Pedesaan terpencil yang sebelumnya hangus terbakar kini mulai menumbuhkan ratusan bunga cantik dan berwarna di atas padang rerumputan. Langit cerah dengan matahari bersinar terang namun terasa sejuk karena kesegaran bunga tetap terjaga. Cuaca yang mendukung membuat beberapa tamu merasa tenang.
Juga terdapat sebuah pondok kecil yang dibangun sederhana namun dihias seindah mungkin dengan tanaman rambat, bunga serta pita. Lelaki yang merupakan pengantin pria telah datang menunggunya di luar. Senyum terukir di wajah sang pengantin yang terlihat tidak sabaran.
Setelah beberapa saat langkah kaki dari dalam pondok terdengar. Alas sepatu putih muncul dari bayangan, senada dengan gaunnya yang mengembang harus diangkat sedikit ketika dia berjalan turun menyentuh tanah. Pengantin wanita mulai menampakkan diri dengan perhiasan sederhana di gulungan rambut hitamnya. Tak lupa dengan riasan wajah yang membuat sang pengantin semakin terlihat cantik.
Kemudian pengantin pria mengulurkan tangan dan pengantin wanita menerimanya. Bibir ranum yang dipoles lembut dengan pewarna itu sedang tersenyum memandang ke arahnya, Ash terpana sampai melamun. Bahkan mata hitam Ash pun tidak berkedip.
“Sudah puas?” Eva angkat bicara sembari mengangkat sedikit dagunya.
Seketika Ash kembali tersadar dan memulai upacara pernikahannya. Di sini. Di tempat yang indah. Di sebuah padang bunga yang harum dan menenangkan disertai dengan para saksi yang terhitung dengan jari untuk menyaksikan semua hingga selesai nanti.
Pernikahan ini pun dibuat dengan sangat sederhana karena memang Eva yang meminta. Tamu yang datang terhitung sangat sedikit karena memang undangan resmi tidak dibagikan pada tetangga. Hanya kak Sena, kakek, Tio serta beberapa rekan kerja Ash dan satu tetangga sekaligus teman Eva yang masih lajang. Tidak lupa dengan fotografer yang siap memotret momen-momen tertentu.
Lalu penghulu yang berdiri di tengah padang bunga tampak sedikit bosan tapi tetap tersenyum profesional guna melakukan tugasnya sekarang. Me-sahkan, meresmikan dan menyatukan kedua insan dalam hubungan suami istri sehidup semati. Janji yang pernah terucap kala itu kembali diucapkan sekali lagi setelah para saksi berseru kata "sah."
“Aku di sini, sebagai pria yang mendampingi hidupnya berjanji akan mencintainya seumur hidup. Merelakan semua yang kupunya, menghargai yang dia inginkan dan mengikuti apa pun keputusannya selama akhir hidupku. Juga tidak akan meninggalkannya.”
“Apa kamu serius dengan ucapanmu?” Eva membalas dengan sebuah pertanyaan. Bukan karena meragukan.
Ash lantas tersenyum dan menjawab, “Selama tidak merugikan hidupmu maka akan aku lakukan.”
Yang terpenting baginya hanya Eva seorang. Bahkan dengan sumpah janji yang barusan dia ucapkan juga mengandung keinginannya tuk melindungi istrinya.
“Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku. Aku rela,” ucap Ash.
"Aku juga akan melakukan hal yang sama. Tenang saja, Ash. Selama ada aku, kamu baik-baik saja," batin Eva.
Air mata mengalir pelan, membasahi riasan wajahnya meski itu tidak membuatnya luntur. Semua orang di sana bahkan Ash pun terkejut karena melihat Eva yang tiba-tiba saja menangis.
“Eva?”
“Tenang saja.” Hanya kata ini yang terucap langsung. Eva kemudian tersenyum lebar seolah tangisan barusan bukanlah apa-apa. Semua orang akan berpikir itu adalah tangisan bahagia.
