Dengan pernikahan, Ash berpikir dapat melindungi dia dari dekat. Dia tidak peduli apa omongan orang-orang tentang pernikahannya nanti tapi Ash sudah bertekad akan melakukannya meski Eva masih merasa enggan. Kehidupan pernikahan yang akan mereka jalani mungkin akan menyebabkan sesuatu kembali terjadi pada Ash.
Tidak boleh mencintai, memacari apalagi berhubungan. Jika salah satunya saja dilanggar maka penyakit yang melibatkan darah akan membuatnya kambuh. Pada saat Ash pertama kali kambuh di hadapan Eva itu bukanlah seberapa, kali kedua hingga ketiga pun Eva dapat menahannya dan pada hari ini adalah yang terburuk dari sebelumnya. Dampak dari penyakit wabah kian menggerogoti tubuh bagian dalamnya sehingga mulai kesulitan mengontrol diri.
Kecemasan Eva tidaklah jauh dari penyakit Ash sendiri, dia takut bila menjalani hubungan ini akan memperburuk penyakitnya dan Eva tidak tega melihat Ash terus merasa kesakitan setiap saat. Itulah yang dia takutkan. Namun Ash tidak bisa hanya dengan hubungan kekasih saja, Ash merelakan semua yang dimilikinya hanya untuk Eva.
“Aku mohon padamu, biarkan aku melindungimu.”
“Ash tolong dengarkan aku. Ini bukan karena aku tidak mencintaimu melainkan karena penyakitmu sudah semakin memburuk lalu aku yakin dengan kebangkitan penuhku maka kamu akan sembuh tapi sampai saat itu terjadi, aku ingin memintamu mengakhirinya sebelum terlambat.”
Kedua tangan Ash gemetar. Ketakutannya semakin besar begitu Eva mengatakan itu. Kesedihan yang tersemat dalam setiap kalimat yang terucap dengan bibir kecil itu terlihat seperti tidak bersedia namun dia tidak punya pilihan lain. Ash menggenggam kedua tangan Eva sembari mengecup lalu memeluknya penuh kasih.
“Ash, tolong dengarkan sekali saja.”
“Lebih baik aku kehilangan diriku sendiri daripada dirimu.”
“Ash, aku mohon dengarkan sekali saja.”
“Kita akan menikah tapi aku berjanji tidak akan melakukan malam pertama jika itu maumu. Kamu takut kalau aku hilang kendali, bukan? Kita lakukan saja seperti itu.”
“Bukan tentang itu.”
Bahkan jika menghindari hubungan di malam pertama pun, Eva sudah sadar penyakit Ash memang memburuk dari hari ke hari. Dia yang merasa enggan menerima ajakan pernikahan kini memalingkan wajah dengan maksud menolaknya. Entah mirip siapa, sifat keras kepala yang dimiliki Ash yang kukuh akan keputusannya benar-benar membuat repot.
Kehidupan pernikahan tentu didambakan oleh setiap orang. Perhiasan, dekorasi dan sumpah pernikahan akan ada. Ash berniat mengikat hidup ini untuk selamanya dengan Eva tanpa memperdulikan resiko besar di masa mendatang.
Ash tidak hanya sekedar mengucapkan tekad belaka, dia kemudian menunjukkan seberapa besarnya tekad tuk menikah dengan orang yang dia cintai terhadap semua orang. Dia meneriakan nama Eva dan menyatakan cintanya dengan suara lantang hingga semua orang di perkotaan akan mendengarnya. Eva terkejut karena sebab tindakan Ash saat ini mungkin akan membuat Eva terpaksa menerima lamaran.
“Ash, ketahuilah, ini bukan tentang cintaku yang memudar tapi ketakutanku saat kita benar-benar bersatu dalam pernikahan.”
Setelah beberapa menit berlalu Ash melakukan hal yang sama, entah sejauh apa dia pergi hanya untuk mengumumkan pernikahan yang akan datang. Kemudian dia kembali begitu merasa sudah cukup.
“Ikut denganku.”
Ash menarik lengan gadis itu dan membawanya pergi ke rumah. Kakek dan kak Sena tampaknya sadar dengan maksud Ash yang membawa Eva datang kemari. Terlebih saat melihat ekspresi wajah Ash yang sangat girang sambil bercerita tentang Eva. Ash terlampau semangat sampai tersedak di tengah-tengah cerita.
