Dami terbangun dengan napas yang terengah-engah. Pandangannya kabur sejenak, tetapi perlahan bayangan samar itu berubah menjadi nyata—ruangan putih dengan bau antiseptik yang menusuk. Dia berada di rumah sakit. Lagi. Kepalanya berdenyut saat ingatan kembali menghantamnya tanpa ampun.
"Jian-ah..." bisiknya pelan, lalu tangis itu pun meledak. Semua kenangan yang ia coba kubur dalam-dalam berkelebat begitu cepat. Jian yang memohon pertolongannya, Jian yang menangis di telepon, dan Jian yang terakhir kali terlihat berdiri di tepi sungai dengan mata yang kosong. Jian yang tidak bisa ia selamatkan.
Tangis Dami semakin keras, mengundang perhatian Seungjae yang duduk di samping tempat tidur. "Dami-ssi, hei, hei, tenanglah," Seungjae buru-buru mengulurkan tangan dan membelai kepala Dami lembut. Sentuhannya ringan, seolah takut membuat Dami semakin rapuh.
"Kau... bagaimana perasaanmu sekarang? Sakit di mana?" tanyanya dengan cemas, memegang tangan Dami erat. "Kau haus? Ingin sesuatu?"
Namun, Dami tidak menjawab. Dia hanya menunduk, kedua tangan memegang erat rambutnya, tubuhnya terguncang karena tangis yang seolah tak kunjung habis. Seungjae segera berdiri, matanya panik saat memanggil perawat dan dokter. "Tolong, dia sudah bangun... dia butuh bantuan!"
Seusai dokter memeriksa kondisinya, memastikan bahwa Dami hanya mengalami dehidrasi dan tidak ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan, dokter itu pun keluar. Di saat yang sama, pintu kamar terbuka dan Sangho masuk dengan langkah tergesa.
"Dami-ya!" serunya, pandangan khawatirnya segera berubah menjadi penuh kesedihan saat melihat adiknya kembali menangis. Seungjae buru-buru memberi ruang untuk kakak beradik itu dengan dia mundur agar Sangho bisa di samping Dami.
"Oppa..." Dami mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. "Aku... aku ingat semuanya," suaranya bergetar, seolah kata-kata itu sendiri menusuk dadanya. "Aku ingat... Jian... Jian sudah tidak ada... karena aku, Oppa. Karena aku..."
Sangho hanya bisa berdiri di sana, matanya berkaca-kaca. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa menyangkal perasaan bersalah itu ketika melihat betapa hancurnya adiknya?
"Semua salahku... aku yang membunuhnya... aku yang membuat Jian..." Dami mulai tersengal, tangisnya berubah menjadi teriakan penuh keputusasaan. Sangho segera memeluk adiknya, mencoba menenangkannya.
"Tidak, Dami-ya. Ini bukan salahmu. Jian... dia... dia memiliki masalahnya sendiri. Kau tidak bisa menyalahkan dirimu seperti ini. Kumohon, Dami-ya."
Tetapi Dami menggeleng keras. "Aku tidak pantas hidup. Aku tidak pantas ada di sini... kenapa aku yang di sini dan bukan dia?" Tangisnya kembali pecah, tubuhnya bergetar hebat. "Kenapa aku masih hidup?"
Sangho terisak pelan. Dia tahu kata-kata tidak akan bisa menghibur Dami sekarang. Perlahan, dia menarik napas dan dengan suara yang bergetar, berkata, "Dami-ya, bagaimana kalau... kalau kita mencoba untuk mencari bantuan profesional? Aku tidak mau melihatmu seperti ini lagi. Bagaimana jika... kita pergi menemui psikiater?"
Dami terdiam sejenak, lalu dengan suara kecil, ia berkata, "Apa gunanya, Oppa?"
"Aku hanya ingin kau... bisa merasa lebih baik. Meskipun sedikit. Aku hanya ingin kau tidak menderita seperti ini. Jika itu berarti kau harus dirawat di sana... aku akan menemanimu. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Dan untuk pertama kalinya, Dami mengangguk. "Baiklah, Oppa. Aku akan pergi."
