Sore itu, Sangho duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada pintu depan, menunggu dengan cemas. Sudah beberapa jam berlalu sejak Dami pergi, dan ia belum juga kembali. Perasaannya bercampur antara khawatir dan tak berdaya. Ia tahu adiknya sedang melalui masa yang sulit, terutama setelah apa yang terjadi, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu.
Ketika akhirnya pintu terbuka, Dami melangkah masuk. Wajahnya sembab, matanya merah dan bengkak, menandakan bahwa ia telah menangis sepanjang jalan pulang. Sangho langsung bangkit dari sofa, bergegas menghampiri adiknya.
"Dami-ya..." panggil Sangho pelan, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Dami tidak menjawab, tapi tubuhnya terlihat lunglai, seperti tidak punya tenaga lagi. Sangho tanpa ragu memeluknya erat, dan seketika itu juga Dami kembali menangis di pelukan kakaknya. Suara tangisnya pecah, mengisi keheningan ruangan. Isakannya terdengar begitu menyayat, membuat hati Sangho ikut terasa hancur.
"Aku... aku tidak percaya, Oppa," isaknya di sela-sela tangisnya. "Aku tidak percaya Jian sudah tidak ada. Aku baru aja ketemu dia, kita ngobrol, kita jalan bareng... bagaimana mungkin dia sudah tiada?"
Sangho mengusap punggung Dami dengan lembut, menahan air matanya yang ikut menggenang. Rasanya begitu sakit mendengar kesedihan adiknya, tapi ia tahu ia harus kuat. Untuk Dami.
"Ara, Dami-ya... Himdeun go ara," kata Sangho dengan suara bergetar. "Tapi kita akan melewati ini. Kau tidak sendiri.an" (Aku tahu, Dami. Aku ini ini berat)
Dami hanya menangis semakin keras. Sangho memeluknya lebih erat, mencoba menyalurkan seluruh kasih sayangnya lewat pelukan itu. Air matanya akhirnya jatuh juga. Keduanya menangis bersama dalam keheningan yang penuh dengan rasa kehilangan.
Setelah beberapa saat, Sangho melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun ia enggan. "Besok kita ke psikiater, ya?" ujarnya lembut. "Aku tidak mau kau hadapi ini sendirian."
Dami tidak memberikan jawaban yang jelas. Sangho bisa melihat bahwa adiknya terlalu lelah dan bingung untuk merespons saat itu. Ia mencoba tersenyum dan berkata, "Aku ambilin air dulu, ya."
Namun saat Sangho berbalik untuk mengambil air, Dami bergerak cepat. Ia segera menuju kamarnya dan dengan cepat mengunci pintu. Sangho terkejut dan berlari menghampiri pintu kamar Dami.
"Dami-ya! Jangan kunci pintunya! Yaegi jom haja! Eo?" teriak Sangho, mengetuk pintu dengan panik. Tapi tidak ada jawaban dari dalam. Hanya sunyi. "Dami-ya! Song Dami!"
***
Hari pertama setelah Dami mengunci diri di kamarnya, Sangho berusaha keras membujuknya untuk keluar. Ia berdiri di depan pintu kamar adiknya, mengetuk dengan lembut, berharap ada jawaban.
"Dami-ya, ayo buka pintunya," kata Sangho dengan nada penuh perhatian. "Kau belum makan sejak kapan. Aku bawa makanan kesukaanmu. Ayo, cuma sebentar saja keluar."
Tapi dari balik pintu, tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin membuat Sangho khawatir. Dia tahu Dami sedang sangat terpukul, tapi dua hari tanpa makan dan minum bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.
Sangho mencoba lagi keesokan harinya. Ia mengetuk pintu kamar Dami lebih keras kali ini, dengan suara yang hampir terdengar putus asa. "Dami, ini sudah dua hari, kau belum makan atau minum apa pun. Tolong, aku tidak bisa tenang kalau kau seperti ini."
Tetap tidak ada jawaban.
Air mata mulai menggenang di mata Sangho. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Dami-ya, jebal... Aku takut terjadi sesuatu denganmu di dalam. Jebal, mun yeol rago." (Tolong, buka pintunya)
Sangho bahkan sempat memohon, suaranya bergetar dan terdengar hampir putus asa. Dia merasakan kesedihan mendalam melihat adiknya menderita seperti ini, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain terus mencoba berbicara dengan Dami.
