Setelah menghabiskan waktu di panti asuhan, Seungjae dan Dami kembali menuju mobil. Suasana sore yang sejuk terasa lebih damai setelah hari yang penuh canda tawa bersama anak-anak. Saat mereka mendekati mobil, Seungjae dengan santai melepaskan jaketnya dan menyerahkannya kepada Dami.
"Pakailah ini, di luar dingin," katanya, tanpa memberikan Dami kesempatan untuk menolak.
Dami menerimanya dan perlahan memakai jaket itu di tubuhnya. Bau khas yang lembut dan hangat dari jaket Seungjae memenuhi hidungnya, membuat jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat. Dia merasa seolah-olah dipeluk secara tidak langsung—pikiran yang membuatnya tersipu malu. Ini konyol, batinnya.
Dia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran yang aneh itu. Seungjae kemudian mulai menyetir, membiarkan Dami tenggelam dalam keheningan. Mobil melaju perlahan di jalanan yang mulai gelap, ditemani deru mesin yang tenang. Sepanjang perjalanan, Dami hanya diam, menatap ke luar jendela, seolah mencari sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Jantungnya masih berdetak tidak karuan, dan dia sama sekali tidak ingin melihat ke arah Seungjae.
Tapi, keheningan itu akhirnya terpecah oleh suara Seungjae. "Kau tidak lelah melihat ke samping terus?" tanyanya dengan nada bercanda, tanpa melepaskan pandangannya dari jalan.
Dami meliriknya sebentar, lalu kembali menatap jendela. "Tidak," jawabnya pelan, sambil berharap Seungjae tidak menyadari kegelisahan yang terselip di balik suaranya. Sejak tadi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Jantungnya belum juga berhenti berdegup kencang, dan dia tidak yakin kenapa. Pikiran tentang wangi jaket itu terus membayangi.
Sambil terus menatap ke luar jendela, Dami akhirnya memecah keheningan. "Kau berbeda saat bekerja dan saat bermain," ucapnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Seungjae menoleh sedikit, penasaran. "Maksudnya?"
Dami menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjelaskan. "Biasanya kau terkesan menyebalkan dan sulit didekati. Tapi saat di panti tadi... kau terlihat nyaman, dan kau terlihat senang sekali bermain dengan anak-anak."
Seungjae tersenyum tipis. "Dan kau senang melihatku seperti itu?" tanyanya, setengah menggoda, setengah serius.
Tanpa berpikir panjang, Dami menjawab, "Tentu saja." Setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, Dami menyadari betapa cepatnya dia menjawab. Wajahnya memerah lagi, dan dia merasa semakin canggung.
Seungjae tertawa kecil mendengar jawaban Dami yang cepat. "Baiklah," katanya sambil tetap fokus pada jalan. "Aku akan berusaha lebih sering seperti itu di depanmu, agar kau nyaman."
Perkataan Seungjae itu seperti tamparan halus bagi Dami. Seketika, jantungnya kembali berdegup lebih kencang. Mengapa dia merasa begini? Rasanya sangat menyebalkan.
Kenapa dia harus mengatakan hal seperti itu?
Dami menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikiran tentang Seungjae, senyumnya, dan kehangatan jaketnya tak mau pergi.
***
Perjalanan mereka berakhir di depan rumah Dami. Saat mobil berhenti, Dami membuka pintu dan turun dengan cepat, tanpa menatap Seungjae sama sekali. Dia hanya mengucapkan salam singkat sebelum berjalan masuk ke rumahnya, meninggalkan Seungjae yang masih duduk di dalam mobil dengan dahi berkerut, kebingungan. Tak memberi kesempatan pada Seungjae untuk berpamitan juga. Padahal sebenarnya ia ingin mengingatkan Dami terkait jaketnya itu.
