Kesadaran Ash secara berangsur-angsur menghilang sementara Eva tertahan di atas kasur dengan posisi Ash yang berada di atasnya. Lelaki ini mengukungnya dari kedua sisi dengan kedua lengannya yang kekar. Sekalipun dia sedang gemetaran karena berupaya untuk menahan penyakit itu namun tenaga fisiknya tetap saja sangat kuat sampai-sampai tidak ada celah sama sekali.
Tidak ada waktu untuk terus menunda dan terjadilah hal yang paling tidak diinginkan pada Eva pada detik itu juga. Mencuat gigi taring di antara gigi gerahamnya yang juga tajam kini merobek kulit dan daging di bagian leher gadis itu. Leher yang kecil itu pun dengan mudahnya terluka, Eva mengerang kesakitan seraya menyebut nama sang kekasih hingga mengalirkan air mata.
“Dasar laki-laki kurang ajar. Sebenarnya siapa yang dipilih oleh Eva sekarang? Kenapa dia begitu berani melukai seorang gadis.” Sosok lain Eva berceletuk, kesal karena perlakuan Ash terhadapnya sangat kasar dan kuat. Gadis itu dibuat tidak bertenaga sama sekali bahkan meninggikan nada suara saja tidak bisa.
“Tolong menyingkir dari hadapanku, tarik taring monstermu dari leherku yang lebih kecil ini dari pergelangan tanganmu,” pinta gadis itu dengan kesadaran mulai memudar.
Lambat laun keganasan Ash berkurang, darah yang mengalir cepat di bagian lehernya terasa amat perih lebih daripada saat taring itu menyerang. Tanpa dosa lelaki itu jatuh ke atas tubuhnya dalam kondisi tak sadarkan diri. Lekas sosok Eva yang sebenarnya muncul, pergi terburu-buru meninggalkan kamar dan menuju ke kamar mandi dengan berjalan sempoyongan.
Jangankan kesadaran Eva yang akan menghilang, dia bisa saja mati di tempat jika tidak melakukan sesuatu terhadap luka di bagian lehernya. Kali ini dia mengingat semua yang dia lakukan pada Ash sampai memicu penyakitnya kambuh. Dia merasa aneh karena sosok lainnya yang sengaja berbuat tidak senonoh.
“Bisa-bisanya dia membuat pakaianku jauh lebih terbuka ketimbang pakaian yang biasa aku pakai. Tapi dia adalah aku juga. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun sekarang,” gumam Eva.
Darah tetap mengalir keluar dari bagian luka meski Eva telah menekannya dengan kain tebal. Dia mulai pusing dan sudah tidak tahan karena luka itu membuatnya menderita. Sedikit demi sedikit Eva merasakan hal lain di bagian lukanya namun dia tidak paham tapi itu terasa lebih seperti seseorang menyembuhkan lukanya.
“Lukanya tertutup?” Setelah melihatnya seksama dari cermin kecil dalam kamar mandi, bagian luka pada leher Eva menutup dan darah tidak lagi mengalir keluar.
“Itu bagian dari kekuatan penyihir. Regenerasi,” sebut sosok lain Eva yang berada di cermin.
Eva tersentak kaget lantas melangkah mundur ke belakang. Tiba-tiba saja bayangannya pada cermin berbicara, ini sudah bukan lagi situasi yang masuk akal. Eva bukan hanya sekadar mengira melainkan yakin bahwa sosok dalam cermin adalah sosok lainnya yang sempat keluar saat Ash datang.
“Astaga, ternyata aku tidak sedang berhalusinasi?”
“Hei, kita berdua ini sama. Jadi jangan berpikir bahwa aku hanyalah bayanganmu. Tapi sepertinya anggapan itu tidak salah.”
“Aku jadi agak sedikit tenang karena dirimu dan darah ini yang membantu Ash.”
“Regenerasi yang dimiliki olehmu perlahan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Apa kamu tahu ini artinya apa?”
Eva terdiam bingung sembari menatap serius ke arah cermin. Kemudian sosok itu menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan bahwa Eva mulai menjadi penyihir seutuhnya. Lalu alasan mengapa wabah darah berhenti dan penyihir itu tiada adalah karena pergantian peran.