Setelah pernikahan selesai, pasutri itu sekarang mengunjungi makam kedua orang tua Eva.
“Ash yang kutemui di hutan saat itu sekarang bukan lagi seorang pacar melainkan seorang suami. Kami menikah baru tadi pagi, semua orang sudah menyetujuinya dan kami akan selalu berbahagia.”
Ash cukup duduk menemaninya di sana sambil mendengarkan semua ucapan Eva dengan tenang. Saat itu Ash berpikir tidak menyangka bahwa pertemuannya dengan Eva telah membawa keberkahan, kebahagiaan dan cinta yang melimpah. Dia sangat beruntung karena telah mendapatkan gadis sebaik Eva.
“Ayah, Ibu, aku berjanji akan tetap hidup baik-baik selama yang aku bisa.”
“Kenapa ada kata-kata, "selama yang aku bisa", Eva?”
“Karena takdir tidak ada yang tahu,” jawabnya lugas.
Ash tidak menjawab apa pun setelahnya, dia mungkin berpikir memang hanya takdir yang dapat memisahkan mereka berdua namun terlihat dari wajahnya dia sedikit tidak rela.
“Baiklah, takdir memang tidak ada yang tahu. Tapi aku percaya aku bisa melindungimu,” ucap Ash.
“Tentu saja itu karena kamu sekarang adalah suamiku, Ash.”
“Jangan panggil namaku.”
“Lalu aku harus memanggilmu apa?”
“Panggil aku sayang,” jawab Ash.
Eva tersipu malu sembari mendorong pelan Ash. Agaknya dia merasa enggan untuk memanggil Ash dengan sebutan memalukan seperti itu.
***
Pada pagi hari berikutnya pasutri itu berencana pergi menuju ke makam orang tua Ash, letaknya cukup jauh karena berada di luar kota. Nampaknya mereka tidak akan kembali cepat. Di satu sisi Sena cukup khawatir bila mereka berdua pergi bersama sedangkan si kakek tampak santai dan tidak mempermasalahkan hal itu.
Perjalanan mereka akan membutuhkan waktu sekitar 5 hari dengan menaiki sebuah kapal. Kecemasan Sena bukan tanpa alasan dan ini adalah pertama kalinya Ash pergi keluar kota yang hanya bersama istrinya.
“Tenang saja kak, aku tidak akan pernah membiarkan istriku terluka.” Nampaknya Ash sadar apa yang membuat kak Sena cemas.
Kakek sedikit tertawa saat melihat reaksi terkejut Sena yang sekarang diam mematung tanpa berbicara sepatah kata.
***
Selama lima hari ke depan melewati jalur laut, sejujurnya ini adalah kali pertama bagi Eva menaiki kapal dan dia sedikit mual. Dengan segala cara Ash berupaya agar mabuk laut Eva mereda entah itu menggunakan minyak angin ataupun hanya sekadar minuman air putih segar. Baru menempuh satu jam perjalanan saja Ash sudah dibuat kelabakan.
“Apa kita pulang saja? Aku akan meminta mereka balik lagi.”
Eva menggelengkan kepala dan menghentikan tindakan Ash yang sepertinya memang berniat untuk menghentikan kapal ini. Sedikit demi sedikit Eva mulai beradaptasi dengan kapal meskipun ini tidaklah mudah. Jalur laut ini terasa seperti Eva sendiri yang sedang berenang ke laut. Belum lagi aroma asin yang diciumnya begitu pekat.
“Jangan hentikan aku. Kamu sudah seperti ini, aku takut nanti kamu—”
“Ash, aku hanya butuh waktu.”
Pada akhirnya perjalanan tetap lancar hingga sampailah mereka di sebuah kota Angin. Kota yang memiliki embusan angin kencang di setiap menit. Setelah menginjak daratan, Eva merasa segar kembali.
