Elara membuka pintu asrama dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan. Ia disambut oleh Liera, Chloe, dan Indah yang sedang duduk santai di ruang tengah.
"Elara! Akhirnya pulang juga. Gimana kencanmu?" tanya Chloe dengan nada menggoda.
"Bukan kencan, tapi... aku sudah jujur sama Leo," jawab Elara, wajahnya merona.
"Jujur tentang apa?" tanya Indah penasaran.
"Tentang perasaanku. Aku bilang aku nyaman sama dia," kata Elara, lalu duduk di sofa.
Liera, Chloe, dan Indah saling pandang, lalu serentak berseru, "Wah!"
"Terus, terus, gimana reaksinya Leo?" desak Liera.
"Dia... dia juga bilang nyaman sama aku," jawab Elara, senyumnya semakin lebar.
"Cieee..." goda Chloe sambil mencolek lengan Elara.
"Akhirnya, Elara kita luluh juga," timpal Indah.
"Eh, tunggu dulu," kata Chloe tiba-tiba, menatap Liera dengan tatapan menyelidik. "Kamu juga baru pulang, kan? Dari mana hayo?"
Liera yang tadinya ikut menggoda Elara, kini salah tingkah. "Aku... aku habis gambar sama Evan."
"Gambar? Kok tumben?" tanya Indah.
"Iya, dia ngajak aku gambar dia taman. Katanya mau belajar teknik baru," jawab Liera, berusaha terdengar santai.
"Belajar teknik baru atau belajar modus baru?" goda Chloe, disambut tawa oleh Elara dan Indah.
"Ih, apaan sih kalian," elak Liera, pipinya memerah.
"Cieee... yang habis kencan sama Evan," goda Elara, kini ganti menggoda Liera.
"Bukan kencan! Kita cuma gambar!" seru Liera, tapi suaranya terdengar kurang meyakinkan.
"Iya, gambar hati di kanvas," timpal Indah, membuat semua tertawa.
Suasana asrama menjadi riuh dengan tawa dan godaan. Elara dan Liera yang biasanya malu-malu, kali ini tampak lebih terbuka dan bahagia. Mereka berempat saling berbagi cerita dan perasaan, menikmati momen kebersamaan yang hangat dan penuh canda.
Hari-hari berikutnya,hubungan liera dan leo semakin mesra. Sedangkan Evan dan kai masih dalam mode mendekati Liera, tapi liera nya sendiri malah semakin giat belajar grammar. Ia mengikuti semua saran dari Mr. William. Ia mengerjakan latihan grammar, membaca buku-buku berbahasa Inggris, dan menonton film-film berbahasa Inggris. Ia juga sering bertanya kepada Mr. William jika ada materi yang tidak ia pahami.
Usaha Liera pun membuahkan hasil. Kemampuan grammar-nya semakin meningkat. Ia semakin percaya diri untuk berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris. Mr. William pun bangga dengan kemajuan Liera.
Suatu hari, Mr. William memberikan tugas membuat esai tentang pengalaman belajar di Kampung Inggris. Liera menulis esai dengan sungguh-sungguh. Ia menceritakan pengalamannya belajar grammar dengan Mr. William dan bagaimana Mr. William telah menjadi panutannya. Ketika Mr. William membaca esai Liera, ia merasa terharu. Ia tidak menyangka bahwa ia telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi Liera.
"Liera, your essay is very good. I'm very proud of you," puji Mr. William.
"Thank you, Mr. William," jawab Liera sambil tersenyum.
"You have a bright future ahead of you Liera. Keep learning and never give up on your dreams," kata Mr. William.
"I will, Mr. William. Thank you for everything," kata Liera.
Liera pun meninggalkan kelas dengan perasaan bahagia. Ia tahu bahwa ia telah menemukan panutannya di Kampung Inggris. Ia bertekad untuk mengikuti jejak Mr. William dan menjadi orang yang sukses.
