Read More >>"> Dominion (Cahaya yang Redup) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dominion
MENU
About Us  

Zay melangkah masuk ke ruang BK dengan kepala tegak, meskipun ada sesuatu dalam langkahnya yang terasa berat. Seragamnya yang tidak lengkap, hanya kemeja putih murahan yang ia kenakan terburu-buru, terasa melekat di kulitnya seperti pengingat dari apa yang baru saja terjadi.

Ruang BK terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada murid lain di sana—hanya seorang pria di balik meja kayu tua yang penuh dengan tumpukan berkas. Namanya Pak Damar.

Ia duduk dengan kedua tangan saling bertaut, ekspresinya sulit dibaca. Wajahnya sedikit lebih gelap daripada biasanya, mungkin karena lelah atau frustrasi. Garis-garis di pelipisnya lebih dalam dari yang diingat Zay. Rambutnya hitam pekat, meskipun ada beberapa helaian uban yang tampak di sisinya, dan kemeja biru muda yang dikenakannya terlihat sedikit kusut, seakan mencerminkan pikirannya yang juga berantakan.

Pak Damar menatap Zay lama. Seakan mencari kata-kata yang tepat.

Zay berdiri di depan mejanya, diam seperti patung. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, meskipun jari-jarinya sedikit bergetar—sisa dari amarah yang belum benar-benar padam. Sisa dari penghinaan yang baru saja ia telan mentah-mentah.

Akhirnya, Pak Damar menarik napas dalam, suaranya terdengar lebih berat daripada biasanya. “Duduklah, Zay.”

Zay tetap berdiri. “Katakan saja.”

Pak Damar mengusap wajahnya dengan lelah. “Aku ingin membantumu, Zay. Sungguh.”

Zay mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan mata kosong.

“Kalau begitu, bantu saya.”

Bukan permohonan. Bukan harapan.

Hanya sebuah pernyataan.

Pak Damar menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara frustrasi, rasa bersalah, dan sesuatu yang hampir mirip kepasrahan.

“Aku sudah bicara dengan wali kelasmu, dengan kepala sekolah. Aku sudah mencoba. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana tempat ini bekerja.”

Zay diam.

“Tanpa bukti, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Bukti?” Zay menyeringai kecil, meskipun tidak ada humor dalam ekspresinya. “Harus ada bukti kalau aku dipermalukan di depan kelas? Harus ada bukti kalau aku dipukuli? Harus ada bukti kalau aku dihin—”

Ia berhenti. Napasnya sedikit tercekat di tenggorokannya sendiri.

Pak Damar tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zay dengan tatapan yang sama. Tatapan yang tidak mengatakan bahwa dia tidak peduli. Justru sebaliknya. Tatapan seseorang yang benar-benar ingin melakukan sesuatu tetapi tahu bahwa tangannya terikat.

Akhirnya, dengan suara yang lebih lirih, ia berkata, “Mau tidak mau, kamu harus diskors selama dua minggu.”

Hening.

Zay menatapnya, matanya sedikit menyipit seakan mencoba mencerna kata-kata itu.

"Diskors?" suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan.

Pak Damar mengangguk.

“Tapi dua minggu lagi ada ujian.”

“Aku tahu.”

“Saya akan tertinggal materi.”

“Aku tahu.”

Zay mengepalkan tangannya lebih erat. Untuk pertama kalinya sejak pagi ini, ekspresi marah mulai muncul di wajahnya.

"Jadi, saya yang disiksa. Saya yang dipermalukan. Saya yang dihina. Dan saya juga yang harus pergi?"

Tidak ada jawaban.

Zay menghela napas pelan, seakan menertawakan betapa absurdnya dunia ini. “Luar biasa.”

Pak Damar menyandarkan tubuhnya ke kursi, suaranya terdengar lebih lirih dari sebelumnya. “Aku tidak bilang ini adil, Zay.”

"Kalau begitu, buat jadi adil."

"Aku tidak bisa."

Zay mendengus, lalu menunduk. Tidak ada gunanya berdebat.

"Baiklah."

Suaranya terdengar kosong. Hampir menyerah.

Pak Damar menghela napas panjang sebelum berkata, “Aku akan mengirimi kamu materi pelajaran setiap hari.”

Zay mengangkat alisnya.

"Pastikan nomor ponselmu selalu aktif."

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Zay mengangguk pelan. "Terima kasih."

