"Dekati dulu Tuhannya, baru hamba-Nya." —Geandra
...
Gema azan dari masjid pesantren baru saja berkumandang. Lirih takbir seakan memanggil seluruh santri untuk segera bergegas menunaikan kewajibannya. Yang masih tidur lantas dibangunkan, yang masih mengobrol segera diingatkan. Sampai semuanya benar-benar berangkat ke masjid. Begitulah pemandangan yang biasa terlihat setiap kali memasuki waktu sholat.
Kemudian, seusai menjalankan ibadah, para santri tidak langsung turun masjid. Biasanya, mereka akan mendengar kajian dari ustad atau mengulang hafalannya sampai waktu Magrib tiba. Bagi santri yang masih mempunyai kegiatan yang tidak bisa ditinggal, bisa diberi izin untuk turun lebih dahulu setelah mengikuti kajian rutinan.
Berhubung, hari ini ustad yang bersangkutan tidak bisa hadir, maka seluruh santri membubarkan diri setelah hampir satu jam membaca Al-Qur'an. Masjid yang menjadi pusat kajian Al-Qur'an dan beberapa kitab itu terletak di tengah-tengah pesantren. Di bagian timur langsung menghadap ke asrama putri, kelas tahfidz, kantin pesantren dan apotek. Sedangkan di bagian selatan, menghubungkan antara masjid dan asrama putra, sekolah diniyyah, dan lapangan bola. Untuk ruang kelas baik MTs maupun MA terletak di arah barat masjid.
Meskipun bangunannya belum terlalu besar, namun pesantren yang dipimpin oleh Kiyai Zaenuddin itu bisa terbilang cukup modern. Terlihat dari gaya bangunan yang sama dengan pesantren modern pada umumnya. Selain itu, kurikulum yang digunakan juga sudah setara dengan Islamic Boarding School lainnya yang memadukan antara pengetahuan agama dan sains. Itulah sebabnya, setiap tahun santrinya bertambah banyak dan berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia sampai luar negeri.
"Ning, itu ada apaan, ya, rame-rame?" bisik Wirda ketika mereka baru keluar dari halaman masjid. Yang ditanya pun melihat hal yang sama, lalu mengendikkan bahunya tidak tahu. "Kita lihat, yuk!"
Qibty yang niatnya ingin menaruh mukena dan mushafnya di ndalem malah harus ikut Wirda yang semena-mena menarik lengannya ke tempat orang-orang berkerumun itu.
Sesampainya di sana, Wirda berjinjit agar bisa melihat objek yang dilihat orang-orang di sana. Sedangkan Qibty sama sekali tidak melakukan apa-apa, karena dia tidak berminat dengan hal-hal seperti ini. Namun, rasa penasaran mulai menggelayuti pikirannya saat mendengar bisikan-bisikan orang di depannya.
"Subhanallah, yang pake kacamata hitam ganteng banget," gurau santri yang berhijab coklat.
"Mau satu kayak gitu, ya Allah," timpal yang lain.
"La haula wala quwwata illa billahi. Mereka manusia apa pangeran, sih? Ganteng banget." Kini giliran Wirda yang bersuara.
"Lihat siapa sih, Wir?"
Tanpa mengalihkan pandangan, Wirda menarik lengan sahabatnya agar mendekat. "Itu, lho, Ning. Cowok-cowok di depan rumah Abah," jelas Wirda. Abah adalah panggilan santriwati kepada Kiyai Zaen selaku pemimpin pesantren itu.
Qibty mencoba untuk memfokuskan pandangannya. Keningnya bergelombang ketika melihat seseorang yang sangat familiar di kepala. Tak ingin salah duga, gadis itu sampai memicingkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. "Cowok itu lagi?"
***
Suasana di ruangan bernuansa hijau muda itu terasa damai. Di sekitar temboknya dipenuhi oleh lukisan kaligrafi beragam bentuk dan model tulisan, semakin menambah kenyamanan mata ketika memandangnya. Di atas meja sudah tersaji beraneka ragam makanan dan minuman yang disuguhkan oleh khadam pesantren untuk para tamu yang datang berkunjung waktu itu.