***
Dami mulai dirawat di bawah pengawasan ketat psikiater di rumah sakit jiwa. Dokter psikiater yang menanganinya, Dr. Choi, adalah wanita paruh baya dengan senyum hangat yang tidak terlalu lebar. Sejak awal, Dr. Choi menggunakan pendekatan yang penuh kesabaran dan empati untuk mendekati Dami.
"Kau tahu, Dami-nim," Dr. Choi membuka sesi pertamanya dengan suara lembut, "apa yang kau alami bukan hal yang aneh. Perasaan bersalah yang kau rasakan adalah hal yang umum pada orang yang kehilangan seseorang dengan cara tragis. Tapi, kita tidak bisa membiarkan perasaan itu menguasai hidupmu, bukan?"
Dami menunduk, tangan gemetar di pangkuannya. "Tapi... aku memang penyebabnya. Jika aku mendengarkannya... jika aku tidak..."
"Jika, jika, dan jika." Dr. Choi menghela napas panjang. "Tapi kenyataannya, apa yang terjadi sudah terjadi, Dami-nim. Dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya. Tugas kita sekarang adalah mencari cara agar kau bisa hidup bersama kenangan itu tanpa membiarkan rasa bersalah memakanmu dari dalam."
Seiring waktu, Dr. Choi mulai memperkenalkan terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy) untuk membantu Dami memproses rasa bersalahnya. Setiap minggu, mereka berbicara tentang pikiran-pikiran negatif yang muncul di kepala Dami—tentang bagaimana ia selalu merasa tidak berharga, tentang bagaimana ia berpikir lebih baik mati saja. Dr. Choi membantu Dami menantang pemikiran-pemikiran tersebut, menggantinya dengan pandangan yang lebih realistis.
"Jika Jian ada di sini sekarang, apa yang akan dia katakan padamu?" tanya Dr. Choi suatu hari.
Dami terdiam, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Dia... dia pasti marah..."
"Karena?"
"Karena aku terus menyalahkan diriku. Jian pasti tidak suka aku menderita seperti ini." Dami menarik napas, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit perubahan di wajahnya. "Dia akan bilang aku bodoh."
Dr. Choi tersenyum kecil. "Tepat sekali. Jian tidak akan ingin kau terus hidup seperti ini. Dia akan ingin kau menemukan kebahagiaanmu sendiri, meskipun dia sudah tidak ada."
Selain terapi CBT, Dr. Choi juga memberikan Dami pengobatan antidepresan dengan dosis rendah, untuk membantu menstabilkan suasana hatinya. Setiap hari, tim medis memantau perkembangan emosinya, memastikan bahwa tidak ada efek samping yang muncul. Dami juga diminta untuk mulai menulis di jurnal—sebuah aktivitas sederhana yang ternyata membantu Dami untuk mengekspresikan perasaannya yang sulit ia ucapkan.
***
Setelah berminggu-minggu perawatan intensif, akhirnya Dami dinyatakan cukup stabil untuk pulang. Sangho dan Seungjae menjemputnya di rumah sakit, membawa pulang perempuan yang terlihat lebih tenang, meski tetap ada kesedihan yang mendalam di matanya.
Begitu sampai di kamarnya, Dami terdiam di ambang pintu, menatap foto-foto dirinya dan Jian yang masih tergantung di dinding. Sangho bergerak cepat, hendak menurunkan foto-foto itu, tetapi Dami menghentikannya.
"Oppa, jangan. Biarkan saja di sana."
"Kau yakin?"
Dami mengangguk pelan, menghela napas panjang. "Aku... akan belajar hidup dengan kenangan ini. Aku tidak akan lari lagi."
Dengan perlahan, Dami melangkah ke dalam kamarnya dan menatap foto Jian dengan tatapan penuh luka, tetapi tidak lagi hancur seperti dulu. "Jian-ah... aku akan mencoba hidup untuk kita berdua."