Loading...
Logo TinLit
Read Story - Echoes of Marie
MENU
About Us  

    Tik tik tik.
    Senandung hujan mengudara, rinainya meresap ke permukaan susunan bata berornamen. Aku dan beberapa pejalan kaki lainnya segera berlarian. Berteduh di depan kafe atau kedai toko barang antik yang tersebar di kawasan distrik Jordaan, sekitaran kanal Prinsen, Amsterdam.
    "Sial!" umpatku.
    Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Langit kelam mulai merambah, warna jingga di barat telah lenyap. Angin dingin merayap masuk ke serat kain jaket yang kukenakan. Kumasukkan kedua tangan ke saku jaket untuk meringankan rasa dingin. Dari tempatku, bangunan besar Anne Frank Huis berdiri dengan kokoh sejak zaman Adolf Hitler berkuasa hingga negeri kincir ini.
    Seorang gadis tiba-tiba datang dan ikut berteduh di dekatku. Dia sempat mengulum senyum padaku dan hampir saja membuatku jantungan. Ya ampun! Senyumnya itu benar-benar menawan, seolah menyedotku ke dimensi lain yang dipenuhi euforia. Sesekali aku mencuri-curi pandang ke arahnya.
    Gadis itu hanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Ujung roknya yang sedikit tertutup mantel coklat tampak basah dan kotor terkena cipratan air saat dia berlari-lari kecil ke tempat kami berada sekarang. Dari gerakannya yang merapatkan mantel, mungkin dia juga kedinginan.
    Aku tak berniat untuk masuk ke dalam kafe di belakangku, tapi melihat kondisi gadis itu aku sedikit kasihan. Terlebih langit bertambah pekat, hujan mungkin akan menggila. Dan lelaki mana yang bersikap acuh terhadap gadis seperti itu. Bahkan, predikat 'Beruang Kutub' yang disematkan teman-teman di sekolah padaku tidak lantas membuatku kehilangan kepekaan.
    Huh, dasar Johan dan yang lainnya itu! Jika menurut mereka aku ini dingin, bukan berarti aku tak peduli.
    Kurapikan ujung jaket sesaat, sekedar ancang-ancang sebelum membuka suara, "He-hei, aku mau masuk ke dalam. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa ikut denganku," ucapku agak bergetar.
    Aduh, dasar payah! Kenapa cara bicaraku begitu? Aku merutuki diri sendiri di dalam hati.
    Gadis itu menoleh. Tatapan kami bertemu dan membuatku kehilangan fokus.
    "Hujan turun masih lama, mungkin bisa sampai nanti malam. Kusarankan kau masuk ke dalam kafe. Setahuku rasa dingin itu musuh bagi perempuan," tambahku seraya menggaruk pelipis.
    Gadis berambut sedikit bergelombang selengan itu masih bergeming. Nyaris saja aku melupakan sesuatu. Gadis itu tak membawa tas, mantelnya pun tak memiliki kantung. Dia tampak tak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. Sebenarnya dia datang dari mana?
    "Jangan khawatir soal uang. Aku yang mengajakmu, aku juga yang akan mentraktirmu."
    "Apa tidak masalah?" tanyanya setelah lama terdiam.
    "Aku memberimu bantuan, bukan meminta masalah."
    "Baiklah, terima kasih."
Aku mempersilahkannya masuk terlebih dahulu. Kami duduk di meja di samping jendela kaca. Penerangan di dalam cukup temaram dengan konsep vintage dan sedikit sentuhan Skandinavian. Di luar lampu jalanan dan bangunan-bangunan di sekitar seperti bintang yang berpijar di dalam lampu minyak. Terang dengan titik-titik hujan yang membuatnya buram.
    Tak lama pelayan kafe datang menghampiri kami dan menanyakan pesanan. Sejak siang tadi aku belum memasukkan sesuap makanan pun ke dalam perut. Segera aku memesan menu semangkuk stamppot-olahan kentang rebus yang dihancurkan dan dibumbui rempah. Gadis itu memesan menu yang sama saat kutanya.
    "Kami memesan menu yang sama, apa ada sesuatu yang kurang jelas?" cecarku pada pelayan kafe yang sempat menatapku bingung.
    "Ah, tidak, maaf," sahut pelayan kafe sebelum pergi.
    Kepergian pelayan kafe meninggalkan kebisuan di antara aku dan gadis itu. Sambil menunggu pesanan datang, aku menunduk sembari memainkan jari di atas layar gawai setipis kertas keluaran terbaru. Namun, aku merasa gadis di hadapanku terus menatapku dengan mata sendunya.