“Aku menggantikan peran penyihir yang sudah meninggal itu?” tanya Eva yang ingin mengetahui kejelasannya.
“Tentu saja. Wabah darah mungkin berhenti tapi mungkin tidak, itu semua bergantung padamu.”
“Aku tetap Eva meskipun aku memiliki darah penyihir. Aku menjaminnya,” ucap Eva penuh keyakinan kuat.
“Takdir tidak ada yang tahu. Suatu saat kamu mungkin akan melupakan tentang pembicaraan ini bahkan tentang diriku.”
Darah penyihir mengalir dalam tubuhnya, memori ingatan yang berhubungan melekat dalam jiwa, dan semua milik penyihir itu menjadi milik Eva yang telah ditandai. Regenerasi cepat adalah salah satu bukti bahwa Eva merupakan penyihir kedua di era ini. Eva merinding dibuatnya saat menyentuh luka yang sudah pulih itu, sembari membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukannya.
Suatu saat nanti Eva akan mengetahui kebenaran secara langsung cepat atau lambat. Dia mungkin akan lupa tentang sosoknya sekarang dan benar-benar menjadi penyihir sungguhan yang mungkin akan menciptakan teror kembali. Rasa takut dan cemas kerap kali menghantui, Eva sungguh tidak menyangka keinginannya untuk menyembuhkan Ash malah berujung menemukan fakta menyeramkan itu.
Eva berjalan keluar dari kamar mandi dengan sangat perlahan lantaran tenaganya belum pulih sepenuhnya. Ash baru saja terbangun dan terkejut melihat bercak-bercak darah di lantai juga sosok Eva yang terduduk di ambang pintu. Dia pun bergegas menghampiri.
“Sepertinya aku melakukan itu padamu lagi,” tutur Ash sembari menyentuh bekas luka di leher Eva.
Tatapan sendu Eva mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Kekecewaan terpampang jelas di wajah membuat Ash mengucapkan ratusan kata maaf padanya. Dengan perasaan bersalah dia mendekap lembut sang gadis. Dia tidak pernah berpikir ini akan terjadi apalagi berpikir kalau Eva akan memaafkannya. Dia bersedia menerima hukuman apa pun yang akan diberikan pada gadis itu selama bisa menebusnya dengan sesuatu.
“Ash, apa kamu tahu apa yang kamu lakukan sebelum ini?”
“Tentu aku tahu, aku melakukan hal keji padamu. Maafkan aku, sungguh.”
“Gigitan ini bukan kali pertama bagiku.”
“Kamu memintaku untuk tidak khawatir dan jangan memikirkannya? Maaf aku tidak bisa. Ini salahku, kesalahanku kali ini terlalu parah. Maafkan aku.”
Ash membenamkan wajahnya pada tubuh gadis itu, tubuh lelaki yang lebih besar dua kali lipat darinya itu kini meringkuk gemetar dan ketakutan. Perlahan Eva menepuk ujung kepala Ash dengan sangat lembut sambil menenangkan dirinya. Eva selalu berkata bahwa ini semua bukan salahnya, justru dia menyalahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya.
“Eva, ini bukan salahmu. Aku lah yang melukaimu.”
“Tapi aku adalah penyihir, orang yang membuatmu jadi begini. Meskipun bukan aku sepenuhnya tapi aku yang sekarang juga bertanggung jawab.”
Ash tidak begitu memahami setiap perkataan Eva saat ini, baginya kalimat itu terdengar aneh dan ambigu sehingga sulit dimengerti. Namun saat Eva menunjukkan senyum palsu itu, Ash mulai paham akan sesuatu. Dimulai dari luka di bagian leher yang menutup, perubahan sikap, dan raut wajah Eva terlihat berbeda sekarang. Seolah-olah dia sudah menjadi orang lain.
“Kamu bukan—”
Eva membungkam mulut lelaki itu dengan satu jari telunjuknya lantas berkata, “Aku Eva. Eva pacarmu sekaligus penyihir untukmu.”
Takdir tidak ada yang tahu bagaimana akan terjadi ke depannya. Baik dan buruknya nasib ditentukan dengan kedua tangan sendiri, bagaimana menjalaninya dan bagaimana menghadapinya merupakan tantangan dalam kehidupan setiap orang yang ada di dunia ini.