Sesampainya di dalam rumah, Dami melepas jaket Seungjae dan menggantungnya di kursi. Dia merasakan desiran aneh di dadanya setiap kali mengingat kejadian tadi. Tak tahan dengan rasa bingung yang semakin mengganggu pikirannya, Dami mengeluarkan ponselnya dan menelepon Jian, sahabatnya.
"Jian-ah, bappa?" tanya Dami setelah panggilan tersambung. (Sibuk?)
"Ani, wae? Suaramu terdengar aneh. Ada yang terjadi?"
Dami menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku merasa aneh hari ini."
"Aneh bagaimana?" tanya Jian, suaranya terdengar penuh perhatian di ujung sana.
"Molla. Seungjae meminjamkan jaketnya padaku tadi, dan sepanjang jalan pulang... aku merasa jantungku berdegup kencang. Dan wangi jaketnya... entah kenapa membuatku jadi... isanghae."
Jian tertawa kecil. "Oh, Dami. Sepertinya kau sedang mengalami gejala klasik seseorang yang sedang jatuh cinta."
Dami terkejut mendengar ledekan itu. "Mwo?! Tidak mungkin!" balasnya cepat, tapi kata-katanya terdengar kurang meyakinkan bahkan bagi dirinya sendiri.
"Oh, ayolah! Wangi jaketnya membuatmu gugup? Jantungmu berdebar-debar setiap kali dia bicara? Kau jelas sedang menyukai Seungjae-ssi!" Jian tidak berhenti tertawa, senang dengan kesempatan untuk menggodanya.
"Aniya! Anil geol!" bantah Dami, merasa wajahnya mulai memanas karena malu. "Dia menyebalkan dan selalu membuatku kesal. Tidak mungkin aku menyukainya!" (Tidak! Tidak mungkinlah!)
"Hmm, denial," Jian berkata dengan nada menggoda. "Semakin kau menyangkal, semakin itu terdengar jelas, Dami-ya."
Dami memijat pelipisnya, tidak tahan mendengar ledekan Jian yang semakin menjadi-jadi. "Tidak, aku serius! Aku tidak menyukainya!"
"Tentu saja kau tidak, hanya saja wangi jaketnya membuat jantungmu berdetak, dan kau tersipu setiap kali dia tersenyum, bukan?" Jian semakin memperparah suasana dengan tawa kecilnya.
Dami merasa semakin salah tingkah. Dia ingin membantah lebih keras, tapi kata-kata Jian ada benarnya. Dia memang merasa aneh saat bersama Seungjae tadi, dan bahkan sekarang, pikiran tentang jaket dan kata-kata Seungjae masih berputar di kepalanya.
"Na jalge," kata Dami akhirnya, berusaha mengakhiri percakapan itu sebelum Jian bisa meledeknya lebih jauh. (Aku akan tidur)
"Baiklah, baiklah. Tapi Dami-ya, satu nasihat dariku. Cobalah untuk jujur pada dirimu sendiri, ya? Mungkin perasaanmu terhadap Seungjae-ssi tidak seburuk yang kau kira."
Dami terdiam sesaat, memikirkan kata-kata Jian. Tapi dia terlalu malu untuk mengakui apapun. "Selamat malam, Jian," katanya singkat sebelum memutuskan panggilan.
Setelah telepon berakhir, Dami menatap ponselnya. Sebuah perasaan campur aduk membanjiri pikirannya. Seungjae, jaket itu, wangi yang melekat, dan senyumnya—semuanya berbaur menjadi satu kekacauan dalam benaknya.
Dengan frustrasi, Dami menelungkupkan wajahnya di atas bantal, berharap rasa bingung ini akan hilang saat dia bangun esok hari. Tapi di balik semua kebingungannya, ada satu hal yang tidak bisa Dami pungkiri—Seungjae mulai menduduki ruang kecil di hatinya, meskipun dia belum siap untuk mengakuinya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dami tidur dengan senyum tipis di wajahnya, meskipun ia tidak ingin mengakui alasan di baliknya.