“Kalian datang untuk menikah?” Kak Sena bertanya sembari melipat kedua lengannya ke depan dada. Wajah Sena tidak terlihat senang.
Hanya Ash yang menjawab dengan anggukan kepala sedangkan Eva tertunduk malu dan cemas. Melihat reaksi Eva yang di luar dugaan, kak Sena langsung menyatakan tidak setuju terhadap pernikahan mereka. Sontak saja Ash marah dan berkata bahwa kakaknya itu tidak berhak mengatur kehidupannya. Mereka berdua kemudian bertengkar hebat tanpa melihat situasi sekarang.
“Nak, apa kamu sungguh mencintai pria itu?” Kakek bertanya dengan suara yang tak kalah lembutnya. Dia pria lansia yang memiliki temperamen baik dan tenang sehingga membuat Eva dapat mengatakan pemikirannya sendiri.
Cinta tumbuh dari dalam hatinya, perasaan senang akan dinikahi oleh orang yang dicintai pun meluap-luap tanpa mengenal waktu dan tempat, namun itu semua berhak dia dapatkan saat masalah mengenai penyakit wabah darah bisa disembuhkan. Kakek paham bila Eva takut jika suaminya nanti menggila dan berakhir tragis di atas ranjang tapi yang dimaksud oleh Eva bukanlah itu.
“Saya merupakan keturunan penyihir dan mungkin sebentar lagi akan sepenuhnya bangkit sebagai penyihir sungguhan. Lalu saya mungkin akan menemukan jawaban untuk mengembalikan Ash seperti semula.”
Kakek tidak merasa ada yang aneh selain ungkapan Eva mengenai dirinya yang merupakan seorang penyihir. Dia bertanya lalu apa yang membuatnya gelisah.
“Jika saya menjadi penyihir, mungkin ...,” Eva menggelengkan kepala dan kembali berkata, “Tidak, sudah pasti wabah darah akan muncul. Itulah yang saya takutkan.”
“Kamu yang mengendalikan. Kenapa kamu takut?”
“Wabah darah dalam kendali seorang penyihir bukan saya.”
Barulah sadar apa yang dimaksud oleh Eva. Kakek sangat terkejut dengan beban di pundak gadis mungil ini. Dia mempertaruhkan nyawa demi menyembuhkan Ash namun di sisi lain pun dia harus mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi saat darah penyihirnya bangkit secara utuh.
“Lalu bagaimana jika kamu tetap tidak bisa menyembuhkan penyakit Ash?” tanya kakek sekali lagi.
“Awalnya saya tidak yakin itu bisa tapi sekarang saya berubah pikiran.”
“Kamu yakin?”
“Saya yakin sebentar lagi ini akan terjadi. Hanya dengan kebangkitan saya maka Ash akan sembuh.”
Pertengkaran antara Sena dan Ash berhenti begitu mendengar percakapan Eva dan kakek. Mereka berdua tiba-tiba saja menjadi tenang seakan sudah ditegur oleh orang yang paling tua di dalam rumah ini. Padahal kakek hanya sekadar berbincang-bincang dengan calon istri cucunya bahkan dia mengabaikan pertengkaran kedua saudara itu sejak awal.
“Baiklah, jika kamu merasa keberatan dengan pernikahan maka jangan terima lamaran laki-laki udik itu.” Kakek melontarkan kalimat ini secara spontan dan lugas agar Ash mendengarnya.
Eva menganggukkan kepala, berpikir bahwa pernikahan di antara mereka tidak boleh terjadi sampai saat itu tiba. Ash pun kecewa dan bertanya-tanya mengapa dia menolak, lalu hanya satu jawaban singkat yang membuatnya diam seribu bahasa.
“Aku ingin pengantin yang sehat,” ungkap Eva sambil tersenyum.
Pupus sudah harapan terbesar Ash tuk mengikat kehidupan Eva bersamanya. Dia sudah sangat bersedia bahkan rela mengorbankan segala hal hanya demi membuat Eva tetap hidup dan menghindari takdirnya sebagai penyihir namun Eva menolak semua itu. Meskipun dia sangat tahu kalau tidak ada gunanya menghindari takdir, bahkan dia sendiri pun sadar tentang kondisinya saat perasaan "cinta" muncul maka rasa "sakit" akan kambuh, inilah permasalahan yang menyebabkan hubungan mereka tidak bisa lanjut.