Pak Damar tersenyum kecil, meskipun senyum itu lebih mirip kepedihan daripada kehangatan.

Zay bangkit dari kursinya dan berjalan ke pintu, berhenti sejenak sebelum menoleh.

“Setidaknya, dalam dunia yang busuk ini,” katanya pelan, “masih ada orang yang benar-benar tulus membantu.”

Pak Damar tidak menjawab.

Karena di dalam hatinya, ia tahu bahwa yang Zay katakan benar.

***

Malam itu, keheningan menyelimuti kamar Zay seperti selimut hitam yang menyesakkan. Udara dingin merayap masuk melalui celah jendela, menusuk kulitnya, tapi itu bukan alasan tubuhnya menggigil.

Bukan udara.

Bukan dingin.

Tapi ketakutan.

Tangannya mencengkeram erat ponsel yang bergetar tanpa henti di telapak tangannya. Layarnya menyala terang di dalam ruangan gelap, menampilkan serangkaian notifikasi yang terus berdatangan.

Ding!

Ding!

Ding!

Zay menelan ludah. Ia tahu isi pesan-pesan itu. Tidak perlu membukanya untuk mengetahui kebusukan yang tertuang di dalamnya. Tapi malam ini... malam ini lebih buruk dari biasanya.

Dengan napas gemetar, ia menyeret ibu jarinya ke atas, membuka notifikasi yang berjejal di layar.

@Sean

“Kamu pikir bisa kabur, hah?”

“Diskors nggak akan menyelamatkanmu.”

“Aku akan pastikan ini jadi neraka buatmu.”

@Anonim

“Pelacur kecil.”

“Ib**mu itu pelacur, dan kamu sama kotornya.”

“Seharusnya kamu mati aja, dunia bakal lebih baik tanpamu.”

Satu pesan disusul yang lain. Kata-kata yang lebih tajam dari pisau, menusuk dagingnya, mengiris perlahan-lahan ke dalam pikirannya.

Zay mengatur napas, tapi dadanya tetap terasa berat. Tangannya mulai bergetar, menggenggam ponsel lebih erat seolah benda itu bisa memberinya pegangan.

Lalu, satu pesan suara masuk.

Ding!

Dengan jantung berdebar, ia membuka rekaman itu.

Suara tawa pelan terdengar, merayap seperti bisikan setan ke dalam telinganya.

Kemudian, suara Sean.

"Kami selalu melihatmu, Zay. Tidak ada tempat untuk lari."

Zay langsung melempar ponselnya ke kasur, dadanya naik turun cepat. Ia memeluk lututnya, menekan kepalanya sendiri seakan bisa menghentikan suara itu menggaung di benaknya.

Mereka tidak ada di sini!

Mereka tidak ada di sini!

Tapi kenapa rasanya mereka selalu mengintai?

Kenapa rasanya ribuan pasang mata tersembunyi dalam bayangan, menertawakanku?

Zay mengangkat kepalanya, menatap jendela. Tirai sudah tertutup, tapi ia bisa merasakan sesuatu mengendap-endap di baliknya. Ia tahu itu hanya pikirannya yang bermain.

Tapi bagaimana kalau tidak?

Ding!

Satu pesan lagi.

Tangannya gemetar saat ia mengambil kembali ponselnya, membuka pesan terakhir yang masuk.

@Sean

“Bersiaplah. Aku akan datang.”

Darah Zay membeku.

Tangannya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya tersengal.

Mereka hanya menakut-nakuti, kan?

Tapi… kalau tidak?

Ia ingin menghubungi Pak Damar. Tangannya melayang di atas ikon panggilan.

Tapi... untuk apa?

Pak Damar hanya akan bilang, "Tenang, aku akan urus."

Kata-kata kosong.

Omong kosong.

Sean akan tetap ada di sana.

Mereka akan tetap menertawakannya.

Dunia ini akan tetap sama busuknya.

Dan ia?

Ia tetap akan menjadi Zay si sampah.

Zay si babi.

Zay si pecundang.

Zay si anak pelacur.

Zay si beban yang seharusnya tidak pernah lahir.

Tiba-tiba, dunia di sekitarnya terasa lebih gelap. Lebih sempit. Lebih dingin.

Apa gunanya lagi?

Ia bangkit perlahan, melangkah ke meja kecil di pojok kamar. Tangannya meraba laci, membuka dan mencari sesuatu yang selama ini ia tahu ada di sana.

