Yura baru saja duduk di ruang dokter spesialis bedah anak setelah makan siang yang tertunda, mencoba mengistirahatkan punggungnya yang terasa pegal setelah setengah hari berkeliling rumah sakit. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Ponselnya bergetar di atas meja.
"Sunbaenim, maaf mengganggu. Ada pasien anak di IGD, kondisinya darurat," suara seorang residen junior, Jisoo, terdengar dari ujung telepon.
"Apa yang terjadi?" tanya Yura, segera bangkit dari kursinya.
"Anak laki-laki, enam tahun. Terjatuh dari perosotan di taman bermain, luka terbuka cukup besar di lengan kanan. Ada banyak perdarahan. Dokter jaga meminta bantuan kita untuk penanganan lebih lanjut, karna dokter IGD yang lain sedang ada pasien juga."
Yura mengembuskan napas cepat. Baru saja dia duduk, tapi panggilan ini tidak bisa diabaikan. "Aku segera ke sana. Siapkan alat untuk tindakan emergensi."
Dia melangkah cepat menuju IGD, nyaris berlari. Begitu masuk ke dalam ruang trauma, dia melihat seorang anak laki-laki yang menangis histeris. Darah segar masih mengalir dari luka di lengannya yang terbuka lebar, memperlihatkan jaringan di bawahnya.
"BP?" Yura bertanya cepat.
"Masih dalam batas aman, tapi jika perdarahan terus berlanjut, bisa turun lebih jauh," jawab Jisoo sambil membantu perawat menyiapkan instrumen.
"Kita harus menghentikan perdarahan dulu." Yura mengambil kasa steril dan memberikan tekanan langsung pada luka. Tangannya tetap stabil meskipun pikirannya berlomba dengan waktu.
"Anak ini sudah diberikan bius?" tanya Yura.
"Sudah, Sunbae. Tapi dia masih menangis karena ketakutan."
Yura berjongkok di samping tempat tidur pasien, mencoba menenangkan bocah itu. "Hei, kau suka superhero?" tanyanya lembut.
Anak itu masih terisak, tetapi mengangguk kecil.
"Bagus. Sekarang kita akan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh para superhero—menyelamatkan tanganmu supaya tetap kuat. Aku butuh bantuanmu, oke? Tarik napas dalam dan tahan sebentar, lalu buang pelan. Bisa?"
Dengan sisa isakan, bocah itu mencoba mengikuti. Sementara itu, Yura bekerja dengan sigap membantu dokter spesialis menjahit luka anak itu. Dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdetak lebih cepat dari biasanya. Ini kali pertama dia menangani trauma besar di IGD, tetapi dia berhasil mengikuti arahan dengan baik.
***
Begitu luka selesai ditangani dan anak itu lebih tenang, Yura merasa kelelahan menyerangnya. Emosinya terkuras. Namun, dia tidak bisa berhenti. Saat berjalan keluar dari ruang trauma, dia melihat seorang anak perempuan di salah satu kasur IGD menangis, menolak dipasang infus oleh seorang perawat.
"Aku nggak mau! Sakit!" gadis kecil itu meronta.
Yura menarik napas, mendekat dengan hati-hati. Dia mengambil boneka kecil yang selalu dia bawa di saku jas dokternya.
"Lihat, ini Tobi. Dia juga takut jarum, tapi tau nggak? Dia jadi kuat setelah diberikan infus," kata Yura sambil memperlihatkan boneka itu.
Mata anak itu berkaca-kaca, tetapi ia memperhatikan boneka tersebut. "Beneran?"
"Iya. Mau coba biar jadi kuat juga? Aku janji akan pegang tanganmu."
Gadis kecil itu akhirnya mengangguk pelan. Yura tersenyum lega. Saat perawat menyelesaikan prosedur, anak itu masih menatapnya dengan mata besar dan penuh rasa ingin tau.
"Kalau aku jadi dokter, aku mau seperti eonnie," gumamnya pelan.
Ucapan itu membuat Yura terdiam sesaat. Dia merasakan hatinya menghangat, mengingat kembali alasan dia memilih jalan ini. Dia tersenyum dan mengusap kepala anak itu.
***
Saat malam tiba, Yura sedang membaca buku tebal tentang trauma pediatrik ketika ponselnya kembali berdering.
"Sunbae, ada kecelakaan beruntun! Dua anak kecil menjadi korban!" suara Jisoo terdengar panik di telepon.
Jantung Yura mencelos. "Aku ke sana sekarang!" Dia segera bangkit dan setengah berlari ke IGD.
