Hari ini adalah hari tersibukku. Sejak pagi, aku sudah disibukan dengan merias wajah ku karena hari ini adalah ulang tahun sekolah. Aku dan teman-teman ekskul akan menampilkan tarian tradisional di tengah lapangan.
Musik gamelan mengalun merdu, menggema di seluruh lapangan sekolah yang ramai. Aku dan teman-teman ekskul dengan anggun bergerak mengikuti irama, mengenakan kostum tradisional yang berwarna-warni. Gerakan tangan dan kaki kami terlihat kompak, membentuk formasi yang indah di bawah terik panas nya matahari siang ini.
Setelah selesai menari, kami beristirahat di pinggir lapangan sambil menonton penampilan ekskul lainnya. Di tengah keramaian itu, pandanganku tertuju pada sosok lelaki yang mengenakan seragam OSIS. Rambut hitamnya yang tebal tampak mengikuti tren terbaru, dibelah tengah dengan rapi, membingkai wajahnya yang hitam manis. Ada sedikit kilau keringat di pelipisnya, mungkin karena aktivitas sebelumnya. Tanpa sadar, dia mengangkat tangannya dan menyisir rambut bagian depannya yang sedikit jatuh ke dahi, gerakan sederhana itu entah kenapa membuatku terpaku. Seragam OSISnya terlihat rapi, namun ada kesan kasual dari caranya berdiri dan berinteraksi dengan teman-temannya.
Aku tidak mengenalnya karena aku adalah anak introvert yang jarang berinteraksi dengan siswa dari kelas lain. Temanku yang berada di sampingku menyadari arah pandanganku. Dia langsung menyebut nama lelaki yang sedang kulihat itu. Berkat temanku, aku jadi tahu namanya adalah Atta.
Aku sedang menyesap air minumku sambil terus mencuri pandang ke arah Atta yang sedang berbicara dengan beberapa temannya di dekat panggung. Tiba-tiba, Sinta, temanku, menyikut lenganku sambil tersenyum jahil.
"Cie, lihatin siapa tuh?" bisiknya. Aku tersipu dan berusaha mengelak, tapi Sinta malah terkekeh.
"Itu Atta, anak kelas XI IPA 2. Wakil ketua OSIS lagi," lanjutnya, membuatku sedikit terkejut.
Beberapa hari setelah acara ulang tahun sekolah, aku jadi sering melihatnya. Seperti di lapangan ketika dia bermain bola atau basket, aku melihatnya hanya dari jendela perpustakaan. Terkadang aku juga melihatnya di kantin, dia tertawa dengan teman-temannya atau mendengar ucapan-ucapan kasar mereka ketika sedang bermain game, mungkin.
Tanpa sadar, aku senang melihatnya, terutama tawanya. Aku juga merasa sedih ketika tidak bisa melihatnya. Aku mulai mencari tahu semua tentangnya, seperti media sosialnya atau hobinya. Aku jadi tahu jika kami memiliki kesamaan: kami sama-sama menyukai dunia seni gambar.
Lama kelamaan temanku menyadari ada yang aneh denganku. Saat itu kami sedang duduk di bangku taman setelah jam sekolah usai.
Sinta menatapku dengan alis terangkat. "Kamu tuh aneh deh belakangan ini. Sering senyum-senyum sendiri," katanya curiga.
Aku menghela napas dan akhirnya mengaku. "Iya, Sin. Aku... kayaknya mulai suka sama Atta."
Sinta terkejut, lalu tersenyum lebar. "Serius? Wah, menarik! Dari kapan?" tanyanya antusias.
Setelah temanku tahu jika aku menyukai Atta, dia selalu membantuku untuk melihat Atta, walaupun hanya dari jauh. Dia sering mengajakku untuk melewati depan kelasnya. Memang terlihat mencari perhatian sih, hehehe, tapi aku bahagia. Dan aku akan merasa lebih bahagia jika kelas kami berbagi lapangan saat jam olahraga.
