Tibalah saatnya Yura akhirnya terbebas dari ocehan mamanya.
HAHAHAHAHA.
Rasanya seperti menang lotre. Seperti mendapatkan liburan tambahan. Seperti—ya, seperti akhirnya bisa bernapas lega setelah berhari-hari menghadapi serangan verbal tak henti dari sang mama tentang kapan dirinya akan membawa pacar ke rumah.
Dengan langkah santai dan hati ringan, Yura menyeret kopernya menuju pintu masuk bandara. Tapi sebelum benar-benar melangkah masuk, ia berbalik dan tersenyum menenangkan ke arah kedua orangtuanya, kakak perempuannya, dan kakak iparnya yang datang untuk mengantarnya.
Dan seperti yang sudah diduga, bahkan di saat perpisahan pun, mamanya tidak lupa untuk mengingatkan hal yang paling Yura hindari.
"Yura-ya, nanti kalau balik ke Jakarta lagi, bawa pacar ya! Kalau tidak, kau tidak boleh balik ke sini lagi!" suara mamanya terdengar nyaring, menarik beberapa perhatian orang sekitar.
Yura mengerjapkan mata, ingin tertawa tapi juga takut. "Eomma..." rengeknya.
Yura tau mamanya hanya bercanda. Tapi entah kenapa, bercandanya selalu membuatnya sedikit takut. Karena... bagaimana kalau mamanya benar-benar menepati ancamannya?
Di samping mamanya, sang appa hanya terkekeh dan menepuk bahu Yura pelan. "Sudahlah, jangan dengarkan. Eomma-mu hanya bercanda."
"Aku serius," sela mamanya, membuat Yura hampir tersedak udara.
"Eomma, kau segitu inginnya mengirimku untuk menikah ya?" Yura memeluk appanya dan menyandarkan kepalanya di bahu pria paruh baya itu. "Appa, pastikan aku masih bisa pulang, ya?"
Sang appa terkekeh lagi. "Tentu saja. Asalkan kau jaga kesehatan di Korea, makan yang benar, dan urus dirimu baik-baik. Jangan sampai sakit."
Yura mengangguk dengan mantap. "Siap, Appa!"
Setelah memeluk kedua orangtuanya, kakaknya, dan kakak iparnya, Yura melambaikan tangan sambil menarik kopernya ke dalam ruang check-in.
***
Di ruang tunggu dekat gate keberangkatan, Yura menelusuri area sekitar, mencari kursi kosong yang dekat dengan pintu gate. Saat itulah matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.
Jaket hitam. Headphone di kepala. Mata tertutup.
Yura hampir tertawa. Kenapa gaya Minhyuk selalu seperti itu? Tidak bosan apa?
Dengan senyum yang tidak bisa ia tahan, Yura berjalan mendekati Minhyuk dan duduk di belakangnya. Ia mengulurkan tangan dan menepuk bahu lelaki itu pelan. Minhyuk menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka matanya dengan tampang bingung, lalu berbalik.
Dan begitu melihat siapa yang duduk di belakangnya, ekspresinya langsung berubah.
"Annyeonghaseyo!" sapa Yura cerah dengan senyum lebarnya.
Minhyuk diam.
Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia kembali berbalik dan memejamkan matanya lagi.
Yura membulatkan mulutnya. "Ck, kenapa cuek sekali sih..."
Berbeda dengan Minhyuk yang terlihat tidak peduli, Yura justru semakin bersemangat untuk mengajaknya bicara.
"Kau juga kembali ke Korea sekarang?" tanyanya. Tidak ada jawaban.
Yura mendekat sedikit. "Minhyuk-ssi, kau benar-benar tidak akan menjawab?"
Hening.
Yura menghela napas, tapi tak menyerah. "Baiklah, kalau begitu, pesawat apa? Aku bisa membantumu memeriksa jadwalnya. Takut-takut kau ketiduran dan ketinggalan pesawat nanti."
Akhirnya, Minhyuk membuka mata lagi, menoleh sedikit ke belakang, lalu mengangkat satu jari telunjuknya dan mengarahkannya tepat di depan wajah Yura. "Aku bisa urus sendiri. Terima kasih."
Yura menatap jari itu, lalu menatap wajah Minhyuk dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Hah... Ya Tuhan, kau ini benar-benar dingin sekali. Aku hanya berusaha membantu, tau?"
Tapi Minhyuk sudah kembali memasang headphone-nya dan memejamkan mata lagi.
Yura mendecak pelan. Baiklah, dia menyerah untuk sekarang.
Tanpa ada yang bicara lagi, mereka duduk diam, satu di depan dan satu di belakang, menunggu panggilan untuk masuk pesawat.
***
Ketika akhirnya nomor penerbangannya dipanggil, Yura bangkit dan bersiap masuk. Ia melirik sekilas ke arah Minhyuk. Lelaki itu masih belum bergerak dari tempat duduknya.
Yura mengerutkan kening. Apa dia tidak satu pesawat dengannya?
Ah, kalau begitu, tidak perlu pamit. Daripada dia sakit hati sendiri karena tidak ada balasan, lebih baik langsung masuk saja.
Dengan menggeret kopernya, Yura melangkah masuk ke dalam pesawat.
***
Begitu pesawat sudah mengudara, Yura merasa ingin ke toilet. Ia membuka sabuk pengamannya, berdiri, lalu berjalan menyusuri lorong.
Tapi di tengah jalan, langkahnya terhenti.
Matanya membelalak.
Minhyuk?!
Kenapa dia ada di pesawat ini?!
Yura yakin dia tidak melihat Minhyuk masuk tadi. Apa dia kelewatan karena terlalu sibuk melihat ke luar jendela?
Dengan wajah sedikit sumringah, Yura menepuk bahu Minhyuk. "Hehe, ketemu lagi."
Minhyuk membuka matanya perlahan, lalu menghela napas panjang.
Yura bisa membaca ekspresi itu dengan jelas.
Lelah.
Minhyuk tampak benar-benar lelah bertemu dengannya lagi.
Yura menyeringai kecil. "Kau pasti bahagia melihatku lagi, kan?"
"......"
Yura hendak membuka suara lagi untuk menggoda lelaki itu, tapi tepat saat itu, seorang pramugari melintas di depan mereka.
"Maaf, Nona, silakan kembali ke kursi Anda," ucap pramugari dengan senyum sopan.
Yura melirik Minhyuk sekilas, lalu tersenyum kecil dan mengangguk pada pramugari. "Baik, aku akan kembali."
Saat ia berjalan kembali ke kursinya, ia masih sempat melihat Minhyuk menutup matanya lagi, mungkin berharap bisa menghindari interaksi lebih lama.
Ck. Dasar manusia dingin itu.