Keesokan Indah sedang terburu-buru menuju kelas ketika hujan lebat tiba-tiba turun. Ia hanya memakai baju tipis dan tidak membawa payung. Udara dingin dan hujan yang semakin deras membuat Indah kedinginan dan tak berdaya.
"Aduh, gimana ini? Aku harus sampai ke kelas sebelum Mr. Budi marah," gumam Indah, merasa kesal dan sedih.
Tiba-tiba, ia melihat seorang pemuda yang sedang berdiri didepan warung yang tutup. Pemuda itu memiliki wajah yang familiar. Indah terkejut ketika ia menyadari bahwa pemuda itu adalah Kai, sahabat Leo yang sering berada di sekitar Elara dan Liera.
"Kai?" panggil Indah dengan suara gemetar.
Kai menoleh dan tersenyum ketika ia melihat Indah berdiri basah kuyup di hujan.
"Indah? Kenapa kamu basah begini?" tanya Kai dengan khawatir. Indah lalu menjelaskan situasinya.
"Ini pakai hodie ku aja" kata kai dengan melepas hodie nya
"Eh eh jangan nanti kamu kedinginan." Tolak. Indah.
" Udah gapapa, tenang aku masih pake kemeja kok" ucap kai dengan memberikan hodie nya kepada indah.
" Beneran nih"tanya indah ragu, yang dijawab kai hanya dengan anggukan.
"Terima kasih, Kai. Kamu baik sekali," kata Indah dengan suara yang sedikit bergetar karena kedinginan dan sudah memakai hodie kai
Kai menggeleng dan menjawab dengan senyum yang menawan, "Sama-sama. Jangan khawatir, sebentar lagi hujannya akan reda."
Indah menunggu hujan reda di bawah tenda bersama Kai. Mereka berbincang tentang berbagai hal, dari pelajaran di kampung Inggris hingga hobi masing-masing. Indah terkejut ketika ia menemukan bahwa Kai adalah orang yang menarik dan lucu.
"Kai, kamu berbicara tentang musik dengan antusias sekali. Aku suka mendengarkanmu bercerita," ujar Indah dengan senyum yang tulus.
Kai menanggapi perkataan Indah dengan tersenyum malu. "Oh, aku memang suka musik. Aku sering bermain gitar di waktu luang."
Indah penasaran dan ingin mendengar Kai bermain gitar. Namun, ia takut untuk mengungkapkan perasaannya terbuka.
Setelah hujan reda, Indah dan Kai berjalan bersama menuju kelas. Indah merasa bahagia dan berterima kasih pada Kai yang telah membantunya.
"Kai, terimakasih banyak ya sudah membantu aku hari ini. Aku berhutang padamu," ujar Indah dengan serius."Hodie nya aku cuci dulu ya, nanti aku balikin."
"Sama-sama. Dan santai aja soal hodie." jawab kai dengan tersenyum "Jangan segan-segan menghubungi aku jika kamu membutuhkan bantuan lagi."
Indah tersenyum lebar mendengar perkataan Kai. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Kai.
Taman
Chloe sedang menunduk di salah satu bangku taman, tubuhnya terbungkus hoodie abu-abu yang kebesaran. Suasana taman yang biasanya ramai, sore itu terasa sepi dan kelam, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti Chloe. Air mata terus mengalir di pipinya, meninggalkan jejak basah yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman yang redup.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Ryan, teman sekelas Liera dan Elara, mengenali sosok yang duduk di bangku taman itu. Instingnya mengatakan bahwa gadis berhoodie itu adalah Chloe. Dengan ragu, Ryan mendekat dan duduk di bangku yang sama, memberikan jarak yang cukup agar Chloe tidak merasa terganggu.
Setelah beberapa saat, Chloe mendongakkan kepalanya, menatap Ryan dengan mata sembab dan lelehan air mata yang masih terlihat jelas. Ryan terkejut melihat Chloe menangis. Ia tidak pernah melihat Chloe yang ceria dan penuh semangat itu terlihat begitu rapuh.
