Ruangan itu terasa sunyi, seakan-akan semua suara tersedot keluar meninggalkan keheningan yang menyakitkan. Dami duduk di sudut kamar, matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai. Hari-hari telah berlalu sejak kejadian tragis itu, tetapi Dami masih tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan. Setiap pagi, dia hanya bangun untuk sekadar minum air, lalu kembali ke tempat tidur tanpa menyentuh makanan apa pun.
Sangho memandang dari kejauhan, hatinya terasa hancur melihat keadaan adiknya. Sebagai kakak, ia tahu betul bagaimana adiknya biasanya penuh semangat, selalu tersenyum cerah. Namun kini, gadis itu seolah sudah kehilangan cahaya hidupnya. Berulang kali Sangho mencoba membujuk Dami untuk makan, tapi usahanya selalu berakhir dengan kegagalan.
"Dami-ya, ayo makan sedikit, hm?" suara Sangho bergetar, penuh harapan. Dia memegang semangkuk bubur di tangannya, aroma hangatnya mengisi ruangan yang dingin.
Namun, Dami hanya menatap Sangho dengan tatapan kosong. Dia menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke dinding di hadapannya. "Aku tidak mau makan," gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang putus asa.
"Setidaknya sesuap saja, Dami. Kumohon..." Sangho mendekatkan sendok ke bibir adiknya, berusaha agar Dami bisa mencicipi sedikit saja.
Namun, reaksi Dami sangat keras. Dengan satu gerakan cepat, dia menepak tangan Sangho, membuat mangkuk di tangan kakaknya jatuh dan bubur tumpah ke lantai. Tatapannya tiba-tiba menjadi tajam, penuh dengan emosi yang terpendam. "Aku tidak pantas makan! Aku tidak berhak!" jeritnya tiba-tiba, membuat Sangho terkejut dan mundur beberapa langkah.
"Dami-ya, jangan bilang seperti itu. Jian tidak akan menginginkan kau seperti ini—"
"Jangan sebut namanya!" potong Dami, suaranya melengking penuh rasa sakit. Dia menggigit bibir bawahnya, air mata yang sejak tadi tertahan kini mengalir deras di pipinya. "Aku... Aku tidak pantas hidup! Jian pergi... karena aku... semuanya salahku! Kalau aku tidak berkata seperti itu, kalau saja aku bisa langsung mendatanginya saat itu..." tangis Dami pecah, tubuhnya bergetar hebat.
Sangho tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menatap adiknya yang tenggelam dalam penderitaan. Dengan hati-hati, dia mendekat lagi, berlutut di depan Dami. "Kau pantas hidup, Dami. Kau pantas untuk sembuh dan bahagia," bisiknya penuh keteguhan, meskipun matanya sendiri basah oleh air mata.
Dami hanya menggeleng. "Aku tidak akan makan... Jian tidak akan pernah bisa makan lagi... Aku tidak mau makan," suaranya melemah, berubah menjadi isakan lemah. Sangho memejamkan matanya, berusaha menahan rasa sakit yang juga menghimpit hatinya. Dengan perlahan, dia mengangkat sendok lagi dan mencoba menyuapkan ke mulut Dami.
Namun, gadis itu tetap menolak, memalingkan wajahnya. Terkadang, Sangho sampai harus memaksa, menyuapi adiknya meskipun Dami melawan dengan air mata yang mengalir tanpa henti.
"Aku akan terus di sini untukmu, Dami. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerah. Bahkan jika kau menolak, aku tetap akan mencoba. Karena aku adalah kakakmu... dan aku tidak ingin kehilanganmu juga," suara Sangho tegas namun penuh kasih, seolah mencoba menghapus semua luka di hati adiknya.
***
Malam itu, Sangho bangun dengan perasaan tidak enak. Ada sesuatu yang salah, firasat yang membuatnya tiba-tiba terjaga di tengah malam. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan pelan ke kamar Dami. Ketika membuka pintu kamar adiknya, ia mendapati ruangan itu kosong. Hatinya mencelos. "Song Dami?" panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Dengan napas yang semakin memburu, Sangho berjalan menyusuri rumah, mencari adiknya. Hingga akhirnya, dia melihat pintu kamar mandi terbuka sedikit, dan terdengar suara gemericik air yang terus mengalir. Sangho menelan ludah, tangannya bergetar saat mendorong pintu itu.