    "Namaku Marie." Dia memperkenalkan diri tanpa diminta.
    Telepon jenius di genggaman tanganku hampir melesat ke bawah. Tiba-tiba saja telapak tanganku menjadi licin. Entah karena keringat atau kerja jantungku yang berlebihan dan menyentak anggota tubuh.
    "Aku Eren Adskhan," balasku.
    "Namamu seperti bukan nama orang lokal." Marie mengulas senyum.
    "Ayahku orang Turki."
    Marie mengangguk kecil, senyumnya masih menghias wajahnya yang rupawan.
    "Kau tadi mau ke mana sebelum turun hujan?" tanyaku, melupakan nama panjang Marie sendiri.
    "Ke Anne Frank Huis."
    "Oh ... ke bangunan bersejarah itu. Omong-omong, di sana tidak pernah sepi, antreannya sepanjang gerbong kereta," responku, melebih-lebihkan.
    Marie tertawa pelan. Di mataku dia terlihat lucu dan ingin sekali kucubit pipinya. Tapi yang lebih mengherankan, aku mendadak cerewet di sini. Kalau Johan dan yang lainnya tahu, pasti akan jadi berita heboh bagi mereka.
    "Kau sekolah di mana?" pungkas Marie.
    Sesaat aku tertegun. Marie langsung bertanya soal sekolahku, barangkali dia berniat mengenalku lebih jauh, atau sekedar basa-basi. "Di Amsterdam University of the Arts. Aku pelajar baru."
    "Aku akan mengganti uangmu besok jika kita bertemu lagi, ya?"
    Jawaban tak terduga. Gadis ini ternyata ingin mengembalikan uang traktiran dariku. Yang benar saja! Tapi tunggu, dia bilang 'besok jika kita bertemu'. Aku yakin tak salah dengar.
    "Tidak, jangan! E ... anggap saja ini keberuntunganmu," tolakku, tegas. "Kau tadi bilang seolah kita dari sekolah yang sama, apa aku salah kira?"
    Dahi Marie berkerut samar, lantas ia menggeleng cepat. "Aku tak bersekolah."
    "Maaf," kataku, tak enak hati.
    Marie hanya tersenyum simpul. Lama-lama aku terbiasa dengan senyumnya, malah terselip rasa ingin dia sering memberiku distorsi wajah itu.
    Sadarlah, Eren! Sadarlah!
    Dua mangkuk stamppot lengkap dengan minuman hangat telah tersaji. Aroma rempah yang gurih menguar dari olahan kentang. Menyeruak masuk ke rongga hidungku dan menciptakan sensasi yang makin menggugah selera. Belum sempat aku menyendok sesuap stamppot, Marie bersikap tak biasa. Dia mendekatkan wajah ke mangkuk stamppot dan menghirup asap tipis makanan seperti anak kecil.
    Pandangan kami bertabrakan. Marie tersenyum malu, aku pun hanya membalas senyum tipis. Aku tak menyangka saja, tingkahnya itu cukup menggemaskan walau terkesan aneh dan berlebihan, tentu karena stamppot kan, makanan yang sudah umum di kalangan orang-orang Belanda.
    Kami menyantap hidangan tanpa berbicara. Kafe yang lengang mempertebal atmosfer sepi. Deru angin yang bercampur hujan menjadi melodi statis.
    Usai menghabiskan makanan, Marie menopang dagu dengan wajah mengarah ke jendela. Aku tergerak mengikuti arah pandangnya. Gadis itu memandang menara di dekat bangunan Anne Frank Huis. Cahaya lampu di ujung menara membias hingga ke luar lingkupnya.
    "Kau datang sendiri?" tanyaku, memecah kebisuan.
    "Ada keluargaku, mereka sudah di Anne Frank Huis."
    "Bagaimana kau bisa tertinggal?" Aku mulai penasaran.
    Marie tampak tak nyaman untuk menjawab. "Aku berjalan-jalan ke sekitar karena bosan dengan antrean yang panjang."
    "Kau mau kupesankan payung untuk ke sana?" tawarku.
    Kedua alis Marie terangkat.
    "Kalau kau terburu-buru," lanjutku.
    "Ah, tidak usah, aku akan menunggu hujan sampai reda saja," tampik Marie, lembut.