Kota Angin merupakan tempat kelahiran Ash. Dia kehilangan orang tuanya sejak kecil di tempat ini. Bersama Sena, kakek membawa mereka berdua pergi menuju ke kota pusat yang di mana sekarang menjadi tempat tinggal kakek dan Sena. Lalu hari ini bersama dengan istri tercinta, Ash mengunjungi kampung halaman dengan bermaksud untuk berziarah juga.
Rumah telah disiapkan tak jauh dari pelabuhan, Ash berkata rumah itu sudah lama ditinggalkan tapi begitu masuk rumahnya sudah sangat bersih karena Ash sudah meminta seseorang membersihkannya.
Sesuai nama kota ini, embusan angin selalu terasa tiap menitnya. Berkat embusan angin itu, segala macam aroma mudah hilang. Udara terus berganti setiap saat dan dengan mudahnya Eva terhanyut dalam angin itu sampai tertidur sebentar di kursi sofa. Ash hendak membawanya ke kamar namun takut apabila Eva akan terbangun karena kaget sehingga dia mengurungkan niat itu.
Berpikir akan lebih baik jika membiarkannya sebentar di sini, sambil menjaganya dari dekat, dia menyiapkan teh hangat. Aroma teh pun cepat menghilangnya namun rasa hangat dan segarnya tetap terjaga, ketenangan hati pun mudah didapat berkat teh melati yang barusan dibuat.
“Eva, minumlah teh hangat ini.”
Kedua cangkir teh hangat tersaji di atas meja. Aroma melati sedikit menguar dalam beberapa saat sebelum akhirnya angin membawa pergi. Sesekali Eva menyeruput teh dengan mata terpejam sementara Ash hanya menyentuh bibir cangkir sembari memandangi sosok istrinya yang tetap cantik bahkan tanpa riasan sekalipun.
“Apa semua gadis desa secantik ini?” Ash berceletuk.
Seketika Eva tersedak. Dia sangat terkejut mendengar gombalan di siang bolong begini. Eva bertanya mengapa dia tiba-tiba mengatakan hal itu. Ash mengelus punggung Eva sambil menjawabnya dengan santai seolah itu bukan apa-apa. Lagi pula dia hanya sekadar mengungkapkan bahwa kecantikan yang dimiliki Eva sangatlah natural dan indah.
“Bagiku wajahmu yang mungil ini seperti pahatan patung. Hidungmu mungkin tidak terlalu mancung, tapi bibirmu yang kecil ini terlihat menggoda di mataku,” ujarnya seraya menyentuh ujung bibir Eva.
Sepertinya bahan gombal Ash tidak pernah habis sepanjang hari. Dia selalu mengatakan hal-hal yang membuat Eva malu untuk mengakui. Sejujurnya Eva tidak terbiasa dengan sikap Ash seperti ini tapi karena hubungan mereka adalah suami istri sekarang maka dia harus terbiasa cepat atau lambat.
***
Pada pagi hari berikutnya, Eva dan Ash pergi ke pemakaman kedua orang tua Ash. Di tempat pemakaman umum yang terdapat segelintir orang berziarah membuat rasa takut Eva berkurang. Ash mengenggam tangannya dan sedikit berjalan cepat tuk menemui mereka yang sekarang sudah tertidur di bawah tumpukan tanah.
Duduk menghadap kedua nisan, ekspresi Ash berubah menjadi datar. Hanya dalam beberapa waktu dia tenggelam dalam duka. Ash tidak mengatakan apa pun tentang penyebab kematian mereka berdua bahkan hanya duduk termenung tanpa mengucapkan sepatah kata. Sedikit perasaan marah terbaca dari setitik bercak merah di bagian sudut matanya.
Eva menggenggam tangan Ash dengan segera lantas memperingatkan dirinya untuk tetap tenang. Entah apa yang Ash pikirkan sampai membuat tanda dari penyakitnya mulai kambuh.
“Ash, Ash.”
