"Jika semesta memang menakdirkan, maka pertemuan ini bukan hanya sekedar kebetulan, melainkan salah satu dari sekian rencana Tuhan."
-Geandra-
...
Bangunan megah bercat putih itu masih terlihat sepi. Tidak ada suara tawa dan canda yang seringkali terdengar di rumah-rumah pada umumnya. Pemandangan yang biasa terlihat hanyalah bayangan para pekerja rumah tangga yang sedang menjalankan tugasnya.
Beberapa 'orang asing' itulah yang mungkin lebih perhatian kepada dirinya. Kalau tidak ada mereka, mungkin bangunan yang disebut kebanyakan orang sebagai tempat pulang ternyaman itu sudah seperti kuburan. Senyap.
"Gean pulang!" serunya setelah lumayan lama termenung di luar gerbang.
Bukannya mendapat pelukan hangat begitu pulang, ia malah disambut dengan suara tangisan yang mengiris hati. Gean yang tahu pemilik suara itu bergegas naik ke lantai atas.
"Mama! Buka pintunya!" teriak Gean sembari mengetuk pintu yang tidak bisa ia buka.
"Mama, ini Gean, Ma. Buka pintunya!" ulang Gean untuk kesekian kali. Berharap wanita yang masih terisak di dalam itu membuka papan berwarna krem itu.
Ia bisa bernapas lega begitu melihat wanita itu keluar dari kamar. Gean lantas memeluknya dan menenangkannya dengan penuh cinta. Dengan telaten, tangannya memperbaiki kerudung sang mama yang sedikit berantakan dan mengusap sisa air di pelupuk matanya yang sayu.
"Dia lagi?" tanya Gean yang sudah hapal dalang dibalik kondisi mamanya saat ini. Tangannya mengepal kuat melihat gelengan pelan dari wanita itu. Bagi remaja seperti Gean, gelengan itu adalah sebuah pertanda iya. Paham dengan hal tersebut, Gean mencoba menahan amarah, tidak ingin menunjukkannya di depan sang mama.
"Baru pulang, Nak?" tanya sang mama mencoba tersenyum. Ia akan berusaha terlihat baik-baik saja di depan malaikat kecilnya. Ia tidak ingin membuat putranya khawatir. Gean terlalu muda untuk menghadapi masalah seperti ini.
Selama ini, sang mama mencoba sekuat tenaga untuk merahasiakan kelakuan papanya, agar Gean fokus pada pendidikan dan cita-citanya. Namun sayang, Gean malah mendapati papanya tengah makan bersama dengan selingkuhannya. Padahal jauh hari, ia sudah berbicara dengan suaminya, tapi tetap saja. Wanita ketiga itu masih terus menggerogoti keharmonisan rumah tangganya secara perlahan.
"Habis ini makan, ya. Terus istirahat, jangan keluyuran sebelum belajar," nasehat Jihan-sang mama-membelai rambut ikal putranya.
Gean mengangguk. "Nanti sore mau keluar sama temen-temen. Boleh, kan, Ma?"
"Boleh, tapi jangan pulang malam ya, Nak." Suara Jihan begitu menenangkan hati Gean.
Setelah melihat mamanya kembali tenang, cowok itu meminta izin untuk ke kamar. Selain memberikan waktu untuk mamanya istirahat, dia juga harus pergi ke suatu tempat.
***
"Pak Sigit ada di ruangannya?" tanya Gean pada salah satu karyawan yang kebetulan lewat di sampingnya.
"Eh. Anu. Itu. Pak Sigit ada meeting," jawabnya ragu. Karyawan itu terlihat sangat takut untuk menjawab pertanyaan dari anak bosnya, padahal Gean sedang tidak mengeluarkan wajah aslinya.
Gelagat karyawan itu membuat Gean menjadi curiga. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia lantas menarik kakinya ke lantai atas, meninggalkan karyawan yang hendak mencegahnya.
BRAKK!