    Sepi kembali mendera. Aku bingung mau membahas topik apa yang tepat untuk mengusir kecanggungan yang mendadak datang. Tapi dipikir-pikir, kami ini kan bukan pasangan apalagi yang bertemu lewat biro jodoh, untuk apa aku memusingkan semua ini. Toh, setelah ini Marie juga pergi seolah tak pernah mengenalku sebelumnya.
    "Kau baik sekali mau membantuku. Terima kasih," ucapan Marie mengembalikan kesadaranku.
    "Ya."
    "Kau ... laki-laki yang dingin," Marie menatapku tanpa berkedip.
"Hm, teman-temanku mengatakan hal yang sama. Tapi sebenarnya kalau aku dibuat nyaman, aku bisa lebih cerewet dari yang lain."
    "Seperti sekarang?"
    Spontan kerongkonganku seolah melawan cairan yang ingin masuk. Cangkir berisi teh hangat di jemariku yang baru kusesap sedikit kembali kuletakkan. Pertanyaan frontal Marie benar-benar mengejutkan. Bisa-bisanya dia menebak sesuatu yang sejujurnya kuragukan sendiri jika aku menjawab tidak.
    "Eh, maaf. Kau baik-baik saja?" Marie menyodorkan sekotak tisu dari tengah meja.
    "Ya, tehnya masih panas dan sepertinya membuatku tersedak."
"Terlepas dari segalanya, aku masih percaya kalau orang-orang baik hati," Marie bergumam.
    "Kau mengatakan sesuatu?" tanyaku.
    Marie hanya mengembangkan senyum. Lalu mengambil cangkir tehnya dan menyeruput pelan. Gerakannya itu tampak anggun untuk gadis seusia dirinya.
    "Kalau kau merasa sikap dingin itu kelemahanmu, mengapa tidak melawannya? Mengapa tidak mencoba melatih karaktermu?"
    Aku tertegun dibuatnya. Kalimat yang meluncur dari mulut gadis ini benar-benar mengagumkan. Tak main-main dia bicara bak orator ulung.
    "Jadi menurutmu watak seseorang bisa ditentukan?"
Marie menganggukkan kepala. Katanya, "Yang menentukan sifat itu seseorang itu sendiri, dan tugas orang tua hanyalah mengarahkan."
    "Mungkin adanya anak yang Tuhan ciptakan sebagai tanda kalau ada makhluk yang tak bisa dikendalikan dan menuruti semua keinginan orang dewasa," kelakarku yang ditanggapi Marie dengan tawa dan acungan dua jempol.
    "Aku sependapat!" serunya.
    Setelahnya kami hanya menyesap teh masing-masing, menikmati sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan. Tepat jam menunjukkan pukul delapan malam, hujan telah reda. Marie bangkit dari kursinya diikuti denganku. Usai membayar biaya di kasir, kami segera melangkah keluar. Sempat kulihat pria di balik meja kasir mengamati kami.
    Dasar kurang ajar! Pasti melihat Marie otaknya jadi sinting sampai tak melewatkan kesempatan untuk memandang Marie hingga keluar. Aku akui, aku sedikit cemburu.
    "Aku benar-benar berterima kasih, kau membantuku bahkan mentraktir padahal kita tak saling kenal," Marie berujar lirih.
    "Tidak apa-apa."
    "Baiklah, aku pergi dulu. Sekali lagi, terima kasih, ya."
    Tubuh terbalut mantel coklat itu berjalan menjauh, syal kremnya sesekali ditiup angin. Marie menyusuri jalanan hingga ke jembatan di atas kanal Prinsen.
    Aku berpura-pura menatap langit saat Marie menengok ke belakang. Ketika aku mencoba melihatnya lagi, jejak sosoknya sudah tak terlihat. Lekas aku berjalan ke arah berlawanan, meninggalkan kafe menuju rumah. Pertemuan tak disengaja tadi seperti embun yang sejuk, tapi hadir sesaat.
    Aku melempar gawai ke kasur setibanya di rumah. Seperti biasa, aku tak banyak bicara dan langsung mengunci diri di kamar usai mandi dan makan. Ayah masih di kantornya, sementara ibu membersihkan piring kotor sisa makan malam, dan adikku akan menonton TV sampai larut.
    Kurasakan layar gawaiku berkedip-kedip. Segera kuraih benda setipis kertas itu dan menggeser layarnya. Sebuah pesan di grup obrolan.
    King Johan
    Jangan lupa buddies, besok kita study tour di Anne Frank Huis.
