Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Langit mendung ketika mereka tiba di pelataran tua yang tersembunyi di balik reruntuhan kuil. Akar-akar pohon raksasa menggenggam bangunan seperti tangan para dewa yang enggan melepaskan warisan dunia.

Zareth berhenti di bawah lengkungan batu besar yang dipenuhi ukiran berbahasa kuno.

“Tempat ini... dulunya tempat pemujaan bagi jiwa-jiwa yang tak dikenang. Di sinilah Batu Lentera disembunyikan. Tapi ingat, mereka yang tidak punya nama... tak pernah tidur,” bisiknya.

Elira menelan ludah, sementara Mirell mengamati sekeliling. Kabut tipis menggantung rendah, menyamarkan siluet sebuah gerbang kecil yang tertutup lumut dan reruntuhan.

“Bagaimana kita masuk?” tanya Mirell.

Suara lirih menjawab, bukan dari Zareth.

“Kalian tidak masuk. Kalian dipanggil.”

Mereka menoleh cepat. Dari balik pohon, muncul seorang lelaki muda, tinggi, dengan rambut perak sebahu dan jubah biru kelam. Matanya hijau tua bercahaya memancarkan wibawa dan rahasia yang dalam.

“Siapa kamu?” tanya Elira, langsung siaga.

“Aku Aven. Penjaga ketenangan makam ini. Aku juga... putra dari Bayangan Tanpa Nama.”

Zareth melangkah maju, ragu. “Aven sudah mati... bertahun-tahun lalu.”

Aven tersenyum tipis. “Semua yang tidak dikenang, tidak pernah benar-benar mati.”

Mirell memicingkan mata. “Kau tahu tentang Batu Lentera?”

Aven menatap Mirell tajam, namun tidak mengancam. “Aku tahu. Tapi tak sembarang orang bisa menyentuhnya. Batu itu... akan menolak jika niatmu tidak murni.”

“Elira dan aku ingin memperkuat segel. Agar roh Dinasti Hitam tidak bangkit,” ujar Mirell yakin.

Aven menunduk, matanya berubah sendu. “Tapi memperkuat segel artinya... kalian harus mengorbankan sesuatu yang paling kalian jaga.”

Elira terdiam. Matanya mengarah ke Mirell.

Diam-diam, Zareth menatap Aven penuh curiga. “Apa yang kau inginkan dari kami?”

Aven hanya berkata pelan, “Aku ingin tahu... apakah dua keturunan pahlawan ini siap menjadi legenda... atau hanya bayangan sejarah.”

Ia kemudian melangkah ke tengah altar batu dan meletakkan tangannya di tanah. Seketika, gemuruh lembut terdengar. Tanah terbelah, dan lorong menuju ruang Batu Lentera terbuka.

“Tapi ingat,” ucap Aven sebelum mereka masuk, “di dalam, bukan kekuatan yang kalian temukan lebih dulu… tapi diri kalian sendiri.”

Elira dan Mirell saling pandang. Kali ini, genggaman mereka erat, tapi hati mereka mulai digoyahkan oleh pilihan-pilihan yang akan datang.

Dan di antara mereka, sosok Aven seperti cermin… yang bisa memantulkan cahaya atau memperlihatkan sisi gelap yang tak pernah ingin diakui.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags