Langit mendung mulai meredup di luar jendela saat Dami dan Seungjae akhirnya tiba di panti asuhan. Suara tawa anak-anak menyambut mereka di pintu depan, memenuhi udara dengan kebahagiaan yang sederhana dan tulus. Dami merasa sedikit lelah setelah muntah sebelumnya, tetapi melihat kegembiraan di wajah anak-anak itu membuatnya sedikit lupa dengan perasaan tidak enaknya. Seungjae berjalan di sebelahnya, sesekali melirik Dami dengan perhatian yang sulit untuk disembunyikan.
Ketika mereka melangkah ke dalam, anak-anak segera mengerubungi mereka berdua. "Seungjae Oppa!"
"Seungjae Hyung!"
"Eonni, siapa namamu?" beberapa anak perempuan menarik lengan Dami, bertanya dengan rasa penasaran yang polos.
"Namaku Dami," jawabnya sambil tersenyum, membiarkan mereka memegang tangannya dan menariknya ke ruang tamu. Seungjae yang sedikit terbelakang di belakang, hanya mengangguk kepada beberapa anak laki-laki yang mulai memanggilnya untuk bermain sepak bola di halaman belakang. Namun, sebelum dia bisa bergabung dengan mereka, seorang wanita paruh baya, yang dipanggil eomma oleh anak-anak, menghampirinya dengan senyum penuh arti.
"Seungjae-ya, siapa itu? Yeojachingu?" godanya, nada suaranya penuh canda.
Seungjae hanya tersenyum tipis, tidak memberikan jawaban. Matanya sedikit menyipit, memperlihatkan ekspresi khasnya yang licik namun ramah. Alih-alih membalas dengan kata-kata, ia mengangkat bahunya seolah tak peduli dengan pertanyaan itu, tetapi pandangannya sesekali terarah kepada Dami yang kini sudah duduk di lantai bersama beberapa anak perempuan, bermain boneka dengan senyum hangat yang jarang terlihat.
Dami tampak lebih rileks sekarang, bermain dengan anak-anak tanpa beban. Dia berbicara dengan mereka, tertawa ketika boneka-boneka itu mulai disusun seolah menjadi keluarga besar. Seungjae mengamatinya dari jauh, teringat akan dirinya sendiri di masa kecil, ketika tawa anak-anak di panti asuhan adalah satu-satunya pelarian dari kerasnya dunia di luar sana.
***
"Hyung! Ayo main bola!" teriak seorang anak laki-laki, mengagetkan Seungjae dari lamunannya. Dengan senyum kecil, ia mengikuti mereka keluar menuju halaman belakang.
Di halaman, anak-anak sudah menyiapkan bola dan mulai berlarian di sekitar. Seungjae ikut bergabung dalam permainan dengan penuh semangat, menunjukkan gerakan lincahnya yang ternyata sangat ahli dalam menggocek bola. Tawa dan sorakan menggema di seluruh area saat Seungjae mencetak gol, wajahnya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tidak biasa terlihat.
Sementara itu, Dami berdiri di dekat pintu, menyaksikan pemandangan itu dengan senyum di bibirnya. Seungjae yang biasanya tampak serius dan kadang sedikit menjengkelkan, terlihat begitu berbeda ketika bermain dengan anak-anak. Ada sisi lain darinya yang muncul—sisi yang penuh cinta, perhatian, dan kepedulian. Sesuatu yang membuat Dami merasa lebih hangat di dalam hatinya.
Dami menyerahkan botol minum kepada Seungjae yang sudah berkeringat setelah bermain sepak bola bersama anak-anak di panti asuhan. Matanya masih berbinar-binar dari tawa dan kesenangan, tetapi sebelum Seungjae sempat mengucapkan terima kasih, beberapa anak kecil sudah berkerumun di sekitar mereka, siap dengan ejekan manis.
"Oppa, Eonni! Kalian pacaran, ya?" seru seorang gadis kecil bernama Hyera dengan pipi tembam, membuat anak-anak lainnya segera ikut-ikutan bersorak, "Pacaran! Pacaran!"
Dami merasakan wajahnya langsung memanas, dan tanpa sadar ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik tangan. "A-apa? Bukan! Kalian ini!" balas Dami sambil berusaha meredam rasa malunya, tetapi suaranya terdengar semakin kecil di antara sorakan tawa anak-anak.
Melihat reaksi Dami yang tersipu-sipu, Seungjae hanya tersenyum, memutar-mutar botol minumnya sebelum menatap anak-anak dengan wajah penuh kelicikan. "Eh, sudah-sudah!" ucapnya dengan suara menggoda, membuat anak-anak semakin mendekat. "Nanti dia tidak mau aku ajak pacaran beneran. Kalian mau tanggung jawab kalau dia nolak aku, huh?"