    Aku menepuk jidatku sendiri. Benar juga, besok Profesor Agust memerintahkan murid di kelasku pergi ke Anne Frank Huis serentak. Alih-alih memberi teori, Dosen sejarah itu suka sekali memerintah muridnya berobservasi.
    Secara tak langsung memberi kesenangan bagi murid-murid yang ingin membolos, atau meneliti sekaligus rekreasi seperti Johan dan kumpulannya, termasuk aku. Jelas tak ada nilai bagi yang membolos karena mata-mata Profesor Agust ada di antara kami.
    Luna Kekasih Noctis
    Apa istimewanya ke sana, sih? Antreannya juga panjang.
    Aladdin Seluler
    Aku sudah dua tahun tak ke sana, hahaha...
    Kuhempaskan napas keras-keras lewat mulut. Aku belum ada setahun tinggal di Amsterdam, jadi ke Anne Frank Huis akan jadi hal pertama yang menarik bagiku. Ngomong-ngomong, Marie tadi juga ke sana, apa dia sudah bertemu keluarganya?
    Mataku mengerjap beberapa kali sebelum kegelapan hadir menguasai alam sadar dan mengantarkanku pada ruang mimpi.
    Lampu seluruh kota seakan sengaja dipadamkan. Gelap dan senyap. Di langit masih tersisa sepotong rembulan putih sebagai penerang alam. Aku berdiri di pinggir kanal yang sangat berbeda dengan kanal yang kukenal. Beberapa bangunan tampak tinggal puing seperti habis terjadi ledakan besar.
    Ada apa ini? Kemana semua orang? Kenapa kota berubah seperti kota mati di malam hari?
    Kurasakan hawa mencekam menggelayuti hati. Pelan langkah kakiku menyisir tepi jalanan. Mataku terpicing begitu mendapati sebuah rumah yang familiar. Anehnya, pandanganku seperti mampu menembus benda dan memberikan gambaran ruangan di dalam rumah.
    Sarafku menegang saat melihat sesosok gadis kecil dengan rambut bergelombang selengan di balik jendela lantai paling atas. Itu mirip Marie! Dia duduk di sebuah kursi pendek, memegang sebatang pena dan menulis sesuatu. Tapi Marie yang kutemui sebelumnya lebih dewasa, seumuranku. Mataku beralih ke bawah. Di luar bangunan kulihat beberapa orang berseragam lengkap dengan senjata api mendobrak pintu.
    Tidak! Jangan celakai Marie!
    Panik menyerang pikiranku. Tak ada jembatan terdekat. Sekuat tenaga aku berlari menuju ke kapal kecil yang entah bagaimana sudah ada di pinggir kanal, lalu mendayungnya dengan cepat menuju seberang. Aku tak mengerti, di situasi ini aku yang tak bisa mendayung dengan benar, atau memang kanalnya yang mendadak meluas dengan sendirinya. Aku sampai lelah, terlebih arus air yang biasa tenang berubah cukup deras. Kapal menepi, aku lekas turun dan kembali berlari ke bangunan Anne Frank Huis itu.
    Tepat berada di beranda rumah, tiba-tiba dua lelaki dewasa muncul dari persimpangan dan meneriakkan kalimat berbahasa asing. Aku kaget. Keringat dingin mengalir di pelipis, terlebih satu dari dua tentara itu menodongkan senjatanya ke arahku.
    Mereka bertanya dengan bahasa yang tak kupahami. Karena tak menjawab, bahuku sempat dihantam dengan laras panjangnya. Aku ditarik dan tubuhku hampir digelandang. Namun, aku berhasil melepaskan diri dan berlari menjauhi mereka. Satu hal yang terlupa, mereka bersenjata. Satu letusan tembakan mengentak. Aku terbangun jatuh di sisi ranjang.
    "Mimpi?" kataku bermonolog. Aku menatap sekeliling dengan linglung.
    Kulihat jam beker di atas nakas. Lima lebih lima. Aku bergegas bangkit untuk merapikan tempat tidur sejenak, lalu keluar kamar untuk beribadah dan naik sepeda setelahnya. Hal yang kusukai, menyambut embun di pagi hari setelah hujan kemarin sore. Berbekal jaket tebal, aku mengayuh sepeda hitam warisan nenek dari Ibuku. Sepeda bukan barang kampungan di sini, justru pengguna sepeda lebih banyak ketimbang mesin bertenaga bensin.