Eva menceritakan apa saja yang terjadi belakangan ini termasuk pertemuannya dengan Tio lalu fakta mengenai kondisi tubuhnya sekarang. Regenerasi dimiliki oleh penyihir yang di mana setiap mereka terluka maka akan lebih cepat sembuh tanpa bekas. Daging dan kulit yang terkoyak akan tumbuh cepat seakan tidak mengenali sebuah waktu.
Ash awalnya tidak percaya dengan hal itu dan terus saja menyangkal bahwa Eva adalah penyihir sungguhan namun dengan bukti nyata di depan mata, luka di bagian leher yang diakibatkan oleh Ash sendiri pun akhirnya membuat dia bungkam. Mau percaya atau tidak, tetaplah tidak akan mengubah fakta yang ada. Eva sudah menerima keadaan ini dengan lapang dada dan meminta Ash juga menerimanya.
“Aku penyihir,” ucap Eva.
“Dan aku adalah monster,” sahut Ash seraya menatap mata gadis itu dengan wajah sedih.
Dongeng dalam buku menceritakan tentang seorang penyihir barat yang memiliki wajah jelek, dikatakan bahwa penyihir itu mengubah manusia-manusia biasa menjadi monster buas berbulu lebat sebagai peliharaan sekaligus penjaga tuk melindungi hutan yang merupakan kawasannya. Lalu sekarang dongeng itu telah menjadi nyata dalam kehidupan modern di mana Eva menjadi penyihir dan Ash adalah monster yang terkutuk.
“Jika memang benar kamu adalah penyihir lalu bagaimana dengan wabah darahnya?”
Pertanyaan Ash membuat Eva sedikit tercengang. Gadis itu terdiam sejenak sebelum menjawab namun wajahnya terlihat ragu-ragu. Kemudian dia berjalan keluar dari rumah sembari memandang langit yang cerah berawan. Ash mengikutinya dan tetap berdiri di belakang sambil melihat langit yang sama.
“Apa pun keputusanmu aku akan mendukungmu. Bahkan jika aku harus menjadi monster seutuhnya pun tidak masalah, selama kamu tetap hidup.”
Eva tersenyum mendengar perkataannya. Dia begitu bahagia hanya dengan satu atau dua patah kata dari kekasihnya tercinta. Memang benar sesuai pepatah bahwa cinta membutakan segala hal dan ucapan dari orang terkasih akan lebih didengar dengan nyaman sampai ke hati.
Eva berbalik badan lalu sedikit berjinjit hendak menyamai tinggi badan Ash tetapi sayangnya berjinjit saja tidak cukup, gadis itu tetap lebih pendek darinya. Ash menundukkan sedikit tubuh dan wajahnya lalu tersenyum mengejek.
“Kalau pendek ya jangan dipaksa jinjit begitu.”
“Padahal aku hanya ingin melakukan ini,” kata Eva sambil mencubit pipi lelaki itu dengan sadis. Ash meringis kesakitan namun tetap menerima perlakuan gadisnya.
Di balik canda tawa yang kerap kali mereka lakukan itu terdapat kesedihan yang mendalam. Mereka tertawa pun hanya untuk menghibur diri mereka sendiri meski kenyataan tidak semudah itu dihindari. Fakta tentang mereka tidak bisa disembunyikan apalagi diabaikan lebih lama lagi. Inilah kenyataan. Kehidupan yang semula tenang berubah menjadi pilu kesedihan dan sakit.
“Ash, orang yang berada di dalam tubuhku. Maksudku sosokku yang lain mengatakannya kalau wabah darah bisa saja muncul suatu saat nanti ketika darah penyihir sepenuhnya mengendalikan tubuh ini,” ungkap Eva.
“Sosok lain yang mengatakannya? Atau sosok lain yang mungkin menjadi penyihir?” tanya Ash.
Eva menggelengkan kepala dan menjelaskan bahwa dia dan sosok lainnya itu adalah sama. Sejujurnya mereka tidak ada bedanya, hanya saja sosok itu adalah sisi tersembunyi Eva yang ingin menyembunyikan semua hal buruk baginya. Lalu Eva kembali menjelaskan penyihir wanita tanpa wajah itu benar-benar sudah tiada tapi di saat-saat terakhirnya dia memilih penerus yaitu Eva.