"Chloe, kamu kenapa?" tanya Ryan lembut, suaranya penuh kekhawatiran.
Chloe terdiam, menatap Ryan dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu harus berkata apa. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka suara, suaranya bergetar menahan tangis.
"Aku... aku capek, Ryan," bisiknya, air mata kembali mengalir. "Aku capek hidup seperti ini."
Ryan menatap Chloe dengan penuh perhatian, menunggu Chloe melanjutkan ucapannya.
"Aku merasa seperti boneka," lanjut Chloe, suaranya semakin lirih. "Hidupku selalu diatur oleh orang tuaku. Aku tidak punya kebebasan, tidak punya hak untuk menentukan jalan hidupku sendiri."
Chloe menceritakan semua keluh kesahnya kepada Ryan, tentang betapa tertekannya ia hidup di bawah kendali orang tuanya. Ia merasa seperti robot yang diprogram untuk mengikuti semua perintah, tanpa bisa mengungkapkan pendapat atau keinginannya sendiri. Ia ingin bebas, ingin merasakan hidup yang sebenarnya, bukan hanya menjadi bayang-bayang dari harapan orang tuanya.
"Chloe, kamu nggak sendirian," ucap Ryan lembut, suaranya menenangkan. "Aku mungkin nggak ngerti persis apa yang kamu rasain, tapi aku di sini buat dengerin."
Chloe menoleh, menatap Ryan dengan mata sembabnya. "Makasih, Ryan," bisiknya. "Aku... aku cuma pengen bebas. Aku capek hidup kayak boneka, diatur-atur terus."
Ryan mengangguk, mengerti. "Orang tua kamu pasti sayang sama kamu, Chloe. Mungkin mereka punya cara sendiri buat nunjukkinnya."
"Tapi cara mereka bikin aku sesak," sahut Chloe, air mata kembali mengalir. "Aku punya mimpi, punya keinginan sendiri. Tapi mereka selalu bilang, 'Kamu nggak tahu apa-apa, kami yang lebih tahu.' Seolah-olah aku nggak punya hak buat nentuin hidupku sendiri."
Ryan terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Chloe, setiap orang punya hak buat nentuin jalan hidupnya sendiri. Tapi, kadang kita perlu kompromi, perlu cari jalan tengah. Mungkin kamu bisa coba ngomong baik-baik sama orang tua kamu, jelasin apa yang kamu rasain, apa yang kamu inginkan."
Chloe menghela napas panjang. "Aku udah coba, Ryan. Berkali-kali. Tapi mereka nggak pernah dengerin. Mereka selalu punya alasan buat nolak semua keinginanku."
"Mungkin kamu perlu cari cara lain buat ngomong sama mereka," saran Ryan. "Atau mungkin, kamu bisa minta bantuan orang lain, orang yang mereka percaya, buat jadi penengah."
Chloe menatap Ryan, ada secercah harapan di matanya. "Kamu mau bantu aku, Ryan?"
Ryan tersenyum tulus. "Tentu, Chloe. Aku akan bantu sebisa aku."
"Ryan," panggil Chloe tiba-tiba. "Apa menurutmu aku terlalu kekanak-kanakan?"
Ryan menoleh, menatap Chloe dengan heran.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena aku merasa seperti anak kecil yang merengek-rengek meminta kebebasan," jawab Chloe. "Padahal, mungkin orang tuaku hanya ingin yang terbaik untukku."
Ryan tersenyum lembut. "Chloe, semua orang ingin merasa bebas dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Itu bukan berarti kamu kekanak-kanakan. Orang tuamu mungkin memang ingin yang terbaik untukmu, tapi mereka juga perlu mengerti bahwa kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan pilihanmu sendiri."
Chloe mengangguk, merasa sedikit lega mendengar penjelasan Ryan. Ia tahu ia harus berani menghadapi orang tuanya dan memperjuangkan kebebasannya.
Annyeong đź‘‹
Comment on chapter POV William