    Jalanan masih sepi. Lampu di jembatan dan pinggiran dekat kanal-kanal kecil masih menyala. Beradu dengan latar cahaya kuning keemasan yang membias dari ufuk timur. Aku berhenti di salah satu jembatan di atas kanal pendek. Perlahan tapi pasti, kanvas hitam di angkasa memudar tergantikan warna putih. Semburat jingga yang hangat menyentuh punggung kulit tangan dan wajah dalam kesendirianku.
    Deret bangunan yang didominasi warna merah kecoklatan mulai diterpa mentari. Aku bersyukur bisa menikmati keagungan ciptaan Sang Penguasa Alam Semesta. Tiba-tiba telepon jenius di saku jaketku bergetar.
    Luna Kekasih Noctis
    Hari yang kosong, meskipun cerah dan cerah, sama gelapnya dengan malam apa pun.
    Tak lama ada balasan lain.
    Chipmunk
    Wahaha sejak kapan kau jadi tahu kata-kata dari tokoh Anne Frank?
    Aladdin Seluler
    Datang saja, dasar Luna pemalas. Hei @Eren kutub, kau ikut, 'kan?
    Aku membalas dengan mengetik huruf kapital 'YA'. Lalu segera memasukkan gawaiku setelah membuatnya dalam mode bisu. Jika tidak, telepon jenius ini akan terus bergetar.
    Segera kukayuh pedal sepeda, menembus jalanan yang mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan. Masih ada waktu panjang sebelum ke kampus. Aku menyempatkan diri ke toko langganananku yang menjual peralatan tulis, yang selalu buka paling pagi dari semua toko yang ada.
    Aku butuh sebuah buku catatan kecil dan pulpen tinta hitam. Lebih nyaman mencatat hal-hal penting untuk riset di Anne Frank Huis nanti dengan cara manual. Di samping meja kasir, sebuah stand banner tertulis kalimat dari tokoh yang dibicarakan teman-temanku.
    'Karena kertas lebih sabar daripada orang.' (Anne Frank)
    Kata-kata yang bagus, pikirku. Lantas aku menuliskan kalimat tersebut di awal halaman buku catatan yang baru kubeli sesampainya di rumah. Waktu berjalan cepat dan aku telah bersiap pergi ke distrik Jordaan.
    "Eren!" panggil seseorang di antara deretan manusia yang telah mengantre di halaman Anne Frank Huis.
    Aku melambaikan tangan secara kilat, lalu menghampiri Johan dan yang lainnya. Baru buka satu jam yang lalu, Anne Frank Huis sudah dipenuhi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kumpulan manusia itu seakan tak peduli jika langit kelam kembali menutup matahari. Dan benar saja, tak berselang lama rintik hujan yang deras menumbuk bumi. Aku dan Johan serta beberapa yang lain berlari kocar-kacir masuk ke salah satu kafe terdekat.
    "Padahal sebentar lagi giliran kita, ck, sial!" gerutu Johan. Wajah tampannya tampak bersungut-sungut.
    "Rambutku jadi lepek ... ugh, menyebalkan!" tambah yang lain, kali ini Luna, gadis berambut pirang yang mengaku pemeran nyata wanita yang menjadi kekasih Noctis di game Final Fantasy. Mirip saja hanya satu persen.
    Akibat hujan yang datang tak diundang, Anne Frank Huis ditutup sementara sampai cuaca kembali kondusif. Tentu membuat kesal, marah dan kecewa bagi wisatawan yang sudah menunggu lama.
    Kami duduk di salah satu sudut meja kafe, memesan segelas minuman hangat dan roti pretzel, roti pita khas Jerman yang mendunia. Kubiarkan Johan dan yang lainnya bicara semau mereka, sementara aku cukup memilih diam menjadi pendengar sambil sesekali memandang ke luar jendela. Jarang-jarang di negeri kincir ini dilanda hujan sampai jalanan digenangi air. Tak sengaja pandanganku tertuju ke sebuah kafe di seberang kanal. Aku ingat, itu kafe tempat pertemuanku dengan Marie.
    Timbul rasa rindu dengan percakapan bersama gadis pemilik senyum menawan itu.
Setengah jam berikutnya hujan telah berhenti. Aktivitas warga dan wisatawan kembali normal. Anne Frank Huis kembali dibuka dan terjadi sedikit perubahan baris antrean. Aku dan teman-temanku beruntung bisa datang lebih dulu. Kami memasuki bangunan tua sejak perang dunia kedua itu.
