Gi Do Hoon
Mobil yang kukendarai perlahan masuk ke dalam pekarangan rumah orangtuaku. Setelah memastikan mobilku terparkir dengan rapi, aku turun dengan paper bag di tanganku yang sudah kusiapkan.
Hah. Akhirnya setelah sekian lama aku kembali lagi ke rumah ini.
Pintu hitam itu terbuka, untungnya password pintu masuk belum diubah sama sekali.
"Eomma. Appa. Na wasseo." (Ibu. Ayah. Aku datang)
Wajah yang kulihat pertama kali saat memasuki ruang keluarga adalah ayahku yang sedang membaca koran. Tanpa kuberitahu kalian pasti sudah dapat menebak koran apa itu. Ya, itu adalah koran bisnis. Sewaktu kecil aku pernah beberapa kali melihatnya, dan ahhhh, itu bukan tipeku sama sekali.
Appa melipat korannya dan menaruhnya diatas meja kala melihatku datang. "Eo. Wasseo!" Appa merentangkan kedua tangannya bermaksud memelukku. Tentu saja aku membalas pelukannya.
Garis wajah appa sudah tidak setegas dulu lagi. Beberapa garis keriput juga mulai nampak di wajahnya. Sepertinya aku terlalu lama tidak mengunjungi kedua orangtuaku. Bukan hanya wajahnya, tapi juga rambutnya. Saat aku memeluk appa, beberapa helai rambutnya sudah memutih.
Sudah setahun setengah aku tidak melihat appa secara langsung dalam arti tatap wajah. Beberapa waktu belakangan ini aku terlalu sibuk untuk pulang ke rumah. Appa sendiri juga terlalu sibuk dengan perusahaannya untuk mengunjungiku di Seoul karena rumah orangtuaku juga ada di Daejeon. Kalau mereka sedang ada pekerjaan genting, mereka suka menginap di rumah Do Joon di Gangnam. Jadi kami berdua juga tidak saling bertemu satu sama lain.
Hanya eomma yang suka sesekali datang ke apartemenku.
"Sering-seringlah pulang ke rumah. Do Woon dan Do Eun sering sekali menanyakanmu."
Aku juga maunya seperti itu. Tapi aku tidak mengatakannya pada appa. Sebaliknya, aku hanya mengangguk. "Akan kucoba. Do Eun di kamarnya?"
"Iya. Do Joon dan ibunya juga sedang di kamarnya. Sedang mencoba membujuknya untuk makan obat."
"HYUNG!!!!!!"
Pekikan yang berasal dari lantai atas membuatku dan appa berhenti bicara. "Do Woon-ah. Sudah appa katakan untuk tidak berteriak di dalam rumah."
Do Woon berlari sekuat tenaganya dengan kaki kecilnya menuruni tangga ke arahku. Saat ia sudah mulai mendekat, aku membungkukkan tubuhku sedikit untuk menangkapnya dan menggendongnya dalam pelukanku. "Jangan suka berlari seperti itu. Nanti kalau jatuh bagaimana," omelku.
Appa hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya tersenyum melihat kami berdua. Dirinya kembali duduk dan membuka koran, kembali membacanya dan membiarkanku menikmati waktuku dan Do Woon.
"Cih. Baru juga bertemu, tapi hyung sudah mengomeliku," gerutu Do Woon. Ia mengerucutkan mulutnya merajuk padaku. "Hyung kenapa lama sekali sih pulangnya? Hyung juga belakangan ini tidak meneleponku dan noona."
Aku tersenyum dan mengelus kepalanya. "Maafkan aku. Belakangan ini tugas kuliah sedang menumpuk." Aku tidak sepenuhnya berbohong kok. "Dalam setahun kau semakin tinggi, Woon-ah. Beratmu juga bertambah banyak. Jangan bilang kau mengambil makanan Do Eun juga?" ledekku menoel puncak hidungnya.
