Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Sebenarnya aku ingin kamu terluka
Agar aku bisa menjadi obat penyembuh untukmu.

~Bagaskara.

Aku terdiam cukup lama, menatap surat itu dengan rasa yang sulit kupahami. Kalimat pembuka yang Bagaskara tulis, atau entah siapa pun dia, benar-benar menusuk di tempat yang paling tak kusangka.

Ada sesuatu yang ganjil namun menenangkan dari kalimat itu. Seolah-olah ia tahu caranya menyentuh hati tanpa berusaha terlalu keras. Tapi, siapa dia? Di dunia ini, nama Bagas bukanlah nama yang langka. Bisa jadi dia menggunakan nama pena, atau barangkali hanya nama samaran. Aku tidak tahu, dan itu membuatku semakin ingin tahu.

"Gak tau, bingung," gumamku sambil mengacak rambut, mencoba mencari fokus. Seharusnya aku belajar sekarang, ada ulangan besok yang harus kupersiapkan. Namun, otakku terus kembali ke surat ini, pada sosok misterius di balik tulisan yang begitu akrab tapi asing.

Aku bangkit dari kursi, mengambil sebuah kotak kecil di sudut meja. Di dalamnya ada tumpukan surat lain yang pernah dikirim Bagaskara padaku. Sudah lama surat-surat ini kusimpan, entah kenapa aku merasa sayang membuangnya. Aku mulai membuka dan membaca ulang satu per satu, meresapi tiap kalimat yang pernah membuatku tersenyum tanpa sadar.

Ada kehangatan dalam caranya menulis, seolah-olah ia sedang berbicara langsung padaku. Kalimat-kalimatnya sederhana, tapi penuh makna. Setiap kata terasa tulus, seperti ia benar-benar mencurahkan isi hatinya tanpa ada yang ditutupi. Membaca surat darinya, rasanya seperti berbicara dengan seseorang yang selalu mengerti tanpa perlu banyak penjelasan.

"Semoga bentuk tulusnya adalah dari seratus hingga puluhan ribu, dan bentuk cintanya dari sederhana ke istimewa."

Aku tersenyum kecil. Kalimat itu terasa berlebihan, tapi aku menikmatinya. Seperti ada harapan yang ia titipkan di antara barisan kata-katanya. Harapan yang, meski tak diucapkan langsung, terasa begitu nyata.

***

Aku terlalu lelah hingga akhirnya terlelap tanpa sadar. Tidur selalu menjadi pelarian terbaikku, karena di sana, aku bisa bertemu Artala. Dalam mimpi, segalanya terasa lebih mudah, lebih indah. Walaupun hanya sekilas, mimpi tentangnya sudah cukup untuk membuatku bahagia.

Artala. Sosok yang selalu menjadi pusat pikiranku, bahkan ketika aku tahu aku hanyalah seorang pengagum dari jauh. Aku tidak tahu apakah ia pernah memikirkan aku seperti aku memikirkannya. Tapi jika saja ia tahu, betapa aku mengaguminya, mungkin ia akan mengerti kenapa aku sulit melepas bayangannya.

Namun, aku sadar, aku hanyalah bagian kecil dari dunianya. Artala punya hidupnya sendiri, perasaan yang mungkin tidak pernah sejalan denganku. Ia bebas mencintai siapa pun yang ia inginkan, dan itu adalah haknya. Tapi tetap saja, aku berharap...

"Semoga Artala tidak mencintai orang lain, dan tidak dimiliki orang lain," gumamku pelan, hampir seperti doa yang kuucapkan tanpa sadar.

Aku tahu itu harapan yang egois, tapi aku tak peduli. Karena bagiku, keberadaan Artala di dunia ini saja sudah cukup untuk membuatku bahagia. Aku tak butuh lebih, selama ia ada, selama aku bisa mengaguminya dari jauh, aku sudah merasa cukup.

Sore itu, aku harus kembali ke kota. Kali ini untuk mengantarkan jahitan ibu yang sudah selesai dikerjakan. Kota ini selalu punya daya tariknya sendiri bagiku—gemerlap lampu yang mulai menyala saat senja datang, hiruk-pikuk yang tak pernah benar-benar sunyi, dan sebuah perasaan hangat yang entah kenapa selalu hadir setiap kali aku berada di sini.

Tapi, ada satu alasan lain kenapa aku selalu menantikan perjalanan ke kota ini: dia. Seorang perempuan yang entah sejak kapan mulai mengambil tempat di pikiranku. Hanya dengan membayangkan wajahnya saja, rasanya perjalananku yang melelahkan ini menjadi lebih ringan.

Apalagi kalau kebetulan aku bisa melihatnya ah, rasanya seperti dunia berhenti sejenak hanya untuk kami. Aku tidak tahu apa yang begitu istimewa darinya, mungkin caranya tertawa yang sederhana, atau tatapan matanya yang kadang penuh teka-teki. Tapi yang pasti, dia adalah alasan kenapa kota ini selalu terasa hidup.

Sambil membawa bungkusan jahitan ibu, aku melangkah melewati jalan-jalan yang sudah mulai diterangi lampu jalanan. Harapan kecil berbisik di hatiku, barangkali kami bisa bertemu sebentar. Tak perlu lama, bahkan sekilas saja sudah cukup bagiku.

Angin sore berhembus pelan, membawa aroma khas kota yang bercampur dengan wangi hujan yang mulai menguap dari aspal. Di sudut jalan, aku melihat keramaian kecil dari para pedagang kaki lima yang mulai membuka lapaknya. Suasana ini, seperti selalu mengingatkan bahwa kota ini memiliki seribu cerita yang menunggu untuk ditemukan.

Namun, di antara semua cerita itu, aku hanya ingin satu: bertemu dengannya. Rasanya tidak berlebihan jika aku menganggap dia adalah bagian terbaik dari kota ini. Sesuatu yang membuat setiap langkahku menuju ke sini selalu diiringi oleh harapan, meskipun aku tahu harapan itu mungkin tak lebih dari sekadar angan.

Tapi sore ini, seperti sore-sore sebelumnya, aku tetap melangkah dengan keyakinan kecil di hati. Siapa tahu, takdir sedang berpihak kepadaku kali ini. Siapa tahu, aku bisa melihat senyumnya lagi. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat perjalanan ini menjadi lebih dari sekadar mengantarkan jahitan ibu.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags