Mencintainya dengan cara tersurat adalah bentuk cinta paling indah.
~Bagaskara
Saat kamu mencintai seseorang kamu engga akan memandangnya dari fisiknya, suaranya, kekurangannya, atau pikirannya sebab cinta itu murni apa adanya, dia akan selalu sempurna di matamu.
Sama seperti aku mencintai Artala launa, aku buta untuk ketidak sempurnaannya sebab ia diciptakan Tuhan dalam bentuk sebaik baiknya.
Surat ke-5
"Aku, Bagaskara yang masih berada di muka bumi ini."
Nonaku, saat ini
Bolehkan aku mujimu
Tapi tenang
Aku memujimu tidak berlebihan
Sebab jika berlebihan
Sama saja aku menduakan tuhan
Tuhan itu sangat sempurna
Seperti salah satu ciptaannya
Kamu nona, aku tak bisa berkata kata
Penaku sudah tak sanggup menari
Ayumu nan indah itu
Memang tak ada lawannya.
"Saat nya mengirim surat ini ke Artala," aku memasukkan kertas itu ke dalam amplop.
"Bunda, aku pergi dulu ya mau ke kota sebentar," aku menyalin bundaku.
"Akhir akhir ini kamu aktif bangat ke kotanya, kenapa sayang?"
"Bunda, ini masalah perasaan Bun, ada cintandi kota aku mau ngirim surat ini," menunjukkan surat yang baru saja selesai ku buat ke bunda.
"Owalah, cepat cepat sayang, takutnya wanita itu malah diambil sama orang lain."
"Kalau dia diambil orang lain itu artinya takdirnya Bagas cuma mengangumi."
Tetapi tidak buruk kok meski sebatas mengagumi itu juga menyenangkan, kancinga itu bagian dari mengagumi juga meski pun tidak memilikinya.
"Ia bun, Bagas pergi ya."
"Hati-hati."
Saat aku di kota aku selalu saja menjumpai Haikal sebagai mana Haikal dan Arta satu kampus, jadi dari Haikal sedikit informasi yang aku dapatkan mengenai Arta, Haikal sudah aku percayai jadi orang yang memata mati Artala.
"Kamu tau gak?"
"Apa Haikal?" aku sudah penasaran dengan pembukaan kalimat Haikal.
"Artala tanggal 24 nanti akan tampil puisi loh."
"Benarkah, di mana?"
"Di balai kota, acara pentas seni nanti. Kamu datangkan Bagas?" aku takut Bagas malah tidak bisa hadir hari itu.
"Aku bisa, selalu ada waktu dan selalu bisa untuk Artala," aku ingin melihat Artala membaca puisinya meskipun puisiku sendiri tidak pernah terbalaskan.
Meski Arta tak pernah membalas suratku setidaknya tujuan suratku penerimanya tepat.
"Kalau gitu siangnya kita sama aja nonton Artala, Arta pasti senang karena kamu hadir Bagas."
"Ah, tau darimana kalau Arta bakalan senang dengan ke hadiranku?"
"Ya udah pasti senanglah, selama inikan yang ngirimi dia surat puisi itu kamu."
"barang kalii jika mengetahui itu adalah aku, dan jika Artala tak tahu itu aku bagaimana ia senang."
"Aku rasa dia pasti tahu," mungkin ucapanku bisa menenangkan Bagas."
Aku gencat seketika.
Kadang seharusnya sebagai manusia itu tidak perlu payah berharap karena manusia bukan tempatnya untuk berharap, kalau yang kamu harapkan dari seseorang itu tercapai artinya itu hanya bonus untukmu.
***
Acara pentas seni di balai kota pun di gelar yang dimulai pukul 09.00 pagi tadi telah berjalan dengan lancar dan meriah. Suasana semakin semarak dengan dimulainya pertunjukan teater puisi yang memukau para penonton. Diiringi alunan musik yang syahdu, para penari dengan anggun membawakan tarian tradisional yang memikat hati. Beragam acara lainnya pun semakin menambah semarak suasana.
Dan akhirnya, momen yang paling ditunggu-tunggu pun tiba. Artala, dengan senyum yang merekah dan aura yang begitu memikat, melangkah anggun ke atas panggung. Seolah terlahir untuk menjadi bintang, kecantikannya bersinar terang di bawah sorot lampu panggung. Suara merdunya mengalun lembut, membacakan puisi dengan penuh perasaan, setiap kata yang keluar dari bibirnya bagaikan embun pagi yang menyejukkan hati. Gerakan tangannya yang anggun dan tatapan matanya yang penuh makna, membuat setiap penonton terhanyut dalam pesona Artala.
Termaksud aku yang kini bukan di darat, seolah olah aku sudah masuk ke dasar laut yang dalam.
"Lihatlah wanita itu, sangat cantik sekali," bisikku sambil mendengarkan puisi Artala.
"Cantik ya," sahutku.
"Ia, Haikal."
Bagaimana mungkin aku tidak mencintai Artala dia saja secantik itu.