"Terima kasih sudah mau belajar dan mengaji di pesantren ini, Nak Gean. Abah berharap, semoga Nak Gean betah ya di sini. Mendapat ilmu yang berkah dan manfaat. Sehingga nanti bisa memimpin keluarga di bawah agama Allah," tutur Kiyai Zaen tersenyum hangat.
"Aamiin, mohon bimbingannya Abah Yai. Semoga Gean bisa menjadi pemimpin dalam keluarga, seperti yang dicita-citakan orang tua." Jihan menimpali seraya membelai kepala sang putra.
Keempat temannya yang duduk berdekatan ikut mengamini. Semoga Gean bisa menjadi sosok yang mampu membimbing mereka di jalan kebenaran, jauh dari kesesatan. Karena bagaimanapun, selama ini Gean sudah berusaha menjadi panutan untuk teman-temannya dalam hal dunia, mungkin ini saatnya untuk menyempurnakan menjadi panutan akhirat juga.
Setengah jam bercakap-cakap ringan, kini saatnya Gean untuk melihat asrama yang akan menjadi tempat tinggalnya selama belajar di pesantren. Awalnya Kiyai Zaen dan istrinya menginginkan agar Gean tinggal di rumah mereka, karena putra sulung mereka sekarang tengah berkuliah di belahan dunia timur. Entah karena apa, sejak pertama melihat wajah Gean, mereka sudah menaruh kasih sayang kepada remaja itu.
Namun Gean dengan sopan menolak saran itu dengan alasan dia tidak ingin menimbulkan rasa iri diantara santri lain yang sudah lama mengabdi di sana. Selain itu, Gean juga ingin berbaur langsung dengan kehidupan pesantren yang sebenarnya. Mencari teman baru dan juga menjalankan misi tentunya.
Gean berpikir, kalau dia tinggal di rumah Kiyai, maka gerak-geriknya akan terbatas. Dia jadi tidak bisa bertemu teman-temannya jika mereka tiba-tiba membutuhkan kehadirannya. Beruntung, alasan pertama itu bisa diterima oleh Kiyai Zaen.
Setelah berpamitan dan menitipkan putra semata wayangnya, Jihan dan keempat teman Gean mohon izin untuk pulang. Cowok itu mengantar sang mama dan teman-temannya sampai depan gerbang. Sebelum masuk mobil, Jihan memeluk putranya erat dan membisikkan beragam nasehat untuk putranya.
"Sayang, jangan nakal-nakal, ya. Nurut sama perintah Abah dan Ummah. Ngajinya yang rajin. Jangan lupa makan dan istirahat yang teratur ya, Nak. Mama akan sering datang ke sini," ucap Jihan tidak bisa menahan air matanya. Ia membelai rambut Gean dengan sesenggukan.
Meskipun terasa berat untuk berpisah dengan darah dagingnya, Jihan harus ikhlas dan rido, demi masa depan putranya. Gean harus bisa menjadi penyelamat untuk keluarganya di akhirat nanti.
"Ma, jangan nangis dong. Gean jadi ngerasa bersalah ngeliat Mama kayak gini. Kalau Mama sedih lagi, lebih baik Gean nggak usah tinggal di pesantren," imbuhnya seraya mengusap pipi Jihan yang basah.
"Mama nangis karena terharu, Sayang. Mama nggak nyangka, putra Mama sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mama bangga sama kamu, Nak."
"Jangan nangis lagi, ya. Gean janji, Gean bakal jadi anak kebanggaan Papa sama Mama. Gean janji akan ngerebut hati Papa dengan prestasi Gean. Aku janji, Ma."
Jihan kembali memeluk putranya bersamaan dengan doa agar sang putra tetap dalam lindungan-Nya. Bima, Juna, Laskar dan Adam yang menyaksikan pemandangan itu menjadi terharu. Mereka yang sudah mengenal cowok itu sejak lama, mampu merasakan luka yang dihadapi Gean. Mereka juga berharap, semoga pesantren ini bisa menjadi jalan keluar dari masalah yang ia hadapi.
