Baru satu hari di kampung halaman, dan Sabrina sudah diserbu oleh rutinitas khas desa, bangun pagi bukan karena alarm HP, tapi karena suara ibu-ibu ngerumpi lewat di depan rumah.
Pagi itu, Sabrina niatnya cuma mau ke warung beli sabun mandi. Tapi begitu keluar beberapa langkah dari pagar rumah, ternyata...
"Eh, itu teh Sabrina ya?"
"Astaghfirullah, beneran, teh Sabriiinaaa! Aduh, tambah cantik euy!"
"Kenapa pulang, teh? Gagal kerja di Jakarta?"
"Belum nikah juga, ya? Aduh, adik saya yang umur 19 udah punya anak, loh!"
"Makanya, jangan pilih-pilih pasangan atuh."
Sabrina hanya bisa tersenyum kecut sambil menahan napas.
Di sekelilingnya, tiga ibu-ibu tetangga yang terkenal paling heboh di RT ini mengelilingi seperti pasukan ninja emak-emak.
Bu Euis yang selalu bawa kipas lipat, Bu Entin dengan daster motif duren, dan Bu Amah yang hobinya nyolek-nyolek pipi orang sambil ngomong, "Duh, kamu tuh cantik tapi sayang-belum ada yang ngelamar yaa..."
"Aduh, teh, kenapa gak pacaran sama kang deden aja? Atau itu, yang bungsu anak juragan kebun... Ganteng loh sekarang, tinggi, rajin, gak neko-neko!"
Sabrina terkekeh, "Ah Bu, saya mah belum mikirin cowok. Mau cari kerja dulu."
"Mikirin kerja terus, kapan nikah nya! Percuma atuh cantik kalau masalah pasangan di nanti-nanti terus. Keburu tua loh!"
Berita kepulangan Sabrina menyebar lebih cepat dari angin ribut yang datang sebelum hujan. Belum sempat sabun mandi yang dibelinya dipakai, tetangga depan rumah sudah duduk-duduk di beranda sambil nguping siapa pun yang lewat, siap menyambut tamu tak diundang, kabar terbaru.
"Eh, si Teh Sabrina balik, ya?" kata Bu Iis sambil nyeruput teh manis.
"Iyaaa... baru kemarin sore! Anak Pak Jajang yang kerja di Jakarta itu loh," sahut Bu Entin sambil mengupas salak.
"Ih, bukannya katanya kerja di kantor gede? Kok pulang, ya?" gumam Bu Onih curiga, seperti detektif tanpa lisensi.
"Iya, saya denger mah... dia gak betah. Katanya capek kerja terus. Atau jangan-jangan... dipecat?" bisik Bu Entin, matanya melirik kanan-kiri, seolah takut dinding rumah bisa nguping.
Obrolan itu tidak berhenti di warung saja. Saat menjelang siang, Sabrina sedang nyapu halaman, suara-suara bisik-bisik kembali terdengar.
"Teh Sabrina belum kerja lagi ya sekarang?"
"Eh, udah umur segitu belum nikah tuh... calon aja gak ada?"
"Coba deh sesekali ke pengajian, siapa tahu ketemu jodoh."
"Kalau saya mah dulu umur 17 udah dilamar, eh umur 20 udah punya anak. Sekarang anaknya kelas tiga SD!"
Sabrina hanya tersenyum tipis sambil tetap menyapu, meski di dalam dadanya mulai sesak. Seolah-olah statusnya saat ini adalah kegagalan yang bisa dibahas rame-rame sambil ngulek sambel.
Siang harinya, saat keluarga sedang makan siang di dapur yang hangat oleh aroma sayur cah kangkung, ibunya, Bu Titi, menyuapkan sambel ke piring Sabrina.
"Sabrin, besok ikut ke pengajian RW, ya. Biar bisa ngumpul sama ibu-ibu lain. Banyak juga anak muda yang suka ikut."
Sabrina mengunyah pelan. "Bu, Sabrin mah pengen cari kerja dulu. Kalau tiap hari diajak ke acara kampung terus, kapan ngelamarnya?"
Pak Jajang ikut bersuara sambil minum teh manis, "Ya cari kerja boleh, tapi ngumpul mah penting. Biar orang-orang tahu, anak Pak Jajang ini udah balik, udah dewasa, udah siap nikah..."
Sabrina meletakkan sendoknya, mendongak dan menatap kosong ke arah dinding dapur yang mulai berkerak karena asap kayu bakar.
Dalam hati dia berkata. "Kapan orang-orang berhenti mengukur hidupku dari dua hal itu saja-kerja dan nikah?"
Dan hari itu, untuk pertama kalinya sejak ia pulang, Sabrina masuk kamar lebih cepat.
Bukan karena capek. Tapi karena jenuh.
Sore harinya, Sabrina duduk lemas di kamar. Ponselnya tidak ramai seperti dulu. Notifikasi paling hanya dari grup keluarga dan pesan dari Tania. Tapi telinganya seperti tak pernah berhenti dengar pertanyaan demi pertanyaan tentang kenapa belum nikah, kerja di mana, lulus tahun berapa, sampai gosip bahwa ia mungkin pulang karena gagal.
Padahal Sabrina baru satu hari menginjakkan kaki di rumah.
Hari-hari selanjutnya ia mulai ikut kegiatan kampung. Ia mengantar Kirana, adik bungsunya yang kini berusia 18 tahun dan sedang naik daun sebagai penyanyi panggung dari hajatan ke hajatan.
"Teh, nanti sore manggung di rumah Bu RT, ya. Katanya ulang tahun cucunya," kata Kirana sambil latihan vokal.
Sabrina pun ikut mengantar, naik motor bebek, bantu bawa speaker, sesekali jadi juru kamera.