Ditemukannya sebilah cutter kecil, mata pisaunya berkilat tipis di bawah cahaya redup lampu meja.

Ia menatapnya lama.

Mungkin...

Mungkin ini cara terbaik.

Mungkin ini jalan keluar.

Satu goresan. Satu tarikan napas terakhir.

Lalu semua akan berakhir.

Tidak ada lagi ejekan.

Tidak ada lagi rasa takut.

Tidak ada lagi dunia busuk ini.

Tangannya gemetar saat menempelkan ujung tajam pisau itu ke pergelangan tangannya sendiri. Dingin. Tajam.

Ia menarik napas dalam. Lalu menekan sedikit.

Hanya sedikit.

Sedikit lagi.

Tapi di saat itu—

Ding!

Sebuah pesan masuk.

@Pak Damar

"Zay, kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi saya. Jangan ragu."

"Kamu nggak sendirian."

Jari-jarinya berhenti.

Jantungnya berdetak keras di dadanya, tapi kali ini bukan karena ketakutan.

Bukan karena ancaman.

Tapi karena... sesuatu yang lain.

Sesuatu yang hangat di tengah kegelapan.

Ia menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan itu lagi dan lagi.

Kamu nggak sendirian.

Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya.

Tangannya yang menggenggam cutter perlahan melemah. Ia terjatuh berlutut di lantai, pisau itu terlepas dari jemarinya dan jatuh dengan suara berdenting pelan.

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Bukan karena sedih.

Bukan karena takut.

Tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seseorang yang benar-benar melihatnya.

Dan itu cukup.

Untuk malam ini, itu cukup.

***

Pagi buta, langit masih pekat dengan sisa-sisa gelap malam. Kota belum sepenuhnya bangun, hanya ada embusan angin yang menggoyangkan pepohonan dan sesekali suara kendaraan yang melintas di kejauhan.

Zay berjalan tanpa suara.

Ia tidak terburu-buru, juga tidak ragu-ragu.

Setiap langkahnya terhitung, seperti orang yang sudah tahu ke mana ia akan pergi.

Tak ada pesan perpisahan. Tak ada air mata.

Hanya ia, udara dingin, dan bebannya yang terasa semakin berat.

Jalan setapak menuju sungai itu terasa sepi, nyaris menyeramkan. Rumput liar tumbuh di antara celah-celah beton yang retak, menandakan tempat itu jarang diinjak manusia. Di kejauhan, samar-samar, suara arus sungai mulai terdengar.

Zay berhenti di tepi sungai dan menatap air yang mengalir deras di bawahnya.

Hitam.

Gelap.

Tak berdasar.

Sungai itu seolah memanggilnya.

Pelan-pelan, ia menutup matanya.

Hanya dalam satu lompatan... semuanya akan berakhir.

Tak ada lagi hinaan.

Tak ada lagi pukulan.

Tak ada lagi tatapan jijik.

Tak ada lagi keberadaan yang tak diinginkan.

Hanya keheningan.

Zay menarik napas dalam-dalam, lalu pikirannya melayang ke masa lalu.

***

Masa-masa di mana ia masih memiliki segalanya.

Masa-masa di mana dunia ini masih terasa hangat.

***

Ibunya menjemputnya pulang sekolah, menggenggam tangannya erat.

“Ibu masak makanan kesukaanmu hari ini,” katanya dengan senyum lelah, tapi tulus.

Zay kecil mengangguk antusias. “Ayah di rumah?”

“Iya, dia libur hari ini.”

Mereka berjalan bersama, tertawa di bawah langit sore yang oranye.

Kehangatan itu masih terasa di kulitnya.

Tapi hanya sekejap.

***

Ayahnya menggendongnya tinggi-tinggi, berputar di tengah ruang tamu.

“Haha! Pinter banget anak Ayah!”

Zay kecil memeluk leher ayahnya erat, tertawa riang. “Aku menang lomba cerdas cermat tadi!”

Ayahnya menepuk punggungnya bangga. “Besok kita beli es krim, ya?”

Dulu, kebahagiaan itu sederhana.

Tapi kini, semua itu hanya kenangan yang membusuk.

***

Ia berdiri di atas panggung, menerima medali emas Olimpiade Matematika Nasional.

Suara tepuk tangan menggema di aula besar. Wajah-wajah berseri-seri menatapnya, mengaguminya.