Waktu pun terus berjalan begitu cepat dan aku selalu melihatnya hanya dari jauh. Aku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Hingga waktu kelulusan pun akhirnya tiba, aku ikut merasa bangga dia masuk di universitas impiannya.
Gedung sekolah dipenuhi dengan suasana haru dan bahagia. Aku melihat Atta berdiri di antara teman-temannya, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat sangat tampan dan dewasa. Rambutnya tertata rapi, dan senyum lebar menghiasi wajahnya saat menerima ucapan selamat dari guru dan teman-temannya. Aku terpana melihatnya, merasa ada sedikit rasa bangga bercampur dengan penyesalan karena tidak pernah berani mendekatinya.
Setelah acara kelulusan selesai, aku mulai memberanikan diri untuk jujur padanya. Aku hanya ingin dia tahu jika aku menyukainya. Waktu itu aku sedang tiduran tengkurap di kamarku. Kamarku tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Dindingnya berwarna biru langit dengan beberapa poster band favorit dan lukisan-lukisan hasil karyaku sendiri. Ada meja belajar di sudut ruangan yang penuh dengan buku dan alat gambar. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, menerangi debu yang menari-nari di udara.
Dengan perasaan berdebar, aku menyatakan perasaanku lewat chat Instagram.
Aku: Hai Atta, selamat ya atas kelulusannya dan diterima di UDM (karangan) Keren banget!
Atta: ah iyaa terimakasih.
Aku: Emm, Atta, sebenernya ada yang pengen aku bilang dari dulu... Aku suka sama kamu.
Atta: makasih ya udah jujur. Tapi Maaf, aku nggak bisa balas perasaan kamu.
Aku sedih, tapi aku lega. Aku fokus dengan hobi dan impianku. Aku juga mulai menemukan jati diriku, tapi aku tidak pernah melupakannya. Aku selalu tetap melihatnya dari sosial media. Aku juga tahu jika akhirnya dia memposting foto dengan seorang perempuan.
Waktu terus berlalu. Aku mulai menjauhi dunia seni, karena setiap goresan pensil dan warna cat selalu mengingatkanku padanya. Namun, tanpa kusadari, aku menemukan pelarian baru dalam kata-kata. Menulis menjadi cara baru untuk menuangkan perasaan dan pengamatanku. Aku mulai menulis puisi, cerita pendek, bahkan mencoba membuat novel remaja.
Aku semakin tenggelam dalam dunia literasi, mengikuti berbagai komunitas penulis dan lokakarya. Aku menemukan kebahagiaan dalam merangkai kata-kata menjadi cerita yang utuh. Meskipun sesekali melihat unggahan Atta di media sosial, termasuk fotonya dengan seorang perempuan yang terlihat bahagia bersamanya, aku tidak lagi merasa sakit hati.
Aku belajar menerima kenyataan dan fokus pada pengembangan diriku. Aku menyadari bahwa Atta adalah bagian dari masa lalu yang telah membantuku tumbuh dan menemukan diriku yang sebenarnya, dan tanpa sadar, mengantarkanku pada dunia yang baru ini. Sekarang, aku lebih menghargai diriku dan impianku sebagai seorang penulis, dan siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupku, atau mungkin mencoba membuka hatiku untuk orang baru.
“Untuk siapapun yang mau membaca cerita ini, aku ucapkan terima kasih. Dan untuk kamu, Atta (nama samaran), jika suatu hari kamu membaca cerita ini, terima kasih ya, sudah ada di dunia ini hingga aku bisa mengenalmu. Melalui cerita ini, aku hanya ingin kamu tahu bagaimana aku pertama kali melihatmu. Aku harap kamu bahagia dengan pilihanmu, dan aku akan baik-baik saja di sini, dengan terus melihatmu dan mengingatmu sebagai bagian dari masa remajaku. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari dan tolong untuk selalu bahagia, ya."
-----------
Jangan lupa like 👍