    Awan gelap yang menggantung di langit menambah kesan mistis. Petugas terpaksa menyalakan lampu karena suasana yang temaram. Kami terlebih dulu mendatangi patung sosok Anne Frank, gadis remaja yang kisah hidupnya terkenal seantero jagad. Entah kenapa aku merasa familiar dengan wajahnya. Petugas pemandu tur sempat menjelaskan tentang pembuatan patung monumen Anne sebelum kami masuk ke bangunan bertingkat itu.
    Di dalam banyak sekali sekat dan ruang, hingga katanya loteng pun memiliki tingkatan sampai yang tersempit. Benar-benar luar biasa. Di tengah-tengah perjalanan edukasi sejarah ini, mendadak netraku tertuju pada seorang gadis yang bersembunyi di balik rak. Aku langsung mengenalinya. Itu Marie yang kutemui di kafe! Lantas aku bergegas mendekatinya, meninggalkan rombongan yang berjalan terlebih dahulu.
    "Marie? Kenapa kau di sini?" tanyaku.
    "Ssstt! Jangan keras-keras, kalau petugas tahu nanti aku dikeluarkan," Marie menempelkan telunjuknya ke bibirnya yang tipis. "Aku masih ingin mengunjungi tempat ini."
    Pengunjung yang masuk Anne Frank Huis memang dibatasi dan tentunya bergantian. Dan Marie menyusup masuk? Bagaimana bisa?
    "Sebaiknya kau menyusul teman-temanmu, nanti kau melewatkan hal penting."
    "Jangan pikirkan itu, kau bagaimana? Yang kau lakukan bisa membahayakanmu, kalau petugas tahu bisa-bisa-"
    "Itu kalau petugas tahu," sela Marie seraya tertawa nakal.
    "Lalu kau mau apa di sini?"
    "Ekspresimu itu datar sekali. Cobalah berbicara dengan sedikit nada," kritiknya. Kemudian ia mengulang pertanyaanku dengan intonasi yang berbeda-beda, seakan tengah mengajariku.
    "Omong-omong, hari ini mendung," Marie berkata lirih. Binar matanya yang sendu meredup.
    "Ah, ya, Tuhan sudah berkehendak," sahutku. "Kalau cerah pasti lebih indah."
    Marie mendesah pelan. "Selama ada sinar matahari dan langit tidak berawan, dan selama aku bisa menikmatinya, bagaimana aku bisa sedih?" gumamnya. "Tapi jika mendung, apa aku harus bersedih?"
    Keningku terlipat-lipat mendengar penuturan Marie. Baru kali ini aku melihatnya sedih, belum jelas karena apa. Lantas untuk menghiburnya, aku memberi kalimat yang kuharap bisa sedikit menenangkan hatinya.
    "Hei, kenapa harus sedih saat mendung? Bukankah sinar akan selalu datang lagi?"
    Marie tersenyum. "Kau benar. Tapi mendung juga bisa mengingatkan tentang masa kelam."
    "Kau baik-baik saja?"
    "Ya, selalu," Marie kembali ceria. "Kau mau aku jadi pemandu wisatamu?"
    Sungguh, ucapannya itu menggelikan. Aku terkekeh. "Bagaimana kau mau jadi pemandu sementara dirimu peserta tur ilegal di sini?"
    Marie merengut. "Aku lebih tahu dari para pemandu. Aku sudah sering ke tempat ini puluhan kali."
    "O, ya? Para pemandu itu pasti lebih sering lagi ke sini kalau jadi pemandu sejak mereka berusia muda."
    Kami tertawa bersama.
    "Apa kau bisa membayangkan, hidup dua tahun terisolir di dalam rumah? Tidak bersekolah, hanya duduk diam dengan aktivitas yang membosankan, makan, tidur, membersihkan rumah, beruntung masih bisa menulis buku harian. Itu dialami Anne Frank," Marie berceloteh panjang lebar, seolah dirinya mampu merasakan kondisi di tengah konflik.
    "Pasti sangat sulit," balasku.
    "Ya, tapi dia punya pemikiran yang kata orang-orang menakjubkan." Marie duduk di salah satu meja kerja, seolah bersiap mendongeng untukku. "Kesedihan, kehampaan, frustasi, semua bercampur aduk menjadi gumpalan putus asa. Tapi dari sana tercipta pemikiran yang menjadi inspirasi bagi orang lain lewat buku hariannya."