“Apa tidak ada cara lain untuk mengangkat darah panyihir darimu? Coba tanyakan pada orang itu.”
“Tidak bisa. Darah penyihir memang sudah ada dalam tubuhku semenjak lahir. Kemampuan penyihirku bangkit setelah kematian penyihir di desaku saat itu.”
“Lalu apa yang terjadi begitu kamu sepenuhnya bangkit menjadi penyihir?”
“Aku mungkin akan melakukan hal yang sama seperti penyihir itu, menyebarkan teror dan membuat wabah darah kembali terjadi.”
Eva kembali menatap langit seakan meminta jawaban yang pasti. Keinginannya tuk hidup baik-baik secara sederhana sekarang sudah lenyap bagaikan debu. Saat itu Eva hanya menunjukkan senyum sekilas lalu mengubah ekspresinya yang kembali sedih.
Eva berucap, “Saat itu bunuhlah aku, Ash.”
Tidak ada arti lain dalam ucapan gadis itu barusan. Dia baru saja mengatakannya secara frontal dan tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. Semua yang kini terjadi dan menjadi sangat jelas sudah diungkapkan langsung pada Ash, kekasihnya.
“Tidak mau.”
Ash tentu saja akan menolak permintaannya. Raut wajah sedih bercampur takut terbaca begitu jelas dari pupil mata Ash yang melebar serta kening berkerut. Dengan cepat dia meraih pinggul Eva, mendekapnya begitu erat seakan takut kehilangan ataupun ditinggalkan. Dia meminta padanya sekaligus berharap pada Sang Maha Pencipta agar tidak terjadi hal buruk lagi pada Eva—gadis yang amat dia cintai.
Di hari itu Ash melafalkan sebuah janji sehidup semati, mengikat raga dan jiwanya tuk tetap melindungi Eva apa pun yang terjadi. Seumur hidupnya dipertaruhkan hanya untuk melindungi gadis bertubuh mungil itu. Eva berniat menghentikan janji itu namun Ash sudah bertekad.
Ash mengenggam tangannya, menatapnya serius. Janji yang terucap langsung itu takkan pernah pudar sampai maut memisahkan mereka. Eva tercengang mendengar sekaligus melihatnya begitu serius berjanji, padahal hanya Ash satu-satunya yang dapat melenyapkan tubuh penyihir itu.
“Kamu ingin mengakhiri hidupmu melalui kedua tanganku? Aku tidak bisa. Kamu ingin meninggalkanku? Jelas aku tidak rela.”
“Berhenti mengatakan hal seperti itu. Ash, kamu tidak perlu sampai seperti ini. Janji tidak bisa diucapkan sembarangan.”
“Aku tidak tahu apa maksudmu yang ingin mengakhiri hidupmu.”
“Aku hanya bilang jika seandainya terjadi hal buruk ketika aku bangkit sepenuhnya.”
“Oh ya? Tapi aku melihat wajahmu yang berkata itu mungkin akan terjadi. Makanya kamu sudah berniat untuk meninggalkanku.”
Eva terdiam lantaran tidak bisa membalas perkataannya. Sulit membantah sebab Eva pun memang berpikir begitu, semua yang dikatakannya pun dengan mudah Ash mengetahui maksud yang sebenarnya.
“Aku berjanji tidak akan pernah melukaimu sedikit saja, dan aku bersumpah akan selalu menemanimu apa pun yang terjadi.”
Enggan menerima takdir yang mungkin terjadi, Ash bertekad tuk mengubahnya dalam diam. Sorot mata yang begitu berani menghadap langit seakan sedang menantang. Dirinya yang berjanji dan bersumpah dengan raga dan jiwanya ini tidak akan bisa dia lupakan seumur hidup. Ash pun berniat mengikat sumpah dan janji ini hingga ke pelaminan.
“Menikahlah denganku, Eva. Aku akan membuatmu bahagia.”
“Tidak bisa, penyakitmu belum sembuh.”
“Lupakan tentang penyakitku, mari kita jalani hidup seperti orang-orang biasa, ya?”
Hidup sederhana, menjalin cinta dan membentuk keluarga. Keinginan mereka tidak berbeda jauh namun resiko besar telah menanti di masa depan. Namun Ash tidak peduli selama bisa membahagiakan gadis miliknya.