HARI INI TERLALU CERAH untuk menyambut desas-desus bahwa klub buku kesayanganku terancam dibubarkan. Berencana diberhentikan. Akan dilenyapkan. Orang-orang bilang, ini karena klubku sudah usang, kuno, membosankan, dan anggota yang tertarik untuk bergabung selalu berkurang tiap tahun. Kalau memang ingin belajar sastra, bukannya klub sastra lokal masih lebih relevan? Dan bila itu karena Inggris yang menjadi unique selling point-nya, kamu bisa pertimbangkan, gabung saja ke English Society, Klaudia.
Itu yang dikatakan Bu Melda, seminggu yang lalu. Roman pembubaran ini sudah terasa sejak itu. Aku paham, tampaknya ide awal Sastra Inggris menjadi salah satu klub yang bisa dipilih murid SMA Harmoni Cendekia hanyalah untuk variasi; suatu opsi formalitas. Tapi kuharap, suatu hari Bu Melda bisa bertransmigrasi jiwa ke dalam tubuhku dan memahami sendiri bagaimana kami berusaha merawat dan mendapatkan previllage dari klub ini. Aku tidak sanggup memikirkan desas-desus itu; selain karena kegiatan hari ini mengharuskanku dan keempat rekanku fokus berjemur di bawah terik matahari; memamerkan spanduk, membagikan kartu informasi klub dan formulir pendaftaran, sekarang ini, aku sedang kebagian membawakan satu kardus air mineral untuk stok stand-ku.
Sayangnya, aku harus persiapan menahan napas, karena sebentar lagi aku akan berjalan melewati wilayah yang paling kubenci. Disana ada sebuah stand mentereng, stand yang menjadi pusat perhatian disini--pusat utama sebagian besar para adik kelas jenius bergerombol masuk untuk mencari dan menemukan klub itu; dan kini kulihat, ada dua orang cewek adik kelas sedang sibuk mengobrol dengan seseorang disana.
Stand yang kubicarakan ini adalah milik klub Intellix. Sebuah klub elit yang digadang-gadang berisi orang-orang berbakat dan bermasa depan cerah. Mereka di klub ini memiliki passion tinggi pada bidang teknologi. Ikut membicarakan mereka itu artinya kita akan ikut bicara soal algoritma, AI, robotik, mobil listrik, Elon Musk, bahkan sampai ke perdebatan kunjungan asli ke bulan, bentuk bumi datar atau donat, konsiprasi karangan NASA dan teori Interstellar. Sebenarnya, aku memberikan perhatian pada Intellix begini bukan karena se-iri dengki itu; lagipula, aku sendiri adalah seorang murid teladan di sekolah ini.
Inilah aku, Klaudia Winona. Hampir semua orang di sekolah ini sudah mengenalku; mereka mulai ramah dan senang akan kebaikan sekaligus keberhasilanku; ini terbukti bahwa tidak sedikit yang mengagumi reputasiku; kesuksesanku; karena kabar paling baiknya, aku sudah berhasil mengalahkan peringkat seseorang yang ada di klub itu di semester terbaru. Jadi yang kupermasalahkan adalah; aku membenci salah satu anggotanya. Seseorang itu. Yang dari sejak kejauhan, sudah terlihat bahwa keramahan yang ia berikan kepada dua adik kelas cewek itu sangat bersinar sampai nyaris merusak sudut retinaku. Jadi kenalkan, seseorang yang kumaksud dari tadi ini--yang berhasil kukalahkan peringkatnya--adalah Ren. Ren Mahesa.
