat-sahabatnya.
“Sulit, ribet, bikin capek,” jawab Gean sembari memijit pelipisnya.
Keempat temannya saling pandang lalu mengangkat bahu bersamaan. Mungkin mereka sedang berusaha memahami ucapan ketuanya.
“Sulit gimananya?” tanya Laskar.
“Bayangin aja. Gue harus baca Quran sampai jam sebelas malam. Habis itu, ngantri kamar mandi sampai setengah jam baru bisa tidur. Kalian tahu nggak, gue bangun jam berapa tadi?” Semua temannya menggeleng bersamaan. “Jam tiga.”
Bima terkejut mendengar pernyataan Gean tadi. Sangking terkejutnya, mulutnya sampai terbuka setengah. Hal yang sama juga dilakukan Juna. “Gila! Ngapain lo bangun pagi banget?”
“Sholat,” singkat Gean.
Bertolak belakang dengan respon Bima dan Juna, Laskar malah memberikan tepuk tangan kepada Gean. “Subhanallah. Keren, Bro! Pertahankan!” ucapnya seraya menepuk pundak Gean berulang kali.
“Gue aja yang pengen bangun jam empat malah nggak pernah berhasil.” Laskar bergumam.
“Makanya, jangan baca novel sampai pagi,” sindir Adam yang sudah hapal kebiasaan temannya itu. Diantara anak Garuda, hanya Laskar yang punya hobi baca novel sampai ia dibuatkan perpustakaan khusus oleh kakaknya.
“Ye, gue kan kepo sama alurnya,” balas Laskar. “Gue jadi pengen mondok juga.”
Semua anggota Garuda yang ada di tempat itu dibuat terkejut dengan perkataan Laskar tadi. Pasalnya, Laskar adalah tipikal cowok manja yang tida bisa jauh dari maminya. Mendengar keinginannya itu tentu membuat semua temannya curiga.
“Serius lo?”
Melihat wajah kaget dari Juna, Laskar terkekeh. “Kagaklah. Mana mungkin mami gue ngizinin. Gue cuma pengin aja.”
“Gue maklum sih, kenapa lo bilang sulit, Ge. Secara, ‘kan, lo orangnya hidup tanpa aturan. Masuk pesantren pasti buat lo harus berusaha sekuat tenaga untuk beradaptasi sama peraturan di sana,” kata Adam yang pernah merasakan hidup di pesantren dulu. “Tapi gimanapun juga, itu kemauan lo. Kita hanya bisa dukung dan ngedoain lo.”
“Yoi, Bro. Kita di sini bakal tetap nunggu perintah dari lo. Jadi, lo kagak usah khawatirin apapun. Fokus sama tujuan lo aja,” timpal Bima merangkul pundak Gean.
“Bener yang dibilang Bima. Apapun yang terjadi, lo harus cerita ke kita-kita. Jangan dipendem sendiri.”
Gean tersenyum mendengar ucapan teman-temannya. Ia bahagia karena dikelilingi orang-orang yang begitu perhatian padanya. “Iya, iya. Thanks buat perhatian kalian. Kalian juga jangan terlalu khawatirin gue. Gue pasti bisa selesaiin masalah gue sendiri. Kalau terlalu sulit, gue pasti minta bantuan kalian.”
“Gitu dong. Pokoknya, kita semua harus sukses bareng-bareng.” Laskar mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat.
Mereka pun tersenyum dan mulai membahas hal lain. Tanpa mereka sadari, tak jauh dari tempat mereka duduk, ada seseorang yang sudah mengamati mereka sejak tadi. Hanya dialah yang tidak suka melihat kekompakan dan persahabatan mereka.
Setelah puas menangkap pembicaraan anggota Garuda, sosok itu beralih dari tempatnya. Begitu urusannya sudah terasa selesai, ia lantas mencari tempat yang sepi dan menelpon seseorang.
“Bos, gue ada kabar terbaru,” ucapnya dengan menampilkan senyum smirk-nya.
***
Bersambung ~