Suasana aula berubah kaku. Para tetua bergumam pelan, membacakan isi surat sambil saling lempar pandang. Kael melirik Aurelia dengan alis bertaut, sedangkan Aurelia sudah setengah berdiri, siap kalau namanya disebut.
Tapi bukan nama Kael. Bukan juga Aurelia.
Justru tetua tertua berdiri dan bersuara lantang, “Pewaris yang akan dikirim ke Utara adalah… Veylan Arkadi.”
Hening.
Aurelia menoleh ke Kael. “Siapa?”
Kael geleng pelan. “Nggak ada dalam daftar pewaris.”
Pintu besar aula mendadak terbuka. Angin dingin menyelusup masuk, bikin beberapa lilin kecil padam. Dari balik kabut tipis, langkah kaki pelan terdengar jelas.
Dan muncullah sosok itu.
Laki-laki bertubuh tinggi, rambut perak berantakan yang tampak alami bukan karena bleaching dadakan. Jubah hitam kebesaran berkibar di belakangnya, dan matanya… tajam. Tapi bukan tajam kayak orang marah. Lebih kayak... tahu semua rahasiamu padahal kamu belum ngomong apa-apa.
Aurelia menelan ludah. “Kok auranya kayak boss terakhir?”
Kael menyahut lirih, “Atau karakter rahasia yang nggak bisa dibuka di episode pertama.”
Veylan berdiri di tengah aula tanpa memperkenalkan diri. Tetua pertama pun bicara lagi, “Dia adalah pewaris sah dari garis keturunan Arkadi yang telah lama mengasingkan diri di Utara.”
“Dan sekarang dia kembali,” tambah tetua kedua, “dengan misi untuk menjaga batas utara yang mulai retak.”
Kael mengernyit. “Batas retak?”
Aurelia berbisik, “Batas dimensi. Kalau sampai retak, ya... siap-siap diserbu makhluk dari dimensi lain.”
Kael bergumam, “Ah, seru juga.”
Aurelia nyengir. “Seru dari kejauhan, ya?”
Sementara itu, Veylan akhirnya membuka mulut, suaranya pelan, dalam, dan... dingin.
“Aku tidak datang untuk mencari keluarga. Aku datang karena kalian tidak akan sanggup menghadapi yang akan datang.”
Seketika, suasana makin mencekam.
Namun, Aurelia dengan gaya khasnya yang sulit diam saat panik malah nyeletuk lirih ke Kael, “Ini orang ngomongnya kayak subtitle film.”
Kael menyahut pelan, “Iya, minus skip intro.”
---
Malam itu, perjamuan bubar lebih cepat. Veylan dibawa ke ruang tertutup untuk bicara dengan para tetua. Kael dan Aurelia berdiri di pelataran, melihat bintang yang mulai tersembunyi di balik awan gelap.
“Menurutmu dia bisa dipercaya?” tanya Aurelia pelan.
Kael menyilangkan tangan. “Entahlah. Tapi biasanya, orang yang muncul dari kabut itu… bawa lebih dari sekadar kabut.”
Aurelia menatap langit, lalu bergumam, “Aku rasa... hidup kita baru saja naik level.”
Kael menoleh, “Mau tetap lanjut tunangan, atau kita pura-pura amnesia?”
Aurelia tertawa pelan. “Kalau ada roti gulung tiap hari, aku mikir ulang deh.”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa itu tak menghapus bayangan sosok misterius yang muncul hari ini. Veylan Arkadi bukan sekadar pewaris dia adalah kunci dari masa lalu yang disegel… dan masa depan yang belum pernah dibayangkan siapa pun.