Dinginnya lantai panti asuhan masih terasa di telapak kakiku, meski bertahun-tahun telah berlalu. Aku ingat betul hari itu, hari di mana ibuku, dengan mata sembab dan senyum getir, menyerahkanku kepada pengurus panti. Aku baru berusia empat tahun, terlalu kecil untuk mengerti mengapa ibu harus pergi, mengapa ayah menghilang tanpa jejak.
“Ibu akan kembali, Nak,” bisiknya sambil memelukku erat. “Ibu Janji.”
Janji itu terus terngiang di telingaku, menjadi pelita dalam gelapnya kesepian. Ibu bekerja sebagai TKW di negeri orang, mengirimiku uang setiap bulan, memastikan pendidikanku terjamin. Aku bersyukur, tentu saja. Tidak semua anak di celana seberuntung aku. Tapi, tetap saja, ada lubang besar di selimut, lubang yang hanya bisa terisi oleh kehadiran orang tua.
"Kenapa aku?" pertanyaan itu selalu menghantuiku. Kenapa aku yang harus mengalami semua ini? Kenapa aku yang harus tumbuh tanpa ayah, dan tanpa ibu? Kemarahan dan mengecewakan memuncak, menunjuk satu nama: ayah. Ke mana dia pergi? Apa dia masih ingat punya anak?
Ingatan tentang hari itu, hari di mana ibu menitipkanku di yayasan, masih terpatri jelas di benakku. Ekspresi wajahnya, kata-kata yang diucapkannya, hangatnya pelukan terakhirnya—semuanya begitu nyata, seolah baru terjadi kemarin. Orang bilang tidak mungkin mengingat kejadian pada usia sekecil itu, tapi aku berbeda. Mungkin luka hatiku terlalu dalam, hingga setiap detailnya terukir jelas dalam ingatan.
Suatu hari, rasa penasaran membawaku mencari tahu tentang ayah. Internet, dengan segala keajaibannya, membawaku pada sebuah kenyataan pahit: ayah hidup bahagia dengan keluarga barunya. Dia punya dua anak, bahkan anak pertamanya seumuran denganku. Hati ini hancur berkeping-keping. Mengetahui hal itu jadi terlintas hal buruk dibenak ku.
“Apa dia ingat aku?” tanyaku pada diri sendiri. "Apa dia tidak punya keinginan untuk mencariku?"
Dengan keberanian yang tersisa, aku menghubunginya. Jawabannya menghantamku lebih keras dari yang kubayangkan. “Ayah malu bertemu kamu,” katanya. malu? Setelah semua yang dia lakukan?
Dengan sedikit paksaanku akhirnya, kami bertemu. Wajahnya penuh penyesalan, matanya berkaca-kaca. Dia mengaku bersalah, mengakui bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya di masa lalu, karena dia telah berevolusi menjadi ibu. Ternyata, pikiran terburukku benar-benar menjadi kenyataan.
Pertemuan itu tidak membawa kelegaan, justru menambah luka di hatiku. Kini, aku tahu alasan mengapa ayah pergi, mengapa aku harus hidup di panti. Tapi, pengetahuan itu tidak menghilangkan rasa sakitnya. Aku masih anak yang sama, anak yang merindukan kasih sayang orang tua, anak yang bertanya-tanya, “Kenapa aku?”
Waktu terus berjalan, dan aku tumbuh menjadi seorang wanita muda. Kuliahku berjalan lancar, berkat dukungan ibu dari jauh. Aku belajar untuk mandiri, untuk mengisi kekurangan dengan prestasi dan persahabatan. Tapi, luka masa lalu tetap menganga, sesekali mengganggu tidurku, membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Aku mulai mencari makna dalam kehidupan. Aku bergabung dengan komunitas panti asuhan, berbagi pengalaman dengan anak-anak yang senasib. Aku belajar bahwa aku tidak sendirian, bahwa banyak orang yang memiliki luka serupa. Dari mereka, saya belajar tentang kekuatan, tentang bagaimana mengubah rasa sakit menjadi motivasi.
Suatu hari, aku mendapat kabar dari ibu. Dia akan pulang. Hatiku berdebar kencang. Setelah bertahun-tahun, aku akan bertemu lagi dengan wanita yang melahirkanku, wanita yang telah berjuang begitu keras untukku. Pertemuan itu penuh air mata dan pelukan hangat. Ibu bercerita tentang kehidupannya di negeri orang, tentang betapa dia merindukanku setiap hari. Aku melihat kelelahan di wajahnya, tapi juga kebanggaan dan cinta yang tak terhingga.
Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang ayah. Ibu teringat sejenak, lalu mulai bercerita. Dia menceritakan tentang cinta mereka di masa lalu, tentang bagaimana ayah berubah, tentang pengabdian yang menghancurkan hatinya. Dia juga bercerita tentang betapa dia mencintaiku, betapa dia takut kehilanganku.
“Ibu tahu, kamu pasti marah pada ayah,” kata ibu. "Tapi, Ibu harap kamu bisa memaafkannya. Bukan untuknya, tapi untuk dirimu sendiri."
Kata-kata ibu menyentuh hatiku. Aku tahu, memaafkan tidak akan menghapus luka, tapi mungkin bisa meringankan beban yang selama ini kupikul. Aku mulai memikirkan tentang arti memaafkan. Apakah itu berarti melupakan? Apakah itu berarti menerima? Atau apakah itu berarti melepaskan, membebaskan diri dari belenggu masa lalu?
Aku memutuskan untuk mencari ayah lagi. Bukan untuk membalas dendam, tapi untuk memahami, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuiku. Pertemuan kedua kami tidak semenyakitkan yang pertama. Kali ini, aku melihat penyesalan yang tulus di matanya. Dia bercerita tentang bagaimana dia menyesali perbuatannya, tentang bagaimana dia merindukanku, tentang bagaimana dia ingin memperbaiki kesalahannya.
“Aku tahu, aku tidak bisa mengubah masa lalu,” katanya. "Tapi, aku ingin kamu tahu, aku selalu sayang padamu."
Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya memaafkannya, tapi aku tahu, aku bisa melepaskan. Aku bisa melepaskan kemarahan, kebencian, dan kekecewaan yang selama ini menenangkan hatiku. Aku memilih untuk fokus pada masa depan, pada kehidupan, pada orang-orang yang mencintaiku.
Akhirnya aku belajar banyak tentang diri sendiri, tentang kekuatan dan kelemahan manusia, tentang arti cinta dan pengampunan. Aku belajar bahwa luka tidak harus mendefinisikan kita, kita bisa mengubah rasa sakit menjadi kekuatan. Aku belajar bahwa hidup adalah tentang pilihan, dan aku memilih untuk berbahagia.