Di dalam ruang gawat darurat, suasana kacau. Dua anak kecil yang menjadi korban kecelakaan terbaring di kasur dengan luka serius. Salah satu anak, perempuan berusia lima tahun, perutnya tampak membuncit dan pucat. Sedangkan anak laki-laki berusia delapan tahun mengalami luka terbuka besar di perut, darah terus mengalir dari lukanya.
"Sudah lakukan FAST scan?" tanya Yura cepat.
"Baru saja selesai, hasilnya terkonfirmasi ruptur dan pendarahan trauma abdomen pada keduanya. Yang satu ada kemungkinan limpa pecah, yang satu lagi diduga mengalami perforasi lambung."
Yura mengatup bibirnya rapat. Keputusan besar harus segera diambil.
"TTV mereka?"
"Anak laki-laki dengan luka terbuka perut, tekanan darahnya menurun drastis, nadinya cepat dan lemah. Anak perempuan dengan limpa pecah masih stabil, tapi mulai menunjukkan tanda-tanda syok kompensasi."
Yura bingung, dia panik. Bagaimana ini. Apa ayng harus ia lakukan, mana yang lebih kritis? Astaga. Dia seakan ingin mengacak rambutnya sendiri.
"Yura ssaem!" panggil suster di IGD untuk menyadarkan Yura dalam kepanikannya. "Apa yang harus dilakukan sekarang?"
Yura menatap suster itu dengan panik. Dan seakan sudah mengerti tatapan Yura itu, suster yang jauh lebih senior di IGD itu akhirnya memberikan masukan. "Anak ini, anak dengan perforasi lambung perlu cepat dioperasi. Jika tidak segera dioperasi, dia bisa mengalami sepsis dalam hitungan jam."
Mendengar masukan itu dan juga setelah melihat chartnya tadi, Yura setuju. Yura segera mengambil ponselnya, menghubungi dokter senior. Dan untungnya tidak butuh waktu lama untuk seniornya itu mengangkat telepon. "Profesor Kim, kami butuh Anda di ruang operasi sekarang. Ada pasien trauma abdomen dengan perforasi lambung, pasien anak dalam kondisi kritis."
"Oke, saya segera ke sana. Pastikan anestesi siap. Kau juga ikut masuk ke dalam ruang operasi!"
"Baik!"
Setelah memutus telepon, dia beralih ke pasien kedua yang masih dalam kondisi mengkhawatirkan. Dia menghubungi dokter senior lainnya. Persetan jika nanti dia kena diomelin. Karna setahunya, Profesor Han baru saja pulang sekitar 45 menit yang lalu. "Profesor Han, ada pasien anak dengan trauma abdomen, limpa pecah. Saya tidak bisa ikut operasi ini karena saya harus ikut operasi pasien satunya lagi, Profesor Kim yang akan mengoperasi. Bisa anda segera ke IGD?"
"Baik, saya dalam perjalanan," jawab Profesor Han. "Untuk jaga-jaga, tolong minta residen atau dokter lain disana untuk terus pantau. Saya akan masuk ruang operasi dalam setengah jam lagi. Saya sudah dekat rumah sakit."
"Baik, Dok!" jawab Yura sigap. Lalu setelah sambungan terputus, ia menoleh pada Jisoo selaku residen yang memanggilnya tadi. "Kau yang akan memantau pasien dengan limpa pecah sampai dokter senior datang. Pastikan dia tetap stabil, oke?"
Jisoo menelan ludah, lalu mengangguk cepat. "Baik, Sunbae!"
Yura kemudian mendorong tempat tidur pasien kritis ke ruang operasi, tangannya sedikit gemetar. Namun, begitu masuk ke ruang bedah, dia menyingkirkan semua emosi dan fokus sepenuhnya pada prosedur.
***
Operasi berlangsung selama empat jam. Setiap detik terasa seperti seabad. Namun, akhirnya, mereka berhasil menutup perforasi dan mengontrol perdarahan. Pasien anak itu akhirnya dipindahkan ke ICU dalam kondisi stabil.
Saat Yura kembali ke ruang jaga, tubuhnya terasa seperti batu yang ditarik gravitasi. Dia ingin tidur.
"Jisoo-ya," panggilnya pada residen juniornya. "Kalau tidak ada hal mendesak, tolong jangan bangunkan aku. Biarkan aku tidur dua jam. Setelah itu kita bergantian."
Jisoo tertawa kecil. "Baik, Sunbae. Tidurlah sebentar."
Yura merebahkan diri di sofa. Begitu matanya tertutup, dia langsung tenggelam dalam tidur yang dalam, kelelahan setelah melewati malam yang penuh ketegangan. Wahm sangat dramatis sekali hari pertamanya bekerja.