"Aniya! Aku tidak mengambil makanan noona kok." Do Woon berusaha untuk turun dari pelukanku, jadi ku turunkan dia perlahan.
"Yang benar?"
"Iya!" Do Woon menyilangkan kedua tangannya merajuk lagi.
Aku ingin isengin kan jadinya. "Kau ngambek?"
Do Woon tidak menjawab.
"Yasudah. Kalau begitu mainannya akan kuberikan semua pada Do Eun saja ya?"
"Ah Hyung!"
Baik aku dan appa jadi tertawa kecil melihatnya. Ku keluarkan robot terbaru kesukaan Do Woon dan kuberikan padanya. "Ini. Jangan sampai lupa untuk belajar karena keseringan main robot ya." Umurnya boleh saja 11 tahun. Tapi Do Woon masih lebih suka bermain robot daripada main gim elektronik seperti anak-anak seusianya.
"U-YE! Hyung choigo! Aku mau ke kamar dulu ya. Tadi aku ada tugas sekolah tapi setelah mendengar suara hyung, aku langsung berlari turun." (Kakak terbaik!)
Aku mengangguk paham karena aku sendiri juga ingin ke kamar Do Eun. Setelah pamit dengan appa, aku baru bisa ke kamar Do Eun. "Eun-ah," panggilku kecil saat membuka pintu kamarnya.
Do Eun yang sedang terbaring di kasurnya mendadak terduduk mendengar suaraku. Begitu juga dengan Do Joon dan eomma yang sedang berada di dekat Do Eun. "Oppa," panggilnya dengan suaranya yang serak. Wajahnya terlihat pucat berbeda saat kami terakhir bicara lewat video call.
"Hoon-ah." Aku tersenyum saat Do Joon menepuk bahuku.
Di rumah, sesame keluarga, karena kami berempat mempunyai nama depan yang sama, kami memutuskan untuk memanggil dengan nama belakang saja. Joon, Hoon, Eun, dan Woon.
"Hoon-ie wasseo?" (Hoon datang?)
Sebelum duduk di samping Do Eun, aku menyempatkan diri untuk memeluk eomma dulu. "Kenapa kau tidak bilang kalua mau datang? Eomma bisa memasakkan makanan kesukaanmu."
"Tadi aku juga datang kesini mendadak. Karena Joon-ie hyung meneleponku tadi."
"Eun-ah. Kau sudah mau makan obat sekarang? Hoon-ie oppa sudah datang," kata Do Joon pada Do Eun yang mengangguk menjawab Do Joon.
Aku merengkuh Do Eun ke dalam pelukanku. "Anak pintar," ujarku sambal mengelus rambutnya. "Eun-ah. Kenapa kau bisa sakit?"
Eomma dan Do Joon sudah keluar kamar setelah melihat Do Eun meminum obatnya. Hanya tinggal aku dan Do Eun.
Do Eun memelukku erat, "karena kemarin itu aku diajak main hujan-hujanan sama Woon sebelum pulang sekolah." Ah. Si Do Woon ini memang kurang kerjaan sekali.
"Yasudah. Sekarang kamu istirahat ya." Kembali tanganku mengelus rambutnya dan membuat Do Eun menatapku. Poni tipisnya kusingkirkan hingga ia tersenyum padaku dengan senyum khas anak kecil. "Oke?"
"Tapi oppa tidak akan pergi, kan?"
Aku menggeleng menjawbanya, "tidak. Oppa akan disini sampai Do Eun bangun."
Dengan jari kelingking kecilnya, Do Eun mengajakku untuk melakukan pinky promise. "Yaksok?" Tentu saja aku menerimanya.
"Sudah? Sekarang tidur, ya? Oppa akan menunggu disini." Do Eun mengangguk kecil sebelum ia merebahkan dirinya diatas kasur.