Setiap mendengar namanya, bulu kudukku meremang. Setiap tatapan tak sengaja kami bertemu--seringnya kesengajaan ini terjadi, bahkan saat di kelas--aku ingin memeriksa mataku sendiri apakah terkena kutukan, dan bertepatan dengan pikiran ini, kusadari mungkin tatapan kami ini terjadi karena kami terbiasa memeriksa raut wajah kami setelah kertas hasil ujian kami dibagikan. Aku sendiri melakukannya, karena aku selalu berharap agar raut wajahnya murung dan kesal--yang artinya nilai dia mengecewakan. Aku kemudian menyadari bahwa dia melakukan hal yang sama kepadaku, melirik padaku setiap aku melihat hasil ujianku sendiri, namun aku sedang belajar untuk berlagak seperti dia. Tak mudah terbaca seperti dia biasanya.
Karena semua hal yang tidak kusukai di sekolah ini selalu bisa kusamarkan dan kualihkan dengan semangat baru; seperti ucapan Bu Melda yang terngiang dibenakku tadi, nilaiku yang menurun, atau saat aku kesulitan mengerjakan kuis dan soal dari materi yang diluar penalaranku; aku baik-baik saja, kecuali jika itu tentang dia. Aku kesulitan, jika itu berhubungan dengan Ren.
Cherry bilang, ini karena aku sudah jatuh cinta kepadanya. Kata-kata klasik soal cinta dan benci yang berbeda tipis pun kerap berbunyi dari mulutnya. Cherry hanya belum paham, kalau mengaitkan kebencian pada cinta terhadap hubungan kami berdua itu sejujurnya tidak nyambung. Seandainya pun dia tahu yang sesungguhnya tentang latar belakang kami berdua, dia akan berhenti mengoceh dan menggoda untuk menyatukanku dengannya lagi--yang nyaris dilakukan teman-teman kelasku setiap saat, sampai aku--dan mungkin dia--sudah terbiasa. Tentu ini menjadi biasa, kami sama-sama tahu itu mustahil.
Awalnya aku hendak mengalihkan pandangan saat tiba di dekat stand Intellix--tapi sebuah robot mungil yang sedang menarik perhatian orang-orang, berhasil menarik perhatianku juga. Robot itu tampak imut dan pintar, dengan beragam ekspresi di layar kecilnya, lalu kepala kotaknya celingak-celinguk mengikuti perintah orang-orang, langkahku melambat sejenak. Sepertinya itu milik Irsan, salah satu anggota klub itu, karena dia sedang sangat vokal menjelaskan robot itu kepada mereka. Tapi aku yakin robot yang itu hanya pajangan untuk aksesoris stand.
Tepat ketika aku beranjak lagi, mataku malah menemukan Ren yang berdiri tak jauh dari sana, masih bersama dua anak cewek itu. Pipiku otomatis berkedut. Kusembunyikan rapat-rapat seringai jijikku dan aku mengencangkan kedua tanganku dibawah kardus. Tiba-tiba saja, muncul Bu Hera disisi Ren dan mengajaknya mengobrol. Aku melotot, Bu Hera adalah salah satu guru yang perlu kuhindari dimanapun. Entah kenapa diantara semua guru, yang muncul sekarang adalah Bu Hera? Ini gawat, aku cepat-cepat melanjutkan langkahku sambil membuang muka.
"Soalnya semester kemarin bukan saya, Bu, tapi Klaudia Winona," aku terkejut mendengar Ren tahu-tahu menyebut nama lengkapku pakai penekanan mengolok di tengah percakapannya bersama Bu Hera, dan melanjutkan, "Itu disana, Bu, orangnya, haloo Klaudia,"
Jantungku mencelos; Ren, malah memanggilku keras tepat saat langkahku sejajaran dengan dia, sekitar empat meter aku berdiri, dan akhirnya aku terlihat. Aku terpaksa melangkah ragu, kaku antara berhenti atau pura-pura tidak mendengar, tapi aku pilih berhenti. Aku menoleh kepada Bu Hera dan segera tersenyum kepadanya, tanpa melirik cowok itu.
"Oh, eh halo Ibu.." aku menghampirinya, menyapanya sumringah, dan ketika aku kesulitan menurunkan kotak kardus air mineralku ke bawah untuk salam, Bu Hera menghentikkanku.
