***
Lajur kereta yang lurus pun berubah arah. Menukik turun seakan ada rel tembus pandang yang mengarah ke daratan. Penumpang di dalam kereta tidak merasakan keadaan kereta yang menukik ke bawah. Semua tetap sama datar seperti kondisi semula. Mereka menyadari perubahan itu setelah melihat langit malam yang bertabur bintang sedikit demi sedikit memudar.
Langit berubah putih kemerahan dan matahari terbit bersinar cerah di ujung cakrawala. Fajar seolah tumbuh menerangi jagat raya. Kereta terus menurun. Pemandangan lapisan awal berubah menjadi permadani kehijauan menghiasi daratan. Pepohonan yang sangat lebat juga padang rumput yang asri.
Kereta menurunkan kecepatan, berputar dalam lingkaran spiral kemudian mendarat perlahan. Pemberhentian itu berada di tengah padang rumput yang luas.
Dering pengumuman muncul. Cahaya putih datang di tengah gerbong membentuk sebuah kalimat yang panjang. Kasih membaca tulisan itu.
3 Syarat Untuk Pulang :
1.Lewati ujian di setiap pemberhentian.
2.Saat kereta berbunyi, semua penumpang wajib kembali.
3.Penumpang yang ketinggalan kereta tidak akan selamat.
Kasih bergidik merinding ketakutan. Jantungnya berdegup amat kencang. Pikiran negatif terus menghantui. Bagaimana nanti kalau ia tidak bisa selamat dan pulang pikirnya. Kedua kakinya lemas dan ia terduduk.
“Hey, kenapa?” Bright mendekat.
“Aku takut tidak bisa melewati ujiannya,” ujar Kasih lirih.
“Lihat, aku!” Bright menatap Kasih dalam. “Kita pasti akan selamat dan pulang. Aku janji akan bersamamu sampai akhir. Oke.”
Kasih menguatkan dirinya. Mendengar perkataan Bright ketakutannya memudar. Tetapi, itu juga memunculkan pertanyaan baru di benaknya. Kenapa Bright sangat peduli dengannya padahal mereka baru pertama kali bertemu? Cuman Kasih yakin di situasi sekarang apapun bisa saja terjadi. Seharusnya, ia bersyukur ada yang peduli dengannya.
Beberapa detik kemudian, pintu kereta pun terbuka. Udara dingin berhembus masuk. Menggelitik saraf kulit yang sebelumnya mati rasa.
“Ayo, keluar!” ajak Bright. Kasih berdiri dan mengikuti langkahnya di belakang.
Setelah semua orang berada di luar, pintu kereta otomatis tertutup. Kasih memandang langit biru yang menaungi dirinya. Matahari bersinar cukup cerah memberikan kehangatan yang ia rindukan. Secercah harapan muncul mungkin Bright benar adanya. Mereka bisa selamat dan pulang.
Semua orang berkumpul di depan pintu gerbong. Tidak ada yang berani mengambil keputusan melakukan apapun. Semuanya hanya saling menatap seakan mencari jawaban.
“Sepertinya, kita perlu menentukan ketua grup?” kata Bright memecah keheningan.
“Iya, benar.” Tulus mengangguk mantap.
“Kira-kira siapa yang mau menjadi ketua?” tanya Satya. Semua orang terdiam. Itu pertanyaan klasik dan jelas tidak ada yang mengajukan diri.
“Kalau begitu saya...”
Julian langsung memotong perkataan Satya dan bilang, “Sebaiknya yang jadi ketua Pak Tulus saja. Karena beliau adalah seorang polisi. Jadi, beliau berkewajiban menjaga keamanan kita dan memastikan kita pulang dengan selamat.”
Tulus terperanjat, ia membuka mulut hendak membela diri. Sayangnya semua pasang mata penuh harap tertuju padanya. Ia tidak memiliki pilihan lain dan menghela napas. “Baiklah, tapi saya punya syarat. Siapa yang menuruti saya, saya jamin keselamatannya. Sedangkan, yang tidak mau nurut, saya berlepastangan.” Semua mengangguk berbarengan.
“Pertama-tama, saya akan menyelidiki kereta ini. Jadi, untuk sementara kalian menunggu dulu di sini sampai saya kembali.” Semua orang patuh. Tulus pergi dengan Julian mengelilingi kereta misterius itu. Kereta yang sangat panjang juga besar.
Kasih duduk di atas rumput. Menggosok-gosokkan telapak tangannya juga meniupkan udara hangat dari mulutnya. Seketika sebuah kain melingkupi tubuhnya dari atas. Ia mendongak dan mendapati Bright melingkarkan jaket denim ke dirinya.
“Tidak usah,” ujar Kasih cepat melepas jaket itu.
“Pakai saja. Aku memaksa.” Bright setengah mundur mengangkat kedua tangannya. Kasih memberikan jaket itu yang tidak diterima.
“Kalian dekat sekali!” muncul suara perempuan di dekat mereka.
“Rose!” seru Kasih.
“Kalian sepasang kekasih?”
Kasih menggeleng, “Tidak.”
“Lalu, apa?”
Kasih kicep terbengong.
“Teman. Kami teman,” jawab Bright. Kasih mengiyakan.
“Oh iya.” Rose menaikkan salah satu alisnya. “Teman apa?”
Kasih terdiam lagi. Ia melihat Bright, Bright juga melihatnya. “Iya teman. Memangnya kenapa?” tanya Kasih seolah tidak suka diragukan.
“Tidak apa-apa kok,” senyum Rose. “Aneh saja.”
Kasih membulatkan mulutnya. Belum sempat ia merespon, Tulus dan Julian datang. Kasih memakaikan jaket kembali ke Bright sembari tersenyum.
“Jadi, begini semuanya.” Semua orang mendekat ke Tulus. Memasang telinga baik-baik. “Kereta yang kita naiki ini bukan kereta biasa alias kereta ghaib atau ajaib. Lihat, dari caranya berjalan tidak di atas rel!”
Semua orang melihat ke bawah dan mendapati roda-roda kereta yang tenggelam di atas rumput. Tidak ada rel yang sebagai jalur rodanya. “Aku tidak tahu bagaimana caranya berjalan. Tapi, yang kita lihat kereta itu bisa terbang bukan? Turun dari langit menuju tempat ini.” Semua orang menyimak dengan saksama.
“Selanjutnya, kereta ini seperti kereta uap pada umumnya ada lokomotor dan gerbong. Gerbongnya di sini berjumlah 5. Anehnya adalah tidak ada siapapun. Tidak ada masinis, petugas, atau penumpang lainnya. Hanya ada kita yang menaiki kereta ini. Seolah-olah kereta ini ada, ditujukan untuk kita.”
Semua orang terdiam, termenung, memikirkan segala kemungkinan dan jawaban yang bisa ditemukan di kepala masing-masing.
***