Tak butuh waktu lama untuk Do Eun terlelap dalam tidurnya, mungkin karena efek dariobat yang ia minum juga tadi. Ku tepuk-tepuk tangannya guna membuatnya lebih pulas lagi. Sebelum aku pergi dari kamarnya, aku menarik selimutnya sampai ke bawah lehernya dan meredupkan sedikit lampu kamarnya.
"Jalja, uri gongjunim." (Selamat tidur, putri kami)
***
Setelah pergi dari kamar Do Eun, aku sempat mengobrol sebentar dengan Do Joon, eomma dan appa. Tak lama. Karena aku juga sedikit mengantuk jadi aku tidur.
Kukira aku akan bangun dalam satu sampai dua jam. Tapi ternyata aku bangun empat jam kemudian. Saat aku terbangun, langit sudah gelap. Ya, tak salah sih. Mengingat sekarang sudah jam delapan, hampir setengah sembilan.
"Ireonasseo?" Suara eomma menyambutku saat aku turun dari kamarku.
Aku tersenyum, "ne. Kenapa eomma tidak membangunkanku?"
"Kau tidurnya pulas sekali. Ayo makan bareng sekalian. Semua sudah siap di ruang makan."
Aku mengangguk. Kakiku baru saja ingin melangkah mengikuti eomma saat ponselku di sakuku berdering.
Lee Do Young
Awalnya kukira dia hanya iseng, tapi pada akhirnya kuangkat juga. Dan saat aku mengangkatnya, aku terkejut saat suara yang kudengar bukan suara Lee Do Young. Tapi suara orang lain.
Kalimat yang selanjutnya perempuan itu katakan, membuatku membelalak terkejut. Sesuatu di dalam diriku sedikit memanas. Pada saat itu juga aku memutuskan teleponnya setelah mengatakan untuk menjaganya sebentar.
"Eomma. Appa. Sepertinya hari ini aku tidak bisa ikut makan malam. Lain kali aku akan ikut." Kuraih tas ku di kamar dengan cepat.
"Oppa. Eodiga? Kau sudah janji tidak akan pergi." Do Eun memegang ujung kausku dengan wajahnya yang terlihat sedih.
"Kapan-kapan Oppa akan datang lagi. Oke? Kali ini Oppa benar-benar harus pergi."
Aku beruntung sekali punya adik yang pengertian karena Do Eun langsung melepas kausku dan mengangguk mengerti, kembali ke tempatnya di meja makan.
Setelah pamit terburu-buru pada kedua orangtuaku dan pada Do Joon, Do Eun dan Do Woon, aku terburu-buru menyetir mobilku kembali ke Seoul. Waktu perjalanan perjalanan yang seharusnya memakan waktu hamper dua jam, kupercepat hingga memakan waktu tak sampai satu setengah jam. Terserah kalua nanti ada surat tilang yang datang. Yang pasti aku harus sampai disana secepatnya.
Do Young hamper saja menjadi korban pelecehan seksual.
Entah mengapa itu membuatku panik sekaligus marah.
Sepasang kekasih yang kutahu tadi meneleponku lewat ponsel Do Young memberitahuku dimana si pelaku dibawa. Tapi itu tidak terlalu penting sekarnag. Karena aku harus memastikan Do Young tidak apa-apa terlebih dahulu.
"Yeogiyo." Seorang pria melambaikan tangannya di depan lobi rumah sakit dimana Do Young dirawat.
Bersama dengan pria itu, yang kuyakini adalah pacarnya si perempuan yang meneleponku tadi, pergi ke tempat Do Young berada.
Rasa lega melingkupi diriku kala aku melihat Do Young yang tidak apa-apa. Tapi di tangan dan kakinya ada yang diberi plester. Itu pasti karena ia mencoba untuk memberontak tadi. Di wajahnya juga terdapat lebam samar seperti orang ditampar.
Ah Lee Do Young, jinjja. Kau tidak bisa ya membuatku tenang sebentar saja.
