Sangho berdiri di luar kamar Dami, mendengarkan suara piring yang bergesekan dengan meja. "Song Dami! Makan malam sudah siap!" serunya, berharap adiknya akan mendengar dan segera keluar.
"Ne, Oppa!" Dami menjawab, suaranya terdengar samar dari dalam. Dia menatap bayangannya di cermin, matanya berfokus pada sosok yang semakin kurus. Rona wajahnya pucat, dan tulang pipinya terlihat lebih menonjol dari biasanya. Hatinya bergejolak, menyadari betapa banyaknya hal yang telah hilang.
Tangan Dami mulai mengelus permukaan tangannya sambil berdiri di depan cermin, meneliti luka kecil yang hampir tidak terlihat di lengan kanannya. Luka bekas goresan itu, sebuah kenangan pahit dari masa lalu, terasa seperti bagian dari dirinya yang ingin dia lupakan. Sebuah pemikiran menyusup dalam hatinya, bagaimana rasanya jika ia menggoresnya lagi?
Tapi saat itu, suara Sangho kembali memanggilnya, dan Dami terjaga dari lamunannya. "Dami-ya, ayo! Makan sebelum makanannya dingin!"
Dengan berat hati, ia menarik tangannya dari luka itu dan menghela napas. "Iya, Oppa. Aku datang!"
Dia melangkah keluar, berusaha menutupi rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Sangho sudah menunggu di meja makan, wajahnya terlihat cemas.
"Semoga kau tidak makan terlalu banyak junk food di luar. Kau harus menjaga kesehatanmu," katanya sambil menyajikan makanan di piring.
Dami hanya tersenyum tipis, tetapi pikirannya kembali melayang. "Sebenarnya, aku tidak lapar, Oppa."
Sangho menatapnya, sorot khawatir di matanya. "Kau harus makan. Ini penting untukmu. Kita bisa bicara tentang apa pun yang kau mau."
"Bisa... bisa kita tidak membahas itu sekarang?" Dami memohon, berusaha menghindari topik yang selalu menekan hatinya.
"Baiklah, kalau itu yang kau mau." Sangho mengangguk, tetapi kerisauan di wajahnya tetap terlihat. "Tapi ingat, aku di sini untukmu, Dami-ya. Kapan saja kau butuh bicara."
Dami mengangguk dan berusaha tersenyum, tetapi dia tahu bahwa semua yang dia rasakan tidak akan hilang hanya dengan satu pertemuan. Dia melanjutkan makan dengan perasaan hampa, berpura-pura menikmati setiap suapan.
***
Setelah makan malam, Dami merasa gelisah. Dia pergi dari rumah, menyusuri jalan yang menuju jembatan Sungai Han. Kakinya bergerak tanpa tujuan, langkahnya terasa berat. Setiap langkah membawanya lebih jauh dari rumah dan lebih dekat ke kenangan yang menyakitkan.
Sampai di tepi jembatan, air Sungai Han mengalir tenang di bawahnya. Dami menatap air yang mengalir, pikirannya kembali terjebak dalam kenangan-kenangan yang membebani. Air mata mengalir tanpa henti, membuat napasnya terasa sesak.
"Hari-hari ini tidak ada yang bisa kujalani lagi," bisiknya pelan, suara hatinya penuh dengan keputusasaan. "Jian-ah, aku sangat merindukanmu."
Tiba-tiba, suara ponsel di saku celananya berbunyi nyaring, mengganggu kesunyian yang menyelimuti. Dami mengambil ponselnya dan melihat nama Sangho muncul di layar. "Ne, Oppa?" jawabnya dengan suara yang terputus-putus.
"Dami-ya, kau di mana?" suara Sangho terdengar cemas. "Kau bilang akan pergi sebentar, tapi sudah lama sekali."
"Aku di jembatan Sungai Han," suara Dami mulai bergetar, nafsunya untuk menangis kembali muncul. "Aku hanya... hanya ingin berpikir."
"Dami-ya!" nada suara Sangho semakin panik. "Tolong, jangan lakukan sesuatu yang bodoh. Kau harus kembali. Aku akan segera ke sana."
"Tapi... aku merasa tidak ada lagi yang tersisa untukku, Oppa." Dami bergetar, air mata jatuh bebas. "Jian... semua kenangan itu, tidak ada yang bisa menggantikan."
"Dami-ya, jangan katakan itu! Kau tidak sendirian. Aku di sini untukmu. Beri aku waktu, dan kita bisa bicara—"
Dami menatap ke arah air Sungai Han yang mengalir deras, perasaannya seperti terperangkap di antara harapan dan keputusasaan. Semua suara di sekelilingnya mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah suara hati yang berbisik. Dalam sekejap, pemikiran untuk melompat muncul dalam benaknya.
Dengan setiap detik yang berlalu, rasa sakit di dalam hati Dami semakin menyengat. Dia tidak ingin merasakan semua ini lagi. Melihat ke bawah, air di Sungai Han tampak seolah mengundangnya, menjanjikan kedamaian yang selama ini dia cari.
"Mianhae, Oppa." Dami membisikkan, air mata terus mengalir. Dia tahu keputusan ini akan menghancurkan Sangho, tetapi dia merasa terlalu lelah untuk berjuang.
Kemudian, dengan satu langkah mantap, Dami melompat dari jembatan Sungai Han.
Di saat Dami melompat, waktu seolah melambat. Dia merasa seolah terlepas dari segala beban dan sakit yang menggerogoti jiwanya. Air Sungai Han semakin dekat, dan saat ia merasakan udara menyentuh wajahnya, hatinya seolah terlepas dari semua rasa sakit.
Sebelum dia menyentuh air, sebuah pikiran terlintas di benaknya—apakah ini benar-benar yang dia inginkan? Dalam momen itu, segala sesuatu terbayang jelas: kenangan bersama Jian, tawa dan air mata, semua momen yang penuh makna.
Tapi semuanya sudah terlambat. Dia terjatuh ke dalam air yang dingin, merasakan ketenangan yang aneh saat air menyelimutinya.