"Mama pulang dulu, ya, Nak. Kamu jaga diri di sini. Ingat pesan Mama tadi. Jangan nakal dan jaga nama baik keluarga dan pesantren."
"Iya, Ma. hati-hati, ya. Mama juga jaga kesehatan, jangan lupa minum obat."
"Pasti Sayang." Jihan masuk ke dalam mobilnya. Kini hanya tersisa teman-temannya yang masih mematung dari tadi.
"Bro, kita pamit ya. Lo baik-baik di sini, kalau ada yang bully lo, kasih tahu kita." Itu suara Juna.
Laskar yang mendengar itu spontan menyenggol lengan Juna. "Tanpa lo suruh pun, Gean bakal lakuin hal yang seharusnya dia lakuin. Dia paling nggak suka liat pembulian."
"Oh ya, gue lupa, bos. Hehe," kekehnya.
"Thanks ya udah nganterin gue." Gean menepuk pundak sahabatnya satu persatu. "Kalian juga harus jaga diri. kalau ada apa-apa, langsung telpon aja."
"Eh. Lo bawa hape?" selidik Bima.
"Nakal dikit, boleh, kan?" balas Gean menaikkan alisnya sebelah. Keempat cowok itu pun lantas menggelengkan kepalanya. Heran sekaligus takjub dengan kecerdasan yang dimiliki cowok itu. "Gue titip Mama, ya."
"Siap, Bro. Sampai jumpa di sekolah."
Gean memandangi punggung teman-temannya yang sudah menghilang di balik gerbang pesantren. Mereka pulang setelah pamit kepadanya. Tak lama setelah itu, suara seseorang memanggil namanya, membuat dirinya harus beranjak meninggalkan tempat itu karena ada urusan yang harus ia selesaikan.
***
"Ini kamar kamu," jelas Hisyam-seorang santri senior sekaligus ketua asrama yang disuruh Kiyai Zaen untuk mengantarnya ke kamar.
Gean yang menenteng dua koper lantas mengangguk. Ia segera meletakkan barang-barangnya di tempat yang disediakan. Sesampainya di dalam, cowok itu mengamati setiap sudut dari ruangan yang tiga kali lebih kecil dari kamarnya, pun dengan fasilitas yang tidak selengkap di rumahnya. Di sana hanya ada tiga kasur bertingkat, enam lemari pakaian plus meja belajar, satu kipas angin, dan perpustakaaan kecil yang berisi kitab dan buku-buku yang terletak di pojok ruangan.
"Nggak terlalu buruk," gumam Gean.
"Kalau kamu sudah selesai meletakkan barang-barang, kamu bisa ikut Saya untuk melihat-lihat area pesantren," kata Hisyam.
Gean mengangguk dan langsung membuntuti laki-laki itu. Sepanjang perjalanan yang mereka lewati, tak sedikit santriwati yang mengucap salam bahkan dengan terang-terangan menitipkan salam untuk cowok yang berdiri di belakangnya. Alih-alih disetujui, para santriwati itu malah mendapat ceramahan dan ancaman dari Hisyam yang menjabat sebagai Musyrif di sana. Alhasil, mereka tidak berani mendekat lagi.
"Itu kantin asrama putra, kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa membeli di situ. Sebelahnya ada toko Barakah, khusus menjual kitab-kitab yang dipakai di pesantren, di samping utaranya ada apotek khusus pesantren."
Gean hanya membalas semua penjelasan Hisyam dengan anggukan kepala dan deheman kecil. Setelah cukup mengenal area pesantren, kini langkahnya ia berhentikan di salah satu bangunan yang ada di sebelah timur. Tempat yang pertama kali ia datangi dulu.
"Yang itu asrama putri. Saya harap, kamu tidak berniat untuk berkunjung ke sana," ujar Hisyam sedikit menyunggingkan senyum.
Sepertinya nggak, soalnya gue udah pernah ke sana. Gean membatin.
***
Bersambung ~