Ia melihat ke barisan kursi penonton.

Ibunya menangis haru.

Ayahnya mengacungkan jempol dengan bangga.

Saat itu, ia percaya dunia menyayanginya.

Bahwa dunia akan selalu adil bagi orang yang berusaha.

Tapi ia salah.

Sangat salah.

***

Saat Zay membuka matanya, dadanya terasa kosong.

Semua itu sudah mati.

Orang-orang tidak mengingatnya karena kemenangannya.

Orang-orang hanya mengingatnya sebagai anak dari seorang pelacur.

Orang-orang tidak peduli dengan kepintarannya.

Orang-orang hanya ingin melihatnya diinjak-injak.

Teman-teman yang dulu mengelilinginya, meminta bantuannya, kini berpaling darinya seolah ia adalah penyakit menjijikkan.

Tak ada yang peduli.

Tak ada yang menginginkannya tetap hidup.

Jadi, kenapa ia harus terus berjuang?

Zay melangkah ke ujung batu yang menjorok ke sungai.

Satu langkah lagi, dan segalanya akan berakhir.

Tak akan ada yang merindukannya.

Tak akan ada yang menangisinya.

Tak akan ada yang peduli.

Ia menarik napas panjang, lalu...

Ia melompat.

Air menyambutnya dengan kejam.

Dingin menusuk hingga ke tulang, seakan langsung membekukan nadinya.

Tubuhnya terombang-ambing di dalam arus, tenggelam semakin dalam.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama...

Ia merasa damai.

Matanya mulai terpejam.

Perlahan, kesadarannya menghilang.

Lalu...

"Tolong!"

Sebuah suara menembus kegelapan.

Lemah, panik, hampir tenggelam bersama suara arus.

"Tolong aku!"

***

Udara pagi masih menusuk tulang, meski matahari mulai merayap di cakrawala. Embusan angin membawa aroma sungai yang khas—dingin, sedikit amis, dan penuh kelembapan.

Zay tergeletak di tepi sungai, bajunya basah kuyup dan menempel di kulitnya yang menggigil. Nafasnya tersengal, bukan hanya karena air sungai yang hampir menelannya, tetapi juga karena kenyataan yang baru saja terjadi.

Dia gagal.

Lagi.

Tepat di sampingnya, pria yang tadi ia selamatkan juga sama basahnya, sama terengah-engahnya, tapi terlihat jauh lebih santai.

Zay meliriknya. “Apa yang kau lakukan?” suaranya serak, penuh ketidakpercayaan.

Pria itu, yang masih terkapar dengan tangan di belakang kepala, hanya mengangkat bahu. “Aku? Aku cuma mengikuti aksimu.”

Dahi Zay berkerut. “Apa?”

Pria itu menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada seolah-olah ini hal yang masuk akal, “Setiap pagi aku berenang di sungai untuk melatih otot. Lalu tadi aku lihat kau terjun dengan gaya yang keren, jadi kupikir… wah, dia pasti juga latihan. Jadi aku ikut.”

Zay menatapnya dengan ekspresi kosong selama beberapa detik.

Lalu ia berkata dengan datar, “Kau… bodoh.”

Pria itu tertawa. “Aku sering mendengar itu.”

Zay masih tidak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Seluruh tubuhnya masih terasa dingin, bukan hanya karena air sungai, tapi juga karena kegagalan yang baru saja ia alami.

Namun melihat pria ini…

Orang asing yang dengan polosnya mengira ia melakukan olahraga ekstrem dan ikut-ikutan tanpa pikir panjang…

Itu… benar-benar konyol.

Tawa kecil lolos dari bibirnya.

“Pfft…”

Pria itu menoleh. “Hah?”

Zay tertawa lagi. Kali ini lebih keras. Tertawa getir, tawa putus asa, tawa yang tidak bisa ia tahan.

Pria itu menatapnya bingung, lalu ikut tertawa.

Mereka tertawa seperti orang gila, tergeletak di atas tanah basah, di tepi sungai yang hampir membunuh mereka.

Setelah beberapa saat, tawa mereka mereda, berganti dengan helaan napas panjang.

Pria itu bangkit, merentangkan tangannya. “Terima kasih, ya.”

Zay mendongak. “Untuk apa?”

“Sudah menyelamatkanku.”

Zay mencibir. “Itu karena kau bodoh.”

“Haha, aku tahu. Tapi tetap saja, aku berhutang nyawa padamu.”