Karena kesal yang bahkan aku tak tahu alasan aku kesal, aku meninju tembok rumah sakit beberapa kali hingga tanganku sedkit terluka. Aku tahu aku pasti menjadi bahan tontonan sekarang. Tapi aku tidak peduli. Rasanya panas sekali dalam diriku.
Mungkin aku kesal karena kenapa Do Young bisa terkena kasus seperti ini. Mungkin saja, kan? Toh dia sudah seperti temanku.
"Kau tak apa?" tanya pria itu.
Aku megangguk. "Tak apa. Maafkan aku."
Sepasang kekasih itu mengangguk paham. "Kalau begitu, kami tinggal dulu ya. I bun.. tidak apa-apa kok. Hanya sedang pingsan karena terkejut." (Orang ini)
"Iya. Terimakasih sudah membantu."
Setelah pamit, sepasang kekasih itu akhirnya pamit. Meninggalkanku dan Do Young.
"Jangan membuatku khawatir lagi."
***
Lee Do Young
Perlahan aku membuka kelopak mataku. Cahaya lampu dan bau antiseptik khas rumah sakit menyambutku saat aku membuka mata.
Syukurlah. Aku ada di rumah sakit sekarang.
Pelan, aku mengubah posisi tidurku menjadi duduk. Saat itulah aku sadar ada seseorang yang tengah tertidur dengan kepala diatas lipatan tangannya di kasur tempat aku berbaring.
Tunggu. Aku seperti kenal ini siapa.
Mengetahui siapa itu, otomatis aku tersenyum.
Gi Do Hoon.
Dia ada disampingku saat ini, sedang tertidur.
Entah keberanian darimana aku dapat mengelus rambutnya itu. Dan sepertinya itu mengganggunya karena dia sedikit mengerang pelan sebelum akhirnya ia menengadahkan kepalanya keatas menatapku. Setelah itu dia baru menegakkan tubuhnya.
"Ireonasseo?"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Sudah berapa lama aku pingsan?"
"Dua setengah jam lebih."
Wah. Lama juga ternyata. Aku jadi merasa bersalah. "Sunbae menungguku selama dua jam stengah lebih?"
"Kau mau aku pulang?"
Mulai lagi dah. Aku menggeleng sekuat tenaga, "tidak. Aku hanya bertanya."
"Gwaenchanha?"
Aku mebgangguk pelan walaupun masih merasa sedikit takut. Aku juga masih terbayang kejadian itu. Sangat menyeramkan saat diingat kembali. Aku bergidik ngeri dan kembali meringis.
Ah. Aku lupa kalau tadi kedua pipiku ditampar dengan kencang. Tanganku menyentuh pelan pipiku yang berakhir dengan ringisan.
"Jangan disentuh. Masih bengkak. Dokter tadi sudah memberikan salep." Do Hoon menarik tanganku dari pipiku dan menurunkan tanganku di pangkuan.
"Gomawo, Sunbae. Aku menjadi menyusahkanmu lagi. Tapi kau tahu darimana sampai bisa datang kesini?"
"Tadi sepasang kekasih yang menolongmu menghubungiku lewat ponselmu. Kebetulan nomorku adalah nomor terakhir yang kau panggil. Tak lama polisi juga meneleponku lagi."
Aku hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalaku.
OH! SEPASANG KEKASIH ITU!!
"Tadi yang membawaku kesini sepasang kekasih itu, kan? Dimana mereka sekarang? Aku mau mengu--" Aku bersiap turun dari kasurku saat Do Hoon menghentikkanku dan kembali membuatku duduk diam di atas kasur rumah sakit.
"Tenanglah. Tadi aku sudah mewakilkanmu mengucapkan terimakasih pada mereka. Kau mengganggu acara kencan mereka."
Astaga. Bagaimana ini? Aku mengganggu kencan orang lain. Jadi merasa bersalah.