Gean membuka pintu mahal itu dengan sangat keras. Membuat beberapa orang yang berada di ruangan itu terkejut bersamaan.
Tanpa memedulikan tatapan heran dari orang-orang yang mungkin dianggap penting bagi kemajuan perusahaan, Gean langsung menajamkan tatapannya ke arah laki-laki yang duduk di posisi paling tengah.
Tak ingin menanggung malu, pria berjas hitam dan terlihat berwibawa itu segera berdiri menghampiri remaja yang berdiri dengan penuh emosi.
"Gean! Papa udah bilang, jangan datang ke kantor! Ini Papa lagi meeting," tegas laki-laki bernama Sigit itu dengan nada penuh penekanan.
Gean tersenyum sinis. Bukan pada orang yang berdiri di depannya, melainkan pada wanita yang duduk di sebelah kursi papanya. "Lagi meeting, apa dating?" sindir Gean dengan suara keras. Lirikannya masih tertuju pada wanita berambut pirang itu.
"Maksud kamu apa? Jangan buat kekacauan di kantor Papa."
Gean berdecih. Muak dengan sikap papanya yang sok polos. "Sejak kapan perusahaan ini jadi milik Papa? Bukannya selama ini Papa cuma numpang nama?"
Plak!
Satu tamparan berhasil mendarat di wajah langsatnya. "Jaga sopan santun kamu, Gean!" bentak Sigit sudah tersulut emosi dengan tingkah anaknya. "Lebih baik kamu pergi main sama teman kamu yang tidak jelas itu! Dan jangan buat onar di sini!"
Cowok itu mengusap sudut bibirnya yang terasa nyeri. Rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibanding perbuatan papanya kepada mamanya.
"Tanpa Papa usir, aku bakalan pergi. Tapi Gean mohon sama Papa, berhenti nyakitin Mama. Kalau aku masih liat Mama nangis gara-gara Papa, jangan salahkan Gean kalau hidup wanita itu tidak pernah tenang. Selamanya!" peringat Gean dengan tatapan yang kembali melayang ke arah wanita tadi. Gean yakin kalau wanita itu pasti tertekan dengan ancamannya tadi.
"Oh ya. Satu lagi." Gean menghentikan gerakan kakinya yang sempat melangkah.
"Perusahaan ini milik Kakek, atas nama Mama. Kalau Papa bertingkah lagi ...," Gean sengaja menggantung kalimatnya sambil merapikan jas papanya. "papa tau, kan, dampaknya untuk jabatan Papa?"
Sigit memandang kepergian putranya dengan menelan ludah. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakana. Usia tidak membuat nyali Gean menciut.
Cowok itu tidak takut dengan apapun di dunia ini. Selama itu menyangkut kehormatan dan kebahagiaan mamanya, ia akan melakukan apapun untuk membela dan mengambilnya kembali. Terutama dengan mengancam wanita yang menjadi kekasih gelap papanya. Walaupun Gean tahu, ada banyak resiko besar yang harus ia tanggung setelah ini.
***
Matahari sudah mencondongkan diri ke sebelah barat ketika cowok dengan rambut berantakan itu sudah sampai di rumahnya. Ia memandangi rumahnya dengan tatapan nanar.
Dua tahun yang lalu, bangunan ini menjadi tempat terbaik untuknya pulang. Tempat ternyaman untuk menghilangkan kepenatan di sekolah, dan segala kebahagiaan yang selalu ia rindukan kehadirannya kembali.
Namun kini semuanya seolah hilang tak berbekas. Stok kebahagiaan untuknya seakan sudah habis, tak bersisa. Semua itu berlaku semenjak orang ketiga hadir diantara pernikahan orang tuanya. Papanya ketahuan selingkuh dengan asisten pribadinya. Naasnya, orang yang pertama kali melihat perbuatan itu adalah mamanya.
Gean melempar handphone-nya ke atas sofa, beriringan dengan tubuhnya yang juga ia hempaskan dengan kasar. Kedua netranya menerawang jauh, memandang langit ruangan seakan melihat perputaran memori di sana. Memori ketika ia menyaksikan sang mama yang mencoba bunuh diri setelah mengetahui perselingkuhan papanya.