Zay menghela napas dan menatapnya lebih jelas. Ini pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan wajah pria ini—rambutnya hitam acak-acakan, posturnya tinggi dengan bahu lebar, dan ada bekas luka samar di bawah dagunya.

“Siapa namamu?” tanya pria itu tiba-tiba.

Zay menatapnya, lalu menjawab pelan, “Zay.”

Pria itu menyeringai. “Darian.”

Mereka saling diam sebentar. Lalu Darian menyipitkan mata, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.

“Tunggu… seragam itu... kau sekolah di SMK Bintang Jaya, bukan?”

Zay berkedip. “Kelas berapa kau?”

“1-C.”

Zay langsung memasang ekspresi terkejut. “Aku di 1-A.”

Keduanya berpandangan selama beberapa detik.

Lalu secara bersamaan, mereka mengumpat,

“Anj*ng!”

Mereka benar-benar tidak sadar bahwa mereka satu sekolah.

Darian tertawa lagi, mengacak rambutnya sendiri. “Sial, dunia ini kecil sekali.”

Zay masih mencoba mencerna situasi absurd ini ketika Darian tiba-tiba bertanya,

“Kau tadi latihan… atau bunuh diri?”

Zay diam sebentar, lalu menjawab datar, “Aku akan mencoba bunuh diri yang lebih baik.”

Darian terkikik. “Jadi gagal, ya?”

Zay tidak menjawab.

Darian menghela napas, lalu bersandar ke batu besar di sampingnya. “Dengar, aku bukan motivator. Aku juga bukan orang yang bijak. Tapi kalau kau benar-benar mau mati…”

Zay menoleh, menunggu kalimat selanjutnya.

“Matilah setelah kau membalas dendam.”

Zay terdiam.

Membalas dendam.

Ia tak pernah memikirkan itu.

Ia hanya ingin menghilang.

Tapi jika ia bisa membalas semua rasa sakit yang ia terima…

Darian melihat ekspresi Zay yang berubah, lalu menyeringai.

“Kau mau tahu caranya?” tanyanya.

Zay mengangguk pelan.

Darian menepuk pundaknya, lalu berkata santai,

“Cari tahu sendiri. YouTube ada, ChatGPT ada."

"Hah?!"

"Itu kan masalahmu? Selesaikan sendiri. Kau sudah besar, kan?”

Zay menatapnya dengan ekspresi kosong.

Itu… adalah jawaban paling konyol yang pernah ia dengar.

Tapi entah kenapa, kalimat itu lebih memotivasinya daripada semua omong kosong yang pernah ia dengar seumur hidupnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun…

Sebuah api kecil menyala di dalam dirinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
About Us
2411      954     2     
Romance
Cinta segitiga diantara mereka...
Sarah
447      318     2     
Short Story
Sarah, si gadis paling populer satu sekolahan. Sarah yang dijuluki sebagai Taylor Swift SMU Kusuma Wijaya, yang mantannya ada dimana-mana. Sarah yang tiba-tiba menghilang dan \'mengacaukan\' banyak orang. Sarah juga yang berhasil membuat Galih jatuh cinta sebelum akhirnya memerangkapnya...
Dramatisasi Kata Kembali
664      337     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Deepest
941      559     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.
IMAGINE
347      243     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Mawar Putih
1403      736     3     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Terulang dan Mengubah
447      323     3     
Short Story
Seorang pekerja terbangun dan mengalami kejadian yang terulang-ulang. Bagaimanakah nasibnya?
Pelukan Ibu Guru
554      413     0     
Short Story
Kisah seorang anak yang mencari kehangatan dan kasih sayang, dan hanya menemukannya di pelukan ibu gurunya. Saat semua berpikir keduanya telah terpisah, mereka kembali bertemu di tempat yang tak terduga.
CATATAN DR JAMES BONUCINNI
2755      893     2     
Mystery
"aku ingin menawarkan kerja sama denganmu." Saat itu Aku tidak mengerti sama sekali kemana arah pembicaraannya. "apa maksudmu?" "kau adalah pakar racun. Hampir semua racun di dunia ini kau ketahui." "lalu?" "apa kau mempunyai racun yang bisa membunuh dalam kurun waktu kurang dari 3 jam?" kemudian nada suaranya menjadi pelan tapi san...
Took A Step Back
1469      829     2     
Short Story
Turning sadness to happiness with a step.