"Sudah, nggak apa-apa, nggak usah salam," ujarnya ramah, maka aku pun dengan canggung kembali menegakkan badan, seraya mendengar Ren berdehem menertawakan gelagatku.
"Jadi.. semester kemarin benar kamu, peringkat pertama di kelas dan angkatan?" tanyanya, dengan raut bangga melihatku. Aku menyeringai, mengangguk malu, namun kuyakin sinar mataku tidak bohong kalau ini sangat membahagiakanku. Raut bangga seperti itulah yang selalu bisa membuat hari-hariku cerah, bersemangat, dan percaya diri.
"Anak hebat," pujinya, namun senyumku perlahan merosot setelah mendengar lanjutannya, "Kalian berdua memang selalu serasi buat membanggakan sekolah, kedepannya terus akur dan kerja sama, ya, kalian," ujar Bu Hera, dan aku hanya meringis, setengah hati menerima bahwa aku harus disandingkan dengan Ren. Aku tidak tahu apakah Bu Hera tulus atau serius, apakah kabar tentang hubungan kami yang asli telah sampai kepadanya atau tidak. Yang jelas, selama ini Bu Hera selalu meng-highlight keberadaanku dan dia, jika ada kesempatan, karena dia pernah mengatakan kami mengingatkannya pada kisah cinta monyetnya dulu.
"Ide bagus, Bu, kebetulan saya juga mau ngajak Klaudia kerja sama, masuk projek Intellix. Hebat, sih kalau ada anggota juara angkatan di projek besar sekolah," katanya, tanpa melirik aku.
"Sayanganya, saya gagap teknologi," balasku, tak kalah sarkas. "Mungkin yang bisa saya lakukan cuma bikin error aplikasi Studify sampai nggak bisa diakses lagi,"
Samar-samar, dia menahan tawa dan berpaling. Kami cukup sering melakukan ini, dan aku sudah tidak terkejut dengan gaya sarkasnya tadi. Dia tahu, betapa aku membenci projek yang sedang digarap dia bersama klubnya, karena itu menyinggung-nyinggung soal eksistensi buku fisik (yang disukai aku dan anggota klubku). Projek mereka mengancam keberadaan buku fisik yang mulai terpinggirkan di sekolah ini, dan akhirnya kini merembet ke soal urgensi klubku.
"Maksud kamu projek AI yang dapat dukungan sekolah itu ya, Ren? Yang kemarin baru dapat banyak sponsor itu? Luar biasa dong," Bu Hera tampak ikut tertarik, "Ibu juga sudah dengar, projek itu buat ikutan kompetisi nasional, ya?"
Aku menunduk, giliranku berdeham. Aku tidak mau peduli dengan pembahasan itu, jadi aku mulai memikirkan hal lain. Syukurnya, tak lama Bu Verni datang dan menghampiri Bu Hera.
"Bu, eh Bu, stand klub Karawitan sudah ketemu, ternyata nyempil diujung sana!"
"Oalah, oh.. disana ya rupanya," lirihnya, matanya melebar. Setelah itu, Bu Hera dan Bu Verni izin meninggalkan kami, dan mulai berjalan ke arah stand milik klub Karawitan. Beberapa detik kemudian, aku menatap wajah Ren, dan begitupun, dia juga menatapku.
Biar kujelaskan sedikit tampangnya bagaimana; seandainya ini pertamakalinya kami bertemu, di usia sekarang, dimana kami sama-sama tidak berasal dari latar belakang yang sama dan aku tidak tahu banyak tentangnya, aku akan menganggap dia adalah cowok bertampang lembut, hangat dan baik hati. Dia jauh tinggi dariku, punya tatapan yang teduh dan kalem, rambutnya halus meski sesekali berantakan, kulitnya berwarna zaitun cerah, hidungnya mancung, alisnya sempurna, dan kalau sedang memerhatikan seseorang, alis itu melengkung, matanya menyipit--seakan-akan dia akan selalu datang secara ramah dan hati-hati untuk menolong siapapun yang butuh pertolongan. Namun, tidak begitu kenyataannya.