Besoknya, ia ikut Pak Jajang ke kebun tomat milik Teh Melati dan suaminya. Meski tak paham pertanian, ia belajar memetik tomat matang, memilah mana yang layak jual, dan sesekali mencium aroma tanah yang basah dan segar-jauh berbeda dari polusi Jakarta.
"Kamu tuh kudu belajar juga, Sabrin. Suatu hari nanti, kalau punya suami petani, gak kaget," celetuk Pak Jajang sambil tertawa.
Hari berikutnya, Sabrina ikut Bu Titi ke posyandu, bantu timbang anak-anak, mencatat buku ibu hamil, dan ikut kerja bakti bersih-bersih lapangan RW.
Meski badan pegal dan kulit makin eksotis karena matahari, setidaknya hari-harinya tidak diisi dengan tanya-jawab soal jodoh yang menyebalkan.
Namun... bukan berarti obrolan itu hilang.
Setiap bertemu orang, pertanyaan sama kembali datang seperti kaset rusak.
"Sabrina, kamu suka anak kecil gak?"
"Kamu udah ikut program pranikah belum?"
"Eh, kang Iman sering ke sini loh, kalau kamu ikut pos ronda pasti ketemu deh!"
Sabrina hanya bisa menarik napas panjang. "Kalau aku dikasih seribu rupiah tiap kali ditanya 'kapan nikah', mungkin sekarang aku udah bisa buka butik sendiri."
***
Langit mulai berwarna jingga keemasan saat Sabrina melangkah pelan menyusuri jalan setapak menuju kebun tomat di ujung kampung. Udara mulai sejuk, dan aroma tanah yang masih lembab bercampur dengan bau daun tomat yang khas.
Biasanya, Bapak pulang sendiri sambil menenteng banyak barang-rantang makan siang, termos kopi, alat pertanian, sampai sepasang sandal jepit yang suka ditaruh di dalam karung plastik.
Tapi sore itu, entah kenapa, Sabrina merasa ingin menjemput. Ada sesuatu dalam benaknya yang terus memutar ulang ekspresi Bapak saat siang tadi beristirahat di bawah pohon, mengelap keringat dengan handuk kecil usang, matanya sayu karena lelah.
"Paling engap bawa barang segitu banyak sendirian," gumam Sabrina sambil mempercepat langkahnya.
Dan benar saja. Dari kejauhan, ia melihat Bapak tengah mengikat mulut karung berisi tomat-tomat hasil panen hari itu. Rantang makan dan termos sudah dikemas dalam tas gendong lusuh yang dulu Sabrina pakai saat masih kuliah. Sabrina tersenyum kecil.
"Pak, istirahat dulu. Aku bantu bawain," ujarnya sambil mengambil alih tas dan karung dari tangan Bapak.
Bapak menoleh dan tersenyum, "Eh, ngapain ke sini? Berat loh."
"Gak papa. Kasihan liat Bapak suka bawa banyak barang sendirian."
Mereka pun mulai berjalan pulang perlahan. Matahari makin rendah, sinarnya menyelinap di antara dedaunan dan membuat bayangan panjang mereka menari di tanah.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah lahan kebun yang jauh lebih luas dari milik keluarga mereka. Tanahnya terbagi rapi, ada irigasi kecil, dan beberapa petani terlihat sedang beres-beres alat.
Seorang pria tua dengan peci hitam dan sarung yang dilipat tinggi menyapa duluan.
"Pak Jajang! Udah beres panennya?"
Bapak tersenyum dan menjabat tangan pria itu. "Alhamdulillah, beres juga akhirnya. Wah, masih sibuk, Pak Acep?"
"Iya, ini bantuin anak. Sekarang yang megang kebun mah dia," ujarnya sambil menoleh ke pria muda di sebelahnya.
Sabrina ikut menoleh. Pria muda itu tengah mengangkat keranjang berisi hasil panen. Badannya tinggi, posturnya tegap, dan kulitnya bersih, wajahnya? Hanya terlihat hidung dan mulut karena tertutup caping. Meski hari mulai gelap, gerakannya cekatan, sesekali ia tersenyum kecil ke para petani lain yang menunduk hormat padanya.
"Kenalin, ini anak saya, Rizwan. Baru tiga tahun balik ke sini setelah selesai kuliah. Dia yang urus semuanya sekarang," kata Pak Acep bangga.
Bapak mengangguk sopan, "kok saya baru lihat sekarang ya." Jawab bapak.
"Dia sering ikut gabung bapak-bapak yang lain. Musim tanam, dia ikut nanam, musim panen, dia ikut manen. Gak bisa diem anak nya." Jelas Pak Acep.
"Oh, pantesan saya baru lihat." Ucap bapak paham.
Rizwan hanya mengangguk dan tersenyum sopan.
Mereka berbasa-basi sebentar sebelum pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang. Tapi selama berjalan, pikiran Sabrina tak bisa sepenuhnya fokus ke jalan setapak di depannya.
Rizwan. Anak Pak Acep. Lulusan kota, balik ke kampung, bantu orang tua urus kebun.
Terdengar familiar, bukan?
Sabrina sempat berpikir... apakah hidup pria itu juga seperti dirinya? Pulang kampung dengan harapan bisa menenangkan diri dari kerasnya kota? Atau mungkin... karena, sama seperti dirinya, sudah mulai jenuh jadi bahan gunjingan tentang pekerjaan dan status lajang?
Tapi, tak seperti Sabrina yang merasa terpojok, Rizwan tadi terlihat tenang, berdiri gagah, dan... entah kenapa, tampak sangat nyaman dengan kehidupannya sekarang.
Sabrina diam-diam menarik napas dalam-dalam.
Mungkin dia lebih berhasil dari aku. Atau... dia memang pandai menyembunyikan segala lelahnya.