Sedih dan kecewa terpampang jelas di raut wajah Ash yang muram. Keinginan lelaki itu hanya satu yaitu melindungi Eva dari takdir kejamnya, namun keinginan Eva juga tidak berbeda jauh yang ingin melindungi lelaki itu. Keduanya tidak bersatu secara utuh justru memiliki dampak mengerikan bila hubungan ini terus berlanjut.
Di taman kota. Tempat ini pernah sekali dikunjungi oleh mereka berdua. Tenang dan terhindar dari hiruk-pikuk di jalanan. Kenyamanan sesaat sembari menghirup udara segar membuat Eva rileks sejenak. Ash menatapnya dengan kening berkerut seakan kejanggalan di hati masih membuatnya tidak tenang.
“Ash cobalah untuk duduk diam sambil bersandar di kursi lalu pejamkan matamu pasti kamu lebih tenang,” tutur Eva.
Ash melakukannya sesuai perkataan Eva namun apa yang dia dapat bukanlah ketenangan justru ketidaknyamanan. Di dalam benak dia terpikir hal buruk hingga membayangkan sosok Eva yang berkorban demi dirinya. Napas Ash mulai tidak stabil, dia mulai mengeluh kesakitan di bagian dadanya dan seketika Eva panik.
“Ash, Ash! Tenanglah aku di sini!”
Suara gadis itu masih dapat dia dengar tapi suaranya seakan semakin menjauh begitu juga dengan keberadaannya. Ash mengulurkan tangan dan berniat meraih sosoknya tapi dia kesulitan karena Eva terlalu jauh darinya. Rasa takut di dalam hati menumbuhkan emosi tidak stabil, amarah hampir menguasai seiring perubahan fisiknya kembali muncul.
“Ash!” Eva meneriakan namanya sekencang yang dia bisa lalu memeluk sangat erat. Kini keduanya saling mendengar suara degup jantung sekaligus suara napas yang perlahan stabil.
Tanpa menggunakan darah penyihir, Ash kembali pulih. Dia membalas pelukan sama eratnya, ini tanda seberapa besar dia takut akan kehilangan orang yang dia cintai. Penyakit wabah darah sungguh terkutuk namun tanpa adanya itu maka mereka tidak akan pernah bertemu.
“Maaf membuatmu khawatir, Eva.” Suara serak basah terdengar menggelitik di telinga. Kekhawatiran yang begitu dalam nyaris membuat orang ini gila.
Ketakutan yang dirasakan olehnya entah mengapa ikut dirasakan juga oleh Eva. Kini gadis itu sedang mempertimbangkan permintaan Ash yang membuatnya resah sepanjang waktu, takut bila penyakitnya akan lebih kambuh karena hal itu, Eva berpikir mungkin lebih baik jika mereka menikah.
Semua orang di sana memandangi mereka dengan perasaan senang entah kenapa. Sebagian besar dari mereka iri karena pasangan satu itu begitu romantis di tempat seperti ini. Alangkah baiknya jika mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi bahwa penyihir dan monsternya sedang berkencan maka pasti pandangan itu tidak akan ada.
Awan bergumul di langit, matahari bersembunyi. Suasana di taman semakin ramai akan kehadiran orang-orang kota. Suara riang beberapa anak yang sedang bermain membuat Eva terhanyut ke dalam ingatan masa kecilnya di desa. Betapa rindunya dia di masa itu tapi sekarang juga sudah tidak ada gunanya untuk kembali diingat karena desa sudah hancur. Kembali merangkul masa lalu pun akan membuat hatinya kembali merasakan sakit.
“Bersama denganmu, membentuk keluarga, lalu anak-anak kita bermain dengan lainnya. Kehidupan sederhana itu cukup menggiurkan bagi kita, bukan?”
Ash menganggukkan kepala, setuju dengan pernyataan Eva barusan. Kemudian mereka saling menatap satu sama lain, perasaan Ash juga sudah lebih tenang daripada sebelumnya. Eva bersyukur.
“Sepertinya darahku tidak diperlukan. Apa ini pertanda baik?”
“Eva, maafkan aku.”
“Kemana lelaki yang selalu menggodaku setiap saat? Aku kangen nih.”
Ash tertawa pelan lantas menyunggingkan senyum tipis.