Do Hoon tiba-tiba menyentil dahiku pelan. "Jangan berpikiran yang macan-macam. Aku hanya bercanda. Mereka sedang jalan pulang katanya saat mendengar suaramu."
Syukurlah.
"Karena kau sudah bangun, aku akan panggilkan petugas polisi yang sedari tadi menunggumu bangun."
"Petugas polisi?" Kok? Ngapain?
"Kau kan korban. Mereka mau meminta penjasanmu sebagai korban."
Ahh. Jadi begitu. Aku mengangguk paham.
Begitu kedua petugas polisi itu masuk, aku mengambil napasku pelan dan secara rinci -yang dapat kuingat- dan sedikit takut, aku jelaskan pada mereka.
Do Hoon ada disampingku. Sesekali aku meringis dan menitikkan air mata karena teringat kembali hal menyeramkan itu. Saat itu sebuah tangan menggenggam tanganku yang kutahu pasti itu adalah tangan Do Hoon. Entah mengapa, tapi aku menjadi agak tenang sedikit. Mungkin karena aku merasa kalau ada orang lain yang aku kenal ada di dekatku.
Selesai menjelaskan kejadiannya, kedua polisi itu pamit undur diri dan pergi. Begitu juga dengan Do Hoon yang melepaskan tangannya. Ada rasa kehilangan saat dia melepaskan genggamannya.
Aku memberanikan diri kembali menahan tangannya. "O-bunman. Ani. Il-bunman. Ireohge il-bunman haedo dwaejyo?" Aku tahu. Aku tahu. Aku sangat aneh sekarang. Do Hoon juga menatapku bingung. Tapi tangannya -anehnya- cukup membuatku merasa tenang. "Tangan sunbae... membuatku sedikit merasa tenang." Tangannya hangat dan... terasa pas saat kugenggam walaupun tangannya tidak besar. (Lima menit. Tidak. Satu menit. Bisakan seperti ini semenit saja?)
Do Hoon menatap tanganku sebentar sebelum ia melepaskan tanganku dan pergi dari ruangan UGD.
Habislah aku.
Ah, Lee Do Young. Jinjja michyeosseo!
Aku mengetuk pelan kepalaku beberapa kali. "Kenapa ku melakukan itu sih. Aduh."
Tanganku terhenti saat seseorang menahannya. Dan itu adalah Do Hoon.
"Sun-sunbae."
Malu.
Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan mengunci diriku dikamar karena malu.
Tanpa ba-bi-bu, Do Hoon menggenggam tanganku lagi. Aku sampai terkejut dan mengerjapkan mataku beberapa kali. "Sunbae. Ige mwoya?" (Kak. Ini apa?)
Ah. Lee Do Young. Pertanyaan bodoh apa lagi itu.
Do Hoon berdeham. "Tadi katanya kau mau memegang tanganku karena membuatmu sedikit tenang. Satu menit."
Mendengarnya, aku jadi tersenyum. Aku baru sadar kalau tangannya hangat. Dan ada bercak darah walaupun sedikit dan tipis.
Darah?
"Sunbae. Tanganmu terluka? Ada darah."
Do Hoon tiba-tiba menarik tanganya pelan, ya tak apa sih karena sudah lewat semenit juga, dan berdeham lagi. "Tidak. Mungkin ini digigit nyamuk."
Memang aku anak kecil yang mudah dibohongi? Tapi tak apa. Dia mungkin tidak mau cerita. Jadi aku hanya mengangguk saja.
"Tadi kau kemana? Aku kira sunbae marah dan pulang meninggalkanku sendiri disini karena aku meminta tanganmu."
"Kau ingin aku pulang?"
"Wah. Aku merasa dejavu sekarang," kataku yang diteruskan dengan kekehan kecil. "Tapi aku tidak
boleh pulang sekarang?"
"Tunggu sampai infusmu habis baru pulang."
"Baiklah."