Keping-keping itu saling menyatu, membentuk satu puzzle utuh tentang kebahagiaan yang hilang, pertikaian, bahkan rencana perceraian yang selalu terngiang di telinganya.
Cowok itu memejamkan mata, tidak ingin larut terlalu lama dalam kelamnya luka. Ia sudah berjanji untuk menjaga hati sang mama dengan tidak mengungkit perbuatan papanya. Meski begitu, jauh dalam hati, Gean ingin agar keluarganya utuh dan harmonis seperti dulu. Ia masih berusaha untuk merebut kasih sayang papanya, bila perlu membuka hatinya kembali.
"Lho, kok belum ganti baju, Nak?" Suara Jihan membuat kelopak matanya terbuka.
"Mama mau ke mana?" tanya Gean memperbaiki posisi seraya menebak kemana sang mama akan pergi.
Jihan memperlihatkan keranjang yang ada di tangannya. "Mama mau ke pasar, mau beli sayuran."
"Ke pasar?" tanya Gean sedikit terkejut.
"Bukannya Bi Mala ada, Ma? Kenapa nggak nyuruh dia aja?"
Jihan menggeleng, lalu tersenyum. "Mama mau nyari suasana baru, sekalian mau jalan-jalan sama anak Mama. Kamu mau, kan, nemenin Mama ke pasar?"
Gean mengangguk cepat. "Kalau gitu, Gean mandi dulu, gih. Abis itu sholat Asar. Baru kita pergi."
Gean masih bergeming, merasa aneh dengan sesuatu. "Apa pasarnya masih buka sampai jam segini, Ma?"
"Insya Allah, masih," balas Jihan. "Ya udah, mandi dulu sana. Mama tunggu di sini, ya." Gean hanya menurut walaupun masih bingung.
***
"Gean tunggu di sini ya, Ma," pinta cowok berkaos oblong lengkap dengan topi hitamnya.
Ia bukannya tidak ingin menemani mamanya belanja, tapi ia tidak bisa mencium bau ikan yang terpajang di sepanjang jalan. Gean tidak bisa membayangkan rasanya harus berdesakan dengan orang-orang di sana, padahal dirinya belum pernah masuk sama sekali.
"Yakin mau nunggu di sini? Di sini panas, lho. Nanti bosen." Jihan memberi tahu. Padahal ia ingin agar putranya itu bisa belajar bergaul dengan masyarakat dengan berbelanja di sana. Jihan ingin agar Gean belajar makna kesederhanaan dari pemandangan di pasar sekaligus belajar cara berinteraksi dengan orang lain bagaimana.
"Kan nunggu di dalam mobil, Ma," tolak Gean tersenyum.
"Ya sudah, Mama masuk dulu ya."
Gean masuk kembali ke mobil setelah memastikan mamanya pergi. Benar kata mamanya, baru beberapa menit saja ia sudah bosan. Malah handphonenya lupa dibawa.
Gean benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia jadi teringat kata Laskar yang pernah menemani maminya belanja, 'sebosan-bosannya menunggu si doi ngasih kepastian, lebih bosan menunggu wanita berbelanja' dan Gean merasakannya sendiri.
"Semoga Mama nggak lama," gumamnya setengah berdoa.
Rupanya, harapannya tidak terkabul. Sudah setengah jam, bayangan sang mama belum juga terlihat. Gean berinisiatif untuk menyusul mamanya ke dalam.
Dengan berbekal dua masker, cowok itu sudah siap untuk masuk. Baru keluar mobil, langkahnya dihentikan dengan kedatangan sang mama. Ia tersenyum, namun sebentar. Senyumnya perlahan mengendur melihat seorang gadis yang berjalan di samping mamanya.
"Cewek itu, kan ...?" Gean mencoba mengingat. "yang nolong gue kemarin."
***
Bersambung