“Mungkin tidak ada salahnya kita menikah.”
Tawa pelan Ash berhenti detik itu juga. Senyuman menjadi semakin lebar dan wajahnya pun terlihat bersinar. Wajah bahagia yang ingin sekali dilihat oleh Eva sudah terwujud dan sangat senang karena dia sudah kembali seperti semula. Ash sempat bertanya guna memastikan lalu Eva menjawab dengan anggukan kepala beberapa kali.
Akhirnya Eva menerima lamaran pernikahan. Sesuai janji sehidup semati, Ash tidak akan pernah menarik ucapannya. Dia pun segera membawa Eva kembali ke rumah dan membicarakan ini pada kak Sena juga kakek. Berharap mendapatkan restu dari mereka sebab kedua orang tua Ash sudah lama meninggal.
Tadinya Ash berpikir ini akan mudah tapi tidak disangka bahwa kak Sena masih belum setuju juga. Kak Sena duduk sembari menyilangkan kaki dan melipat kedua lengannya lalu menatap kedua pasangan itu dengan tajam karena enggan memberi restu.
“Kamu pikir aku akan menyetujuinya begitu saja? Aku sudah dengar kalau gadis yang ingin kamu nikahi itu ternyata penyihir. Lalu bukankah aku sudah bilang kalau penyakitmu itu akan membawa tragedi mengerikan.”
Ash tahu betul apa maksud ucapan kak Sena barusan. Dia tidak menyangkal bahwa penyakitnya akan membahayakan nyawa Eva. Lalu sekarang dia tahu bahwa Eva adalah penyihir. Penolakan Sena jelas masuk akal.
“Tidak boleh mencintai, tidak boleh berpacaran apalagi berhubungan badan. Aku tahu ini tidak boleh dilakukan tapi aku sudah melakukan dua dari tiga larangan itu tapi sekarang aku baik-baik saja.”
“Tapi itu karena penyakitmu ditekan dengan darah penyihir. Intinya dialah yang menyebabkan semua ini,” kata Sena sambil menunjuk ke arah Eva.
“Tapi yang awalnya menyebarkan wabah darah bukan dia tapi penyihir lain!” sangkal Ash.
“Tetap saja dia berbahaya dan aku tidak percaya.”
Akibat penolakan dari kak Sena sehingga mereka berdua kembali bertengkar. Sementara Eva berniat melerai mereka tapi berujung dimarahi oleh Sena. Saat itu kakek hanya bisa menghela napas, ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar. Sedari kecil dua saudara ini memang selalu bertengkar bahkan jika itu hanya karena masalah sepele.
Kakek mencoba menjelaskan pada Eva kalau Sena sebenarnya berniat baik untuk mereka berdua. Sena tidak bermaksud menyakiti hati Eva sebab hubungan antara Eva dan Ash memang sudah lama disadarinya.
Eva menepuk pundak Ash secara perlahan, seketika Ash berhenti bertengkar lalu memeluk gadis itu sambil menatap tajam pada kak Sena. Apa pun alasannya Ash tetap akan menikahi Eva, itulah yang terbaca dari ekspresinya sekarang. Kak Sena mendengus kesal lantas berpaling.
“Menikah sana dan jangan pernah kembali ke rumah ini. Aku tidak peduli jika kamu mati nanti, biar dia urus kamu sendirian!” ujar Sena dengan suara lantang yang kemudian pergi masuk ke dalam kamarnya.
“Iya, baiklah! Aku menikah juga bukan urusanmu! Atau apa? Takut karena aku menikah lebih dulu sebelum kakak?” sahut Ash mengejek.
Meskipun terkesan tegas dan kasar bahkan dari kalimatnya sudah terdengar kalau dia tidak merestui, namun sebenarnya kak Sena adalah orang yang paling mengkhawatirkan mereka berdua.
Sudah bertahun-tahun semenjak wabah darah menginvasi sebagian kecil masyarakat di negara ini. Muncul titik terang yang menyatakan wabah darah telah berakhir, tetapi sayangnya ini belum berakhir bagi pasangan itu.
“Kalau memang benar dia seorang penyihir maka pasti dia punya cara untuk menyembuhkan Ash tapi yang aku khawatirkan sekarang adalah Eva. Dilihat dari sifatnya mungkin dia akan mengorbankan nyawanya sendiri,” gumam Sena.