"Aku mohon, Dami-ya... Kumohon. Ini sudah dua hari kau tidak keluar, kau butuh makan, kau butuh minum," suara Sangho hampir pecah saat ia terus mengetuk pintu, namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Dia hanya bisa mendengar suara samar tangisan dari dalam kamar, suara yang begitu lemah dan hampir tidak terdengar.
Di balik pintu, Dami hanya terbaring di lantai. Matanya basah dan sembab karena terlalu banyak menangis. Di tangannya, ia menggenggam album foto yang berisi kenangan-kenangan bersama Jian. Setiap kali ia membuka album itu, melihat foto-foto mereka berdua, hatinya kembali hancur. Air mata yang sudah kering tiba-tiba mengalir lagi.
Begitulah yang terjadi selama dua hari. Dami akan menangis sampai tertidur, lalu terbangun dan kembali menangis sambil melihat foto-foto itu. Suara Sangho yang terus memanggilnya di luar hanya terdengar samar. Ia tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Hatinya terlalu sakit untuk merespons.
***
Hari ketiga, Sangho benar-benar sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dami tidak memberikan tanda-tanda ingin keluar, dan ia sangat khawatir dengan kondisi adiknya yang tidak makan atau minum selama tiga hari. Dengan rasa panik, ia memutuskan untuk memanggil Seungjae, sahabat Dami yang mungkin bisa membantu.
Begitu Seungjae tiba, Sangho segera menjelaskan situasinya. "Aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Dami sudah tiga hari tidak mau keluar, bahkan tidak mau makan atau minum. Aku takut terjadi sesuatu."
Seungjae, yang sama khawatirnya, langsung menuju pintu kamar Dami. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati dan berbicara dengan lembut.
"Dami-ssi, na ya, Seungjae. Tolong buka pintunya. Aku di sini untukmu. Kita bisa ngobrol kalau kau mau," kata Seungjae, suaranya lembut namun penuh dengan kepedulian.
Tapi seperti yang Sangho alami sebelumnya, tidak ada jawaban dari dalam. Bahkan tidak ada suara tangisan lagi. Keheningan itu membuat suasana semakin mencekam.
Sangho mulai semakin panik. "Biasanya ada suara isak tangis, tapi sekarang tidak ada suara sama sekali," bisiknya kepada Seungjae. "Aku takut terjadi sesuatu yang buruk."
Seungjae berpikir sejenak sebelum membuat keputusan yang mungkin tampak drastis. "Kalau tidak ada suara, kita harus lakukan sesuatu sekarang."
Sangho hanya bisa mengangguk. Mereka tidak punya kunci cadangan untuk kamar Dami, dan satu-satunya cara untuk masuk adalah dengan mendobrak pintu. Seungjae mengambil napas dalam-dalam sebelum menendang pintu dengan sekuat tenaga. Pintu itu bergetar keras, namun masih tidak terbuka.
Sekali lagi, Seungjae mencoba mendobrak pintu itu, dan kali ini, pintu itu terbuka dengan suara keras. Sangho dan Seungjae langsung menerobos masuk, dan apa yang mereka lihat membuat jantung mereka berhenti sesaat.
Dami terbaring di lantai, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya yang biasanya sehat tampak kurus, tanda bahwa ia tidak makan dengan baik selama beberapa hari terakhir. Tangannya masih memegang album foto, dan matanya tertutup, seperti sedang tertidur.
"Dami-ya!" teriak Sangho dengan panik, berlutut di samping adiknya. Namun Dami tidak memberikan reaksi apa pun.
Seungjae segera bergerak cepat. Ia memeriksa denyut nadi Dami, dan meskipun ia merasakan denyut yang lemah, ia tahu Dami harus segera dibawa ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, ia menggendong tubuh lemah Dami ke luar kamar.
"Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang," kata Seungjae tegas, dan Sangho hanya bisa mengangguk, masih diliputi kepanikan. Mereka bergegas keluar dari rumah, harapan mereka hanya satu: Dami harus selamat.
Sangho terus memegang tangan Dami erat-erat sepanjang perjalanan, berharap adiknya segera bangun dan semua ini berakhir.