Tawa anak-anak langsung meledak, dan sorakan mereka semakin keras. "Eonni malu! Oppa, eonni malu!"
Dami menutupi wajahnya dengan kedua tangan, berusaha keras untuk tidak menjerit karena malu. "Kalian ini jahat sekali," gumamnya pelan, wajahnya semakin memerah. Tawa Seungjae menggema di telinganya, dan Dami mencubit lengannya pelan untuk membuatnya berhenti.
"Yah, kok malah aku yang kena?" Seungjae tertawa lebih keras, menepuk bahunya sambil menambahkan, "Lihat tuh, kalian bikin dia makin malu."
Anak-anak malah makin bersemangat. "Oppa, ajak eonni pacaran beneran, dong! Ayo, ayo!"
Dami merasa jantungnya berdebar kencang, wajahnya semakin panas. Ia berusaha mencari kata-kata untuk membalas, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya gumaman tidak jelas, membuat anak-anak semakin gemas melihatnya tersipu.
Seungjae kemudian berjongkok di depan anak-anak dengan senyum iseng yang tak pudar. "Kalian ini lucu sekali," katanya pelan, "tapi, jangan sampai eonni kalian nanti kabur gara-gara ledekan kalian, ya. Aku jadi tidak punya kesempatan buat ngajak dia pacaran, deh."
Dami akhirnya tak tahan lagi dan melemparkan pandangan marah-malu ke arah Seungjae, yang hanya tertawa puas. Semua itu membuat momen tersebut semakin manis dan tak terlupakan bagi mereka berdua.
***
Seungjae duduk di bangku samping lapangan itu, melihat anak-anak yang sudah kembali bermain. Dami ikut duduk di sebelahnya, menatap ke arah anak-anak yang masih sibuk bermain di lapangan.
"Kau tahu," Seungjae mulai berbicara, nadanya tiba-tiba menjadi serius, "aku tumbuh di sini. Aku juga dulu seperti mereka. Ditinggalkan oleh orangtua, kemudian diadopsi oleh keluarga yang baik hati."
Dami mengangguk, namun tidak berkata apa-apa. Dia hanya mendengarkan, mencoba memahami lapisan-lapisan lain dari sosok Seungjae yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Rasanya seperti mimpi buruk waktu itu, ditinggalkan tanpa alasan, harus beradaptasi dengan kehidupan baru. Tapi pada akhirnya, aku berhasil melewatinya." Seungjae tersenyum tipis, tatapannya kembali ke anak-anak yang masih bermain bola. "Aku bersyukur, sih. Tapi kadang, masa lalu itu masih menghantuiku."
Dami menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. "Tapi kau sudah tumbuh menjadi orang yang baik, Seungjae-ssi," katanya pelan. "Anak-anak di sini menyayangimu, dan aku bisa melihat kenapa."
Sebelum Seungjae sempat merespon, ponsel Dami bergetar di sakunya. Ia melihat layar, dan ada nama Jian yang tertera di sana. Jian menelepon lagi, seolah tak bisa menunggu lama untuk bercerita tentang pria yang sedang mendekatinya.
"Sebentar, aku harus angkat telepon ini," kata Dami, meminta izin dengan cepat. Seungjae hanya mengangguk, meski dalam benaknya, ada sesuatu yang membuatnya bingung. Dia tidak mendengar suara notifikasi apa pun sebelumnya dari ponsel Dami.
Sambil menjauh sedikit, Dami menerima telepon dari Jian. Seungjae mengawasinya dari jauh, matanya menyipit karena penasaran. Tidak ada yang aneh dengan Dami, tetapi kenapa perasaannya jadi tidak enak melihat cara Dami pergi tadi? Seungjae mencoba menyingkirkan pikirannya, namun bayangan bahwa sesuatu mungkin tidak benar mulai merambat di benaknya. Ada rasa curiga yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Setelah beberapa saat, Dami kembali ke tempat Seungjae, masih dengan senyum yang sama. "Jian ingin bercerita tentang cowok yang lagi deketin dia. Aku rasa aku harus menemui dia nanti," katanya santai.
Seungjae menatap Dami dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tetapi ia tidak ingin merusak momen yang sudah menyenangkan ini. "Oh, ya? Well, semoga kalian bersenang-senang nanti," jawabnya ringan.
Mereka berdua kembali bermain dengan anak-anak, tertawa dan bercanda seolah tidak ada beban.