    Aku terdiam menyimak kisah Anne Frank yang menyimpan kepiluan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi yang terjadi kala itu. Hidup dibayang-bayangi ketakutan jika sewaktu-waktu ketahuan oleh Nazi, persediaan makanan yang harus menunggu orang-orang yang datang membantunya secara diam-diam, dan berbulan-bulan tanpa mengenal kehidupan normal. Bagai burung di dalam sangkar.
    "Kalau kau berada di posisi Anne Frank, bagaimana denganmu?" Marie melontarkan tanya.
    Pulpenku terjatuh. Aku lekas merunduk untuk memungutnya. Kepalaku jadi sedikit pening, kurasakan sesuatu seperti jari yang menggelanyar di leherku. Segera kuusap tengkukku yang barangkali ada ulat atau laba-laba, lalu kembali kutegakkan tubuh.
    "Marie?"
    Hening. Tak ada jawaban. Marie menghilang. Sebagai gantinya, aku tiba-tiba berada di ruangan sempit yang berdebu nan kotor. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kardus-kardus besar terletak di sudut ruangan. Bau busuk keluar dari tumpukan baju yang kotor. Beberapa kali aku menutup hidung akibat bau yang menyengat.
    Dari yang kuamati, sepertinya ini loteng rumah, tapi kenapa aku ada di sini? Di sampingku, sebuah lampu minyak menyala dalam tabung kaca. Aku mendongak dan mendapati loteng lagi. Gelondongan kayu bakar tersusun di pojokan.
    Terdengar suara tawa cekikikan. Mataku memicing, sesuatu bergerak-gerak di dekat tumpukan kain kotor. Aku tak begitu yakin, tapi itu mirip rambut. Tiba-tiba bunyi seperti guruh dari atas menyita perhatianku. Balok kayu dari loteng atas secara berkala berjatuhan, nyaris menimpaku jika tak segera menghindar ke tepi ruangan.
    Dari balik tumpukan kardus di pojok loteng, makhluk kecil hitam seukuran ibu jari merayap keluar. Jumlahnya mencapai ratusan lebih. Mereka bergerak cepat seperti makhluk asing yang melakukan invasi besar-besaran. Oh, tidak! Ke arahku! Aku reflek mengambil lampu minyak dan menumpahkan isinya ke lantai kayu tanpa pikir panjang. Api langsung menyambar. Hewan-hewan parasit itu hancur begitu saja menjadi debu kala terkena sinar dari api yang berkobar.
    Setelahnya kusadari kayu yang kupijak bisa menyebabkan kebakaran rumah. Segera kulepaskan jaketku dan mengibas-ngibaskannya ke api yang masih menyala agar padam.
    "Margot!" teriakan nyaring seorang wanita muncul dari bawah.
    Sontak aku terkejut. Lantas sekelebat bayangan berpindah dari tumpukan kain kotor ke sebuah kotak kayu besar. Masih dalam kebingungan, aku berdiri dan berjalan pelan menghampiri sosok yang bersembunyi di kotak kayu tersebut. Melupakan api yang masih membakar sebagian kayu.
    "Hei, kau siapa?" tanyaku.
    Langkahku berhenti tak jauh dari kotak kayu, untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mengerikan terjadi. Sedetik kemudian sebuah tangan yang dipenuhi kudis menjulur dari dalamnya. Aku tersentak dan mencoba berbalik lari. Langkahku menjadi berat. Kain -kain kotor di sekitarku beterbangan membentuk tali dan menjerat betisku. Aku terjatuh, tubuhku terseret ke belakang. Suaraku terkunci dengan kain yang membungkam mulut. Kotak kayu yang gelap jatuh dengan tutup terbuka lebar. Diriku tertarik ke dalam seolah dilahap makhluk kegelapan. Mataku terkatup.
    "Eren?"
    Aku mengerjap. Napasku tersengal-sengal. Sosok Marie sudah berada di sampingku. "A-AKU DI MANA?" tuntutku yang dilanda panik.
    "Apa maksudmu? Sejak tadi kau di sini, kau sempat pingsan dan membuatku khawatir, tuh!" Marie menelengkan kepalanya.
    "Tidak, tidak, aku tadi seperti di loteng dan melihat seseorang," balasku sedikit tercekat.
    Marie mengerutkan dahi. "Mungkin kau bertemu kakakku," desisnya tak jelas. "Aku akan memberinya pelajaran nanti."
    "Apa? Memberi pelajaran pada siapa?" cecarku yang meminta pengulangan.
    Dari jauh kami mendengar suara ribut. Kutebak itu pasti Johan dan yang lainnya. Derap langkah kaki mereka makin jelas. Marie tiba-tiba mengatakan harus bersembunyi dulu. Kemudian sosok Johan dan yang lain muncul dari pintu sebelah kiri.