Tampang itu menipu. Dan percayalah, setelah mengenalnya, kita akan tahu bahwa dia bukan tipe cowok idaman bagi siapapun terutama aku. Ucapan yang akhirnya keluar dari bibirnya seringnya bertolak belakang dari kesan baik hati itu. Aku sendiri beberapa kali sakit hati karena ucapannya. Dia tipe yang tidak segan-segan menyindir orang lain, mengomentari sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya, yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, atau dengan standarnya.
Dia pun jelas-jelas akan tertawa bersama gengnya, atau bersama klubnya dari itu semua, atau simply dari sesuatu yang menurut mereka lucu. Terutama bila dia sedang bersama gengnya; mereka selalu berhasil menjadi jenis yang mudah disetujui oleh semua orang. Ini terjadi entah karena mereka semua memang berasal dari klub bola dan klub Intellix (dua klub yang sedang populer di sekolah), dari keluarga terkenal, kaya, atau mungkin karena gabungan dari itu semua. Aku seringnya tidak ingin tahu, tidak ingin melihat, dan tidak ingin menganggap mereka ada. Karena bagiku, dimana pun, setiap itu ada Ren, aku akan memutuskan berpaling atau pindah tempat.
Tapi meski begitu, ketika situasi tetap mengharuskanku berhadapan dan berurusan dengan orang ini, seperti sekarang, aku sudah tahu bagaimana menyikapinya. Aku pun sudah 17 tahun, bukan anak 7 tahun lagi.
"Kali ini kurir air," ujarnya tiba-tiba, menyebalkan, "Nggak kaget, sih. Hasil dari kerja keras belajar sampai kekurangan gizi, jadi harus cari pemasukan tambahan,"
"Seenggaknya," kataku lalu tersenyum palsu, "Cuaca panas sekarang nggak bikin lingkungan jadi sekering rambut lo, sih. Hoam, makin haus deh, emang gerah banget, ya hari ini.."
Ren sedikit terkejut - aku tahu menyinggung rambutnya sama saja menyinggung harga dirinya, "Juara kita mulai ngerti bahas penampilan, pantas aja sekarang kacamata lo ganti baru jadi warisan nenek buyut, padahal gue bisa ajak lo shopping barang vintage yang bagus,"
Begitulah dia; akan tetapi, aku tidak keberatan. Jika dia menjadi dirinya sendiri begini, itu artinya dia akan kesulitan dapat jodoh. Setahuku, meski dia selalu populer, tapi tidak banyak cewek yang tahan mengejar atau berusaha menarik perhatiannya lama-lama. Barusan pun, dia dengan sok-nya mengomentari soal penampilanku dan menawarkan ajakan shopping itu dengan nada merendahkan sekaligus sombong.
"Mungkin, bisa dimulai dari shopping buat diri lo sendiri?" tukasku, "Gue ragu lo mampu merhatiin penampilan orang lain, disaat urusan lo cuma berputar tentang penampilan lo sendiri. Lagian, kacamata gue juga bukan warisan nenek,"
"Jadi, sekarang lo menjelma jadi apa? Pustakawan? Calon profesor?" Ren melihat penampilanku dari bawah sampai atas dan dengan asbun-nya bergumam, "Profesor kesasar yang mau bagi-bagi buku, cocok,"
Cukup sudah, aku ingin menyelesaikan ini. "Yap, profesor yang kesasar karena sibuk menikmati rasanya juara,"
Aku mengatakannya dengan puas; penekanan ucapanku jelas dan aku bersungguh-sungguh berniat menang seterusnya. Kali ini, Ren tidak tersenyum. Aku mengangkat bahu kanan, sambil mengangkat alis dan memutar mataku, kemudian beranjak pergi dari sana; sebelum darahku benar-benar mendidih lalu melemparkan kotak kardus ditanganku ini ke wajahnya. Huh, hanya membayangkannya pun sudah menyenangkan.[]