Setelah beberapa saat Eva memanggil, barulah Ash kembali sadar. Kemudian dia meminta maaf karena hampir saja dia di luar kendali. Eva hanya tersenyum lega begitu Ash kembali mendapatkan kesadarannya. Tenggelam dalam duka memang memicu penyakitnya tapi berkat keberadaan Eva, lelaki yang mudah sekali marah itu kini sudah menjadi tenang.
“Apa kamu tahu alasan kematian kedua orang tuaku? Aku belum pernah bercerita ini, 'kan?”
“Bukan masalah kamu tidak mau menceritakannya.”
“Kupikir kamu harus tahu. Ini mungkin pernah ada dalam pikiranmu.”
Eva menatap bingung ke arahnya, tidak mengerti apa yang dibicarakan namun mendengar percakapan yang seolah-olah Eva tahu tentang kematian mereka berdua, telah membuatnya berpikir bahwa itu berhubungan dengan wabah darah.
“Kedua orang tuamu meninggal karena penyakit itu?”
“Ya. Aku tertular ini sejak kecil tapi cukup beruntung karena bisa bertahan hidup. Aneh ya?” Ash tersenyum masam dengan wajah yang terlihat sedih.
“Kalau kamu beruntung lalu bagaimana denganku? Dan aku baru tahu kalau keluargamu terdampak tapi sepertinya tidak termasuk ke dalam kasus.”
“Karena wabah yang menimpa keluargaku tertutup rapat dengan kebakaran. Aku membakar rumah beserta mereka.”
Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Eva dibuat terkejut. Eva terdiam membisu setelah mendengar cerita panjang lebar dari suaminya sendiri, ada perasaan cemas dan takut yang mulai meliputi di sekitar. Mendadak langit terlihat gelap lalu semua orang tidak terlihat wajahnya kecuali Ash.
“Eva, aku tidak berharap kamu mendengar cerita ini tapi seperti yang kamu tahu, mungkin ada petunjuk lain.”
Begitu Ash mengajaknya kembali berbicara, seketika Eva tersadar. Nampaknya dia pun mudah larut dalam suatu emosi. Semua indera miliknya jadi begitu kuat sampai sulit dikendalikan. Termasuk indera keenamnya yang mampu melihat suatu hal tak kasat mata.
Pemakaman umum ini dipenuhi banyak jiwa dari mayat-mayat. Aura kegelapan, rasa kebencian sekaligus ketakutan menderu seakan meminta pertolongan. Kesakitan yang mereka rasakan mengalir masuk ke dalam jiwa Eva. Penyihir kecil merasakan sensasinya dan berusaha untuk menahannya selagi bisa.
“Eva, kamu tidak apa-apa? Maaf tiba-tiba cerita begini. Kamu takut? Maafkan aku.”
“Ah, bukan. Aku bukannya takut tapi prihatin dengan kematian orang tuamu, Ash.”
“Panggilan sayangnya mana?”
“Kamu malah mikirin itu.”
Sebelum pergi meninggalkan pemakaman, Ash mengecup singkat pipi Eva. Gadis yang kini menjadi istri sahnya dibuat diam dalam beberapa saat. Tubuhnya bahkan mematung saking terkejutnya mendapatkan kecupan itu. Padahal mereka sudah pernah melakukan lebih dari sekadar kecupan di pipi.
“Pemakaman ini rasanya semakin menakutkan. Lebih baik kita segera pergi,” ucap Ash.
Pada larut malam, seseorang menghubungi Ash. Nomornya tidak pernah tersimpan dan Ash bimbang ingin mengangkatnya atau tidak. Setelah mencoba berdiskusi dengan Eva serta mendengar nada dering telepon yang tidak ada habisnya, Ash kemudian memutuskan untuk mengangkatnya. Panggilan itu berlangsung cukup singkat dan mengubah ekspresi di wajahnya, Eva cemas karena sepertinya panggilan itu sangat penting dan mengkhawatirkan.
Ash meletakkan ponselnya lantas menjelaskan ada seseorang yang sedang butuh bantuan. Kemudian Ash kemudian pergi tergesa-gesa tanpa tahu itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang istri.