    "Eren! Kau dari mana saja? Kau melewatkan kesempatan melihat loteng sempit penyimpanan barang perusahaan Otto Frank tahu!" tandas Johan.
    "Ayo, kalau kau terlambat lagi kau akan mendapat nilai kurang dari profesor Agust. Aku dan yang lain tak akan memberimu contekan," Johan merangkul leherku dan mengajak mengikuti pemandu.
    Sepintas aku menengok ke belakang, ke tempat Marie bersembunyi. Gadis itu tak tampak batang hidungnya.
    Kami melewati ruang sempit dengan cahaya remang. Di sana aku melihat beberapa kutipan dari buku harian Anne Frank. Kalimat yang persis seperti yang diucapkan Marie tempo hari di kafe dan juga yang barusan. Aku rasa, Marie benar-benar jatuh cinta dengan penulis remaja ini sampai-sampai sangat hafal kutipan kalimat dari buku harian Anne Frank.
    Sejenak, pemandu tur mengingatkan jika di ruang rahasia tempat keluarga Anne bersembunyi nanti banyak tangga yang curam, jadi kami harus berhati-hati. Kemudian kami melewati sebuah pintu rahasia yang terbuat dari rak buku-buku tebal. Kami tiba di ruang khusus berisi kasur berselimut biru dengan meja dan kursi di sebelahnya, tempat Anne Frank menulis buku hariannya. Kami dilarang menyentuh benda pusaka tersebut.
    "Jadi kurang asyik gara-gara mendung, bagusnya dilihat waktu terang benderang," Johan agak kecewa.
    "Seram pula," timpal Luna.
Meski gorden jendela sedikit dibuka agar cahaya masuk, mendunglah sekarang yang berkuasa. Ekor mataku menabrak sebuah foto usang bewarna hitam putih dalam bingkai yang tergantung di dinding. Tatapanku tertuju pada nama yang tertera di sana. Annelies Marie Frank.
    Deg!
    Aku tercengang. Wajah itu! Terasa familiar. Tak salah lagi, sosok yang tersenyum itu adalah Marie! Tunggu, Anne Frank adalah Marie? Marie ... Annelies Marie ....
    Bulu kudukku meremang. Tubuhku seperti dipaku di lantai. Samar aku mendengar suara seseorang memanggilku. Aku menoleh ke sebelah kiri. Di balik pintu rahasia, sosok Marie mengintip dengan senyum khasnya. Senyum yang menawan tapi kini menakutkan bagiku. Mataku mendelik, seluruh tubuhku gemetar. Pelan aku beringsut mundur hingga menabrak tangga lantas jatuh terduduk.
    Aku teringat semua kejadian kemarin, momen ketika bertemu Marie. Hilangnya jejak Marie di jembatan di atas kanal Prinsen, mimpiku semalam, apa yang sebenarnya terjadi? Jadi aku sebenarnya duduk sendirian di kafe dan berbicara sendiri? Lalu pelayan kafe yang melihatku ... pasti merasa bingung dengan tingkahku. Pelayan kasir yang sempat kukira memandang Marie ternyata memandangku.
    "Eren, kau kenapa?! Hei, kau tak dengar pemandu bilang tangganya curam?!" Johan mengguncang-guncang bahuku, mengira aku habis mencoba naik ke lantai atas.
    Sayangnya aku tak mampu berkutik. Mereka mengerumuniku dan menanyakan kondisiku. Aku hanya terdiam dengan pandangan ke arah Marie di antara kaki teman-temanku. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan. Bibirnya bergerak seperti mengucapkan dua patah kata, "Selamat Tinggal."


    ~End~

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Orang Ladang
978      590     5     
Short Story
Aku khawatir bukan main, Mak Nah tak kunjung terlihat juga. Segera kudatangi pintu belakang rumahnya. Semua nampak normal, hingga akhirnya kutemukan Mak Nah dengan sesuatu yang mengerikan.
About Us
2683      1056     2     
Romance
Cinta segitiga diantara mereka...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Premium
Akai Ito (Complete)
6765      1349     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Kenangan
662      418     1     
Short Story
Nice dreaming
Persinggahan Hati
2095      845     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Mistress
2639      1318     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
KESEMPATAN PERTAMA
538      374     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Kena Kau
490      325     1     
Short Story
Alzaki
2201      905     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...