"Dami-ya!" serunya, suaranya pecah saat melihat pemandangan di depannya.
Dami terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya gemetar, dan di sampingnya, bath tub mulai diisi dengan air yang berwarna merah. Sangho merasa lututnya lemas ketika melihat garis merah di pergelangan tangan adiknya. Pisau cukur tergeletak tak jauh dari sana, menyisakan jejak tindakan putus asa Dami. Dia segera melompat, meraih Dami dan memeriksa denyut nadinya. Masih ada... tapi lemah.
"Dami-ya, bangun! Kumohon, jangan lakukan ini padaku... jangan tinggalkan aku," isaknya, suaranya terdengar parau. Tanpa membuang waktu, Sangho segera mengangkat tubuh Dami yang lemas, berlari keluar dari rumah menuju mobilnya.
Jalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang. Selama perjalanan, Sangho terus menggenggam tangan adiknya yang dingin, berusaha berbicara meskipun tahu bahwa Dami tidak bisa mendengarnya.
"Aku di sini, Dami-ya... Kumohon, bertahanlah. Kumohon..." bisiknya, air matanya mengalir tanpa henti.
Sesampainya di rumah sakit, Dami langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Sangho hanya bisa menunggu di luar dengan perasaan yang seakan terkoyak. Dia berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Setelah sekian lama, seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.
"Dia akan baik-baik saja untuk saat ini. Beruntung kau menemukannya tepat waktu," kata sang dokter. Sangho merasa tubuhnya melemas mendengar itu. Bahu yang sejak tadi tegang perlahan merosot.
"Bolehkah aku menemuinya?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dokter itu mengangguk. "Dia belum sepenuhnya sadar, tapi kau bisa menunggu di sana. Hati-hati saja, kondisinya masih sangat rapuh."
Sangho mengangguk, lalu bergegas menuju kamar tempat Dami dirawat. Gadis itu terbaring di ranjang, wajahnya pucat. Sangho duduk di sampingnya, menggenggam tangan adiknya dengan hati-hati. "Aku di sini, Dami... Kumohon, bangunlah," bisiknya pelan.
Beberapa jam kemudian, Dami perlahan membuka matanya. Tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya beralih ke arah Sangho yang masih setia menunggunya.
Dami terbangun di rumah sakit, kelopak matanya terasa berat saat ia membuka mata. Sejenak, ruangan putih yang dingin itu membuatnya bingung, tetapi saat melihat sosok Sangho di sebelah ranjangnya, ia tersenyum tipis.
"Oppa..." bisiknya lemah.
Sangho, yang semula tertidur di kursi, segera bangun. "Dami-ya... Kau sudah sadar?" Raut lega dan bahagia tergambar jelas di wajahnya. "Tunggu sebentar, aku akan panggil perawat."
Namun, sebelum ia bisa berdiri, tangan Dami menggenggam erat lengan bajunya. "Aku haus, Oppa. Bisa tolong ambilkan minum?"
Permintaan sederhana itu membuat Sangho terdiam sejenak. Ia tidak tahu mengapa, tetapi tiba-tiba dadanya terasa sesak. Sudah berapa lama ia tidak mendengar Dami meminta sesuatu darinya? Perlahan, ia mengangguk dan segera mengambil segelas air dari meja di sebelah ranjang.
"Minumlah perlahan, kau baru saja...," suaranya terhenti, dan ia terpaksa menelan sisa kalimatnya. "...mengalami dehidrasi."
Dami menyesap air itu perlahan, bibirnya mengerut sejenak sebelum akhirnya ia meneguknya dengan cepat. "Terima kasih, Oppa." Senyumnya begitu lemah, tetapi itu sudah cukup untuk membuat Sangho merasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
"Dami, bagaimana perasaanmu?" tanyanya lembut, mencoba mencari tanda-tanda bahwa adiknya baik-baik saja.
"Lebih baik," jawab Dami pelan.
"Tidurlah lagi," katanya lembut, membelai rambut Dami. "Kau butuh istirahat."
"Oppa tidak akan pergi, kan?" tanya Dami, matanya yang mulai terpejam masih memancarkan rasa takut ditinggal.
"Tidak. Aku akan di sini, bersamamu," jawab Sangho, menggenggam tangan Dami erat.
Dan di sanalah ia, duduk di samping ranjang adiknya yang tertidur, berusaha menenangkan diri. Satu sisi dirinya lega karena Dami sudah mau makan dan berbicara.